Sejarah Indramayu
Artikel ini memiliki beberapa masalah. Tolong bantu memperbaikinya atau diskusikan masalah-masalah ini di halaman pembicaraannya. (Pelajari bagaimana dan kapan saat yang tepat untuk menghapus templat pesan ini)
|
Netralitas artikel ini dipertanyakan. |
Artikel ini sudah memiliki daftar referensi, bacaan terkait, atau pranala luar, tetapi sumbernya belum jelas karena belum menyertakan kutipan pada kalimat. |
Teori kedatangan manusia ke Nusantara, diantaranya adalah pendapat yeng menyatakan pada asal mula penghuni pertama daerah ini adalah bangsa Austronesia[1][2] yang datang dari Taiwan atau Yunan sejak periode 2000 SM, sampai 500 SM[3]. Hal itu dapat diketahui melalui Genetika Manusia atau DNA [4] di Indonesia termasuk daerah Indramayu[5][6].
Berdasarkan teori Out of Taiwan, penutur bahasa Austronesia tiba terlebih dahulu di Filipina sekitar tahun 4500 hingga 3000 SM. Kemudian sekitar tahun 3500 hingga 2000 SM, manusia yang mendiami Filipina melakukan migrasi ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku Utara.
Mereka terus menyebar ke Jawa, Sumatra, Nusa Tenggara, Papua bagian Barat, Oseania, hingga Melanesia di Pasifik. Ketika singgah di setiap pulau yang dilalui, mereka kemudian memperkenalkan kebudayaannya kepada masyarakat setempat, termasuk bahasa.
Oleh sebab itu terdapat beberapa kata yang mirip di berbagai daerah, baik dalam segi pengucapan maupun maknanya. Salah satu contohnya adalah kata manuk dalam bahasa Sunda yang berarti burung, dalam bahasa Tagalog disebut manok. Orang Fiji menyebutnya manu-manu. Sementara bagi orang Samoa burung adalah manu.
Mengutip dari Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia yang ditulis oleh Bellwood, selain bahasa, kebudayaan lainnya yang mereka bawa antara lain pertanian (padi, jewawut, tebu, ubi, dan keladi raksasa), hasil laut berupa ikan dan kerang, domestikasi ternak (ayam), menguasai teknologi perkapalan, pembuatan gerabah, penggunaan beliung persegi, perhiasan kerang, tenun, dan kebiasaan makan sirih.
Sementara pada abad 21 era milenial generasi Z dimana pendidikan semakin merata, transportasi yang lebih maju dengan dukungan teknologi informasi yang cepat. Muncul Teori of Sundaland, yang menyatakan bahwa peradaban dari Nusantara/Sundaland yang menyebar dan mempengaruhi dunia lainnya
Latar belakang
Salakanagara, Tarumanagara, Sunda, Galuh, hingga Pajajaran dari abad 2 masehi hingga 17 masehi meninggalkan banyak jejak prasasti dan tulisan sejarah dalam berbagai kitab kuno. Yang dilestarikan oleh Keraton Cirebon, Keraton Surakarta juga perpustakaan dalam dan luar negeri tentang wilayah yang terbentang dari barat dari Pulau Jawa hingga Sungai Cipamali adalah wilayah kekuasannya.
Diantaranya tertulis dalam Suma Oriental que trata do Mar Roxo até aos Chins ("Ikhtisar Wilayah Timur, dari Laut Merah hingga Negeri Cina") adalah kompendium (summa) yang ditulis oleh Tomé Pires pada tahun 1512-1515, berisi informasi tentang kehidupan di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara pada abad ke-16.
Naskah ini sebenarnya merupakan laporan resmi yang ditulis Tomé Pires kepada Raja Emanuel tentang potensi peluang ekonomi di wilayah yang baru dikenal oleh Portugis saat itu sehingga tidak pernah diterbitkan.
Buku ini terdiri dari enam jilid, dua jilid pertama berisi informasi tentang wilayah antara Mesir dan Malabar, dan sisanya berisi informasi tentang wilayah Bengali, Indocina, Malaysia, Indonesia, Cina, dan Jepang. Tentang Indonesia, Suma Oriental memuat informasi terutama tentang Pulau Jawa dan Pulau Sumatra.
Setelah sempat "menghilang" berabad-abad, pada tahun 1944, Armando Z. Cortesão menerbitkan terjemahan Suma Oriental ke dalam bahasa Inggris, berdasarkan versi salinannya yang ditemukan di Perpustakaan Chambre des Deputes di Paris.
Dalam Suma Oriental tersebut, Tomé Pires memberitakan bahwa Çumda/Sunda mempunyai enam pelabuhan yaitu Bantam, Pomdam, Cheguide, Tamgaram, Calapa, dan Chemano/Cimanuk (Cotesao, 1967:166).
Sementara pelaut Portugis lainnya, Catatan de Barros, Kerajaan Sunda pada abad 15 masehi mempunyai enam pelabuhan yaitu Chiamo, Xacatra atau Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang, dan Bantam (Djajadiningrat, 1983:83).
Keterangan antara Barros dan Pires sama-sama menyebutkan adanya enam pelabuhan. Kalau Barros menyebutkannya dari arah timur ke barat, sebaliknya Pires menyebutnya dari barat ke timur. Perbedaan yang ada selain ucapannya ialah bahwa Calapa yang disebut Pires, oleh Barros disebutnya Xacatra atau Caravam (Saptono, 1998:241).
