Permesta

gerakan pemberontakan di Indonesia

Perjuangan Semesta atau Perjuangan Rakyat Semesta (ejaan Republik: Perdjuangan Rakjat Semesta) disingkat Permesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin militer dan sipil Indonesia bagian timur pada tanggal 2 Maret 1957. Pusat gerakan ini mulanya berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Namun perlahan-lahan dukungan di Sulawesi bagian selatan mulai hilang sehingga pada 1957 markas Permesta dipindahkan ke Manado yang berada di bagian utara Sulawesi. Di sini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata pada tahun 1961.

Permesta

Pangdam merdeka memberi hormat kepada pasukan permesta
Tanggal1957–1961
LokasiIndonesia Timur
Hasil Deklarasi Damai di Desa Woloan Tomohon dan dihadiri langsung oleh Perwakilan Blok Timur dan Blok Barat
Pihak terlibat
 Indonesia

Permesta
Indonesia PRRI
 Amerika Serikat[a][b]


Tentara bayaran dari:[1]
 Amerika Serikat
 Filipina
 Polandia
 Taiwan
Tokoh dan pemimpin
Soekarno
Abdul Haris Nasution
Omar Dhani
Djamin Ginting
Ventje Sumual
Alex Kawilarang
Joop Warouw Dihukum mati
Daniel Julius Somba
Allen Lawrence Pope
William H. Beale
Didukung:
Indonesia Sjafruddin Prawiranegara

Latar belakang

Pemberontakan PRRI di barat dan Permesta di timur menumbuhkan berbagai macam alasan. Utamanya bahwa kelompok etnis tertentu di Sulawesi dan Sumatra Tengah waktu itu merasa bahwa kebijakan pemerintahan dari Jakarta stagnan pada pemenuhan ekonomi lokal mereka saja, di mana dalam gilirannya membatasi setiap kesempatan bagi pengembangan daerah regional lainnya.[2] Juga ada rasa kebencian terhadap kelompok suku Jawa, yang merupakan suku dengan jumlah terbanyak dan berpengaruh dalam negara kesatuan Indonesia yang baru saja terbentuk.[3] Ketidakseimbangan terjadi karena ajang politik Indonesia terpusat di pulau Jawa, sedangkan sumber-sumber perekonomian negara lebih banyak berasal dari pulau-pulau lain.[4][5][6] Efeknya konflik ini sedikit menyoal pikiran tentang pemisahan diri dari negara Indonesia, tetapi lebih menitikberatkan tentang pembagian kekuatan politik dan ekonomi yang lebih adil di Indonesia.[7][8]

Awal gerakan

Upaya sebelum proklamasi

Pada awal tahun 1957, pimpinan daerah di Makassar baik dari pemerintah dan dari militer mengunjungi Jakarta. Pada bulan Januari 1957, Letkol Muhammad Saleh Lahade dan Mayor Andi Muhammad Jusuf Amir (M. Jusuf) bertemu dengan KASAD Jenderal Abdul Haris Nasution.[9] Pada waktu itu, Lahade adalah Kepala Staf Komando Pengamanan Sulawesi Selatan Tenggara (Ko-DPSST), sedangkan M. Jusuf adalah Komandan Resimen Infanteri Hasanuddin (RI-Hasanuddin).[10] Kemudian pada bulan Februari, Gubernur Sulawesi Andi Pangerang Pettarani bertemu dengan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Menteri Dalam Negeri R. Sunarjo.[11][12] Pangerang mendesak pemerintah pusat untuk mengupayakan otonomi yang lebih besar untuk daerah di Indonesia timur. Selain otonomi yang lebih besar untuk tingkat daerah, juga pembagian pendapatan pemerintah yang lebih banyak untuk daerah guna pelaksanaan proyek-proyek pembangunan lokal.[13] Sedangkan perwakilan militer dari Makassar berusaha mendesak pimpinan TNI Angkatan Darat (TNI-AD) untuk mendukung hal-hal yang sama yaitu otonomi daerah yang lebih besar dan pembagian pendapatan yang akan digunakan untuk pembangunan daerah setempat. Selain itu, mereka juga meminta agar Ko-DPSST yang berada di bawah naungan langsung dari Markas Besar TNI-AD (daripada di bawah Tentara dan Territorium VII (TT-VII) yang bermarkas di Makassar) segera digantikan dengan sebuah Komando Daerah Militer (KDM).[9]

