Bahasa Kampar

bagian dari rumpun bahasa Austronesia

Bahasa Kampar[2] atau Melayu Kampar adalah sebuah ragam bahasa Melayik yang dituturkan oleh penduduk Kampar di Kabupaten Kampar, Riau. Status kebahasaan Kampar masih diperdebatkan, terkadang bahasa ini dianggap sebagai dialek bahasa Melayu atau Minangkabau.[3][4][5] Namun, orang Kampar lebih suka menganggapnya sebagai bagian dari bahasa Melayu Riau dan dalam kesehariannya, penutur bahasa ini menyebutnya dengan Bahasa Ocu.[6][2]

Bahasa Kampar
Dituturkan di
Wilayah
  • Riau
  • EtnisKampar
    Penutur
      • Kampar
    SumberBalai Bahasa Provinsi Riau[1]
    Status resmi
    Diakui sebagai
    bahasa minoritas di
    Diatur olehBadan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
    Kode bahasa
    ISO 639-3
     Portal Bahasa
    L • B • PW   
    Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

    Penggolongan bahasa

    Identitas bahasa

    Status kebahasaan Kampar masih diperdebatkan, terkadang bahasa ini dianggap sebagai dialek dalam bahasa Melayu Riau ataupun bahasa Minangkabau.[7] Bahasa Kampar merupakan ragam dari rumpun Melayik, namun belum memiliki kode bahasa ataupun klasifikasi internal rumpun Melayik yang diterima secara luas. Wilayah sebar tutur bahasa Kampar yang terletak antara wilayah bahasa Minangkabau (barat) dan bahasa Melayu Riau (timur) menyebabkan bahasa ini memiliki hubungan saling mempengaruhi di antara kedua bahasa tersebut dan merupakan bagian kesinambungan dialek di Sumatra bagian tengah.[8] Bagi penutur bahasa ini, bahasa Kampar disebut sebagai bahasa Ocu[2] dan dianggap sebagai bagian dalam bahasa Melayu Riau yang berbeda dengan bahasa Minangkabau.[9] Dalam berbagai publikasi, bahasa ini akan dituliskan dengan beragam penamaan lainnya seperti bahasa Melayu dialek Kampar[10][11] atau bahasa Melayu Riau dialek Kampar.[12][13][14]

    Hamidy (2002) menyebutkan bahwa bahasa Melayu Riau terbagi dalam enam dialek. Perbedaan keenam dialek ini ada pada intonasi dan leksikal. Dialek-dialek yang ada dalam bahasa Melayu Riau antara lain:[15][16][17]

    • Dialek masyarakat terasing
    • Petalangan
    • Rokan
    • Rantau Kuantan
    • Kampar
    • dan dialek Riau Kepulauan.

    Pada tahun 2009, Tim Pemetaan Bahasa, Balai Bahasa Riau, menyebutkan bahwa bahasa Kampar (terbagi menjadi dialek Kampar dan Kampar Timur) merupakan dialek dalam bahasa Melayu Darat bersama dua dialek lainnya, yaitu dialek Kuantan dan Rokan.[18]

    Menurut Asmah Haji Omar (2015), bahasa Melayu di Sumatra terbagi dalam empat kluster dialek. Sementara itu bahasa Kampar termasuk dalam kluster dialek Sumatra Tengah bersama dengan Siak dan Minangkabau.[8] Menurutnya pula, di Sumatra dan seluruh Indonesia kata "bahasa" mengacu pada semua jenis kelompok kebahasaan baik itu bahasa, dialek, atau subdialek, seperti pada ungkapan bahasa Kampar, bahasa Jambi, bahasa Minang, dan lain-lain. Oleh karena itu, kesemuanya akan tetap disebut "bahasa" berdasarkan identifikasi suatu lokalitas atau wilayah.[8]

