Hukum kewarganegaraan Israel mengatur syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk memperoleh kewarganegaraan Israel. Dua undang-undang utama yang mengatur persyaratan ini adalah Undang-Undang Kepulangan tahun 1950 dan Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1952.

Undang-Undang Kewarganegaraan, 5712-1952
חוק האזרחות, התשי"ב-1952
Knesset
KutipanSH 95 146
Jangkauan teritorialIsrael
Diterapkan olehKnesset ke-2
Tanggal penerapan1 April 1952[1]
Tanggal pengumuman14 Juli 1952[1]
Sejarah legislatif
Pembacaan pertama20 November 1951
Pembacaan kedua25–26 Maret 1952
Pembacaan ketiga1 April 1952[2]
Legislasi pengulangan
Undang-Undang Kewarganegaraan Palestina 1925
Status: Secara substansial diamandemenkan

Setiap orang Yahudi mempunyai hak tak terbatas untuk berimigrasi ke Israel dan menjadi warga negara Israel. Adapun individu yang lahir di luar negeri akan menerima kewarganegaraan Israel saat lahir jika salah satu orang tuanya adalah warga negara Israel. Orang asing non-Yahudi dapat menjalani naturalisasi setelah tinggal di sana setidaknya selama tiga tahun dengan memiliki izin tinggal permanen dan mahir berbahasa Ibrani. Warga non-Yahudi yang melakukan naturalisasi juga diharuskan untuk meninggalkan kewarganegaraan mereka sebelumnya, sementara imigran Yahudi tidak dibebani persyaratan ini.

Kawasan yang kini bernama Israel sebelumnya bernama Palestina dan diperintah oleh Kerajaan Inggris sebagai bagian dari mandat Liga Bangsa-Bangsa dan penduduk lokalnya dilindungi UU Inggris. Pembubaran mandat pada tahun 1948 dan konflik yang terjadi selanjutnya menciptakan problematika kewarganegaraan yang kompleks bagi penduduk non-Yahudi di wilayah tersebut yang tak kunjung tuntas.

Terminologi

Perbedaan antara makna kewarganegaraan dan kebangsaan tidak jelas dan bervariasi di setiap negara. Secara umum, kebangsaan mengacu pada kepemilikan sah seseorang terhadap suatu negara dan merupakan istilah umum yang digunakan dalam perjanjian internasional ketika merujuk pada anggota suatu negara; sementara kewarganegaraan mengacu pada serangkaian hak dan kewajiban yang dimiliki seseorang di negara itu.[3]

Dalam konteks Israel, kewarganegaraan tak terkait dengan asal-usul seseorang dari wilayah tertentu tetapi didefinisikan secara lebih luas. Meskipun istilah tersebut digunakan di negara lain untuk menunjukkan etnis seseorang, maknanya dalam hukum Israel sangat luas dengan memasukkan siapa pun yang menganut agama Yudaisme beserta keturunannya.[4] Mereka yang berbangsa Yahudi merupakan bagian inti dari kewarganegaraan Israel,[5] sementara Mahkamah Agung Israel telah memutuskan bahwa tidak ada kebangsaan Israel.[5][6] Undang-undang lain telah menetapkan Israel sebagai negara bangsa Yahudi sejak tahun 2018.[7]

Sejarah

 
Paspor era Mandat Inggris untuk penduduk Palestina

Palestina ditaklukkan oleh Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1516. Dengan demikian, hukum kewarganegaraan Utsmani berlaku di wilayah tersebut. Palestina diperintah oleh Turki Utsmani selama empat abad hingga pendudukan Inggris pada tahun 1917 setelah Perang Dunia Pertama.[8] Wilayah tersebut secara nominal tetap menjadi wilayah Utsmaniyah setelah berakhirnya perang hingga Inggris memperoleh mandat dari Liga Bangsa-Bangsa untuk mengurus wilayah tersebut pada tahun 1922. Dengan demikian, penduduk setempat masih memiliki status kewarganegaraan Utsmani, meskipun pemerintah Inggris mulai mengeluarkan sertifikat kewarganegaraan sementara setelah dimulainya pendudukan.[9] Ketentuan mandat tersebut memungkinkan Inggris untuk mengecualikan penerapannya di bagian tertentu di kawasan, yakni di tepi timur Sungai Yordan,[10] di mana Keamiran Transyordania berdiri.[11]

Perjanjian Lausanne menetapkan dasar bagi kewarganegaraan yang terpisah di Mandat Palestina dan semua wilayah lain yang diserahkan oleh Kesultanan Utsmaniyah. Pada 1925, pemerintahan Mandat Palestina tahun 1925 mengesahkan peralihan dari kewarganegaraan Utsmani ke kewarganegaraan Palestina;[12] seluruh rakyat Utsmani yang tinggal tetap di Palestina pada tanggal 1 Agustus 1925 secara otomatis menjadi warga negara Palestina pada tanggal tersebut.[13] Warga negara Utsmani yang berasal dari wilayah Mandat tetapi tinggal tetap di wilayah lain pada tanggal 6 Agustus 1924 mempunyai hak untuk memilih kewarganegaraan Palestina, di mana tenggat waktu dua tahun ditetapkan sejak ketentuan tersebut diberlakukan dan melalui persetujuan pemerintah Mandat.[14] Hak untuk memilih ini kemudian diperpanjang hingga 24 Juli 1945.[13] Amandemen tahun 1931 secara otomatis memberikan kewarganegaraan Palestina kepada warga negara Utsmani yang menetap di Palestina pada tanggal 6 Agustus 1924 tetapi tinggal tetap di luar negeri sejak sebelum tanggal 1 Agustus 1925, kecuali mereka secara sukarela memperoleh kewarganegaraan lain sebelum tanggal 23 Juli 1931.[13]

Anak-anak sah dari seorang ayah Palestina secara otomatis memiliki kewarganegaraan Palestina. Siapa pun yang lahir di luar kondisi ini dan tidak memiliki kewarganegaraan lain saat lahir juga secara otomatis memperoleh status kewarganegaraan. Orang asing dapat memperoleh kewarganegaraan Palestina melalui naturalisasi setelah tinggal di wilayah tersebut setidaknya selama dua dari tiga tahun sebelum permohonan, memenuhi persyaratan bahasa (fasih berbahasa Inggris, Ibrani, atau Arab), menegaskan niat mereka untuk tinggal secara permanen di wilayah Mandat, dan berperilaku baik.[13]

