Kepribadian

karakteristik psikologis individual

Kepribadian, personalitas, atau syakhsiah[1] adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain.[2] Disamping itu kepribadian sering diartikan sebagai ciri-ciri yang menonjol pada diri individu, seperti kepada orang yang pemalu dikenakan atribut “berkepribadian pemalu”. Kepada orang supel diberikan atribut “berkepribadian supel” dan kepada orang yang plin-plan, pengecut, dan semacamnya diberikan atribut “tidak punya kepribadian”. Berdasarkan psikologi, Gordon Allport menyatakan bahwa kepribadian adalah sebagai suatu organisasi (berbagai aspek psikis dan fisik) yang merupakan suatu struktur dan sekaligus proses. Jadi, kepribadian merupakan sesuatu yang dapat berubah. Secara eksplisit Allport menyebutkan, kepribadian secara teratur tumbuh dan mengalami perubahan.

Pemilihan pakaian dan gaya rambut adalah bagian dari ekspresi kepribadian.

Ekstraversi dan introversi

Di dalam psikologi, terdapat pengelompokan kepribadian manusia berdasarkan bagaimana manusia memperoleh gairahnya.[3] Pengelompokan ini pertama kali dicetuskan oleh Carl Jung (1920), dalam bukunya berjudul Psychologische Typen.[3] Secara umum, pribadi yang ekstrover mendapatkan gairah (atau energi) dari interaksi sosial.[3] Ekstrover biasanya memiliki kepribadian yang terbuka dan senang bergaul, serta memiliki kepedulian yang tinggi terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka.[3] Sementara introver, di sisi lain, dianggap mendapatkan gairah lewat menyendiri.[3] Introver, biasanya cenderung pendiam, suka merenung, dan lebih peduli tentang pemikiran mereka dalam dunia mereka sendiri.[3] Di antara kecenderungan ekstrem introversi dan ekstroversi, terdapat ambiversi yang merupakan kepribadian penengah antara ekstrover dan introver.[3] Meskipun terdapat perbedaan yang kontras antara introver dan ekstrover, Carl Jung menganggap bahwa jarang terdapat manusia yang sepenuhnya ekstrover atau introver.[3]

Struktur kepribadian

Eysenck berpendapat bahwa kebanyakan ahli-ahli teori kepribadian terlalu banyak mengemukakan variabel-variabel kompleks dan tidak jelas. Pendapat ini dikombinasikan dengan analisisnya, yaitu dengan analisis faktor yang telah menghasilkan sistem kepribadian yang ditandai oleh adanya sejumlah kecil dimensi-dimensi pokok yang didefinisikan dengan teliti dan jelas.

Kepribadian sebagai organisasi tingkah laku dipandang Eysenck memiliki empat tingkatan hierarki, berturut-turut dari hierarki yang tinggi ke hierarki yang rendah:

  1. Hierarki tertinggi: Tipe/Supertraits, kumpulan dari trait, yang mewadahi kombinasi trait dalam suatu dimensi yang luas.
  2. Hierarki kedua: Trait, kumpulan kecenderungan kegiatan, koleksi respon yang saling berkaitan atau mempunyai persamaan tertentu. Ini adalah disposisi kepribadian yang penting dan permanen.
  3. Hierarki ketiga: Kebiasaan tingkah laku atau berpikir, kumpulan respon spesifik, tingkah laku/pikiran yang muncul kembali untuk merespon kejadian yang mirip.
  4. Hierarki terendah: Respon spesifik, tingkah laku yang secara aktual dapat diamati, yang berfungsi sebagai respon terhadap suatu kejadian.

Jika dilihat dari hubungannya dengan hierarki di atas, maka dapat disebutkan bahwa antar bagian dari hierarki kepribadian tersebut terjadi interaksi dan saling berpengaruh antar satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh adalah adanya interaksi antara bagian kepribadian yang disebut sebagai specific response dan habitual response. Dimana yang disebut sebagai specific response yakni perilaku atau pikiran individual yang bisa mencirikan sebuah pribadi atau tidak, misal seorang siswa yang menyelesaikan tugas membaca. Sedangkan habitual response dapat dimaknai sebagai respon yang terus berlangsung di bawah kondisi yang sama, misal jika seorang siswa sering kali berusaha sampai suatu tugas selesai dikerjakannya. Habitual response ini dapat berubah-ubah ataupun dapat menetap.