    Badan Bahasa Kemdikbud RI mengelompokkan dialek Kampar sebagai salah satu dialek dalam bahasa Minangkabau di Riau (bersama dialek Rokan, Basilam, Indragiri, dan Kuantan).[19] Persamaan dengan bahasa Minangkabau, khususnya dengan dialek Limapuluh Kota, membuat sebagian pakar menggolongkan bahasa Kampar sebagai salah satu dialek dalam bahasa Minangkabau.[7][3][20][21] Persentase perbedaan dialek Kampar dengan dialek Minangkabau lainnya berkisar 51%—69%.[22] Persentase itu menunjukkan hubungan bahasa Kampar dan bahasa Minangkabau ada pada tingkat beda dialek menurut teori Guiter maupun Lauder.[19]

    Sejarah

    Perkembangan bahasa Kampar tidak terlepas dari sejarah Kampar sejak zaman Sriwijaya. Dalam sejarah disebutkan bahwa saat itu wilayah Kampar sempat menjadi pusat pemerintahan dan peribadatan bagi Kerajaan Sriwijaya yang semula bernama Kerajaan Muara Takus. Kemudian didirikanlah Candi Muara Takus di tepi Sungai Kampar Kanan sebelum akhirnya berpindah ke Palembang. Kerajaan Sriwijaya saat itu menggunakan bahasa Melayu Kuna, sebagaimana yang tertulis pada Prasasti Kedukan Bukit. Hal ini didukung oleh catatan Tiongkok, bahwa Kerajaan Sriwijaya pada awalnya bernama Kerajaan Melayu dengan bahasa pengantarnya bahasa Melayu. Kemudian bahasa Melayu berkembang pesat seiring dengan ekspansi Kerajaan Sriwijaya.

    Setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh, mulailah pengaruh dari Kesultanan Malaka dan Kerajaan Pagaruyung di pedalaman Minangkabau. Berdasarkan Sulalatus Salatin, disebutkan adanya keterkaitan Kesultanan Melaka dengan Kampar. Kemudian juga disebutkan Sultan Melaka terakhir, Sultan Mahmud Shah setelah jatuhnya Bintan tahun 1526 ke tangan Portugis, melarikan diri ke Kampar, dua tahun berikutnya mangkat dan dimakamkan di Kampar.[23]

    Tomas Dias dalam ekspedisinya ke pedalaman Minangkabau tahun 1684, menyebutkan bahwa ia menelusuri Sungai Siak kemudian sampai pada suatu kawasan, pindah dan melanjutkan perjalanan darat menuju Sungai Kampar. Dalam perjalanan tersebut ia berjumpa dengan penguasa setempat dan meminta izin menuju Pagaruyung.[24] Saat itu, Kampar merupakan kawasan yang strategis untuk perniagaan, sehingga menjadi wilayah rantau bagi Luhak Limapuluh Kota di pedalaman dan dikenal sebagai Rantau Limo Koto. Komunikasi masyarakat antara wilayah Luhak dengan Rantau tersebut terus terjalin, sehingga masyarakat kedua daerah tersebut memiliki kemiripan dialek.

    Setelah itu, kekuasaan atas wilayah Kampar berpindah ke Kesultanan Siak Sri Inderapura. Kesultanan Siak menggunakan bahasa Melayu Tinggi sebagai bahasa pengantarnya sehingga terdapat hubungan saling mempengaruhi antara bahasa Melayu yang digunakan oleh kerajaan dengan dialek masyarakat Kampar.

    Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah Kampar dimasukkan dalam Provinsi Sumatra Tengah. Setelah Provinsi Sumatra Tengah dibubarkan, Kampar dimasukkan dalam wilayah Provinsi Riau tahun 1958.[25] Akibat perjalanan sejarah inilah, bahasa Kampar memiliki hubungan yang erat dengan bahasa Minangkabau di sebelah barat serta bahasa Melayu Riau di sebelah timur.

    Karya sastra

    Karya sastra tradisional berbahasa Kampar memiliki persamaan bentuk dengan karya sastra tradisional rumpun bahasa Melayu lainnya, khususnya dengan sastra tradisional Minangkabau, yaitu berbentuk prosa, cerita rakyat, dan hikayat. Penyampaiannya biasa dilakukan dalam bentuk cerita (kaba) atau dinyanyikan (dendang). Adapula karya sastra yang digunakan untuk prosesi adat Kampar, seperti pepatah-petitih dan persembahan (basiacuong atau basisombau). Pepatah-petitih dan persembahan banyak menggunakan kata-kata kiasan. Agar tidak kehilangan makna, karya sastra jenis ini tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Oleh karenanya sangat sedikit sekali orang yang menguasai karya sastra ini, yang hanya terbatas pada ninik mamak dan pemuka adat.[26]