Pada akhir bulan Februari 1957, Andi Burhanuddin dan Henk Rondonuwu sebagai delegasi dari pemerintah Provinsi Sulawesi berangkat ke Jakarta sebagai upaya terakhir untuk mendesak pemerintah pusat tentang hal-hal yang dibicarakan bulan sebelumnya. Selain mereka, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual juga mengunjungi Jakarta untuk tujuan yang sama dan untuk bertemu dengan perwira-perwira yang simpatik terhadap usaha mereka.[12] Pada tanggal 1 Maret 1957, Sumual bersama Burhanuddin dan Rondonuwu kembali ke Makassar karena upaya mereka tidak berhasil. Sebelumnya pada tanggal 25 Februari 1957, telah terjadi rapat pimpinan pemerintah dan militer di Makassar untuk merencanakan proklamasi Permesta bila tidak ada tanggapan konkrit dari pemerintah pusat.[14]

Proklamasi Permesta

 
Peta aktivitas TNI Angkatan Laut melawan PRRI (Pemerintah Revolusi Republik Indonesia) dan Permesta

Pada tanggal 2 Maret 1957 pukul 03.00 di kediaman gubernur di Makassar dan di hadapan sekitar 50 hadirin, Sumual memproklamasikan keadaan perang untuk seluruh wilayah TT-VII yaitu seluruh wilayah Indonesia timur.[15] Selanjutnya Lahade membacakan Piagam Perjuangan Semesta atau Piagam Permesta.[16] Pada bagian akhir piagam tersebut mengenai "TJARA-TJARA PERDJOANGAN" dituliskan bahwa "pertama-tama dengan mejakinkan seluruh pimpinan dan lapisan masjarakat, bahwa kita tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia, dan semata-mata diperdjoangkan untuk perbaikan nasib rakjat Indonesia dan penjelesaian bengka-lai revolusi Nasional." Piagam tersebut ditanda-tangani para hadirin. Setelah pembacaan piagam, disusul pidato dari Gubernur Andi Pangerang yang meminta agar semua tetap tenang dan tetap menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing.[17]

Hari berikutnya, susunan pemerintahan militer diumumkan di mana Sumual menjabat sebagai administrator militer dengan Lahade sebagai kepala staf. Terdapat juga Dewan Pertimbangan Pusat yang beranggotakan 101 orang dan empat gubernur militer di bawah Sumual yaitu Andi Pangerang untuk Sulawesi Selatan dan Tenggara, Mayor Daniel Julius (D. J.) Somba untuk Sulawesi Utara dan Tengah, Letkol Herman Pieters untuk Maluku dan Irian Barat, dan Letkol Minggu untuk Nusa Tenggara. Pada saat itu, Somba adalah Komandan Resimen Infanteri 24 (RI-24) yang bermarkas di Manado, Pieters adalah Komandan Resimen Infanteri 25 (RI-25) yang bermarkas di Ambon, dan Minggu adalah Komandan Resimen Infanteri 26 (RI-26) yang bermarkas di Bali. Panggerang dilantik pada tanggal 8 Maret, sedangkan Somba dilantik di Manado pada tanggal 11 Maret.[18]

Tanggapan dari Jakarta

Tanggapan pemerintah pusat

Pada tanggal 14 Maret 1957, sebuah delegasi yang diketuai Henk Rondonuwu datang ke Jakarta dengan maksud untuk bertemu dengan Presiden Soekarno dan Mohammad Hatta secara terpisah dan memberi penjelasan kepada mereka tentang tujuan Permesta. Menurut laporan delegasi, dalam pertemuan Sukarno tampak lega setelah mendengar jaminan bahwa Permesta tidak bermaksud untuk pecah dari negara Republik Indonesia. Sedangkan dalam pertemuan dengan Hatta, ia terkesan dengan isi piagam Permesta setelah membacanya.[19] Pada hari yang sama Perdana Menteri Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya kembali kepada Soekarno yang kemudian menyatakan negara dalam keadaan darurat perang atas usulan Nasution.[20] Sukarno menunjuk Ir. Juanda sebagai perdana menteri baru.