Meskipun Inggris memiliki kedaulatan atas Palestina, hukum dalam negeri Inggris memperlakukan Palestina sebagai wilayah asing. Penduduknya diperlakukan sebagai orang yang sebatas dilindungi, tetapi bukan WN Inggris, yang berarti bahwa mereka adalah orang asing di Inggris yang diberikan paspor Mandat Palestina oleh otoritas Inggris. Mereka tidak dapat berkunjung ke Inggris tanpa terlebih dahulu meminta izin, tetapi diberikan perlindungan konsuler yang sama seperti WN Inggris lainnya ketika bepergian ke luar teritori Inggris Raya.[15] Peraturan ini berlanjut hingga berakhirnya mandat pada tanggal 14 Mei 1948,[16] tanggal yang sama ketika Negara Israel berdiri.[17]

Transisi pasca-1948

Selama empat tahun pertama setelah pendiriannya, Israel tidak memiliki undang-undang kewarganegaraan sehingga secara teknis tidak memiliki warga negara.[1] Hukum internasional biasanya mengakui keberlanjutan hukum negara pendahulu jika terjadi suksesi negara.[18] Namun, terlepas dari status Israel sebagai negara penerus Mandat Palestina,[19] pengadilan Israel selama ini memiliki pendapat yang berbeda mengenai keberlakuan undang-undang kewarganegaraan buatan Inggris.[20] Meskipun hampir semua pengadilan menyatakan bahwa kewarganegaraan Palestina sudah batal pada akhir mandat pada tahun 1948 tanpa adanya pengganti, ada satu kasus di mana para hakim memutuskan bahwa semua penduduk Palestina pada saat berdirinya Israel secara otomatis adalah warga negara Israel.[18] Mahkamah Agung Israel menyelesaikan masalah ini pada tahun 1952, dengan memutuskan bahwa WN Palestina di masa Mandat Inggris tidak serta merta menjadi WN Israel.[21]

Kebijakan kewarganegaraan Israel berpusat pada dua undang-undang awal: Undang-Undang Kepulangan 1950 dan Undang-undang Kewarganegaraan 1952.[22] UU Kepulangan menjamin hak setiap orang Yahudi dari seluruh dunia untuk bermigrasi dan bermukim di Israel, memperkuat prinsip utama zionisme tentang berkumpulnya semua orang Yahudi di tanah air tradisional mereka.[23] Undang-Undang Kewarganegaraan merinci persyaratan kewarganegaraan Israel, tergantung pada afiliasi agama seseorang,[24] dan secara eksplisit mencabut semua undang-undang yang sebelumnya diberlakukan Inggris terkait kewarganegaraan Palestina.[25]

Status Arab Palestina

Menyusul kemenangannya dalam Perang Arab-Israel 1948, Israel menguasai sebagian besar bekas wilayah Mandat Palestina, termasuk sebagian besar wilayah yang diperuntukkan bagi pribumi Arab berdasarkan Rencana Pembagian Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Palestina. Tepi Barat diperintah oleh Yordania sementara Jalur Gaza berada di bawah kendali Mesir.[26] UNRWA memperkirakan 720.000 orang Palestina menjadi pengungsi selama perang,[27] dan hanya 170.000 yang tersisa di Israel setelah proklamasi negara tersebut.[28] Meskipun ada dukungan internasional terhadap pemulangan warga Palestina yang terlantar setelah perang berakhir, pemerintah Israel tidak mau mengizinkan penduduk yang bermusuhan memasuki perbatasannya dan mencegah mereka pulang. Keputusan ini mendapat pembenaran seiring terus berlanjutnya serangan pejuang Arab ke wilayah Israel serta retorika resmi dari negara-negara Arab tetangga yang menuntut penghapusan Israel. Israel memandang hak warga Palestina untuk kembali ke wilayah mana pun sebagai ancaman nyata terhadap keamanannya.[29]

Pemukim Yahudi pada saat berdirinya Israel diberikan kewarganegaraan Israel berdasarkan hak kepulangan, tetapi warga Palestina non-Yahudi tunduk pada persyaratan tempat tinggal yang ketat untuk mengklaim status tersebut. Mereka hanya dapat memperoleh kewarganegaraan berdasarkan tempat tinggal mereka pada tahun 1952 jika mereka merupakan warga negara Mandat Inggris sebelum tahun 1948, telah terdaftar sebagai penduduk Israel sejak Februari 1949 dan tetap terdaftar, serta belum meninggalkan negara tersebut sebelum mengklaim kewarganegaraan.[30] Persyaratan ini dimaksudkan untuk secara sistematis mengecilkan partisipasi minoritas Arab di negara tersebut.[27] Sekitar 90 persen penduduk Arab yang tetap tinggal di Israel tidak memperoleh kewarganegaraan berdasarkan persyaratan ini dan karenanya tidak memiliki status kebangsaan.[31]

Warga Palestina yang berhasil kembali ke rumah mereka di Israel setelah perang tidak memenuhi persyaratan kewarganegaraan berdasarkan undang-undang 1952. Mereka tetap tinggal di Israel tetapi tidak memiliki kewarganegaraan atau status kependudukan. Keputusan Mahkamah Agung tahun 1960 berupaya mengatasinya sebagian dengan mengizinkan penafsiran yang lebih longgar tentang persyaratan tempat tinggal; individu yang memiliki izin untuk sementara waktu meninggalkan Israel selama atau segera setelah konflik memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan, meskipun ada perbedaan tempat tinggal. Knesset mengamandemen Undang-Undang Kewarganegaraan pada tahun 1980 untuk sepenuhnya menyelesaikan masalah penduduk tanpa kewarganegaraan ini; semua penduduk Arab yang pernah tinggal di Israel sebelum tahun 1948 diberikan kewarganegaraan terlepas dari kelayakan mereka menurut persyaratan tahun 1952, beserta pula anak-anak mereka.[32]

Warga Palestina yang melarikan diri ke negara-negara tetangga tidak diberikan kewarganegaraan di sana dan tetap tidak memiliki kewarganegaraan kecuali mereka yang tinggal di Yordania.[33] Meskipun Yordania telah kehilangan kendali atas Tepi Barat setelah Perang Enam Hari 1967,[34] Yordania tetap mempertahankan klaim kedaulatannya atas wilayah tersebut hingga tahun 1988, ketika Yordania melepaskan klaim tersebut dan secara sepihak memutuskan semua hubungan dengan wilayah itu. Warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat kehilangan kewarganegaraan Yordania sementara mereka yang tinggal di wilayah lain di Yordania terus menyandang status tersebut.[33]