Setelah mengetahui penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk membuat perilaku tertentu atau specific response menjadi sebuah kebiasaan atau habitual response maka perlu adanya pengulangan perilaku tertentu tersebut hingga beberapa kali. Sedangkan jika individu tersebut tidak menginginkan perilaku tertentu itu menjadi sebuah habitual response atau sebuah kebiasaan, maka tidak diperlukan pengulangan perilaku hingga berkali-kali. Dan hubungan serta interaksi juga berlaku pada bagian kepribadian Eysenck yang lain, seperti tipe dan trait.

Ciri-ciri kepribadian

Para ahli tampaknya masih sangat beragam dalam memberikan rumusan tentang kepribadian. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport (Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider (1964) mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan.

Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya: teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, teori Analitik dari Carl Gustav Jung, teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, teori Medan dari Kurt Lewin, teori Psikologi Individual dari Allport, teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson, teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya mencakup:

  • Karakter yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsisten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
  • Temperamen yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
  • Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
  • Stabilitas emosi yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah, sedih, atau putus asa
  • Responsibilitas (tanggung jawab) adalah kesiapan untuk menerima risiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima risiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari risiko yang dihadapi.
  • Sosiabilitas yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.

Setiap individu memiliki ciri-ciri kepribadian tersendiri, mulai dari yang menunjukkan kepribadian yang sehat atau justru yang tidak sehat. Dalam hal ini, Elizabeth (Syamsu Yusuf, 2003) mengemukakan ciri-ciri kepribadian yang sehat dan tidak sehat, sebagai berikut:

Kepribadian yang sehat

  • Mampu menilai diri sendiri secara realistik; mampu menilai diri apa adanya tentang kelebihan dan kekurangannya, secara fisik, pengetahuan, keterampilan dan sebagainya.
  • Mampu menilai situasi secara realistik; dapat menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau menerima secara wajar, tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai sesuatu yang sempurna.
  • Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik; dapat menilai keberhasilan yang diperolehnya dan meraksinya secara rasional, tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami superiority complex, apabila memperoleh prestasi yang tinggi atau kesuksesan hidup. Jika mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustrasi, tetapi dengan sikap optimistik.
  • Menerima tanggung jawab; dia mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.
  • Kemandirian; memiliki sifat mandiri dalam cara berpikir, dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.
  • Dapat mengontrol emosi; merasa nyaman dengan emosinya, dapat menghadapi situasi frustrasi, depresi, atau stress secara positif atau konstruktif, tidak destruktif (merusak)
  • Berorientasi tujuan; dapat merumuskan tujuan-tujuan dalam setiap aktivitas dan kehidupannya berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar, dan berupaya mencapai tujuan dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan), pengetahuan dan keterampilan.
  • Berorientasi keluar (ekstrovert); bersifat respek, empati terhadap orang lain, memiliki kepedulian terhadap situasi atau masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berpikir, menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain, tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan mengorbankan orang lain, karena kekecewaan dirinya.
  • Penerimaan sosial; mau berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.
  • Memiliki filsafat hidup; mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari keyakinan agama yang dianutnya.
  • Berbahagia; situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan, yang didukung oleh faktor-faktor achievement (prestasi), acceptance (penerimaan), dan affection (kasih sayang).

Kepribadian yang tidak sehat

Kepribadian yang tidak sehat dapat terlihat dari beberapa tanda seperti berikut ini:

Individu tersebut biasanya mudah marah (tersinggung) bahkan untuk hal-hal yang kecil, menunjukkan kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan, sering merasa tertekan, bersikap kejam atau sering mengganggu orang lain yang usianya lebih muda, yang kurang memiliki daya dan kekuatan untuk melindungi diri atau terhadap binatang, ketidakmampuan untuk menghindari diri dari perilaku menyimpang meskipun sudah diperingati atau dihukum, kebiasaan berbohong, hiperaktif, memusuhi semua bentuk otoritas, senang mengkritik/mencemooh orang lain, sulit tidur, kurang memiliki rasa tanggung jawab, sering mengalami sakit kepala, kurang memiliki kesadaran untuk menaati ajaran agama, pesimis dalam menghadapi kehidupan serta kurang bergairah dalam menjalai kehidupan.