Juanda membentuk sebuah tim untuk mengadakan pendekatan dengan Sumual. Ia memilih empat pejabat tinggi yang berasal dari daerah Minahasa karena Sumual juga berasal dari Minahasa. Keempat pejabat adalah Menteri Industri Freddy Jaques (F. J.) Inkiriwang, Menteri Kehakiman Gustaaf Adolf (G. A.) Maengkom, mantan Menteri Penerangan dan Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok Arnold Mononutu, dan Duta Besar Indonesia untuk Kanada Lambertus Nicodemus (L. N.) Palar.[21] Pada bulan Juli 1957, tim ini berangkat ke Sulawesi Utara dengan maksud untuk bertemu dengan Sumual, Somba, dan pejabat Permesta lainnya. Pada saat itu, markas Permesta telah pindah ke Sulawesi Utara. Setelah pertemuan dengan Sumual pada tanggal 23 Juli 1957, delegasi mengumumkan hal-hal yang telah disepakati, termasuk pengakuan provinsi-provinsi berotonomi di Indonesia timur yang salah satu di antaranya adalah Provinsi Sulawesi Utara. Juga disepakati pembentukan sebuah universitas di Sulawesi Utara.[22]

Satu lagi hal yang disepakati adalah penyelengaraan Musyawarah Nasional (MUNAS) untuk meredakan ketegangan di daerah-daerah. MUNAS ini akhirnya diselenggarakan pada 10 sampai 14 September 1957 dan membahas permasalahan di dalam pemerintahan, perekonomian, angkatan bersenjata, dan juga dwi tunggal Soekarno-Hatta.[23] Untuk kelanjutan usaha MUNAS, sebuah komite beranggotakan tujuh orang dibentuk. Pada tanggal 27 September 1957, Sukarno mengadakan kunjungan ke Sulawesi Utara selama dua hari dan berpidato tentang kesatuan bangsa dan negara di Manado, Tomohon, dan Tondano. Pidatonya diterima dengan baik oleh masyarakat, tetapi masyarakat juga membawa spanduk-spanduk yang mendukung Sumual dan Permesta. Pada bulan November 1957, diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan sebagai tindak kelanjutan MUNAS beberapa bulan sebelumnya.[24] Sayangnya, pertemuan-pertemuan ini yang pada awalnya memberi kemungkinan penyelesaian permasalahan, tapi pada akhirnya tidak bisa menghasilkan sesuatu yang bisa disetujui semua pihak.

Tanggapan TNI-AD

Pada hari yang sama Permesta diproklamirkan, Nasution mengirim radiogram kepada Sumual dan juga kepada Kolonel Sudirman yang pada waktu itu adalah Komandan Ko-DPSST. Ia menginstruksikan kepada mereka untuk tidak mengambil tindakan yang dapat membahayakan keamanan tentara dan rakyat di Makassar. Sumual dan Sudirman memang sudah mengadakan hubungan secara tidak langsung dan bersepakat untuk menjaga keamanan di kota Makassar.[25] Kemudian dalam pertemuan seluruh komandan Tentara dan Territorium di Markas Besar TNI-AD pada tanggal 15 Maret 1957 yang turut dihadiri oleh Sumual dan Sudirman, gubernur-gubernur militer yang sudah ditunjuk di TT-VII diterima untuk sementara.[20]