Wilayah pendudukan

Israel merebut Yerusalem Timur pada tahun 1967 setelah Perang Enam Hari, dan menggabungkannya ke dalam pemerintahan kota Yerusalem Barat. Penduduk Arab di Yerusalem Timur tidak otomatis menjadi warga negara Israel tetapi diberi status penduduk permanen. Kendati mereka boleh mengajukan permohonan naturalisasi, hanya sedikit yang mengajukan permohonan karena persyaratan fasih berbahasa Ibrani dan penolakan mereka untuk mengakui kendali Israel atas Yerusalem.[35] Setelah disahkannya Undang-Undang Yerusalem tahun 1980, Mahkamah Agung menganggap wilayah tersebut telah resmi di bawah kekuasaan penuh Israel.[36] Sekitar 19.000 penduduk, yang meliputi lima persen populasi Arab Palestina di Yerusalem Timur menyandang status kewarganegaraan Israel pada 2022.[37]

Demikian pula dengan Dataran Tinggi Golan yang dijajah oleh Israel pada tahun 1981 dan orang Druze diberikan status penduduk permanen. Meskipun memenuhi syarat untuk dinaturalisasi menjadi WN Israel, Warga Druze di Golan sebagian besar masih mempertahankan kewarganegaraan Suriah.[38] Hanya sekitar 4.300 dari 21.000 warga Druze yang tinggal di wilayah tersebut yang berstatus WN Israel pada tahun 2022.[39] Sebelum kemerdekaan Suriah, wilayah ini merupakan bagian dari Mandat Prancis di Suriah dan Lebanon.[40] Penerapan hukum Israel dan aneksasi efektif terhadap Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan dianggap oleh Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum PBB sebagai tindakan agresi ilegal.[41]

Kualifikasi berdasarkan hak kepulangan

Yahudi murtad dan tidak beragama

Meskipun Undang-Undang Kepulangan memberikan setiap orang Yahudi hak untuk berimigrasi ke Israel, teks asli dan semua produk undang-undang turunannya sampai saat ini tidak memiliki definisi yang jelas mengenai kriteria seseorang dianggap sebagai Yahudi.[42] Pemerintah dan otoritas agama terus menerus berbeda pendapat mengenai arti kata tersebut beserta penerapannya pada undang-undang tersebut, dengan beberapa organisasi menganggap agama dan kebangsaan Yahudi sebagai konsep yang sama. Salah satu organisasi politik tersebut adalah Partai Mafdal, yang mengendalikan Kementerian Dalam Negeri hingga tahun 1970. Oleh karena itu, UU Pemulangan pada periode ini ditafsirkan secara ketat berdasarkan halakha (syariat agama Yahudi); seorang Yahudi didefinisikan sebagai siapa pun yang lahir dari ibu Yahudi. Meskipun Israel bukanlah negara teokrasi, Yudaisme memiliki peran sentral dalam politik Israel karena tujuan utama penubuhan negara tersebut adalah untuk menciptakan negara Yahudi yang berdaulat.[43]

Ketidakjelasan hukum ini diuji dalam kasus Rufeisen versus Mendagri di mana Oswald Rufeisen, seorang Yahudi-Polandia yang telah memeluk Katolik Roma, diputuskan tidak lagi memenuhi kriteria sebagai seorang Yahudi dikarenakan telah pindah agama.[44] Murtad dari Yudaisme dianggap sebagai tindakan pemisahan diri yang disengaja dari identitas nasional Yahudi. Mahkamah Agung menguraikan hal ini dalam kasus Shalit versus Mendagri tahun 1969, yang memutuskan bahwa anak-anak dari orang Yahudi yang tidak menjalankan praktik keagamaan Yahudi akan tetap dianggap Yahudi. Berbeda dengan Rufeisen, anak-anak tersebut tidak melakukan tindakan yang dapat dianggap memisahkan diri. Namun, keputusan ini menciptakan pemisahan antara agama Yahudi dan interpretasi hukum keanggotaan orang Yahudi sehingga memerlukan klarifikasi legislatif.[45]

Undang-Undang Kepulangan diamandemen pada tahun 1970 untuk memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang siapa yang memenuhi syarat: seorang Yahudi berarti setiap orang yang lahir dari ibu seorang Yahudi, atau seseorang yang telah berpindah agama ke Yudaisme dan bukan merupakan penganut agama lain. Amandemen tersebut juga memperluas hak kepulangan ke Israel dengan menyertakan anak, cucu, dan pasangan seorang Yahudi, beserta pasangan dari anak dan cucu mereka.[46] Hak ini diberikan meskipun faktanya tidak semua orang yang telah disebutkan berhak disebut Yahudi menurut halakha.[47]

Undang-undang Kewarganegaraan diamandemen pada tahun 1971 untuk memungkinkan setiap orang Yahudi yang secara resmi menyatakan keinginannya untuk bermigrasi ke Israel segera menjadi WN Israel, tanpa persyaratan apa pun untuk memasuki wilayah Israel. Perubahan ini dilakukan untuk memfasilitasi emigrasi dari Uni Soviet, yang secara rutin ditolak visa keluarnya,[48] terutama setelah Perang Enam Hari tahun 1967.[49] Migrasi dari Uni Soviet tetap pada tingkat yang rendah sampai pembatasan emigrasi dilonggarkan pada akhir tahun 1980an.[24]

Kebanyakan orang Yahudi Soviet yang beremigrasi pada mulanya menjadikan Amerika Serikat sebagai tujuan dengan beberapa lainnya memilih Jerman.[50][51] Namun, negara-negara ini segera memberlakukan pembatasan ketat terhadap imigran Yahudi dari Uni Soviet atas permintaan Israel, yang bertujuan untuk mengalihkan aliran imigran itu ke negaranya. AS mulai memberlakukan kuota masuk sebanyak 50.000 orang pada tahun 1990, sementara Jerman membatasi penerimaan pada tahun 1991 hanya bagi orang Yahudi yang dapat membuktikan keturunan Jerman. Jumlah orang Yahudi Soviet yang beremigrasi ke Israel meningkat tajam dari hanya 2.250 pada tahun 1988 menjadi lebih dari 200.000 pada tahun 1990[52] dan tetap pada tingkat yang tinggi setelah pembubaran Uni Soviet pada tahun 1991 dan krisis finansial Rusia tahun 1998. Sekitar 940.000 orang Yahudi dari bekas Uni Soviet bertolak ke Israel antara tahun 1989 dan 2002. Sebagian besar gelombang migran ini adalah orang Yahudi yang tidak taat dan sekuler; sebagian besar tidak dianggap Yahudi berdasarkan halakha, tetapi memenuhi syarat untuk berimigrasi menurut UU Kepulangan.[53]