    Basiacuong atau basisombau

    Basiacuong atau basisombau adalah tradisi lisan masyarakat Kampar yang berisi pikiran, ide, dan nasihat berupa pepatah-petitih dalam dialog antara dua ninik mamak. Basiacuong berasal dari kata Siacuong yang berarti sanjung menyanjung dari satu pihak ke pihak lainnya yang biasanya diwakili oleh ninik mamak suatu suku yang berdialog atau mereka yang karena kedudukannya diberi kesempatan bicara. Kata basiacuong juga berarti menyengaja suatu perbuatan. Adapun nama lain dari basiacuong adalah sisombau atau basisombau artinya sembah menyembah.[27]

    Basiacuong dilakukan dalam berbagai acara adat Kampar, seperti pertunangan, pernikahan, kenduri, khitanan, serta penobatan ninik mamak. Di dalamnya setiap maksud dan tujuan seorang ninik mamak disampaikan dalam wujud kiasan, pepatah, ataupun pantun.

    Berikut salah satu contoh dialog dalam basiacuong saat pihak laki-laki datang ke rumah perempuan yang akan dilamar:[27] Pertama kali diawali dari pihak laki-laki:

    Iko bosuo bonou bak andai-andai ughang, tuok.
    Sekarang benar bersua seperti andai-andainya orang, tuk (datuk).
    Copek tikam talampau logo, olun dudok lah maunju, olun togak koluh lah tibo pulo.
    Cepat tikam terlampau laga, belum duduk lah mengunjur, belum tegak keluh lah tiba pula.
    Condo kan baguluik-guluik nan bak kuciong naiok, dek apo tu kato datuok?
    Seperti tergesa-gesa umpama kucing akan naik, mengapa begitu menurut Datuk?
    Kojo nan bughuok, elok lah dipalambek-lambek, nan jan disolo dek nan buok.
    Kerja yang buruk, eloklah diperlambat-lambat, supaya jangan disulut oleh yang buruk.
    Kojo nan elok, elok lah dipacopek-copek, nak lai disolo dek nan elok.
    Kerja yang baik, eloklah dipercepat-cepat, supaya dapat disulut oleh yang baik.
    Itulah mako dek copek ajo datang ka datuok sabagai andai-andai ughang.
    Itulah makanya cepat saja datang ke datuk sebagai andai-andai orang (tempat orang-orang bertanya)
    Alah toghang condonyo aghi
    Sudah terang candanya hari
    Toghang puntuong dengan asok
    Terang puntung dengan asap
    Olah datang ghuponyo kami
    Sudah datang rupanya kami
    Datang nak baetong dengan datouk
    Datang ingin berhitung dengan datuk
    Itulah condo na ditutuik nyato, dimintak abih bokek datuok,
    Itulah canda yang ditutup nyata, diminta habis berkat datuk
    koknyo dapek izin jo bonau, koknyo tumbuo dikojo nak dikakok haknyo,
    Kalaulah iya dapat izin dengan benar, kalaulah tumbuh dikerja hendak dipegang haknya
    tibo di etongan nak dimulai, iyo sadetu kato disombahkan ka datuok.
    Tibo dihitungan hendak dimulai, iya sampai di situ kata disembahkan ke datuk
    Pihak perempuan sebagai pihak yang menanti menyahuti keinginan dari pihak laki-laki yang datang, yaitu:
    