Tomé Pires juga memberikan gambaran keadaan masing-masing pelabuhan tersebut (Cotesao, 1967:170–173). Bantam merupakan pelabuhan besar terletak di tepi sungai. Dari pelabuhan ini perdagangan berlangsung hingga Sumatra dan Kepulauan Maladewa. Barang-barang yang diperdagangkan antara lain beras dan lada.
Pomdam juga merupakan pelabuhan yang baik. Berada pada muara sungai. Kapal besar (junk) dapat berlabuh di sini. Barang dagangan berupa bahan makanan terutama beras, buah-buahan, bahan makanan dan lada. Cheguide merupakan pelabuhan bagus yang bisa didarati kapal besar. Pelabuhan ini merupakan pintu gerbang ke Jawa dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung dan tempat-tempat lain.
Pelabuhan Tamgaram juga merupakan pelabuhan dan kota dagang yang bagus. Barang dagangannya sama sebagaimana pelabuhan yang lain.
Pelabuhan Calapa merupakan bandar yang paling bagus. Pelabuhan ini sangat penting dan terbagus di antara yang lain. Jalinan perdagangannya sangat luas yaitu hingga Sumatra, Palembang, Laue, Tamjompura, Malaca, Makasar, Jawa dan Madura, serta beberapa tempat lain.
Pelabuhan Chemano/Cimanuk di Indramayu merupakan pelabuhan yang cukup ramai meskipun kapal besar tidak dapat berlabuh di sini. Di kota ini sudah banyak warga muslim. Perdagangan yang dijalin hingga seluruh Jawa.
Barang komoditas utama Kerajaan Sunda adalah lada dengan kualitas tinggi. Produksi lada diperkirakan 1000 bahar per tahunnya. Selain lada komoditas penting Kerajaan Sunda adalah cabai jawa dan buah asam. Kedua komoditas ini mampu memenuhi kebutuhan seribu kapal.
Kerajaan Sunda sudah mendapat juga pasokan barang-barang berharga dari Kepulauan Maladewa. Perjalanan dari Sunda ke Maladewa ditempuh sekitar enam hingga tujuh hari. Dalam aktivitas perdagangan telah digunakan semacam mata uang terbuat dari emas yang dicetak dengan 8 mate, yaitu semacam goresan atau cetakan emas yang digunakan di Timur (Cotesao, 1967:172).
Hubungan dagang antara masyarakat pesisir dilakukan dengan perahu yang menyusuri laut pinggir pantai. Sebagaimana pemberitaan Tomé Pires, aktivitas perdagangan di pantai utara Jawa juga terjalin secara antar kota pelabuhan.
Berlangsungnya perdagangan semacam ini, di Indramayu ditandai dengan adanya temuan perahu di Desa Lombang, Juntinyuat. Perahu berukuran panjang 11,5 m dan lebar 3 m serta tinggi sekitar 1,5 m menunjukkan fungsinya sebagai sarana angkut dalam jarak yang tidak begitu jauh, dalam arti tidak untuk mengarungi samodra (Michrob, 1992).
Hubungan antar pemukiman di pedalaman dan pesisir dihubungkan dengan jaringan jalan raya. Jalan-jalan darat menghubungkan pusat kerajaan di Pakwan Pajajaran ke pemukiman-pemukiman di pedalaman dan pelabuhan-pelabuhan di pantai utara. Jaringan jalan ada dua yaitu ke arah timur dan barat. Jalan ke arah timur dari Pakwan Pajajaran menuju Karangsambung di tepi Ci Manuk melalui Cileungsi dan Cibarusah.
Dari Cibarusah menuju Tanjungpura di tepi Ci Tarum, Karawang kemudian terus ke Cikao, Purwakarta dan lanjut ke Karangsambung. Di Karangsambung jalan ini bercabang, satu jalur menuju Cirebon lalu berbelok ke arah Kuningan dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalur jalan lain dari Karangsambung menuju Sindangkasih, lalu ke Talaga dan berakhir di Galuh atau Kawali. Jalan ke arah barat dari Pakwan Pajajaran menuju Jasinga lalu ke Rangkasbitung dan berakhir di Banten.
Satu jalur lagi dari Pakwan Pajajaran ke arah Ciampea dan kemudian ke Rumpin. Dari Rumpin kemudian dilanjutkan menggunakan jalan sungai (Ci Sadane) menuju muara. Dengan menggunakan prasarana transportasi jalan darat ini, barang-barang komoditas dari pedalaman dan dari luar dapat dipertukarkan (diperdagangkan) dengan perantara pelabuhan-pelabuhan di pesisir (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:420).
Berdasarkan beberapa sumber dapat diketahui bahwa Kerajaan Sunda pada dasarnya merupakan kerajaan yang bercorak agraris khususnya pada sektor perladangan. Secara teoritis, kerajaan yang ditopang sektor perladangan akan tidak dapat berlangsung lama. Dalam kenyataannya Kerajaan Sunda bertahan pada kurun waktu antara abad ke-7 hingga ke-17. Bertahan lamanya Kerajaan Sunda ternyata didukung aktivitas kemaritiman berupa perdagangan insuler dan interinsuler.
Kerajaan Sunda merupakan penghasil lada dengan kualitas bagus. Selain itu terdapat barang-barang komoditas lain yang sangat laku di pasaran. Barang-barang komoditas tersebut adalah cabai jawa, asam, beras, sayur-mayur, daging (babi, kambing, domba, sapi), anggur, pinang, air mawar, dan emas. Komoditas yang masuk ke Sunda antara lain budak, kain/tekstil, dan akar-akaran.