Pengakuan terhadap Yahudi non-Ortodoks dan kasus-kasus tidak biasa

Definisi Yahudi dalam amandemen Undang-Undang Kepulangan tahun 1970 tidak menyinggung definisi "konversi" dan ditafsirkan untuk memungkinkan umat Yahudi dari latar belakang apa pun memenuhi syarat agar mendapat hak kepulangan. Kepala Kerabian Israel menganut penafsiran Ortodoks atas halakha dan merupakan lembaga paling otoritatif untuk masalah keagamaan Yahudi di Israel, yang telah menyebabkan perselisihan mengenai apakah orang yang berpindah ke aliran non-Ortodoks dapat diakui sebagai Yahudi.[54] Orang asing yang berpindah agama ke Yahudi Konservatif atau Reformasi di dalam negeri berhak mendapatkan kewarganegaraan berdasarkan UU Kepulangan sejak tahun 2021.[55] Kendati demikian, baik Kepala Kerabian maupun Mahkamah Agung menganggap pengikut Yahudi Mesianik sebagai umat Kristen dan secara khusus melarang mereka untuk mendapat hak kepulangan,[56] kecuali jika mereka berdarah Yahudi.[57]

Yahudi Etiopia, juga dikenal sebagai Beta Israel, hidup sebagai komunitas terisolasi yang jauh dari arus utama Yudaisme setidaknya sejak Abad Pertengahan Awal sebelum kontak mereka dengan dunia luar pada abad ke-19. Selama pemisahan mereka yang berkepanjangan, populasi ini mengembangkan sejumlah praktik keagamaan yang sangat dipengaruhi oleh Kekristenan Koptik yang membuatnya berbeda dari praktik keagamaan aliran Yahudi lainnya.[58] Status mereka sebagai Yahudi diperdebatkan sampai Kepala Kerabian mengakui kelompok ini sebagai Yahudi pada tahun 1973 sembari mendorong imigrasi mereka ke Israel.[59] Setelah revolusi komunis dan merebaknya Perang Saudara Etiopia, pemerintah membawa 45.000 orang ke Israel, di mana jumlah ini mencakup hampir seluruh populasi Yahudi di Etiopia.[60]

Di antara yang bermigrasi bersama Beta Israel adalah Falash Mura, orang Yahudi yang masuk Kristen agar mudah berbaur dengan masyarakat Etiopia tetapi sebagian besar tetap terkait dengan komunitas Yahudi. Keputusan menteri pada tahun 1992 memutuskan komunitas ini tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan hak kepulangan, namun beberapa migran diizinkan masuk ke Israel untuk reunifikasi keluarga.[61] Keputusan pemerintah selanjutnya mengizinkan lebih banyak orang Falash Mura untuk bermigrasi, dengan syarat menjalani konversi ke Yudaisme sebelum menerima kewarganegaraan. Sekitar 33.000 anggota komunitas ini memasuki Israel dari tahun 1993 hingga 2013.[54]

Orang Samaria adalah keturunan suku-suku Israel kuno yang menganut Samaritanisme, sebuah agama yang terkait erat dengan Yudaisme,[62][63] dan memiliki hak kepulangan tanpa persetujuan dari Kepala Rabi.[64] Pada tahun 1949, Menteri Luar Negeri Moshe Sharett menyatakan orang Samaria memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan Israel berdasarkan Hukum Kepulangan, dengan alasan warisan Ibrani menjadikan mereka memenuhi syarat untuk diakui sebagai Yahudi. Meskipun keputusan tersebut diterapkan sebagai kebijakan resmi, tidak ada undang-undang yang dibuat mengenai masalah ini. Akibatnya, ketika Kepala Rabi meninjau sebuah kasus pada tahun 1985 tentang apakah wanita Samaria boleh menikah dengan pria Yahudi (orang Yahudi di Israel hanya diperbolehkan menikah dengan sesama Yahudi) dan ia menyimpulkan bahwa orang Samaria harus terlebih dahulu masuk Yahudi, Kemendagri memutuskan untuk mencabut hak kepulangan Samaria dengan menggunakan keputusan Kepala Rabi sebagai pembenar. Mahkamah Agung memutuskan masalah ini pada tahun 1994, mengembalikan kebijakan asli dan memperluas status kewarganegaraan Israel menjadi mencakup warga Samaria di utara Tepi Barat.[65] Total populasi komunitas ini sekitar 700 orang yang tinggal secara eksklusif di Holon dan Gunung Gerizim.[66]

Akuisisi dan hilangnya kewarganegaraan

Hak berdasarkan kelahiran, keturunan, atau adopsi

Individu yang lahir di Israel menerima kewarganegaraan saat lahir jika setidaknya salah satu orang tuanya adalah warga negara Israel. Anak yang lahir di luar negeri juga termasuk warga negara apabila salah satu orang tuanya berkewarganegaraan Israel, tetapi ini terbatas pada generasi pertama yang lahir di luar negeri.[24] Mereka yang lahir di luar negeri dari generasi kedua yang tidak memenuhi syarat berdasarkan Hukum Kepulangan dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan, tergantung pada persetujuan dan kebijakan pemerintah.[67] Anak angkat secara otomatis diberikan kewarganegaraan, apa pun agamanya. Individu yang lahir di Israel yang berusia antara 18 dan 21 tahun dan tidak pernah memiliki kewarganegaraan apa pun berhak mendapatkan kewarganegaraan, asalkan mereka terus-menerus menjadi penduduk Israel selama lima tahun sebelum pengajuan.[68]