Nasution menyetujui dibentuknya KDM seperti yang dicetuskan oleh Lahade dan Jusuf kepada Nasution dalam pertemuan mereka pada bulan Januari. Pembagian KDM dari wilayah TT-VII berdasarkan wilayah-wilayah ke empat gubernur militer yang dibentuk setelah Permesta diproklamirkan. KDM Sulawesi Selatan Tenggara (KDM-SST) diresmikan pada oleh Nasution di Makassar pada tanggal 1 Juni 1957. Nasution menunjuk Letkol Andi Mattalatta sebagai Komandan KDM-SST dan Mayor Haeruddin Tasning sebagai Kepala Staf KDM-SST.[26] Kemudian pada tanggal 26 June 1957, Pieters diangkat sebagai Komandan KDM Maluku dan Irian Barat, dan pada tanggal 5 Juli 1957, Minggu diangkat menjadi Komandan KDM Nusa Tenggara. Somba diangkat menjadi Komandan KDM Sulwaesi Utara dan Tengah pada tanggal 28 September 1957.

Dengan peleburan Ko-DPSST di mana sebagian besar batalion berasal dari Tentara Teritorium V/Brawijaya di Jawa dan pembentukan KDM-SST yang dipimpin oleh perwira-perwira asal Sulawesi Selatan telah memenuhi keinginan Jusuf yang juga berasal dari Sulawesi Selatan. Namun TT-VII juga dileburkan sehingga Sumual tidak lagi mempunyai jabatan di Makassar. Pada tanggal 4 Juni 1957, dalam pertemuan para perwira yang mendukung dibentuknya Permesta mulai terjadi perpecahan antara mereka yang berasal dari Sulawesi Selatan dan yang berasal dari Sulawesi Utara.[27] Akibat hilangnya dukungan para perwira Sulawesi Selatan, termasuk Andi Pangerang, Sumual memindahkan markas Permesta ke Sulawesi Utara di Kinilow.[28] Perbedaan pendapat tentang bagaimana gerakan Permesta harus berlanjut bisa juga dipisahkan antara mereka yang ingin perang jika diharuskan untuk mencapai tujuan Permesta dan mereka yang tidak ingin perang. Perpecahan dari segi ini juga berdasarkan asal mereka (Sulawesi Selatan atau Sulawesi Utara). Pada tahun 1970-an, Sumual bertemu kembali dengan Jusuf. Pada kesempatan itu, Jusuf berkata kepada Sumual, "Ven, kalau aku Permesta saja, kau Permesta perang".[5]

Hubungan Permesta dan PRRI

Pada bulan yang sama diselenggarakanya MUNAS, Sumual bertemu dengan Letkol Ahmad Husein dan Letkol Barlian di Palembang. Husein adalah ketua Dewan Banteng yang memperjuangkan hal-hal yang sama dengan Permesta di Sumatera Barat. Sedangkan Barlian memrakarsai Dewan Garuda dengan tujuan yang sama. Ketiga perwira ini menanda-tangani Piagam Persetujuan Palembang yang berisi tuntutan-tuntutan kepada pemerintah pusat antara lain "pemulihan Dwitunggal", "mengganti pimpinan Angkatan Darat sebagai langkah pertama terhadap stabilisasi TNI", "desentralisasi dalam sistem pemerintahan negara yang antaranya meliputi pemberian otonomi yang luas bagi daerah", dan "melarang komunisme".[29] Pada tanggal 9 Januari 1958, Sumual kembali ke Sumatra tepatnya di Sungai Dareh di Sumatera Barat dan bertemu kembali dengan Husein. Ia juga bertemu dengan pimpinan gerakan di Sumatra lainnya yaitu Sumitro Djojohadikusumo, Mohammad Natsir, dan Kolonel Maludin Simbolon.[30]

