Pembangunan Jaya

perusahaan asal Indonesia
Revisi sejak 5 September 2022 05.58 oleh Pratama26 (bicara | kontrib)

PT Pembangunan Ibukota Jakarta Raya, disingkat PT Pembangunan Jaya atau Jaya Group adalah sebuah kelompok usaha (konglomerasi) di Indonesia. Dirintis awalnya pada tahun 1961 oleh Ciputra dan kawan-kawan, dari awalnya hanya merupakan perusahaan konstruksi, saat ini bisnisnya mencakup aneka sektor, seperti perdagangan, industri bahan bangunan, rekreasi dan pariwisata, serta keuangan. Jaya Group memiliki misi sebagai perusahaan unggul di bidang pengembangan perkotaan dan menjadi sebagai salah satu aset nasional yang dapat dibanggakan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat kota.[2] Saat ini, kepemilikan PT Pembangunan Jaya dimiliki 40% oleh Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebanyak 40% (menjadikannya salah satu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI), sisanya 60% oleh pihak swasta.[3]

PT Pembangunan Jaya
Kelompok usaha
IndustriKonglomerat
Didirikan3 September 1961; 63 tahun lalu (1961-09-03)
PendiriCiputra
J.D. Massie
Agus Musin Dassaad
Hasjim Ning
Soetjipto Amidharmo
Jusuf Muda Dalam
Soemarno Sosroatmodjo[1]
Kantor pusatGedung Jaya Lt. 12
Jl. MH Thamrin No. 12
Jakarta, Indonesia
Tokoh kunci
Ciputra
ProdukProperti
Konstruksi
Pariwisata
Perdagangan
Infrastruktur
Yayasan
PemilikPemerintah Provinsi DKI Jakarta (40%)
Situs webpembangunanjaya.com

Sejarah

PT Pembangunan Jaya didirikan pada tanggal 3 September 1961, sebagai hasil kongsi Pemda DKI Jakarta Raya dengan beberapa pihak, seperti pengusaha Hasjim Ning, Agus Musin Dassad, arsitek Ciputra, J.D. Massie (direktur utama Bank Dagang Negara) dan Soetjipto Amidharmo (direktur utama asuransi Bumiputera 1912).[4] PT Taspen belakangan juga masuk sebagai pemodal perusahaan ini yang didirikan awalnya dengan uang Rp 10 juta.[5][6][7] Pendirian perusahaan ini lahir seiring keinginan Presiden Soekarno yang saat itu memerintahkan kepada Gubernur DKI Jakarta, Soemarno Sosroatmodjo untuk melakukan revitalisasi berbagai sarana di Jakarta Raya. Dalam perusahaan ini, awalnya Pemda DKI memperoleh 25% saham, sisanya dari sejumlah pengusaha swasta. Keterlibatan swasta dimaksudkan agar proyek revitalisasi dapat berjalan dengan lebih lincah dan tidak terhalang birokrasi.[8] Selain itu, permodalan swasta juga diharapkan mengatasi kekurangan dana yang diderita oleh Pemda DKI.[9] Belakangan, karena dipertanyakan, kepemilikan perusahaan itu oleh Pemda DKI sempat dialihkan ke pemegang saham lain.[8] Gubernur DKI sendiri didapuk kemudian sebagai presiden komisaris perusahaan ini.[6] Kantor pusatnya saat itu ada di sebuah gedung milik Pemda DKI, dibantu dengan 5 karyawan.[10]