Perdagangan secara insuler dilakukan dengan beberapa pelabuhan dagang di Pulau Jawa, sedangkan secara interinsuler dilakukan dengan beberapa daerah di Sumatera misalnya Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung, Palembang, Laue, dan Tanjungpura; di Sulawesi dengan Makasar; dan secara internasional dengan Malaka, Maladewa, Pagan, dan Cina. Distribusi barang dari pelabuhan ke beberapa lokasi di pedalaman melalui jaringan jalan darat.
Kerajaan Sunda yang sebagian besar masyarakatnya sebagai petani sangat bergantung pada aktivitas kemaritiman untuk keberlangsungannya. Dalam hal ini peran pelabuhan dagang sangat vital. Pelabuhan bukan sekedar tempat berlabuh tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu sebagai tempat berlabuh dengan aman, terlindungi dari ombak besar, serta terlindung dari angin dan arus yang kuat.
Tempat ideal untuk pelabuhan adalah muara sungai besar. Pada jaringan lalu lintas, fungsi pelabuhan juga sebagai penghubung antara jalan maritim dan jalan darat atau penghubung antara pelabuhan dengan kawasan pedalaman. Melalui sungai penduduk pedalaman dapat mengangkut hasil bumi ke pantai (Poesponegoro & Notosusanto, 2009 a:141).
Pelabuhan sebagai kota pantai harus memiliki fungsi kelautan. Laut tidak hanya dilihat sebagai faktor distorsi mobilitas tetapi juga sebagai lintas enerji barang, manusia, dan informasi dari pelabuhan satu ke kota lainnya (Nurhadi, 1995:87).
Pada masa akhir Kerajaan Sunda, peran pelabuhan-pelabuhan dagang tersebut mengalami kemunduran akibat serangan bertubi-tubi dari Demak dan Banten hingga VOC - Belanda yang datang pada abad 17 masehi. Dalam perkembangannya ada yang terus berlangsung tetapi ada pula yang surut dan berubah fungsi hanya sebagai pelabuhan nelayan saja.
Keadaan pada 1775–1778 di Tatar Sunda tersisa hanya ada tiga pelabuhan yaitu Bantan, Batavia, dan Cheribon (Stockdale, 1995:193).
Penyebab menurunnya fungsi pelabuhan terjadi karena beberapa faktor. Hal yang umum terjadi karena adanya perebutan kekuasaan. Utamanya pada abad 17 adalah blokade oleh VOC terhadap pelabuhan-pelabuhan Sunda, selain memonopoli perdagangan komoditi-komoditi mahal dan penting yang berasal dari Tatar Sunda juga membatasi pergerakan orang yang masuk dan keluar.
Perebutan kekuasaan selain terjadi di Cheguide juga di Sunda Kelapa. Pada 1527 Sunda Kelapa berhasil direbut oleh pasukan Banten. Kondisi seperti ini menyebabkan terputusnya hubungan antara kawasan pesisir dengan pusat Kerajaan Sunda di pedalaman. Jalan niaga Kerajaan Sunda satu persatu jatuh ke tangan pasukan Banten, sehingga raja hanya dapat bertahan di pedalaman (Poesponegoro & Notosusanto, 2009:395).
Selain karena perebutan kekuasaan, tidak berfungsinya pelabuhan juga disebabkan faktor alam. Sebagai contoh adalah pelabuhan Chemanuk (Cimanuk, Indramayu).
Tatar Sunda, Tanah Idola
Bangsa Austronesia yang datang mendiami daerah Indramayu dan bercampur baur dengan penduduk yang lebih dulu bermukim, memunculkan ciri-ciri khas dalam berbahasa. Misalnya migrasi dari wilayah tengah dan timur Pulau Jawa karena mobilitas sosial maupun karena bencana alam gunung Merapi yang meletus dan peperangan Mataram dengan Trunajaya dari Madura di wilayahnya.
Sementara Tatar Sunda yang sedang mengalami masa damai, maka muncul kelompok-kelompok dari pendatang yang masih setia mempertahankan asal usul bahasa dan budaya suku bangsanya walau telah menetap di Indramayu. Yang meliputi pendatang dari wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, Utara Kabupaten Karawang, Utara Kabupaten Subang (Jawa Barat), Kabupaten Cilegon dan Kota Serang (Banten)[7].
Menurut penulis Portugis Tomé Pires tersebut, Kalapa adalah pelabuhan terbesar di Jawa Barat, selain Sunda (Banten), Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk yang juga dimiliki Pajajaran. Sunda Kelapa yang dalam teks ini disebut Kalapa dianggap pelabuhan yang terpenting karena dapat ditempuh dari ibu kota kerajaan yang disebut dengan nama Dayo (dalam bahasa Sunda modern sekarang: dayeuh berarti kota) dalam tempo dua hari.
Nama Dayo didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata dayeuh bila bermaksud menyebut ibu kota dalam percakapan sehari-hari.
Pelabuhan ini telah dipakai sejak zaman Tarumanagara dan diperkirakan sudah ada sejak abad ke-5 dan saat itu disebut Sundapura. Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik Kerajaan Sunda, yang memiliki ibu kota di Pakuan Pajajaran atau Pajajaran yang saat ini menjadi Kota Bogor.
Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Seperti diketahui pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, para penjelajah Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut dunia. Bangsa Portugis berlayar ke Asia dan pada tahun 1511, mereka bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di Semenanjung Malaka. Malaka dijadikan basis untuk penjelajahan lebih lanjut di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Tome Pires sendiri adalah salah seorang penjelajah Portugis, mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia menggambarkan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa ramai disinggahi pedagang-pedagang dan pelaut dari luar seperti dari Sumatra, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa dan Madura. Menurut laporan tersebut, di Sunda Kelapa banyak diperdagangkan lada, beras, asam, hewan potong, emas, sayuran serta buah-buahan.