Setelah pertemuan di Sungai Derah, Sumual berangkat ke Singapura dan kemudian ke Hong Kong. Di Hong Kong, Sumual bertemu dengan Kolonel Joop Warouw yang pada saat itu adalah atase militer di Beijing. Ia juga menjabat sebagai Panglima TT-VII sebelum Sumual.[31] Mereka kemudian berangkat ke Tokyo untuk bertemu dengan Soekarno yang sedang berkunjung di sana. Maksud pertemuan dengan Soekarno pada tanggal 5 Februari 1958 tidak lain adalah untuk mendesak Soekarno supaya mengambil tindakan terhadap krisis yang sedang berkecamuk di Indonesia.[32]

Pada tanggal 10 Februari 1958, Husein mengumumkan Piagam Perjuangan untuk Menyelamatkan Negara. Dalam piagam ini, pemerintah pusat diberi waktu lima hari untuk melaksanakan hal-hal yang tertera di dalam piagam yang antara lain adalah kepada Kabinet Djuanda untuk mengembalikan mandat kepada Soekarno dan kepada "tokoh nasional" Hatta dan Hamengku Buwono IX untuk membentuk sebuah Zaken Kabinet Nasional yang "bersih dari anasir-anasir anti-Tuhan".[33]

Dengan berakhirnya batas waktu yang telah ditentukan, pada tanggal 15 Februari 1958, sebuah Dewan Perjuangan di Padang mengumumkan terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Nama lengkap dari Dewan Perjuangan adalah Dewan Perjuangan Umum Seluruh Rakyat Indonesia yang Mengingini Kemerdekaan Negara dan Bangsa.[34] Anggota Kabinet PRRI yang dibentuk termasuk Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri, Simbolan sebagai Menteri Luar Negeri, dan Djojohadikusumo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran. Dari Permesta, Warouw diangkat menjadi Menteri Pembangunan, Lahade diangkat menjadi Menteri Penerangan, dan Mochtar Lintang diangkat menjadi Menteri Agama. Sedangkan Sumual diangkat menjadi Komandan Angkatan Darat PRRI.[35] Pengangkatan unsur Permesta di Kabinet PRRI diketahui oleh Sumual, tetapi ia tidak memberi persetujuan langsung sebelum terjadinya pengumuman.[36]

Perbedaan tanggapan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara

Di Manado, Somba harus menanggapi berita terbentuknya PRRI. Sebagai Panglima KDM-SUT, ia harus memilih apakah akan memutuskan hubungan dengan pemerintah di Jakarta dan memihak kepada PRRI. Beberapa dari stafnya termasuk Mayor Jan Willem "Dee" Gerungan, Abe Mantiri, dan Kapten Lendy Tumbelaka mendesak Somba untuk berpihak kepada PRRI.[37][38] Sumual pada waktu itu masih berada di luar negeri di Manila.[39] Pada tanggal 16 Februari 1958, terjadi rapat massal di lapangan Sario di Manado. Somba pada akhirnya memilih apa yang diserukan masyarakat yang menghadiri rapat massal tersebut dan desakan stafnya, yaitu untuk memutus hubungan dengan pemerintah di Jakarta.[40][41][42] Somba diberhentikan secara tidak hormat oleh TNI-AD setelah pernyataannya.[43] Sumual dan Lahade juga diberhentikan secara tidak hormat pada tangggal 1 Maret 1958.[44] Warouw juga bergabung dengan Permesta dan dia diberhentikan dengan tidak hormat pada tanggal 6 Mei 1958.[45]

Di Makassar, tanggapan terhadap terbentuknya PRRI tidak sama dengan di Manado. Para penanda-tangan naskah Piagam Permesta asal Sulawesi Selatan telah mulai perlahan-lahan berhenti mendukung gerakan tersebut. Penanda-tangan seperti Jusuf (Komandan RI-Hasanuddin), Mattalatta (Komandan KDM-SST), dan Pangerang (Gubernur Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara) mulai memihak ke pemerintah pusat.[46] Masih ada beberapa orang seperti Lahade, Lintang, dan beberapa pemimpin sipil lainnya yang masih memihak dengan gerakan Permesta. Setelah sempat melarikan diri ke luar kota Makassar, akhirnya pada tanggal 27 Mei 1958, Lahade dan Lintang ditangkap. Mereka ditahan di Makassar sampai September 1957, kemudian dibawah ke Denpasar dan selanjutnya ke Madiun di mana mereka ditahan sampai tahun 1962.[47]