Awalnya, perusahaan ini didirikan dalam rangka melaksanakan revitalisasi Pasar Senen yang pada tahun 1960-an telah menjadi kawasan yang kumuh. Ciputra bersama kedua rekannyalah yang menyusun rancangan revitalisasi daerah itu.[3] Dengan kerja keras dan sosialisasi, belakangan masyarakat Senen yang awalnya menolak, kemudian menerima revitalisasi daerahnya. Proyek Senen kemudian mulai dikerjakan pada tahun 1964, yang disusul dengan pembangunan blok II hingga IV. Sempat terhenti dengan kemelut politik yang mendera Indonesia di pertengahan 1960-an, belakangan, dengan kehadiran gubernur baru, Ali Sadikin, proyek Senen bisa berjalan lebih lancar dan selesai di era 1970-an. Pasar Senen pun berubah menjadi suatu kawasan yang modern.[3] Tidak hanya Proyek Senen, Pembangunan Jaya kemudian juga membangun proyek lain: saat masih dilakukan pembebasan lahan di daerah Senen, untuk menghimpun dana yang lebih banyak, Pembangunan Jaya membangun 26 rumah di lahan 200 meter persegi di daerah Slipi, Jakarta Barat yang ternyata laris dijual. Pembangunan rumah di Slipi pada tahun 1961 tersebut merupakan proyek pertama yang dibangun oleh perusahaan ini (saat itu Pasar Senen masih dalam proses pembebasan lahan).[8][11] Belakangan, Pemda DKI Jaya kembali memiliki saham kembali di perusahaan ini yang mencapai 40%, sisanya swasta (Ciputra dkk).[3][5] Komposisi pemegang saham ini masih berlanjut hingga kini.

Pada saat proyek Senen masih berlangsung, Pemda DKI juga menunjuk PT Pembangunan Jaya untuk terjun mengembangkan kawasan Ancol, Jakarta Utara yang diniatkan menjadi kawasan rekreasi sejak 1960-an juga oleh Presiden Soekarno. Layaknya proyek Senen, pembangunan Ancol juga sempat terhambat pembebasan lahan, konversi lahan rawa dan masalah lainnya.[12] Baru kemudian proyek tersebut bisa berjalan ketika Jakarta ada di tangan Ali Sadikin. Proyek itu kini sudah menjadi kawasan rekreasi ternama bernama Taman Impian Jaya Ancol. Setelah proyek itu selesai, Pembangunan Jaya meluaskan usahanya dengan menjadi pengembang properti, seperti salah satu yang terkenal adalah Bintaro Jaya di Tangerang dan Jakarta Selatan yang sudah dibangun sejak 1980, serta sebelumnya di Sunter Jaya, Ancol Barat, Pesing,[13] Kramat Jaya Baru, dll.[14] Pembangunan Jaya juga diberi kepercayaan membangun sejumlah jembatan, jalan raya dan sempat juga merenovasi Balai Kota DKI Jakarta.[15]

Anak usahanya pun kemudian beranak-pinak, dengan pada tahun 1970-an sudah memiliki lebih dari 10 anak usaha dan mencapai 20 anak usaha di tahun 1977 seperti PT Jaya Realty, PT Jaya Steel Indonesia dan PT Jaya Trade Indonesia yang bergerak dalam konstruksi, ekspor-impor, pariwisata, kelistrikan, dan lainnya.[16] Langkahnya kemudian lebih jauh lagi dengan terjun ke bisnis keuangan, seperti dengan pendirian perusahaan pembiayaan PT Jaya Fuji Leasing Pratama (1982) dan bank PT Jayabank International (1989). Maka, kemudian PT Pembangunan Jaya tidak hanya sekedar perusahaan properti, tetapi sudah mengarah ke konglomerasi, yang mencakup 50 anak usaha, 12.000 karyawan dengan aset Rp 297 miliar di bulan September 1986.[17] Ciputra sendiri masih menjabat sebagai pimpinan (direktur) PT Pembangunan Jaya hingga 23 Juli 1996, ketika ia mengundurkan diri akibat alasan usia yang makin menua.[18] Pada tahun 1995, Pembangunan Jaya tercatat memiliki pendapatan Rp 1,9 miliar/tahun dan menjadi konglomerasi terbesar ke-23 di Indonesia.[19] Kemudian, di tahun 2001, perusahaan ini telah mencatatkan aset yang mencapai Rp 10,9 triliun.[13]