Laporan Portugis menjelaskan, bahwa (Sunda) Kalapa terbujur sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa.
Di samping itu ada pula kapal-kapal dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang muatannya sampai kurang lebih 150 ton.
Tome Pires ikut mencatat juga kemajuan zaman keemasan pemimpin besar Sri Baduga yang menjabat Raja waktu itu dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa
Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan (Sunda) Kalapa akan menerima barang-barang yang diperlukan.
Raja Sunda akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa itu.
Padrao dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Demak (di Jawa bagian tengah) menganggap perjanjian persahabatan Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah provokasi dan suatu ancaman bagi ekonomi kerajaannya. Sehingga melakukan serangan loncat katak, melalui Banten dengan pimpinannnya yaitu Fatahillah, seorang menantu Sultan Demak namun juga menantu Sultan Gunung Jati dari Cirebon.
Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya, “Summa Oriental (1513 – 1515)”, dia menuliskan bahwa:
The Sunda kingdom take up half of the whole island of Java; others, to whom more authority is attributed, say that the Sunda kingdom must be a third part of the island and an eight more. It ends at the river chi Manuk. They say that from the earliest times God divided the island of Java from that of Sunda and that of Java by the said river, which has trees from one end to the other, and they say the trees on each side line over to each country with the branches on the ground.
Tentang Kerajaan Sunda ini, Tome Pires menggambarkan bahwa, menurut berita lokal, Kerajaan Sunda luasnya setengah pulau Jawa dan ada juga yang menyebut luasnya sepertiga ditambah seperdelapan luas pulau Jawa.
Jadi, jelaslah bahwa perpaduan kedua kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Sunda.
Keterangan keberadaan kedua kerajaan tersebut juga terdapat pada beberapa sumber sejarah lainnya. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai kelanjutan dari Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.
Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, pada tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Kerajaan Sunda sangat kaya. Kerajaan ini memiliki empat ribu kuda yang didatangkan dari Pariaman dan pulau-pulau lain. Raja memiliki empat puluh gajah. Emas enam karat juga ditemukan di kerajaan ini. Asam berlimpah yang berguna untuk dibuat cuka oleh penduduk.
Kota tempat raja berada disebut kota besar atau dayeuh. Kota tersebut memiliki bangunan-bangunan yang dibuat dengan baik dari kayu dan daun palem. Rumah raja memiliki 330 tiang kayu setebal drum anggur yang tingginya 8 meter. Kota tersebut dapat ditempuh selama 2 hari dari pelabuhan utama.
Raja Sunda merupakan olahragawan dan pemburu ulung. Tahta kerajaan turun dari ayah kepada anak laki-laki. Orang Sunda sangat jujur. Perempuan bangsawannya cantik-cantik. Penduduknya ramah (tidak garang). Mereka gemar akan senjata yang dihias. Kerisnya mengkilat.
Orang Sunda di pantai bergaul denga para pedagang dari pedalaman. Mereka terbiasa berdagang, Orang Sunda sangat sering datang ke Malaka. Mereka membawa lancara (kapal kargo yang beratnya seratus lima puluh ton). Kerajaan Sunda memiliki 6 kapal jung dan banyak lancara.
Keterbukaan, toleransi dan kerjasama menjadi awal terbentuknya Jawa Dwipa[8]. Dalam pengertian Jawa Dwipa atau yavadvip(a) (dwipa berarti "pulau", dan yava berarti "jelai" atau juga "biji-bijian"). [9][10] maksud dari biji-bijian ini adalah jewawut (Setaria italica) atau padi, keduanya banyak ditemukan di pulau jawa sebelum masuknya pengaruh dari India dan bisa dikatakan, bahwa pulau ini memiliki banyak nama sebelumnya, termasuk kemungkinan berasal dari kata jau yang berarti "jaúh".[9]. Mengenai hal biji-bijian seperti padi sebagai peradaban jawa dwipa masih bertahan di Indramayu sebagai penghasil biji padi[11].
Di abad ke-1, sampai abad ke-6 atau tahun 671 masehi, penduduk Tatar Sunda termasuk di Indramayu memiliki beragama bahasa, selain bahasa Sunda kuno, bahasa internasional dari India, Cina dan lainnya, maka di daerah ini mulai membentuk kelompok berdasarkan bahasa asal-usul daerah asalnya. Seperti Bahasa Ngapak yang digunakan oleh masyarakat jawa lama[12] yang meliputi Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi termasuk juga penggunaan bahasa jawa ngapak pada wilayah tersebut[13].
Berdasarkan catatan sejarawan Belanda Van der Meulen, telah berdiri Kerajaan Galuh Purba yang bertahan hingga abad ke-6 M dengan wilayah kekuasaan yang meliputi daerah Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Kedu, Kulonprogo dan Purwodadi.
Berdasarkan prasasti Bogor, pamor kerajaan Galuh Purba sempat mengalami penurunan saat Dynasti Syilendra, di Jawa Tengah, mulai berkembang. Pusat kota Kerajaan Galuh Purba sempat dipindah ke Kawali (dekat Garut).