    Sampai tuok?
    Sampai, Tuk? (Sudah, Tuk?)
    Pulang ka sisamo indak kan bajawek panjang, malahan imbau biaso basahuti,
    Pulang ke sesama tidak akan dijawab panjang, malahan himbau biasa disahuti
    tumbuoh dikato biaso ula bajawek, iyo dijawab juo kato datuok agak sapatah duo sabagai mauling kato datuok.
    Tumbuh dikata biasa berjawab, iya dijawab juga kata datuk agak sepatah dua sebagai pengulang kata datuk.
    Copek tikam talampau logo, logonyo datuok olun lai duduok la maunju, olun togak koluo lah tibo pulo.
    Cepat tikam terlampau laga, laganya datuk belum lagi duduk sudha mengunjur, belum tegak keluh lah tiba pula.
    Condo kan baguluik-guluik datuok datuok nan bak kuciong naiok.
    Seperti tergesa-gesa datuk, datuk yang bak kucing naik.
    Dek nak mamotong kojo nan bughuok, eloklah dipalambek-lambek, untuong-untuong tibo bayioknyo.
    Karena hendak memotong kerja yang buruk, eloklah diperlambat-lambat, untung-untung tiba baiknya
    Condo itu pulo nan dituntuik nyato dimintak abih ka sisamo,
    Seperti itu pula yang dituntut nyata diminta habis ke sesama
    koknyo dapek izin dengan bonau kok nyo tumbuoh dijalan jawuo kan ditawuik nak dighansu,
    Kalau iya dapat izin dengan benar kalau iya tumbuh di jalan jauh kan ditaut hendak diangsur
    kok nyo tibo dikojo nan kan di kakok tontu nak mamulai,
    Kalau iya tiba dikerjakan yang akan dipegang tentu ingin memulai,
    dek kato datuok manuju kasisamo soghang tontunyo lomak lawok nak dikunyah-kunyah,
    Oleh karena kata datuk menuju ke sesama sendiri tentunya enak lauk hendak dikunyah-kunyah
    elok kato nak dibaiyo patidokan, iyo mananti datuok sesaat sakatiko, lai nak dipaiyo-patidokan bagi nan patuik.
    Elok kata hendak di-iya tidak-kan, iya menanti datuk sesaat seketika, selagi hendak di-iya tidak-kan bagi yang patuik
    Iyo sadetu kato disombahkan ka datuok.
    Iya sampai situ kata disembahkan ke datuk.
    dan selanjutnya saling bergantian sisombau.
    