Faktor-faktor penentu kepribadian

Faktor keturunan

Keturunan merujuk pada faktor genetika seorang individu.[2] Tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, komposisi otot dan refleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap, entah sepenuhnya atau secara substansial, dipengaruhi oleh siapa orang tua dari individu tersebut, yaitu komposisi biologis, psikologis, dan psikologis bawaan dari individu.[2] Terdapat tiga dasar penelitian yang berbeda yang memberikan sejumlah kredibilitas terhadap argumen bahwa faktor keturunan memiliki peran penting dalam menentukan kepribadian seseorang.[2] Dasar pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku dan temperamen anak-anak.[2] Dasar kedua berfokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak lahir.[2] Dasar ketiga meneliti konsistensi kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam berbagai situasi.[2]

Penelitian terhadap anak-anak memberikan dukungan yang kuat terhadap pengaruh dari faktor keturunan.[4] Bukti menunjukkan bahwa sifat-sifat seperti perasaan malu, rasa takut, dan agresif dapat dikaitkan dengan karakteristik genetis bawaan.[4] Temuan ini mengemukakan bahwa beberapa sifat kepribadian mungkin dihasilkan dari kode genetis sama yang mempengaruhi faktor-faktor seperti tinggi badan dan warna rambut.[4]

Menurut Matt Ridley, di lengan pendek kromosom 11, ada sebuah gen bernama D4DR. Gen ini merupakan resep untuk satu protein yang disebut reseptor dopamin, dan gen ini teraktifkan dalam sel-sel bagian-bagian tertentu otak tetapi tidak pada yang lain. Kekurangan dopamin dalam otak menyebabkan kepribadian yang enggan membuat keputusan dan dingin, dalam bentuk ekstrem, kasus ini dikenal sebagai penyakit Parkinson. Sebaliknya, kelebihan dopamin dalam otak membuatnya sangat ingin tahu dan bersemangat berpetualang. Pada manusia, kelebihan dopamin bisa langsung menyebabkan skizofrenia.[5]

Gen ini merupakan resep untuk satu protein yang disebut reseptor dopamin, dan gen ini teraktifkan dalam sel-sel bagian-bagian tertentu otak tetapi tidak pada yang lain. Kekurangan dopamin dalam otak menyebabkan kepribadian yang enggan membuat keputusan dan dingin, dalam bentuk ekstrem, kasus ini dikenal sebagai penyakit Parkinson. Sebaliknya, kelebihan dopamin dalam otak membuatnya sangat ingin tahu dan bersemangat berpetualang. Pada manusia, kelebihan dopamin bisa langsung menyebabkan skizofrenia.

Para peneliti telah mempelajari lebih dari 100 pasangan kembar identik yang dipisahkan sejak lahir dan dibesarkan secara terpisah.[6] Ternyata peneliti menemukan kesamaan untuk hampir setiap ciri perilaku, ini menandakan bahwa bagian variasi yang signifikan di antara anak-anak kembar ternyata terkait dengan faktor genetis.[2] Penelitian ini juga memberi kesan bahwa lingkungan pengasuhan tidak begitu memengaruhi perkembangan kepribadian atau dengan kata lain, kepribadian dari seorang kembar identik yang dibesarkan di keluarga yang berbeda ternyata lebih mirip dengan pasangan kembarnya dibandingkan kepribadian seorang kembar identik dengan saudara-saudara kandungnya yang dibesarkan bersama-sama.[2]

Faktor lingkungan

Faktor lain yang memberi pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter adalah lingkungan di mana seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang seorang manusia dapat alami.[2] Faktor lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian seseorang.[2] Sebagai contoh, budaya membentuk norma, sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan menghasilkan konsistensi seiring berjalannya waktu sehingga ideologi yang secara intens berakar di suatu kultur mungkin hanya memiliki sedikit pengaruh pada kultur yang lain.[2] Misalnya, orang-orang Amerika Utara memiliki semangat ketekunan, keberhasilan, kompetisi, kebebasan, dan etika kerja Protestan yang terus tertanam dalam diri mereka melalui buku, sistem sekolah, keluarga, dan teman, sehingga orang-orang tersebut cenderung ambisius dan agresif bila dibandingkan dengan individu yang dibesarkan dalam budaya yang menekankan hidup bersama individu lain, kerja sama, serta memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan dan karier.[2]