Di sini, kerajaan itu mengganti namanya menjadi Kerajaan Galuh Kawali. Inilah zaman kemunduran Kerajaan Galuh Purba. Pada saat itu, di wilayah timur berkembang Kerajaan Kalingga yang konon merupakan kelanjutan dari Kerajaan Galuh Kalingga, sebuah Kerajaan di wilayah Galuh Purba. Di barat Pulau Jawa berdiri Kerajaan Tarumanegara yang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Salakanegara, maka ketika Purnawarman menjadi Raja Tarumanegara, kerajaan Galuh Kawali berada di bawah Kerajaan Tarumanegara.
Masa kejayaan Kerajaan Galuh Purba mulai beranjak naik, saat Tarumanegara diperintah oleh Raja Candrawarman. Saat itu, kerajaan bawahan Tarumanegara mendapatkan kekuasaannya kembali, termasuk Galuh Kawali. Pada masa Tarumanegara, Pemerintahan Raja Tarusbawa Wretikandayun, Raja Galuh Kawali memisahkan diri (merdeka) dari Tarumanegara dan mendapat dukungan dari Kerajaan Kalingga.
Lalu kerajaan ini mengubah kembali namanya menjadi Kerajaan Galuh, dengan pusat pemerintahan di Banjar Pataruman.
Jejak Kerajaan Galuh ini bisa dilihat dari kajian bahasa E.M. Uhlenbeck tahun 1964, dalam bukunya: “A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura” yang menyatakan, bahasa keturunan Galuh Purba masuk ke dalam rumpun basa Jawa bagian kulon atau Bahasa Jawa Ngapak-ngapak (atau Banyumasan).
Kerajaan Sriwijaya
Berawal dari Kerajaan Sriwijaya tahun 671 sampai tahun 1274 berkuasa di Sumatera[14]. Di Indramayu konon terdapat peninggalan yang diperkirakan dipengaruhi Kerajaan Sriwijaya karena berupa candi buddha[15][16] seperti halnya Candi Borobudur di Jawa tengah. Tapi di Indramayu tidak dipelihara dalam waktu seribuan tahun. Karena telah masuknya Peradaban Islam awal yang kuat ke wilayah barat Pulau Jawa ini
Kerajaan Tarumanagara
Pada abad 4 hingga 5 masehi wilayah Indramayu dikenal sebagai Kerajaan Manukrawa. Tersebut sebagai bawahan kerajaan Tarumanagara. Dalam naskah Sunda Kuno (NSK), menurut Undang A Darsa, Manukrawa adalah sebuah Mandala. Kemandalaan adalah kata benda untuk Mandala yang berarti tempat suci sekaligus kawasan perdikan yang memiliki kewenangan khusus di bidang keagamaan. Sebagian masyarakat di tatar Sunda menyamakan Mandala dengan Kabuyutan.
Mandala Manukrawa termasuk dalam daftar Kabuyutan atau Kemandalaan di Tatar Pasundan.
Mandala Manukrawa adalah 1 dari 73 Mandala yang tercantum dalam naskah Sunda Kuno. Selain itu Mandala Manukrawa juga disebut sebagai Kerajaan Manukrawa dan sevagai bawahan Kerajaan Tarumanegara. Manukrawa adalah 1 dari 48 kerajaan bawahan Tarumanagara.
Lokasi Kerajaan Manuk Rawa
Lokasi kerajaan Manukrawa dekat dengan sungai muara sungai Cimanuk di daerah Indramayu sekarang. Dalam Naskah wangsakerta dari Keraton Cirebon, Kerajaan manukrawa tersebut muncul sejaman dengan kerajaan Tarumanegara.
Dalam Kitab Negara Kertabumi Kerajaan Manukwara dipimpin oleh seorang Raja bernama Bongalpati Kerajaan tersebut terletak di tepian muara sungai Cimanuk, dan musnah akibat banjir bandang.
Dalam catatan sejarah, pada tahun 413, Raja Tarumanagara Purnawarman memperkokoh parit dan memperindah aliran Sungai Sarasah / Manukrawa yang terletak di Kerajaan Manukrawa (kerajaan bawahan Tarumanagara). Proyek ini dikerjakan selama kurang lebih 2 bulan, antara Oktober/November sampai Desember/Januari.
Pada saat upacara selamatan tanda selesainya pekerjaan besar ini, Purnawarman berhalangan hadir dan mengutus Mahamantri Cakrawarman sebagai perwakilan. Sang Mahamantri bersama pembesar kerajaan lainnya ikut hadir dalam upacara tersebut dengan mengendarai perahu besar, dan kali ini Purnawarman menghadiahkan 400 ekor sapi, 80 ekor kerbau, pakaian bagi para brahmana, 10 ekor kuda, 1 buah bendera Tarumanagara, 1 buah patung Wisnu, dan bahan makanan.
Bumi Sagandu Indramayu
Di Indramayu juga terdapat kelompok adat Bumi Sagandu. Yang memiliki akar sejarah panjang hubungan kekerabatan antara Salakanagara, Tarumanagara, Kendan, Sunda dengan Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
Kerajaan Singhasari
Pada tahun 1274, Kerajaan Singhasari memperluas wilayah kekuasannya pada era Kertanagara meliputi Bali dan Jawa Tengah- Timur, sebagian Kalimantan, bahkan sebagian Sumatra hingga kawasan Selat Malaka[17][18]. Sementara dengan Kerajaan Sunda melakukan hubungan kekerabatan yang erat bukan penguasaan. Apalagi pada masa Mataram Sanjaya, wilayah Singasari adalah daerah taklukan Sanjaya dari Kerajaan Sunda - Galuh abad 7 masehi hingga 17 masehi.