Akuisisi sukarela

 
Penyambutan bagi imigran baru dari Amerika Utara

Setiap orang Yahudi yang berimigrasi ke Israel sebagai imigran Yahudi berdasarkan hukum kepulangan secara otomatis menjadi WN Israel.[69] Dalam konteks ini, orang Yahudi berarti orang yang lahir dari ibu seorang Yahudi, atau seseorang yang berpindah agama ke Yudaisme dan tidak memeluk agama lain. Hak atas kewarganegaraan ini berlaku bagi setiap anak atau cucu seorang Yahudi, serta pasangan seorang Yahudi, atau pasangan dari anak atau cucu seorang Yahudi. Seorang Yahudi yang secara sukarela berpindah agama ke agama lain kehilangan haknya untuk mengklaim kewarganegaraan berdasarkan ketentuan ini.[70] Pada akhir tahun 2020, 21 persen dari total populasi Yahudi di Israel lahir di luar negeri.[71]

Orang asing dapat melakukan naturalisasi sebagai WN Israel setelah tinggal di Israel setidaknya selama tiga dari lima tahun sebelum pengajuan sambil mengantongi izin tinggal permanen. Pengaju harus hadir secara fisik di negara tersebut pada saat pengajuan, dapat menunjukkan pengetahuan bahasa Ibrani, mempunyai niat untuk menetap secara permanen di Israel, dan meninggalkan kewarganegaraan asing. Meskipun bahasa Arab merupakan bahasa resmi dan mempunyai status pengakuan khusus,[72] tidak ada ketentuan pengetahuan yang serupa dengan Ibrani sebagai bagian dari proses naturalisasi.[73] Seluruh persyaratan ini dapat diabaikan sebagian atau seluruhnya bagi seorang pengaju jika ia: bertugas di Pasukan Pertahanan Israel atau kehilangan seorang anak selama masa dinas militernya, merupakan anak di bawah umur dari orang tua naturalisasi atau penduduk Israel, dan berkontribusi besar kepada Israel.[74] Pemohon yang dikabulkan diharuskan bersumpah setia kepada Negara Israel.[75]

Kewarganegaraan ganda secara eksplisit diizinkan bagi seseorang yang menjadi WN Israel melalui hak kepulangan. Hal ini bertujuan untuk mendorong diaspora Yahudi di mancanegara untuk bermigrasi ke Israel tanpa membuat mereka kehilangan status kewarganegaraan sebelumnya. Sebaliknya, seseorang yang menjadi WN Israel melalui naturalisasi diwajibkan melepas kewarganegaraan aslinya untuk memperoleh kewarganegaraan. Pemohon naturalisasi biasanya adalah mereka yang bermigrasi ke Israel karena alasan pekerjaan atau keluarga, atau merupakan penduduk permanen Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan.[76]

Pelepasan dan pencabutan

Kewarganegaraan Israel dapat dilepas secara sukarela melalui pernyataan penolakan, dengan ketentuan bahwa pemberi pernyataan tersebut tinggal di luar negeri, telah memiliki kewarganegaraan lain, dan tidak mempunyai kewajiban dinas militer.[77] Mereka dapat secara sukarela melepaskan status tersebut karena jika terus mempertahankannya akan menyebabkan hilangnya kewarganegaraan lain.[78] Antara tahun 2003 dan 2015, terdapat 8.308 orang yang melepaskan kewarganegaraan Israelnya. Beberapa mantan warga negara melepaskan kewarganegaraan mereka karena niat mereka untuk menetap secara permanen di luar negeri dan tidak ingin kembali ke Israel, yang lain melakukannya sebagai syarat untuk memperoleh kewarganegaraan asing di negara baru tempat mereka tinggal.[79]

Kewarganegaraan dapat dicabut secara paksa dari individu yang memperolehnya secara curang atau dari mereka yang dengan sengaja melakukan tindakan pelanggaran kesetiaan pada negara.[80] Menteri Dalam Negeri dapat mencabut kewarganegaraan seseorang yang memperoleh status kewarganegaraan dengan cara curang dalam waktu tiga tahun sejak orang tersebut menjadi warga negara Israel. Jika sudah lebih dari tiga tahun dan baru ketahuan, Mendagri harus meminta Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mencabut kewarganegaraannya.[81] Pencabutan atas dasar ketidaksetiaan hanya dilakukan tiga kali sejak 1948; dua kali pada tahun 2002 dan sekali pada tahun 2017.[80] Kewarganegaraan Israel juga dapat dicabut bagi warga negara yang melakukan perjalanan ilegal ke negara-negara yang secara resmi dinyatakan sebagai negara musuh (Suriah, Lebanon, Irak, dan Iran)[82] atau jika mereka memiliki kewarganegaraan dari salah satu negara tersebut.[83]

Hak pasangan

Pasangan non-Yahudi mempunyai hak kepulangan jika mereka berimigrasi ke Israel pada waktu yang sama dengan pasangan Yahudi mereka; pasangan sesama jenis Yahudi telah memenuhi syarat untuk mendapatkan izin ini sejak tahun 2014.[84] Jika tidak, mereka akan diberikan izin tinggal sementara yang secara bertahap digantikan dengan persyaratan tinggal yang tidak terlalu ketat selama jangka waktu 4,5 tahun hingga mereka memenuhi syarat untuk memperoleh kewarganegaraan. Hingga tahun 1996, pasangan non-Yahudi tanpa hak kepulangan segera diberikan izin tinggal permanen setelah masuk ke Israel.[85] Pernikahan harus sah menurut hukum Israel agar pasangan warga negara dapat menjalani proses naturalisasi selama 4,5 tahun. Pasangan sipil atau pasangan sesama jenis harus menjalani proses bertahap selama 7,5 tahun yang lebih panjang dengan izin tinggal permanen, setelah itu mereka dapat mengajukan naturalisasi berdasarkan prosedur standar.[86]

Pasangan laki-laki di bawah 35 tahun dan pasangan perempuan di bawah 25 tahun yang menetap di Wilayah Pendudukan Yudea dan Samaria (divisi administratif Tepi Barat berdasarkan hukum Israel) di luar permukiman Israel dilarang memperoleh kewarganegaraan dan izin tinggal sampai mencapai usia yang relevan.[87] Undang-undang Kewarganegaraan dan Imigrasi Israel tahun 2003 secara efektif mencegah pernikahan lebih lanjut antara WN Israel dan WN Palestina dengan menambahkan hambatan administratif yang rumit yang membuat hidup bersama secara sah menjadi sangat sulit bagi pasutri.[88] Sekitar 12.700 warga Palestina yang menikah dengan warga negara Israel dilarang memperoleh kewarganegaraan berdasarkan pembatasan ini. Orang-orang yang terdampak hanya diperbolehkan untuk tinggal di Israel dengan izin sementara, yang akan habis masa berlakunya jika pasangan mereka meninggal dunia atau jika pemerintah Israel tidak mau memperpanjang.[89]