Teori pembentukan kepribadian

Teori pembentukan kepribadian menurut Goerge Herbert Mead memperkenalkan Role Theory (Teori Peran). Menurutnya tahapan sosialisasi yang dilakukan oleh manusia melalui peran-peran yang harus dijalankan. adapun tahapan sosialisasi yang dilakukan manusia hingga terbentuk kepribadian sebagai berikut:[7]

  1. Tahap persiapan (preparatory stage) adalah tahap yang dialami individu sejak lahir ke dunia, pada tahap ini adalah tahapan pemahaman tentang diri sendiri.
  2. Tahap meniru (play stage) adalah tahap anak melakukan tindakan meniru dari proses sosialisasi secara berlahan, anak mulai mengenal lingkungan dan masyarakat sekitar.
  3. Tahap siap bertindak (game stage) adalah anak mulai berinteraksi dengan teman sebaya untuk bersosialisasi, anak juga mulai memahami norma yang berlaku diluar lingkungan keluarga.
  4. Tahap penerimaan norma kolektif (generalized other) adalah anak mencapai proses pendewasaan, dimana anak mampu memahami peran yang seharusnya dilakukan di masyarakat.

Unsur kepribadian

Menurut Koentjaraningrat, unsur-unsur kepribadian terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:[8]

  1. Pengetahuan: Setiap manusia berusaha untuk mengisi pemikirannya dengan berbagai macam pengetahuan yang ada di lingkungannya. Semua hal yang telah dipelajari sebagai pengetahuan direkam dalam otak dan dicerna atau direspon melalui bentuk-bentuk perilaku tertentu.[9]
  2. Perasaan: Merupakan bentuk penilaian seseorang terhadap sesuatu hal yang berupa perasaan positif ataupun negatif sehingga penilaian ini akan memberikan respon yang positif maupun negatif. Setiap perilaku yang didasarkan pada perasaan mempunyai penilaian yang subjektif karena setiap manusia mempunyai penilaian terhadap seseorang itu berbeda-beda.[9]
  3. Dorongan naluri: Adalah keinginan yang ada pada diri seseorang bersumber dari panca indra sebagai aksi yang kemudian dicerna dan diwujudkan dalam bentuk reaksi. Setiap dorongan naluri sebagai perwujudan dari keinginan manusia untuk menanggapi rangsangan tersebut. Sedikitnya ada tujuh dorongan naluri dalam diri manusia, yaitu:[9]
    1. Dorongan untuk mempertahankan hidup.
    2. Dorongan seksual.
    3. Dorongan untuk mencari makan.
    4. Dorongan untuk bergaul dan berinteraksi dengan sesama manusia.
    5. Dorongan untuk meniru tingkah laku sesamanya.
    6. Dorongan untuk berbakti.
    7. Dorongan akan keindahan bentuk, warna, suara, dan gerak.

Sifat-sifat kepribadian

Berbagai penelitian awal mengenai struktur kepribadian berkisar di seputar upaya untuk mengidentifikasikan dan menamai karakteristik permanen yang menjelaskan perilaku individu seseorang.[2] Karakteristik yang umumnya melekat dalam diri seorang individu adalah malu, agresif, patuh, malas, ambisius, setia, dan takut.[10] Karakteristik-karakteristik tersebut jika ditunjukkan dalam berbagai situasi, disebut sifat-sifat kepribadian.[10] Sifat kepribadian menjadi suatu hal yang mendapat perhatian cukup besar karena para peneliti telah lama meyakini bahwa sifat-sifat kepribadian dapat membantu proses seleksi karyawan, menyesuaikan bidang pekerjaan dengan individu, dan memandu keputusan pengembangan karier.[10]

Identifikasi kepribadian

Terdapat sejumlah upaya awal untuk mengidentifikasi sifat-sifat utama yang mengatur perilaku.[11] Seringnya, upaya ini sekadar menghasilkan daftar panjang sifat yang sulit untuk digeneralisasikan dan hanya memberikan sedikit bimbingan praktis bagi para pembuat keputusan organisasional.[11] Dua pengecualian adalah Myers-Briggs Type Indicator dan Model Lima Besar.[11][12] Selama 20 tahun hingga saat ini, dua pendekatan ini telah menjadi kerangka kerja yang dominan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan sifat-sifat seseorang.[11] Acuan yang cukup populer untuk studi kepribadian adalah buku "Personality Plus" yang ditulis oleh Florence Littauer.