Kerajaan Singhasari mulai digantikan oleh Kerajaan Majapahit, yang mana wilayah kekuasaan Singhasari di nusantara menjadi kekuasaan Majapahit abad ke 13 masehi. Pada tahun 1351 masehi Prabu Hayam Wuruk membagi wilayah kekuasaannya menjadi 11 administratif kerajaan bawahan atau vasal yakni:[19].
- Kerajaan Daha.
- Kerajaan Wengker.
- Kerajaan Matahun.
- Kerajaan Lasem.
- Kerajaan Pajang.
- Kerajaan Paguhan.
- Kerajaan Kahuripan.
- Kerajaan Singhasari.
- Kerajaan Mataram.
- Kerajaan Wirabhumi.
- Kerajaan Pawanukan.
Raja Pertama Majapahit adalah Keturunan Sunda dan Singasari yaitu Raden Wijaya seperti yang tertulis dalam Babad Tanah Jawi.
Kadewatan Pawanukan Kerajaan Pawanukan | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
1351-1470 | |||||||
Status | Kerajaan bawahan | ||||||
Bahasa resmi | Bahasa Jawa | ||||||
Kelompok etnik | suku jawa tionghoa | ||||||
Agama | Buddha Khonghucu | ||||||
Demonim | Indramayu | ||||||
Maharaja | |||||||
• 1351-1367 | Putri Swardhani | ||||||
• 1367-1394 | Raden Bagus Gentong | ||||||
• 1394-1424 | Raden Darma Kusuma | ||||||
• 1424-1447 | Raden Aria Damar | ||||||
• 1447-1470 | Dyah Sudharmini (Raja Kembang Jenar). | ||||||
Sejarah | |||||||
• Didirikan | 1351 | ||||||
• Dibubarkan | 1470 | ||||||
| |||||||
Raja pertama di Kerajaan Pawanukan atau Manukan adalah Putri Swardhani sebagai Cakraningrat[20] yang menjabat sejak tahun 1351 sampai tahun 1367[21], setelahnya tahun 1367 sampai tahun 1394 kerajaan ini pimpimpin oleh Raden Bagus Gentong sebagai Bhatara Pawanukan II[22].
Pada tahun 1392 sampai tahun 1424, Raden Darmakusuma juga sempat menjadi Raja Manukan III dan diganti oleh Raden Aria Damar yang menjabat dari tahun 1424 sampai 1447, setelahnya kepemerintahan Pawanukan dikelompokan dengan Kerajaan Kembang Jenar dan Dermayu (nama lama Indramayu) dibentuk atau didirikan setelah Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan[23][24][25]. Beberapa peninggalan Kerajaan di Indramayu masih dapat di temukan[26][27].
Karesidenan
Pada tahun 1817 pada kepemimpinan Thomas Raffles membentuk Karesidenan di Pulau Jawa dan awal mula nama Dermayu berubah menjadi Indramajoe (Indramayu)[28].
Catatan sejarah
Berdirinya pedukuhan Darma Ayu memang tidak jelas tanggal dan tahunnya namun berdasarkan fakta sejarah Tim Peneliti menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada jum’at kliwon, 1 sura 1449 atau 1 Muharam 934 H yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1527.[29][30]
Babad Dermayu
Menurut Babad Dermayu datang ke daerah Indramayu adalah Raden Aria Wiralodra yang berasal dari Bagelen Jawa Tengah putra Tumenggung Gagak Singalodra yang gemar melatih diri olah kanuragan, tirakat dan bertapa.
Suatu saat Raden Wiralodra tapa brata dan semedi di perbukitan melaya di kaki gunung sumbing, setelah melampau masa tiga tahun ia mendapat wangsit “Hai wiralodra apabila engkau ingin berbahagia berketurunan di kemudian hari carilah lembah Sungai Cimanuk. Manakala telah tiba disana berhentilah dan tebanglah belukar secukupnya untuk mendirikan pedukuhan dan menetaplah disana, kelak tempat itu akan menjadi subur makmur serta tujuh turunanmu akan memerintan disana”.
Dengan didampingi Ki Tinggil dan berbekal senjata Cakra Undaksana berangkatlah mereka ke arah barat untuk mencari Sungai Cimanuk. Suatu senja sampailah mereka di sebuah sungai, Wiralodra mengira sungai itu adalah Cimanuk maka bermalamlah disitu dan ketika pagi hari bangun mereka melihat ada orang tua yang menegur dan menanyakan tujuan mereka. Wiralodra menjelaskan apa maksud dan tujuan perjalanan mereka, tetapi orang tua itu berkata bahwa sungai tersebut bukan cimanuk karna cimanuk telah terlewat dan mereka harus balik lagi ke arah timur laut. Setelah barkata demikian orang tarsebut lenyap dan orang tua itu menurut riwayat adalah Ki Buyut Sidum, Kidang Penanjung dari Pajajaran. Ki Sidum adalah seorang panakawan tumenggung Sri Baduga yang hidup antara tahun 1474 – 1513.
Kemudian Raden Wiralodra dan Ki Tinggil melanjutkan perjalanan menuju timur laut dan setelah berhari-hari berjalan mereka melihat sungai besar, Wiralodra berharap sungai tersebut adalah Cimanuk , tiba-tiba dia melihat kebun yang indah namun pemilik kebun tersebut sangat congkak hingga Wiralodra tak kuasa mengendalikan emosinya ketika ia hendak membanting pemilik kebun itu, orang itu lenyap hanya ada suara “Hai cucuku Wiralodra ketahuilah bahwa hamba adalah Ki Sidum dan sungai ini adalah Sungai Cipunegara, sekarang teruskanlah perjalanan kearah timur, manakala menjumpai seekor Kijang bermata berlian ikutilah dimana Kijang itu lenyap maka itulah sungai Cimanuk yang tuan cari.”. Ki Sidum adalah seorang ulama besar dari Ligung Majalengka yang pulang berkelana dari Banten untuk pulang ke Ligung Majalengka kemudian bertemu dengan Raden Arya Wiralodra. dan Makom dan petilasannya ada di Desa Bantarwaru Kecamatan Ligung Kabupaten Majalengka.