Pembatasan ini dianggap inkonstitusional karena melanggar Undang-Undang Dasar: Martabat dan Kebebasan Manusia dengan dasar bahwa undang-undang tersebut bersifat diskriminatif karena berdampak secara tidak proporsional terhadap WN Israel beretnis Arab. Namun, dalam putusan tahun 2006 yang menguatkan undang-undang tersebut, Mahkamah Agung menyatakan bahwa masuknya pasangan non-warga negara bukanlah hak konstitusional warga negara Israel dan bahwa Israel berhak membatasi masuknya orang asing ke dalam perbatasannya. MA lebih lanjut memutuskan bahwa Israel mempunyai hak untuk melarang warga Palestina memasuki negara tersebut atas keadaan perang dengan Otoritas Nasional Palestina (yang membuat warga Palestina dianggap musuh).[90] Undang-undang tersebut diperkuat kembali oleh Mahkamah Agung pada tahun 2012 dan terus berlaku hingga habis masa berlakunya pada bulan Juli 2021,[91][92] sebelum diterapkan kembali berdasarkan undang-undang baru pada bulan Maret 2022.[93]

Kewarganegaraan kehormatan

Sebagai penghargaan atas bantuan yang diberikan kepada orang Yahudi selama Holokaus, orang non-Yahudi dapat diakui sebagai Orang Baik dari Berbagai Bangsa. Orang-orang ini dapat diberikan status kewarganegaraan kehormatan.[94] Jenis kewarganegaraan ini merupakan status substantif dan memberikan pemegangnya semua hak dan keistimewaan sebagaimana yang dimiliki oleh WN Israel lainnya. Sekitar 130 orang non-Yahudi tinggal di Israel; mereka berhak mendapat tempat tinggal permanen serta tunjangan khusus dari negara.[95]

Catatan kaki

  1. ^ a b c Margalith 1953, hlm. 63.
  2. ^ "Citizenship Law, 1952" (dalam bahasa Ibrani). Knesset. Diarsipkan dari versi asli tanggal 3 Maret 2022. 
  3. ^ Kondo 2001, hlm. 2–3.
  4. ^ Tekiner 1991, hlm. 49.
  5. ^ a b Tekiner 1991, hlm. 50.
  6. ^ Goldenberg, Tia (4 Oktober 2013). "Supreme Court rejects 'Israeli' nationality status". The Times of Israel. Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 Februari 2020. 
  7. ^ Berger, Miriam (31 Juli 2018). "Israel's hugely controversial "nation-state" law, explained". Vox. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 Januari 2022. 
  8. ^ Qafisheh 2010, hlm. 1.
  9. ^ Qafisheh 2010, hlm. 5–6.
  10. ^ Qafisheh 2010, hlm. 3.
  11. ^ Frost 2022, hlm. 3.
  12. ^ Qafisheh 2010, hlm. 17.
  13. ^ a b c d Survey of Palestine, Volume 1, hlm. 206.
  14. ^ Qafisheh 2010, hlm. 16.
  15. ^ Jones 1945, hlm. 127–128.
  16. ^ Qafisheh 2010, hlm. 7, 16.
  17. ^ Kohn 1954, hlm. 369.
  18. ^ a b Goodwin-Gill & McAdam 2007, hlm. 459–460.
  19. ^ Masri 2015, hlm. 362.
  20. ^ Masri 2015, hlm. 372.
  21. ^ Kattan 2005, hlm. 84.
  22. ^ Harpaz & Herzog 2018, hlm. 1.
  23. ^ Harpaz & Herzog 2018, hlm. 1–2.
  24. ^ a b c Harpaz & Herzog 2018, hlm. 4.
  25. ^ Goodwin-Gill & McAdam 2007, hlm. 460.
  26. ^ Kramer 2001, hlm. 984.
  27. ^ a b Davis 1995, hlm. 23.
  28. ^ Davis 1995, hlm. 26–27.
  29. ^ Kramer 2001, hlm. 984–985.
  30. ^ Harpaz & Herzog 2018, hlm. 4–5.
  31. ^ Davis 1995, hlm. 26-27.
  32. ^ Shachar 1999, hlm. 250–251.
  33. ^ a b Masri 2015, hlm. 375.
  34. ^ Sela 2019, hlm. 292.
  35. ^ Harpaz & Herzog 2018, hlm. 12.
  36. ^ Benvenisti 2012, hlm. 205.
  37. ^ Hasson, Nir (29 Mei 2022). "Just 5 Percent of E. Jerusalem Palestinians Have Received Israeli Citizenship Since 1967". Haaretz. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 Januari 2023. 
  38. ^ Harpaz & Herzog 2018, hlm. 11–12.
  39. ^ Amun, Fadi (3 September 2022). "As ties to Syria fade, Golan Druze increasingly turning to Israel for citizenship". The Times of Israel. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Juli 2023. 
  40. ^ Kattan 2019, hlm. 83.
  41. ^ Benvenisti 2012, hlm. 203–205.
  42. ^ Savir 1963, hlm. 123–124.
  43. ^ Richmond 1993, hlm. 101–103.
  44. ^ Savir 1963, hlm. 128.
  45. ^ Richmond 1993, hlm. 106–109.
  46. ^ Perez 2011, hlm. 61.
  47. ^ Harpaz & Herzog 2018, hlm. 3–4.
  48. ^ Quigley 1991, hlm. 388–389.
  49. ^ Stern, Sol (16 April 1972). "The Russian Jews Wonder Whether Israel Is Really Ready for Them". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Oktober 2021. 
  50. ^ Dietz, Lebok & Polian 2002, hlm. 29.
  51. ^ Tolts 2020, hlm. 323.
  52. ^ Quigley 1991, hlm. 389–391.
  53. ^ Emmons 1997, hlm. 344.
  54. ^ a b Harpaz & Herzog 2018, hlm. 16.