Manajemen

  • Presiden Komisaris: Candra Ciputra
  • Komisaris: Fauzi Bowo
  • Komisaris: Massagoes Ismail Ning
  • Komisaris: Vivian Setjakusuma
  • Presiden Direktur: Trisna Muliadi
  • Direktur: Sutopo Kristanto
  • Direktur: Yohannes Henky Wijaya[20]

Anak usaha

Properti

Konstruksi

Perdagangan

  • PT Jaya Trade Indonesia
  • PT Jaya Beton Indonesia
  • PT Jaya Daido Concrete
  • PT Jaya Celcon Prima
  • PT Jaya Gas Indonesia
  • PT Mitsubishi Jaya Elevator and Escalator[23]

Arsitektur

  • PT Arkonin
  • PT Arkonin Engineering
  • PT Jaya Consulting Management[24]

Pariwisata dan Taman Hiburan

Infrastruktur

  • PT Pembangunan Jaya Infrastruktur
  • PT Jakarta Tollroad Development[26]

Kesehatan

  • PT Jaya Binara Mediktama[27]

Keterlibatan di luar usaha

Pada tanggal 17 Oktober 1970, PT Pembangunan Jaya mendirikan sebuah yayasan bernama Yayasan Pembangunan Jaya Raya (awalnya bernama Yayasan Pembangunan Jaya) yang bergerak di bidang kebudayaan, seni, kesehatan, sosial dan olahraga, dengan keuangannya berasal dari kontribusi perusahaan-perusahaan di Jaya Group maupun sejumlah perusahaan swasta.[19] Yayasan tersebut lahir dari ide Ali Sadikin kepada Ciputra yang saat itu ingin mengembangkan sepak bola dan atletik, yang dirasa selama ini kurang berkembang dengan baik di kalangan masyarakat Jakarta, yang kemudian terealisasi dengan adanya PS Jayakarta dan Persatuan Atletik Jakarta. Namun, kontribusi yayasan ini yang paling dikenal adalah keberadaan klub bulu tangkis PB Jaya Raya yang didirikan pada 17 Oktober 1976,[28] saat itu menggandeng raja bulu tangkis Rudy Hartono. PB Jaya Raya telah menghasilkan atlet-atlet berkualitas yang mampu meraih medali di Olimpiade, seperti Susi Susanti, Hendra Setiawan, Greysia Polii dan Apriyani Rahayu.[29][30][31]

Yayasan tersebut juga berperan dalam perintisan salah satu majalah utama di Indonesia, majalah Tempo. Tempo lahir ketika beberapa jurnalis eks-majalah Express, seperti Goenawan Mohamad, Fikri Jufri serta Christianto Wibisono dipecat karena terlalu kritis akan pemerintah. Pada saat yang sama, Ali Sadikin ingin Pembangunan Jaya memiliki sebuah majalah yang dikenal luas dan merefleksikan era baru. Pembangunan Jaya sebenarnya sudah memiliki majalah Jaya, namun tidak bertahan lama (1961-1969). Ciputra kemudian memutuskan untuk bekerjasama dengan para wartawan itu dengan saham 50-50%, dengan Jaya Group menyetorkan modal Rp 18 juta. Lahirlah Tempo yang dirilis pada tahun 1971.[32][19] Saat ini, yayasan tersebut masih tercatat memiliki 16,28% dari penerbit majalah Tempo saat ini, yaitu PT Tempo Inti Media Tbk.[33]

Selain Yayasan Pembangunan Jaya Raya, ada juga Yayasan Marga Pembangunan Jaya dan Yayasan Pendidikan Jaya. Yayasan Marga Pembangunan Jaya memberikan beasiswa kepada karyawan Jaya Group maupun pihak luar,[34] sedangkan Yayasan Pendidikan Jaya yang didirikan pada 3 September 1991 mengelola Global Jaya International School, Sekolah Pembangunan Jaya dan Universitas Pembangunan Jaya.[35]

Rujukan

Pranala luar