Saat mereka melanjutkan perjalanan bertemulah dengan seorang wanita bernama Dewi Larawana yang memaksa untuk di persunting Wiralodra namun Wiralodra menolaknya hingga membuat gadis itu marah dan menyerangnya. Wiralodra mengelurkan Cakranya kearah Larawana, gadis itupun lenyap barsamaan dengan munculnya seekor Kijang. Wiralodra segera mengejar Kijang itu yang lari kearah timur, ketika Kijang itu lenyap tampaklah sebuah sungai besar. Karena kelelahan Wiralidra tertidur dan bermimpi bertemu Ki Sidum , dalam mimpinya itu Ki Sidum berkata bahwa inilah hutan Cimanuk yang kelak akan menjadi tempat bermukim.
Setelah ada kepastian lewat mimpinya Wiralodra dan Ki Tinggil membuat gubug dan membuka ladang, mereka menetap di sebelah barat ujung sungai Cimanuk. Pedukuhan Cimanuk makin hari makin banyak penghuninya. diantaranya seorang wanita cantik paripurna bernama Nyi Endang Darma. Karena kemahiran Nyi Endang dalam ilmu kanuragan telah mengundang Pangeran Guru dari Palembang yang datang ke lembah Cimanuk bersama 24 muridnya untuk menantang Nyi Endang Darma namun semua tewas dan dikuburkan di suatu tempat yang sekarang terkenal dengan “Makam Selawe”.
Untuk menyaksikan langsung kehebatan Nyi Endang Darma, Raden Wiralodra mengajak adu kesaktian dengan Nyi Endang Darma namun Nyi Endang Darma kewalahan menghadapi serangan Wiralodra maka dia meloncat terjun ke dalam Sungai Cimanuk dan mengakui kekalahannya. Wiralodra mengajak pulang Nyi Endang Darma untuk bersama-sama melanjutkan pembangunan pedukuhan namun Nyi Endang Darma tidak mau dan hanya berpesan, “Jika kelak tuan hendak memberi nama pedukuhan ini maka namakanlah dengan nama hamba, kiranya permohonan hamba ini tidak berlebihan karena hamba ikut andil dalam usaha membangun daerah ini”.
Untuk mengenang jasa orang yang telah ikut membangun pedukuhannya maka pedukuhan itu dinamakan “Darma Ayu” yang di kemudian hari menjadi “Indramayu”.[29]
Kependudukan Indramayu
Mayoritas penduduk Indramayu adalah orang Sunda, orang jawa, dengan ethnis tionghoa dermayu yang populasinya ikut berkembang dengan signifikan[31].
Beberapa ethnis lainnya juga dapat ditemukan di daerah ini yaitu orang bugis yang sudah ada sejak lama [32], kemudian orang melayu dan betawi migrasi dari Bekasi, orang sunda migrasi dari tegalkalong Sumedang [33], Tasikmalaya dan Bandung sejak jaman pengungsian [34][35], orang madura yang bermigrasi sebagai pembuka usaha kecil, selain itu dari Cirebon, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Minangkabau.
Sebagai daerah di pesisir utara, Indramayu dikenal sebagai daerah agraria dan maritim melalui potensi alam, selain itu pelabuhan dan jalan raya pantura menjadi pusat perekonomian sebagai daerah pasar yang ramai menjual beberapa komoditas, maka dengan demikian berbagai penduduk dari luar daerah melakukan perpindahan penduduk ke daerah ini.
Pada penduduk Indramayu memiliki keagamaan mayoritas Islam, beberapa agama minoritas yaitu Kristen, Kejawen, Hindu, dan Khonghucu.
Sumber lain
Cerita pedukuhan Darma Ayu adalah salah satu catatan sejarah daerah Indramayu namun ada beberapa catatan lainnya yang juga berkaitan dengan proses pertumbuhan daerah Indramayu antara lain:
- Berita yang bersumber pada Babad Cirebon bahwa seorang saudagar China beragama islam bernama Ki Dampu Awang datang ke Cirebon pada tahun 1415. Ki Dampu Awang sampai di desa Junti dan hendak melamar Nyi Gedeng Junti namun ditolak oleh Ki Gedeng Junti, disini dapat disimpulkan bahwa Desa Junti sudah ada sejak tahun 1415.[36]
- Catatan dalam buku Purwaka Caruban Nagari mengenai adanya Desa Babadan,dimana pada tahun 1417 M Sunan Gunung Jati pernah datang ke Desa Babadan untuk mengislamkan Ki Gede Babadan bahkan menikah dengan puteri Ki Gede Babadan.[37]
- Di tengah kota Indramayu ada sebuah desa yang bernama Desa Lemahabang, nama itu ada kaitannya dengan nama salah seorang Wali Songo Syeikh Siti Jenar yang dikenal dengan nama Syeikh Lemah Abang, mungkin dimasa hidupnya (1450 – 1406) Syeikh Lemah Abang pernah tinggal di desa tersebut atau setidak-tidaknya dikunjungi olehnya untuk mengajarkan agama islam.