  55. ^ Kingsley, Patrick (1 Maret 2021). "Israeli Court Says Converts to Non-Orthodox Judaism Can Claim Citizenship". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 18 Oktober 2021. 
  56. ^ "Israeli Court Rules Jews for Jesus Cannot Automatically Be Citizens". The New York Times. Associated Press. 27 Desember 1989. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Juli 2021. 
  57. ^ Zieve, Tamara (16 Desember 2017). "Will Israel ever accept Messianic Jews?". The Jerusalem Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 Oktober 2021. 
  58. ^ Weil 1997, hlm. 397–399.
  59. ^ Weil 1997, hlm. 400–401.
  60. ^ Kaplan & Rosen 1994, hlm. 62–66.
  61. ^ Kaplan & Rosen 1994, hlm. 66–68.
  62. ^ Schreiber 2014, hlm. 1–2.
  63. ^ Kingsley, Patrick; Sobelman, Gabby (22 Agustus 2021). "The World's Last Samaritans, Straddling the Israeli-Palestinian Divide". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 Oktober 2023. 
  64. ^ Schreiber 2014, hlm. 62.
  65. ^ Schreiber 2014, hlm. 57–62.
  66. ^ Schreiber 2014, hlm. 2.
  67. ^ "נוהל טיפול בהענקת אזרחות לקטין לפי סעיף 9(א)(2)" [Procedure for granting citizenship to a minor under Article 9(a)(2)] (PDF) (dalam bahasa Hebrew). Population and Immigration Authority. 1 Desember 2019. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 12 November 2022. 
  68. ^ Kassim 2000, hlm. 206.
  69. ^ Harpaz & Herzog 2018, hlm. 2, 4.
  70. ^ Harpaz & Herzog 2018, hlm. 3.
  71. ^ Jews, By Continent of Origin, Continent of Birth and Period of Immigration (PDF). Statistical Abstract of Israel 2020 (Laporan). Israel Central Bureau of Statistics. 31 Agustus 2021. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 28 Oktober 2021. 
  72. ^ "Israel Passes 'National Home' Law, Drawing Ire of Arabs". The New York Times. 18 Juli 2018. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Desember 2018. 
  73. ^ Amara 1999, hlm. 90.
  74. ^ Shapira 2017, hlm. 127–128.
  75. ^ Herzog 2017, hlm. 61–62.
  76. ^ Harpaz & Herzog 2018, hlm. 9–10.
  77. ^ "Give up (renounce) Israeli citizenship – for Israelis living abroad". Government of Israel. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 November 2020. 
  78. ^ "Give up (renounce) Israeli citizenship in order to keep your foreign citizenship". Government of Israel. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Oktober 2021. 
  79. ^ Eichner, Itamar (23 Juni 2016). "8,308 Israelis renounced citizenship over past 12 years". Ynet. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 April 2019. 
  80. ^ a b Harpaz & Herzog 2018, hlm. 6.
  81. ^ Levush, Ruth (23 Maret 2017). "Israel: Amendment Authorizing Revocation of Israeli Nationality Passed". Library of Congress. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 September 2021. 
  82. ^ Herzog 2010, hlm. 57.
  83. ^ Herzog 2010, hlm. 62-63.
  84. ^ Sharon, Jeremy (12 Agustus 2014). "Non-Jewish partners in gay marriage are now entitled to make aliya". The Jerusalem Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Oktober 2021. 
  85. ^ Shapira 2017, hlm. 131.
  86. ^ Shapira 2017, hlm. 132.
  87. ^ Carmi 2007, hlm. 27, 32.
  88. ^ Nikfar 2005, hlm. 2.
  89. ^ Keller-Lynn, Carrie (6 Maret 2023). "Knesset extends law banning Palestinian family unification for another year". The Times of Israel. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 Juni 2023. 
  90. ^ Carmi 2007, hlm. 26, 33–35.
  91. ^ Boxerman, Aaron (6 Juli 2021). "With ban on Palestinian family unification expiring, what happens next?". The Times of Israel. Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 Oktober 2021. 
  92. ^ Kershner, Isabel (6 Juli 2021). "Israel's New Government Fails to Extend Contentious Citizenship Law". The New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 Agustus 2021. 
  93. ^ Chacar, Henriette (10 Maret 2022). Oatis, Jonathan, ed. "Israel's Knesset passes law barring Palestinian spouses". Reuters. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 Maret 2022. 
  94. ^ "Raoul Wallenberg Is Granted Honorary Israeli Citizenship". The New York Times. Reuters. 17 Januari 1986. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 Juli 2022. 
  95. ^ Jeffay, Nathan (6 Oktober 2011). "'Righteous' Moved to Israel After Saving Jews in Holocaust". The Forward. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 Mei 2022. 

