Museum Kereta Api Bondowoso

museum di Indonesia

Museum Kereta Api Bondowoso (bahasa Inggris: Bondowoso Rail and Train Museum) adalah stasiun kereta api nonaktif yang sekarang dialihfungsikan sebagai museum sejarah perkeretaapian. Museum ini secara administratif terletak di Kademangan, Bondowoso, Bondowoso; termasuk dalam Wilayah Aset IX Jember pada ketinggian +253 m. Museum ini sekarang dikelola oleh Unit Pusat Pelestarian dan Desain Arsitektur PT KAI bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Bondowoso.[3]

Stasiun Bondowoso
Tampak depan Museum Kereta Api Bondowoso, 2019
Lokasi
Koordinat7°55′01″S 113°49′46″E / 7.9169154°S 113.8294028°E / -7.9169154; 113.8294028
Ketinggian+253 m
Operator
Letak
Jumlah peron2 (satu peron sisi dan satu peron pulau yang sama-sama agak tinggi)
Jumlah jalur2 (jalur 2: sepur lurus)
LayananHanya museum
Konstruksi
Jenis strukturAtas tanah
Gaya arsitekturIndische Empire, Neoklasik
Informasi lain
Kode stasiun
Sejarah
Dibuka1 Oktober 1897
Ditutup2004
Tanggal penting
Dibuka kembali17 Agustus 2016 (sebagai museum kereta api)
Fasilitas dan teknis
FasilitasParkir Musala Toilet 
Lokasi pada peta
Peta
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Museum ini merupakan museum perkeretaapian ketiga di Indonesia setelah Ambarawa dan Sawahlunto. Jika Lawang Sewu disertakan sebagai museum perkeretaapian, maka museum ini adalah museum perkeretaapian keempat di Indonesia.

Museum Kereta Api Bondowoso, beserta seluruh stasiun dalam Jalur kereta api Kalisat–Panarukan masuk dalam prioritas reaktivasi sesuai Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2019 yang akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.

Sejarah

Pembangunan jalur kereta api Kalisat–Panarukan

 
Stasiun Bondowoso tempo doeloe.

Asal usul pembangunan jalur kereta api Kalisat–Panarukan dapat dilacak dari megaproyek Staatsspoorwegen (SS) mengembangkan jalur kereta api yang mempersatukan Pulau Jawa. Salah satunya adalah lintas Probolinggo–Kalisat–Panarukan. SS, yang berdiri pada tanggal 6 April 1875,[4] memanfaatkan konsesi izin pembangunan jalur kereta apinya dari Pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api Bogor–Yogyakarta, Surabaya–Solo dan Surabaya–Malang, serta Surabaya–Probolinggo.

Begitu SS puas mengembangkan jalur tersebut, jalur kereta apinya kemudian dipanjangkan lagi hingga menjangkau kota pelabuhan Panarukan yang kala itu sudah dipersatukan dengan kota-kota penting lainnya di Jawa dengan Jalan Raya Pos Daendels. Jalur Probolinggo–Panarukan itu sendiri tertuang dalam konsesi tertanggal 23 Juni 1893, sepaket dengan rencana pembangunan jalur cabang ke Pasirian untuk keperluan pengangkutan pasir besi. Pada mulanya pihak SS memutuskan membangun jalur cabang ini dari Randuagung, tetapi per 1894, SS mengalihkan jalur cabangnya itu ke Stasiun Klakah karena jaraknya relatif dekat bila dibandingkan dengan dari Randuagung.[5]

Meneruskan jalur kereta api Pasuruan–Probolinggo pada tahun 1884, SS membangun jalur ini dengan penuh tantangan. Jalur kereta apinya sendiri membelah hutan dan kebun, melewati tempat-tempat terpencil, hingga akhirnya sampailah di Jember pada tanggal 1 Juli 1897. Segmen terakhirnya, Jember–Kalisat–Panarukan, beroperasi pada tanggal 1 Oktober 1897. Stasiun Bondowoso beroperasi setelah jalur segmen terakhir ini selesai.[6]

Gerbong maut Bondowoso

Stasiun ini menjadi saksi bisu tragedi gerbong maut Bondowoso. Sebanyak seratus pejuang ditawan serdadu Belanda dalam rangkaian Agresi Militer Belanda I. Pada tanggal 23 November 1947 subuh itu, tawanan yang semula ditahan di Penjara Bondowoso digiring ke Stasiun Bondowoso untuk dinaikkan di kereta api menuju Surabaya. Tercatat ada tiga gerbong untuk mengangkut tawanan, yaitu GR 5769 dan GR 4416 yang masih memiliki lubang angin kecil, serta GR 10152 yang sama sekali tidak memiliki lubang angin.[7]

