Perkawinan anak

pernikahan di bawah umur, masih berusia di bawah 18 tahun

Pernikahan anak dan pertunangan anak adalah kebiasaan dimana anak-anak di bawah umur, sebelum masa pubertas dinikahkan atau ditunangkan dengan orang lain yang lebih tua atau dengan anak di bawah umur lainnya. Sebagian besar pernikahan anak terjadi pada anak perempuan dengan laki-laki dewasa.[1] Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih di dalam kandungan.[2] Anak-anak secara otomatis tidak memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuan sehingga pernikahan anak dianggap menyalahi aturan pernikahan yang mengharuskan persetujuan secara sadar dari kedua belah pihak. Wilayah dengan prevalensi pernikahan anak tertinggi adalah Afrika Barat dan Afrika Sub-Sahara, sementara jumlah kasus pernikahan anak terbesar ada di Asia Selatan.[3]

Infografik Perkawinan Anak di Indonesia tahun 2020

Pernikahan anak biasanya identik dengan perjodohan yang dilakukan oleh orang tua dengan alasan ekonomi. Menurut data, anak-anak perempuan dari keluarga miskin berisiko dua kali lebih besar terjerat dalam pernikahan anak.[4] Pandangan masyarakat yang mementingkan keperawanan perempuan dan menganggap perempuan memiliki masa reproduksi yang lebih pendek daripada laki-laki serta perempuan tidak mampu bekerja untuk mendapatkan penghasilan menjadikan kasus pernikahan anak di berbagai daerah sulit hilang.

Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seksual yang komprehensif dapat membantu mencegah pernikahan anak.[5] Mengurangi pernikahan anak di negara-negara berkembang membutuhkan pendidikan dan penguatan masyarakat di daerah pedesaan. Anak perempuan dapat membuat keputusan untuk menikah dan hidup lebih baik dengan pendidikan. Program pembangunan di daerah pedesaan seperti perawatan air, kesehatan, dan sanitasi dapat membantu finansial keluarga dan menekan angka pernikahan anak, sehingga pendidikan dan pembangunan pedesaan dapat memutus siklus kemiskinan dan pernikahan anak.[6]

Dampak dari pernikahan anak

Dampak kesehatan

Pernikahan anak melanggar hak-hak anak dan memiliki konsekuensi jangka panjang bagi anak perempuan dan anak laki-laki. Bagi anak perempuan, selain masalah kesehatan mental, kurangnya akses ke pendidikan, dan peluang hamil, serta dampak kesehatan yang merugikan akibat dari kehamilan dini dan persalinan.[1][7] Salah satu penyebab kematian paling umum bagi anak perempuan usia 15 hingga 19 tahun di negara berkembang adalah kehamilan dan persalinan, karena secara medis alat reproduksi mereka belum cukup matang untuk melakukan fungsinya.[8][9] Anak perempuan berisiko mendapatkan komplikasi terkait dengan persalinan yang jauh lebih tinggi, seperti fistula obstetri, infeksi, pendarahan hebat, anemia dan eklampsia. Menurut penelitian dari Kanada dan Indonesia, usia rahim prima secara fisik berada pada usia di atas 20 tahun dan kurang dari 35 tahun.[9] Tidak hanya berbahaya bagi ibu, bayi yang dilahirkan pun tidak luput dari risiko. Selain risiko kematian pada bayi dua kali lipat sebelum memasuki usia satu tahun. Ibu berisiko melahirkan bayi secara premature, stunting (kekurangan asupan gizi), pertumbuhan janin terhambat, bayi berat lahir rendah (BBLR), stillbirth (bayi lahir mati), kematian perinatal (kematian bayi tujuh hari setelah lahir), gangguan sistem saraf, dan cacat lahir.[9][10]

Adapun dampak pernikahan bagi anak laki-laki adalah belum siap untuk bertanggung jawab, menafkahi, menjadi ayah sejak dini, kurangnya akses ke pendidikan, dan peluang karier.[7] Secara global, dampak pernikahan anak di kalangan anak laki-laki hanya seperenam di antara anak perempuan.[11] Penelitian tentang dampak pernikahan pada anak laki-laki di bawah umur sangat sedikit, para peneliti berpendapat kemungkinan karena pernikahan anak yang melibatkan anak laki-laki kurang umum dan mereka jarang menghadapi dampak kesehatan yang merugikan sebagai akibat dari kehamilan dini dan persalinan.[7] Data per September 2014, 156 juta pria yang masih hidup menikah sebagai anak laki-laki di bawah umur.[12]

UNICEF mengungkapkan bahwa diperkirakan 115 juta laki-laki di seluruh dunia menikah sebagai anak-anak. Dari jumlah tersebut, 1 dari 5, atau 23 juta, anak laki-laki menikah sebelum usia 15 tahun. Jumlah total pengantin anak-anak adalah 765 juta. Anak perempuan tetap terpengaruh secara tidak proporsional, dengan 1 dari 5 wanita muda berusia 20 hingga 24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun, dibandingkan dengan 1 dari 30 pria muda.[13]

Dampak psikiatri

Secara psikologis, pernikahan anak yang belum memasuki usia 18 tahun akan menimbulkan stres hingga gangguan mental yang mencapai 41% seperti depresi, gangguan disosiatif, kecemasan, kecanduan, trauma psikologis bahkan yang lebih berat. Anak akan menjadi lebih pendiam, menarik diri dari pergaulan atau mudah melampiaskan kemarahan karena sulit mengendalikan emosi. Selain itu anak banyak terlantar, perilaku seksual menyimpang, perselingkuhan karena kontrol diri masih lemah.[10]