Myers-Briggs Type Indicator

Myers-Briggs Type Indicator (MBTI)[13] adalah tes kepribadian menggunakan empat karakteristik dan mengklasifikasikan individu ke dalam salah satu dari 16 tipe kepribadian. Berdasarkan jawaban yang diberikan dalam tes tersebut, individu diklasifikasikan ke dalam karakteristik ekstraver atau introver, sensitif atau intuitif, pemikir atau perasa, dan memahami atau menilai.[11] Instrumen ini adalah instrumen penilai kepribadian yang paling sering digunakan.[14] MBTI telah dipraktikkan secara luas di perusahaan-perusahaan global seperti Apple Computers, AT&T, Citgroup, GE, 3M Co., dan berbagai rumah sakit, institusi pendidikan, dan angkatan bersenjata AS.[14]

Model Lima Besar

Myers-Briggs Type Indicator kurang memiliki bukti pendukung yang valid, tetapi hal tersebut tidak berlaku pada model lima faktor kepribadian yang biasanya disebut Model Lima Besar.[11] Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah besar penelitian mendukung bahwa lima dimensi dasar saling mendasari dan mencakup sebagian besar variasi yang signifikan dalam kepribadian manusia.[15] Faktor-faktor lima besar mencakup ekstraversi (extraversion), mudah akur dan bersepakat (agreeableness), sifat berhati-hati (neuroticism), stabilitas emosi (conscientiousness), dan terbuka terhadap hal-hal baru (openness to experience).[15] Lima dimensi ini ada dalam tiap manusia, namun hanya satu dimensi yang mendominasi.

Penilaian kepribadian

 
Sepuluh kartu yang digunakan dalam Rorschach inkblot test.

Alasan paling penting mengapa manajer perlu mengetahui cara menilai kepribadian adalah karena penelitian menunjukkan bahwa tes-tes kepribadian sangat berguna dalam membuat keputusan perekrutan.[2] Nilai dalam tes kepribadian membantu manajer meramalkan calon terbaik untuk suatu pekerjaan.[2]

Terdapat tiga cara utama untuk menilai kepribadian:[2]

  • Survei mandiri
  • Survei peringkat oleh pengamat
  • Ukuran proyeksi (Rorschach inkblot test dan Thematic Apperception test)

Sifat kepribadian utama yang memengaruhi perilaku organisasi

Evaluasi inti diri

Evaluasi inti diri adalah tingkat di mana individu menyukai atau tidak menyukai diri mereka sendiri, apakah mereka menganggap diri mereka cakap dan efektif, dan apakah mereka merasa memegang kendali atau tidak berdaya atas lingkungan mereka.[16] Evaluasi inti diri seorang individu ditentukan oleh dua elemen utama: harga diri dan lokus kendali.[16] Harga diri didefinisikan sebagai tingkat menyukai diri sendiri dan tingkat sampai mana individu menganggap diri mereka berharga atau tidak berharga sebagai seorang manusia.[16]

Machiavellianisme

Machiavellianisme adalah tingkat di mana seorang individu pragmatis, mempertahankan jarak emosional, dan yakin bahwa hasil lebih penting daripada proses.[16] Karakteristik kepribadian Machiavellianisme berasal dari nama Niccolo Machiavelli, penulis pada abad keenam belas yang menulis tentang cara mendapatkan dan menggunakan kekuasaan.[16]