Karena ukuran gerbong-gerbong itu kecil, udara pengap menjadi awal dari tragedi ini. Mulai dari kesulitan bernapas hingga tidak diberi makan dan minum jelas membuat mereka tidak mampu bertahan hidup lama. Mereka bahkan meminum air kencing. Mashoed (2004) menyebutkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada saat matahari benar-benar terik. Enam belas jam perjalanan, kereta tiba di Stasiun Wonokromo dalam keadaan tak ada satu pun orang yang mampu bertahan hidup di dalam pengapnya gerbong maut tersebut,[8][9] yaitu yang berada di dalam gerbong GR 10152.[10] Empat puluh enam orang tewas dalam peristiwa tersebut, sedangkan 12 orang sakit parah, 30 orang lemas tak berdaya, dan 12 orang selamat.[8]

Penutupan jalur Kalisat–Panarukan

Pada saat-saat terakhir jalur Kalisat–Panarukan beroperasi, hanya kereta api lokal Jember–Panarukan yang rutin beroperasi di jalur ini. Kereta api tersebut sering ditarik lokomotif diesel hidraulis produksi Henschel (BB303) dengan susunan rangkaian berupa tiga unit kereta penumpang ekonomi non-AC dan tiga unit gerbong barang. Kereta penumpang ini dahulu difungsikan untuk mengumpan penumpang dari pelosok Situbondo menuju Stasiun Jember. Stasiun ini dinonaktifkan penuh pada tahun 2004 oleh PT KA beserta jalur dan seluruh layanannya karena prasarana yang tua dan kalah bersaing dengan mobil pribadi dan angkutan umum.[11]

Pengoperasian sebagai museum

Setelah stasiun ini nonaktif untuk pelayanan perkeretaapian umum seiring dengan dinonaktifkannya jalur tersebut, kondisi stasiun ini dalam keadaan sangat terpuruk dan terlupakan. Meskipun stasiun ini masih dapat dikatakan "terawat" dengan baik, pada kenyataannya stasiun ini tak pernah digunakan. Tak ada renovasi, hanya sesekali ada pengecatan ulang. Tak ada seorang pun yang bisa dipercaya merawat bangunan heritage peninggalan SS ini.

Wacana reaktivasi jalur kereta api ini terus mengemuka sejak 2009[11] tetapi tidak ada satu pun langkah konkret yang bisa diambil. Pasalnya, PT KAI kini hanya bertindak sebagai operator, bukan menjadi pemilik prasarana serta tidak ikut mengkaji apakah jalur ini pantas direaktivasi atau tidak. Jalur tersebut kini menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Perkeretaapian sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007.[12][13] Namun pada tahun 2022 sesuai hasil studi kelayakan, jalur ini masuk dalam prioritas reaktivasi sesuai Perpres 80 Tahun 2019 yang akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perkeretaapian.

Bangunan stasiun ini kini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Unit Pusat Pelestarian dan Desain Arsitektur PT KAI. Untuk mengawali langkah reaktivasi, Pemerintah Kabupaten Bondowoso memutuskan untuk membuat perjanjian kerja sama preservasi stasiun ini. Pemilihan Stasiun Bondowoso ini sama sekali bukan tanpa alasan. Dipilihnya stasiun ini adalah untuk mengenang tragedi gerbong maut Bondowoso yang telah menewaskan pejuang kemerdekaan Indonesia yang menjadi tawanan Belanda. Stasiun ini kini diresmikan sebagai museum pada tanggal 17 Agustus 2016 oleh Bupati Bondowoso saat itu, Amin Said Husni, untuk memperingati 71 tahun Kemerdekaan Indonesia.[14][15]

Di samping museum, stasiun ini juga melayani penjualan tiket. Saat ini progres terkait reaktivasi jalur ini baru sampai pada tahap studi kelayakan dan jalur ini dinyatakan lolos studi sehingga wacana reaktivasi menguat kembali.

Bangunan, tata letak, dan koleksi

Museum Kereta Api Bondowoso
Bondowoso Rail and Train Museum
 
Bagian peron Stasiun Bondowoso, terdapat gerbong pupuk di jalur 1
 
Didirikan17 Agustus 2016
LokasiJalan Imam Bonjol, Kademangan, Bondowoso, Bondowoso, Indonesia
JenisMuseum kereta api
Situs webheritage.kai.id

Pada saat aktif sebagai stasiun, Stasiun Bondowoso memiliki enam jalur kereta api dengan jalur 2 merupakan sepur lurus. Karena emplasemennya sudah beralih fungsi menjadi rumah penduduk, jalurnya dipangkas menjadi dua saja. Jalur 1 stasiun ini diparkirkan gerbong pupuk berjenis GW/GRU.