Pernikahan pada usia anak jelas lebih banyak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.[10]

Batas usia pernikahan yang diizinkan oleh Undang-Undang adalah 19 tahun, usia ini umumnya telah menginjak usia dewasa muda, karena batasan usia anak adalah 0-18 tahun. Pada usia 19 tahun, telah terbentuk kematangan fisik dan kepribadian seseorang. Meskipun pada usia tersebut, tidak selalu terjadi kesesuaian perkembangan dan kematangan fisik dan mental seseorang. Namun secara umum tingkat kedewasaan dan kematangan mental sudah stabil.[10]

Dampak pendidikan

Menurut penelitian, lembaga pendidikan di Indonesia belum memfasilitasi hak anak yang menikah muda, baik karena paksaan orang tua maupun akibat pergaulan berisiko. Sekolah menolak menerima mereka kembali untuk melanjutkan pendidikannya. Sebab jika diberi ruang untuk melanjutkan sekolah, akan memberi dampak buruk terhadap siswa lain. Tidak jarang juga anak yang sudah menikah akan mendapatkan bullying dari teman-temannya, khususnya pernikahan yang disebabkan kecelakaan. Maka pilihannya, terpaksa harus putus sekolah. Ketika terjadi putus sekolah maka akan semakin banyak generasi muda yang tidak berpendidikan, dan itu sangat berbahaya bagi kehidupan keluarganya dan juga bangsa.[10]

Dampak ekonomi

Siklus kemiskinan baru akan muncul pada anak yang menikah usia 15–16 tahun karena belum mapan dan tidak memiliki pekerjaan yang layak. Kerap terjadi pernikahan anak karena desakan keluarga yang berada dalam jerat kemiskinan. Tidak sedikit anak yang sudah menikah masih menjadi tanggungan keluarga, khususnya orang tua dari pihak laki-laki. Kondisi ini akan berlangsung secara repetitif turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga kemiskinan struktural akan terbentuk. Selain itu, seseorang yang menikah pada usia sangat muda, cenderung memiliki anak yang lebih banyak. Karena tidak memiliki pendidikan yang memadai dan keterbatasan keterampilan, mereka pun tidak dapat bersaing untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak.[10]

Dampak sosial

Pernikahan anak juga berdampak pada potensi perceraian dan perselingkuhan di kalangan pasangan muda yang baru menikah. Hal ini dikarenakan emosi yang masih belum stabil sehingga mudah terjadi pertengkaran, bahkan terhadap masalah kecil sekalipun. Adanya pertengkaran terkadang juga menyebabkan timbulnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik secara fisik maupun psikis. Selain itu, pernikahan anak yang disebabkan kehamilan yang tidak diinginkan juga merupakan masalah tersendiri. Mereka harus diasingkan dari lingkungannya, lalu dinikahkan, dan akhirnya terpaksa melahirkan. Dalam hal ini, mereka menjadi kurang diterima dan di diskriminasi, baik oleh keluarga sendiri maupun lingkungan sosialnya.[10]

Referensi

  1. ^ a b Parsons, Jennifer; Edmeades, Jeffrey; Kes, Aslihan; Petroni, Suzanne; Sexton, Maggie; Wodon, Quentin (2015-07-03). "Economic Impacts of Child Marriage: A Review of the Literature". The Review of Faith & International Affairs. 13 (3): 12–22. doi:10.1080/15570274.2015.1075757. ISSN 1557-0274. 
  2. ^ Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. [www.depkes.go.id "InfoDATIN Kondisi Pencapaian Program Kesehatan Anak Indonesia"] Periksa nilai |url= (bantuan). 
  3. ^ International Center for Research on Women (ICRW). "Child Marriage Around the World". 
  4. ^ International Center for Research on Women (ICRW). "Poverty and Child Marriage". 
  5. ^ International technical guidance on sexuality education : an evidence-informed approach. Unesco (edisi ke-2nd revised ed). Paris: UNESCO. 2018. ISBN 978-92-3-100259-5. OCLC 1371618774. 
  6. ^ Subscriber, SSRN (2011). "Ssrn Demo Paper". SSRN Electronic Journal. doi:10.2139/ssrn.1954661. ISSN 1556-5068. 
  7. ^ a b c Gastón, Colleen Murray; Misunas, Christina; Cappa, Claudia (2019-07-03). "Child marriage among boys: a global overview of available data". Vulnerable Children and Youth Studies (dalam bahasa Inggris). 14 (3): 219–228. doi:10.1080/17450128.2019.1566584. ISSN 1745-0128. 
  8. ^ Ludden, Jennifer (2013-12-01). "Five Things You May Not Know About Child Marriage". Diakses tanggal 2023-03-25. 
  9. ^ a b c "Dampak Buruk Perkawinan Anak | Indonesia Baik". indonesiabaik.id. Diakses tanggal 2023-03-25. 
  10. ^ a b c d e f g UNICHEF-Indonesia (2020). Manajemen Kebersihan Menstruasi dan Pencegahan Perkawinan Anak (PDF). Jakarta Selatan: Pimpinan Pusat Muslimat NU. 
  11. ^ "Child marriage | UNICEF". www.unicef.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-03-25. 
  12. ^ Strochlic, Nina (2014-09-18). "The Sad Hidden Plight of Child Grooms". The Daily Beast (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-03-25. 
  13. ^ "115 million boys and men around the world married as children - UNICEF". www.unicef.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-03-25. 

Pranala luar

Kampanye melawan pernikahan anak: http://childmarriage.hpage.com Diarsipkan 2016-03-04 di Wayback Machine.