Narsisisme

Narsisisme adalah kecenderungan menjadi arogan, mempunyai rasa kepentingan diri yang berlebihan, membutuhkan pengakuan berlebih, dan mengutamakan diri sendiri.[2] Sebuah penelitian mengungkap bahwa ketika individu narsisistik berpikir mereka adalah pemimpin yang lebih baik bila dibandingkan dengan rekan-rekan mereka, atasan mereka sebenarnya menilai mereka sebagai pemimpin yang lebih buruk.[2] Individu narsisis sering kali ingin mendapatkan pengakuan dari individu lain dan penguatan atas keunggulan mereka sehingga individu narsisis cenderung memandang rendah dengan berbicara kasar kepada individu yang mengancam mereka.[2] Individu narsisis juga cenderung egois dan eksploitif, dan acap kali memanfaatkan sikap yang dimiliki individu lain untuk keuntungannya.[2]

Pemantauan diri

Pemantauan diri adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan perilakunya dengan faktor situasional eksternal.[17] Individu dengan tingkat pemantauan diri yang tinggi menunjukkan kemampuan yang sangat baik dalam menyesuaikan perilaku dengan faktor-faktor situasional eksternal.[17] Bukti menunjukkan bahwa individu dengan tingkat pemantauan diri yang tinggi cenderung lebih memerhatikan perilaku individu lain dan pandai menyesuaikan diri bila dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat pemantauan diri yang rendah.[17]

Kepribadian tipe A

 
Donald Trump adalah individu berkepribadian tipe A.

Kepribadian tipe A adalah keterlibatan secara agresif dalam perjuangan terus-menerus untuk mencapai lebih banyak dalam waktu yang lebih sedikit dan melawan upaya-upaya yang menentang dari orang atau hal lain.[3] Dalam kultur Amerika Utara, karakteristik ini cenderung dihargai dan dikaitkan secara positif dengan ambisi dan perolehan barang-barang material yang berhasil.[3] Karakteristik tipe A adalah:[3]

  • selalu bergerak, berjalan, dan makan cepat;
  • merasa tidak sabaran;
  • berusaha keras untuk melakukan atau memikirkan dua hal pada saat yang bersamaan;
  • tidak dapat menikmati waktu luang;
  • terobsesi dengan angka-angka, mengukur keberhasilan dalam bentuk jumlah hal yang bisa mereka peroleh.

Kepribadian proaktif

Kepribadian proaktif adalah sikap yang cenderung oportunis, berinisiatif, berani bertindak, dan tekun hingga berhasil mencapai perubahan yang berarti. Pribadi proaktif menciptakan perubahan positif daalam lingkungan tanpa memedulikan batasan atau halangan.[2]

Kepribadian kolektif

Kepribadian kolektif adalah kepribadian yang umumnya dimiliki oleh kelompok masyarakat tertentu, contohnya untuk konteks remaja ada perbedaan antara kepribadian remaja yang tinggal di pelosok desa dengan remaja yang bermukim di kota. Perbedaan kepribadian kolektif bisa dilihat dari segi keterbukaan ekspresi atau bahkan kreativitas meski tetap tidak bisa digeneralisasikan begitu saja.

Teori kepribadian kolektif

Teori pola kebudayaan

Teori pola kebudayaan atau yang lebih dikenal dengan teori etos kebudayaan. Teori ini dicetuskan oleh Ruth Benedict dalam bukunya Pattern of Culture di dalam disebutkan bahwa perbedaan kebudayaan disebabkan oleh perbedaan tipe psikologis. Ada tiga tipe kepribadian kolektif. Tipe yang pertama adalah tipe Apollion. Tipe ini terdapat pada masyarakat petani. Mereka cenderung bersifat tertutup, tenang, dan masih memiliki sifat menolong yang kuat. Tipe kedua adalah tipe di Dionysian. Kelompok dengan tipe ini cenderung bersifat terbuka, suka memamerkan kekayaan, serta menganggap dirinya lebih hebat atau megalomania. Tipe ketiga yaitu Schizophrenia, masyarakat yang selalu curiga terhadap orang lain karena dianggap merugikan atau yang biasa disebut vested interest.[18]

Teori kepribadian status

Teori kepribadian status dikemukakan oleh Ralph ton pada tahun 1936. Linton mengatakan bahwa kepribadian secara primer adalah suatu konfigurasi dari respon-respon yang dikembangkan oleh individu sebagai hasil dari pengalamannya. Sedangkan pengalaman adalah akibat dari hubungan timbal balik dengan lingkungannya. Dalam teorinya, ia juga membagi budaya dalam dua bidang, yang pertama adalah covert culture yaitu kebudayaan yang tidak tampak dan yang kedua adalah overt culture yaitu Kebudayaan fisik atau kebudayaan yang tampak.[18]