Catatan Teori Tome Pires
Bangsa Portugal pada tahun 1511 saat itu berada di Malaka antara 1513-1515, penguasa Portugal mengirimkan Tome Pires ke nusantara. Dalam catatan harian Tom Pires menjelaskan tentang kedatanganya ke beberapa pelabuhan yang ada dipulau jawa [38].
Pada tahun 1513-1515, Tome Pires mendatangi beberapa Pelabuhan dipesisir utara pulau jawa, yakni Batavia, Daramayo dan Damma, bahwa daerah itu mempunyai Pelabuhan serta memiliki Jalur rempah[39].
Tome Pires menjelaskan pelabuhan cimanucaon adalah perbatasan wilayah kerajaan dermayu dan kerajaan sunda (pajajaran), yang dimaksud Tome Pires tentang perbatasa kerajaan di cimanucaon adalah sungai Cipunagara Pamanukan di Subang. Tome Pires sangat jelas mencatat nama pelabuhan Daramayo (Dermayu) di Indramayu.
Melihat bukti-bukti atau sumber di atas diperkirakan pada akhir abad IV M daerah Indramayu sekarang atau sebagian dari padanya sudah dihuni manusia.[30]
Referensi
- ^ Gray, RD; Drummond, AJ; Greenhill, SJ (2009). "Language Phylogenies Reveal Expansion Pulses and Pauses in Pacific Settlement". Science. 323 (5913): 479–483. doi:10.1126/science.1166858. PMID 19164742.
- ^ Diamond, JM (2000). "Taiwan's gift to the world". Nature. 403 (6771): 709–710. doi:10.1038/35001685. PMID 10693781.
- ^ "mengetahui asal usul lahirnya suku jawa". Diakses tanggal 2020-4-7.
- ^ "Pemetaan Genetika Manusia". Archived from the original on 2016-02-23. Diakses tanggal 2016-2-23.
- ^ "Mongoloid Indramayu". Diakses tanggal 2019-10-17.
- ^ "Austronesia Indramayu". Diakses tanggal 2019-10-16.
- ^ "suku jawa di Indonesia". Diakses tanggal 2021.
- ^ "mengetahui asal usul lahirnya suku jawa". Diakses tanggal 2020-4-7.
- ^ a b Raffles, Thomas E.: "The History of Java". Oxford University Press, 1965
- ^ Malay Words of Sanskrit Origin
- ^ "Pertanian Indramayu". Diakses tanggal 2022-8-14.
- ^ "Jawa Dwipa". Diakses tanggal 2022-3-28.
- ^ "Bahasa Jawa Ngapak". Diakses tanggal 2021-11-24.
- ^ "Wilayah Kekuasaan Sriwijaya". Diakses tanggal 2021-4-9.
- ^ "Arkeologi Universitas Indonesia". Diakses tanggal 2022-5-16.
- ^ "Candi Sambimaya Indramayu". Diakses tanggal 2020-12-8.
- ^ "Kekuasaan Singhasari". Diakses tanggal 2021.
- ^ "Kerajaan Singhasari". Diakses tanggal 2021-5-21.
- ^ "Kerajaan vasal Majapahit.net". Diakses tanggal 2020-2-12.
- ^ "Cakraningrat IV". Diakses tanggal 2016-10-16.
- ^ "Kerajaan-kerajaan vasal Majapahit". Diakses tanggal 2022-23-8.
- ^ "Legenda Muntur Losarang". Diakses tanggal 2016-12-9.
- ^ "Naskah Kuno Indramayu". Diakses tanggal 2015.
- ^ "Sejarah Dermayu". Diakses tanggal 2012-11-15.
- ^ "Sebelum Indramayu Berdiri". Diakses tanggal 1983.
- ^ "peninggalan Majapahit di Indramayu". Diakses tanggal 2018-6-11.
- ^ "Peninggalan Majapahit di Indramayu". Diakses tanggal 2022.
- ^ "Peta 38 Karesidenan di Pulau Jawa".
- ^ a b "Endang Darma Ayu Dan Ki Tinggil Pendiri Indramayu". asumsirakyat.id. Sabtu, 26 Maret 2022. Diakses tanggal 2 Januari 2023.
- ^ a b "Sejarah Kabupaten Indramayu". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-20. Diakses tanggal 2020-07-20.
- ^ "Kedatangan Tionghoa". Diakses tanggal 2021-2-12.
- ^ "Suku Bugis Indramayu".
- ^ "migrasi Tegalkalong". Diakses tanggal 2021-4-26.
- ^ "pengungsian suku sunda". Diakses tanggal 2022-1-3.
- ^ "Perjanjian Renville dan migrasi militer". Diakses tanggal 2017-10-5.
- ^ Babad Cirebon (Lihat #Daftar pustaka)
- ^ "Cerita Purwaka Caruban Nagari". Cirebon Me. 2011-12-07. Diakses tanggal 2015-01-16.
- ^ "Teori Penyebaran Islam Menurut Tome Pires". Kompas. 10 Juni 2020. Diakses tanggal 2 Januari 2022.
- ^ "Jalur Rempah oleh Tome Pires".
Daftar pustaka
- Buku Sejarah Indramayu (cetakan ke 2) terbitan pemerintah Kabupaten DT II Indramayu
- Tidak diketahui. Babad Dermayu. 170 halaman.
- Tidak diketahui. Babad Cirebon. No. barcode: 00001940623. No. Panggil: BR 107. 161 hlm. [s.n] : [s.l], [s.a].