Arsitektur stasiun ini tidak jauh berbeda dengan stasiun-stasiun SS lainnya, yaitu Indische Empire. Bangunan stasiun telah disesuaikan dengan iklim setempat sehingga terkesan luwes dengan lingkungan sekitarnya. Ornamen sulur-suluran serta pilar-pilar ala Yunani banyak dijumpai di dekat pintu dan jendela, memberi kesan anggun pada bangunan utama stasiun. Sebelum dipreservasi, bangunan stasiun ini dicat putih dengan kombinasi hijau pada teritisan, kayu-kayu, dan ornamennya. Namun setelah dipreservasi, warna-warna tersebut digantikan dengan warna korporat bangunan PT KAI.[16]

Museum ini memiliki koleksi yang lebih terbatas bila dibandingkan museum kereta api lainnya di Indonesia. Koleksi museum ini adalah handel persinyalan mekanik Alkmaar, tiket Edmondson, miniatur-miniatur lokomotif dan kereta penumpang zaman uap, salinan foto-foto sejarah, serta mebel/furnitur pendukung administrasi stasiun.

Peralatan lainnya yang juga dikoleksi di stasiun ini adalah atribut perusahaan, handsign, tongkat Semboyan 40, mesin tik, telepon otomatis (toka), stempel, dan reglemen perusahaan. Sesekali juga diputarkan film-film yang mendokumentasikan kereta api pada zaman dahulu di sudut-sudut ruangan serta terdapat informasi mengenai peristiwa tragedi gerbong maut Bondowoso. Untuk meningkatkan pelayanan, fasilitas lain seperti musala dan toilet dibuat seperti layaknya stasiun, dengan dipasangnya papan penunjuk fasilitas yang wujudnya terlihat seperti layaknya bandara.

Referensi

  1. ^ Subdit Jalan Rel dan Jembatan (2004). Buku Jarak Antarstasiun dan Perhentian. Bandung: PT Kereta Api (Persero). 
  2. ^ Buku Informasi Direktorat Jenderal Perkeretaapian 2014 (PDF). Jakarta: Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan Indonesia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 1 Januari 2020. 
  3. ^ Susilo, Tunggul. ""PKS" Museum Kereta Api Bondowoso Belum Terealisasi". ANTARA News. Diakses tanggal 2019-07-20. 
  4. ^ Reitsma, S.A. (1925). Boekoe Peringetan dari Staatsspoor-en-Tramwegen di Hindia-Belanda. Weltevreden: Topografische Inrichting. 
  5. ^ "Wijziging van de Aansluiting van den Zijtak naar Pasirian aan de Hoofdlijn Probolinggo-Panaroekan". de Indische gids. 16: 1173. 1894. 
  6. ^ Verslag der Staatsspoor-en-Tramwegen in Nederlandsch-Indië. Batavia: Burgerlijke Openbare Werken. 1921–1932. 
  7. ^ Prastiwi, Devira (2015-08-08). Yulianingsih, Tanti, ed. "Di Balik Kisah Pilu 'Gerbong Maut' Bondowoso". Liputan6.com. Diakses tanggal 2019-07-20. 
  8. ^ a b Kartomihardjo, P.; Saptono, P.; Soekarsono (1986). Monumen Perjuangan Jawa Timur. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 
  9. ^ Mashoed, H., 1942- (2004). Sejarah dan budaya Bondowoso (edisi ke-Cet. 1). Surabaya: Papyrus. ISBN 9798910214. OCLC 58597469. 
  10. ^ F, Ni Luh Made Pertiwi (ed.). "Kisah Mencekam di Balik Gerbong Maut". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-07-20. 
  11. ^ a b "Jalur Kereta Api Kalisat-Panarukan Segera Dibuka". Tempo.co. 2009-01-12. Diakses tanggal 2019-07-20. 
  12. ^ "Jalur KA Jember-Panarukan Belum Bisa Diaktifkan". Republika Online. 2014-05-23. Diakses tanggal 2019-07-20. 
  13. ^ "Bupati Situbondo Akui Telah Ajukan Aktivasi Jalur KA Kalisat-Panarukan". rri.co.id (dalam bahasa Indonesia). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-20. Diakses tanggal 2019-07-20. 
  14. ^ Dewi, Tertia Lusiana. "Destinasi Baru Bondowoso - 17 Agustus Nanti Jawa Timur Resmi Punya Museum Kereta Api Pertama". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2019-07-20. 
  15. ^ Prodjo, Wahyu Adityo. Asdhiana, I Made, ed. "Ini Museum KA Pertama di Jatim, Diresmikan 17 Agustus". Kompas.com. Diakses tanggal 2019-07-20. 
  16. ^ Surojo, A.; Antariksa; Suryasari, N. (2011). "Pelestarian Bangunan Stasiun Bondowoso". Arsitektur E-Journal. 4 (2): 106–122. 
Stasiun sebelumnya   Lintas Kereta Api Indonesia Stasiun berikutnya
Nangkaan
menuju Kalisat
Kalisat–Panarukan Tangsil