Teori gaya hidup petani desa

Teori gaya hidup petani desa dikemukakan oleh Robert Red field. Menurut Robert masyarakat dikelompokkan menjadi tiga bagian yang pertama adalah folk atau masyarakat primitif dan belum memiliki peradaban. Selanjutnya ada person Society atau masyarakat petani desa yang memiliki ketergantungan dengan masyarakat kota. Tipe terakhir adalah Urban Society atau ketergantungan pada masyarakat desa, kebudayaan kompleks, dan mengenal peradaban.[18]

Red Field juga mengungkapkan beberapa jenis kepribadian desa yang memiliki ciri sebagai berikut, utilitarian atau mencari sesuatu yang berguna terhadap alam, prokreasi (banyak anak banyak rezeki), konservatif atau kolot, passive resistance (menolak hal baru secara pasif), dan vested interest yaitu curiga pada hal-hal baru karena dianggap merugikan.[18]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ (Indonesia) Arti kata syahsiah dalam situs web Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Buku 1, Jakarta: Salemba Empat. Hal.126-127
  3. ^ a b c d e f g h i j k (Inggris)Castro JB. 2013. The Science of What Makes an Introvert and an Extrovert. IO9. Diakses 17 Juni 2014. Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "A" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  4. ^ a b c Stein, M. B.; Jang, K. L.; Livesley, W. J. Heritability of Social Anxiety-Related Concerns and Personality Characteristics: A Twin Study, New York: Viking, 2002. hal. 219-224.
  5. ^ admin (2020-01-04). "Resensi Genom: Kisah Spesies Manusia dalam 23 Bab". Pusda Bayat. Diakses tanggal 2020-01-07. [pranala nonaktif permanen]
  6. ^ Arvey, R. D.; Bouchard, T. J. Genetics, Twins, and Organizational Behavior, Greenwich, CT: JAI Press, 1994. hal. 65-66.
  7. ^ Purwasih, Joan Hesti Gita. dkk (2016). Sosiologi Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial. Klaten: PT Intan Pariwara. hlm. 45. ISBN 979-28-1442-2 Periksa nilai: checksum |isbn= (bantuan). 
  8. ^ Gunsu Nurmansyah, Nunung Rodliyah, Recca Ayu Hapsari (2019). Pengantar Antropologi: Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi. Aura Publisher. hlm. 70-72. ISBN 978-623-211-107-3. 
  9. ^ a b c Atik Catur Budiati (2009). Sosiologi Kontekstual Untuk SMA & MA (PDF). Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 83. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-01-22. Diakses tanggal 2020-10-31. 
  10. ^ a b c Buss, A. H. "Personality as a Traits," American Psychologist, November 1989, hal. 1378-1388.
  11. ^ a b c d e f Arvey, R. D. "Genetics, Twin, and Organizational Behavior," Research in Organizational behavior, vol. 16, Greenwich CT: JAI Press, 1994, hal 65-66.
  12. ^ "Kepribadian Big Five: Variabel Psikologi - PsikologiHore!". PsikologiHore!. 9 Desember 2016. Diakses tanggal 12 Desember 2023. 
  13. ^ McCrae, R. R. Reinterpreting the Myers-Briggs Type Indicator from the Perspective of the Five Factor Models of Personality, Journal of Personality, Ney York: Wiley, Maret 1989, hal. 17-40
  14. ^ a b "Identifying How We Think," Hardvard Business Review, Juli-Agustus 1997, hal. 114-115.
  15. ^ a b McCrae, R. R. Special Issue: The Five-Factor Model: Issue and Applications, Journal of Personality, Juni 1992. hal. 304-315.
  16. ^ a b c d e Judge, T. A. A Rose by any Other Name, Personality Psychology in the Workplace, Washington DC: American Psychological Association, hal. 93-118.
  17. ^ a b c Snyder, M. The Psychology of Self-Monitoring, Psychology Bulletin, Juli 2000, hal. 530-555.
  18. ^ a b c d Pudjiastiti, Puline. Sosiologi SMA/MA Kls X. Jakarta: Grasindo. hlm. 69–70. ISBN 978-979-759-614-9. 

Pranala luar