    Lihat pula

    Rujukan

    1. ^ "Balai Bahasa Provinsi Riau". Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 
    2. ^ a b c "Malam Puisi, Pj Bupati Kampar Deklarasikan Sehari Berbahasa Ocu". Pemerintah Kabupaten Kampar (dalam bahasa Inggris). 2022-10-07. Diakses tanggal 2023-11-05. 
    3. ^ a b Said, C., (1986), Struktur bahasa Minangkabau di Kabupaten Kampar, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Halaman: 2
    4. ^ Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI. Bahasa di Provinsi Riau. Pada: Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. 2017 [1] Diarsipkan 2018-08-12 di Wayback Machine.
    5. ^ Hamidy, U. U. 2003, Bahasa Melayu dan Kreativitas Sastra di Riau / U.U. Hamidy Unri Press kerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation Pekanbaru, ISBN 979-3297-33-6
    6. ^ "Kampar, antara Melayu dan Minangkabau - WACANA". www.wacana.co (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2018-07-03. [pranala nonaktif permanen]
    7. ^ a b Sari, Yunita. "Kekerabatan Bahasa Ocu dan Minangkabau Suatu Kajian Etnolinguistik". KOLITA 17: Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya Ketujuh Belas Tingkat Internasional (2019): 552–556 – via Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya, Jakarta. 
    8. ^ a b c Omar, Asmah Haji; Jaafar, Salinah; Mat, Siti Ruhaizah Che (2015). "Contact of Dialect Clusters: The Malay Peninsula and Sumatera". Open Journal of Modern Linguistics. 05 (05): 459–469. doi:10.4236/ojml.2015.55040. ISSN 2164-2818. 
    9. ^ "Kampar, antara Melayu dan Minangkabau - WACANA". www.wacana.co (dalam bahasa Indonesia). Diakses tanggal 2018-07-03. [pranala nonaktif permanen]Pemeliharaan CS1: Bahasa nan tidak diketahui (link)
    10. ^ Morelent, Yetty; Irawan, Bambang (2022-03-22). "The Influence of Euphemism and Dysphemism on Politeness in the Malay Dialect of Kampar". KnE Social Sciences (dalam bahasa Inggris): 234–245. doi:10.18502/kss.v7i6.10626. ISSN 2518-668X. 
    11. ^ Sinaga, Mangatur; Aibonotika, Arza; Permatasari, Silvia (2023). "Evidential Modality in Kampar Malay Dialect". SHS Web of Conferences (dalam bahasa Inggris). 173: 03001. doi:10.1051/shsconf/202317303001. ISSN 2261-2424. 
    12. ^ Rahayu, Sri; Sulaiman, Ermawati (2022-10-28). "Struktur Kalimat Bahasa Melayu Riau Dialek Kampar". Sajak: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Sastra, Bahasa, dan Pendidikan (dalam bahasa Inggris). 1 (3): 1–8. doi:10.25299/s.v1i3.8978. ISSN 2830-3741. 
    13. ^ Ramdari, Debby Putri (2022) (dalam bahasa en). Struktur Frasa Bahasa Melayu Riau Dialek Kampar Di Desa Danau Bingkuang Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar Provinsi Riau (Tesis). https://repository.uir.ac.id/14183/. Diakses pada 2023-11-05. 
    14. ^ Murni, Delita (2013-07-17). "Kontraksi dalam Bahasa Melayu Riau Dialek Kampar" (dalam bahasa Inggris). 
    15. ^ Hamidy, U. U. 2003, Bahasa Melayu dan Kreativitas Sastra di Riau / U.U. Hamidy Unri Press kerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation Pekanbaru, ISBN 979-3297-33-6
    16. ^ Dahlan S, Syair A, Manan A, et al., 1985. Pemetaan Bahasa Daerah Riau dan Jambi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta.[2] Diarsipkan 2021-01-31 di Wayback Machine.
    17. ^ Danardana A S, 2010. Persebaran dan Kekerabatan Bahasa-Bahasa di Prov Riau dan Kep Riau . Balai Bahasa Provinsi Riau. ISBN 978-979-1104-46-3 [3] Diarsipkan 2021-01-30 di Wayback Machine.
    18. ^ Balai Bahasa Provinsi Riau, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2010). Persebaran dan Kekerabatan Bahasa-Bahasa di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Pekanbaru: Balai Bahasa Provinsi Riau. hlm. 76––77. ISBN 978-979-1104-46-3. 
    19. ^ a b Sugono, Dendy, Sasangka, S.S.T. Wisnu, Rivay, Ovi Soviaty, et al., 2017. Bahasa dan peta bahasa di Indonesia. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. ISBN 9786024373762 [4] Diarsipkan 2021-01-31 di Wayback Machine.
    20. ^ Noviatri, Reniwati. "The Comparison of Affixes in Minangkabau Language Between the Region of Origin and Migration Region." INCOLWIS 2019: Proceedings of the 2nd International Conference on Local Wisdom, INCOLWIS 2019, August 29-30, 2019, Padang, West Sumatera, Indonesia. European Alliance for Innovation, 2019.
    21. ^ Abidin, Zainal (2012-04-22). "BUNYI /O/ DIALEK KAMPAR BERASAL DARI / / DIALEK RIAU KEPULAUAN: BENARKAH?". Madah: Jurnal Bahasa dan Sastra (dalam bahasa Inggris). 3 (1): 1–8. doi:10.31503/madah.v3i1.2. ISSN 2580-9717. 
    22. ^ Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud RI. Bahasa Minangkabau di Provinsi Riau. Pada: Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. 2017 [5] Diarsipkan 2018-08-12 di Wayback Machine.
    23. ^ Winstedt, R., (1962), A History of Malaya, Marican.
    24. ^ Haan, F. de, (1896), Naar midden Sumatra in 1684, Batavia-'s Hage, Albrecht & Co.-M. Nijhoff. 40p. 8vo wrs. Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 39.
    25. ^ http://www.dpr.go.id Diarsipkan 2012-02-04 di Wayback Machine. Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 Diarsipkan 2014-01-24 di Wayback Machine.
    26. ^ Edwar Jamaris, Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau, Yayasan Obor Indonesia, 2001
    27. ^ a b YUNUS, Mohd. Tradisi Basiacuong dalam Masyarakat Adat Limo Koto Kampar. MENARA, 2013, 12.2: 92-114.