Daftar pustaka

  • Amara, Muhammad (1999). Politics and Sociolinguistic Reflexes: Palestinian Border Villages. John Benjamins Publishing Company. ISBN 978-9-02-724128-3. 
  • Benvenisti, Eyal (2012). The International Law of Occupation (edisi ke-2nd). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-958889-3. 
  • Carmi, Na'ama (2007). "The Nationality and Entry into Israel Case before the Supreme Court of Israel". Israel Studies Forum. Berghahn Books. 22 (1): 26–53. JSTOR 41804964. 
  • Davis, Uri (1995). "Jinsiyya Versus Muwatana: The Question of Citizenship and the State in the Middle East: The Cases of Israel, Jordan and Palestine". Arab Studies Quarterly. Pluto Journals. 17 (1/2): 19–50. JSTOR 41858111. 
  • Dietz, Barbara; Lebok, Uwe; Polian, Pavel (2002). "The Jewish Emigration from the Former Soviet Union to Germany". International Migration. International Organization for Migration. 40: 29–48. doi:10.1111/1468-2435.00189 – via Wiley. 
  • Emmons, Shelese (1997). "Russian Jewish Immigration and its Effect on the State of Israel". Indiana Journal of Global Legal Studies. Indiana University Press. 5 (1): 341–355. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 Oktober 2021. 
  • Frost, Lillian (Februari 2022). Report on Citizenship Law: Jordan (Laporan). European University Institute. hdl:1814/74189 . 
  • Goodwin-Gill, Guy S.; McAdam, Jane (2007). The Refugee in International Law (edisi ke-3rd). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-928130-5. 
  • Government of Mandatory Palestine (1946). Survey of Palestine (PDF) (Laporan). 1. Government Printer, Palestine. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 13 Mei 2021 – via Berman Jewish Policy Archive. 
  • Harpaz, Yossi; Herzog, Ben (Juni 2018). Report on Citizenship Law: Israel (Laporan). European University Institute. hdl:1814/56024 . 
  • Herzog, Ben (2017). "The construction of Israeli Citizenship Law: Intertwining political philosophies". Journal of Israeli History. Taylor & Francis. 36 (1): 47–70. doi:10.1080/13531042.2017.1317668. 
  • Herzog, Ben (2010). "The Revocation of Citizenship in Israel". Israel Studies Forum. Berghahn Books. 25 (1): 57–72. JSTOR 41805054. 
  • Jones, J. Mervyn (1945). "Who are British Protected Persons". The British Yearbook of International Law. Oxford University Press. 22: 122–145. Diarsipkan dari versi asli  tanggal 23 Oktober 2021 – via HeinOnline. 
  • Kaplan, Steven; Rosen, Chaim (1994). "Ethiopian Jews in Israel". The American Jewish Year Book. American Jewish Committee. 94: 59–101. JSTOR 23605644. 
  • Kaplan, Yehiel S. (2015). "Immigration Policy of Israel: The Unique Perspective of a Jewish State". Touro Law Review. Touro Law Center. 31 (4): 1089–1135. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2 Oktober 2021. 
  • Kassim, Anis F. (2000). "The Palestinians: From Hyphenated to Integrated Citizenship". Dalam Butenschøn, Nils A.; Davis, Uri; Hassassian, Manuel. Citizenship and the State in the Middle East: Approaches and Applications. Syracuse University Press. hlm. 201–224. ISBN 978-0-81-562829-3. 
  • Kattan, Victor (2005). "The Nationality of Denationalized Palestinians". Nordic Journal of International Law. Brill Publisher. 74: 67–102. doi:10.1163/1571810054301004. SSRN 993452 . 
  • Kattan, Victor (2019). "U.S. Recognition of Golan Heights Annexation: Testament to Our Times". Journal of Palestine Studies. Taylor & Francis. 48 (3): 79–85. JSTOR 26873217. 
  • Kohn, Leo (April 1954). "The Constitution of Israel". The Journal of Educational Sociology. American Sociological Association. 27 (8): 369–379. doi:10.2307/2263817. JSTOR 2263817. 
  • Kondo, Atsushi, ed. (2001). Citizenship in a Global World. Palgrave Macmillan. doi:10.1057/9780333993880. ISBN 978-0-333-80266-3. 
  • Kramer, Tanya (2001). "The Controversy of a Palestinian Right of Return to Israel" . Arizona Journal of International and Comparative Law. James E. Rogers College of Law. 18 (3): 979–1016 – via HeinOnline. 
  • Margalith, Haim (1953). "Enactment of a Nationality Law in Israel". American Journal of Comparative Law. Oxford University Press. 2 (1): 63–66. doi:10.2307/837997. JSTOR 837997. 
  • Masri, Mazen (2015). "The Implications of the Acquisition of a New Nationality for the Right of Return of Palestinian Refugees". Asian Journal of International Law. Cambridge University Press. 5 (2): 356–386. doi:10.1017/S2044251314000241 . 
  • Nikfar, Bethany M. (2005). "Families Divided: An Analysis of Israel's Citizenship and Entry into Israel Law". Northwestern Journal of International Human Rights. Northwestern University. 3 (1). Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 Januari 2021. 
  • Perez, Nahshon (Februari 2011). "Israel's Law of Return: A Qualified Justification". Modern Judaism. Oxford University Press. 31 (1): 59–84. doi:10.1093/mj/kjq032. JSTOR 41262403. 
  • Qafisheh, Mutaz M. (2010). "Genesis of Citizenship in Palestine and Israel". Bulletin du Centre de recherche français à Jérusalem. 21. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 September 2021. 
  • Quigley, John (1991). "Soviet Immigration To The West Bank: Is It Legal?". Georgia Journal of International and Comparative Law. University of Georgia. 21 (3): 387–413. Diarsipkan dari versi asli tanggal 1 Oktober 2021. 
  • Richmond, Nancy C. (1 September 1993). "Israel's Law of Return: Analysis of Its Evolution and Present Application". Penn State International Law Review. Pennsylvania State University. 12 (1): 95–133. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 September 2020. 
  • Savir, Yehuda (1963). "The Definition of a Jew under Israel's Law of Return". Southwestern Law Journal. Southern Methodist University. 17 (1): 123–133. Diarsipkan dari versi asli  tanggal 30 September 2021 – via HeinOnline. 
  • Schreiber, Monica (2014). The Comfort of Kin: Samaritan Community, Kinship, and Marriage. Brill. doi:10.1163/9789004274259. ISBN 978-90-04-27425-9. 
  • Sela, Avraham (2019). "The West Bank Under Jordan". Dalam Kumaraswamy, P. R. The Palgrave Handbook of the Hashemite Kingdom of Jordan. Palgrave Macmillan. hlm. 277–294. doi:10.1007/978-981-13-9166-8_17. ISBN 978-981-13-9166-8. 
  • Shachar, Ayelet (1999). "Whose Republic: Citizenship and Membership in the Israeli Polity". Georgetown Immigration Law Journal. Georgetown University. 13 (2): 233–272. Diarsipkan dari versi asli  tanggal 2 Oktober 2021 – via HeinOnline. 
  • Shapira, Assaf (2017). "Israel's Citizenship Policy towards Family Immigrants: Developments and Implications". Journal of Israeli History. Taylor & Francis. 36 (2): 125–147. doi:10.1080/13531042.2018.1545676. 
  • Tekiner, Roselle (1991). "Race and the Issue of National Identity in Israel". International Journal of Middle East Studies. Cambridge University Press. 23 (1): 39–55. doi:10.1017/S0020743800034541. JSTOR 163931. 
  • Tolts, Mark (2003). "Mass Aliyah and Jewish emigration from Russia: Dynamics and factors". East European Jewish Affairs. Taylor & Francis. 33 (2): 71–96. doi:10.1080/13501670308578002. 
  • Tolts, Mark (2020). "A Half Century of Jewish Emigration from the Former Soviet Union". Dalam Denisenko, Mikhail; Strozza, Salvatore; Light, Matthew. Migration from the Newly Independent States: 25 Years After the Collapse of the USSR. Springer. hlm. 323–344. doi:10.1007/978-3-030-36075-7_15. ISBN 978-3-030-36074-0. 
  • Weil, Shalva (1997). "Religion, Blood and the Equality of Rights: The Case of Ethiopian Jews in Israel". International Journal on Minority and Group Rights. Brill. 4 (3/4): 397–412. doi:10.1163/15718119620907256. JSTOR 24674566. 

Pranala luar