Kemelut bersenjata

Pemboman Manado oleh AURI

Selang enam hari dari pernyataan Somba di lapangan Sario, pemerintah pusat melakukan pemboman di kota Manado. Pada tanggal 22 Februari 1958 jam 08.15, dua pesawat pembom B-25 Mitchell dari Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) melakukan pemboman dengan sasaran stasiun radio.[48] Terjadinya pemboman di Manado menguatkan keputusan dua perwira asal Minahasa yang sebelumnya tidak antusias untuk bergabung dengan Permesta. Mereka adalah Warouw yang ikut dengan Sumual untuk bertemu dengan Soekarno di Tokyo dan Kolonel Alexander Evert (A. E.) Kawilarang yang pada waktu itu adalah atase militer di Washington, D. C.[49] Kawilarang adalah perwira TNI yang berprestasi yang pernah mengepalai tiga teritorium yaitu TT-I/Bukit Barisan di Medan, TT-III/Siliwangi di Bandung, dan juga TT-VII sebelum Warouw dan Sumual.

Pemboman juga mengakibatkan rakyat di Sulawesi Utara lebih antusias terhadap pergolakan Permesta. Dua hari setelah pemboman, KDM-SUT menginstruksikan para bekas prajurit KNIL untuk datang melaporkan diri dan bergabung dengan Permesta. Diperkirakan sekitar 2000 dari mereka yang melaporkan diri. Walaupun umur mereka sudah lanjut karena KNIL merupakan wadah untuk prajurit Indonesia pada masa pendudukan Belanda, tapi mereka bisa digunakan untuk melatih para pemuda yang berdatangan untuk ikutserta dalam pergolakan Permesta.[50] Pelatihan dilaksanakan di Langowan selama tiga bulan di mana jumlah pemuda yang dilatih bisa dibentuk menjadi tujuh kompi.[51] Selain itu, sebuah satuan untuk wanita juga dibentuk yang dinamakan Pasukan Wanita Permesta (PWP).[52]

Campur tangan asing

Selama tahun 1957, pihak Amerika meningkatkan perhatian bahwa Indonesia akan sangat rapuh di bawah komunisme akibat meningkatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI).[53] Kemudian pada awal tahun 1958, Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA atau Central Intelligence Agency) mulai mengembangkan jaringan dukungan misi rahasia kepada Permesta (dan PRRI). Pertemuan antara CIA dengan Sumual dan juga Nun Pantouw, yang ditugaskan oleh Sumual untuk mengelola barter kopra yang dikirim langsung dari Sulawesi ke luar negeri, terjadi beberapa kali di Singapura dan Manila. Setelah mendengar tentang serangan AURI di Manado, Sumual bergegas untuk pulang ke Manado bersama Pantouw. Mereka berencana menumpang sebuah pesawat charteran Consolidated PBY Catalina. Sumual kemudian mengetahui bahwa CIA ingin ikutserta dalam usaha mereka dan memberi bantuan setelah Sumual disambut di depan pesawat charteran oleh Brigjen Pelagio Cruz yang adalah direktur koordinasi inteligen nasional untuk Filipina. Ia mengatakan bahwa muatan di belakang pesawat adalah "niat baik dari Amerika". Niat baik tersebut berupa enam senapan mesin berat yang menggunakan peluru kaliber .50.[54]

Kemudian pengiriman persenjataan yang dilakukan lewat laut berupa senjata ringan, granat tangan, amunisi, dan senjata multikru.[55] Namun dukungan CIA yang lebih besar terlihat dengan pengiriman pesawat-pesawat yang membentuk angkatan udara Permesta dinamakan Angkatan Udara Revolusioner (AUREV). Pesawat-pesawat yang dikirim adalah 15 buah pesawat bomber Douglas A-26 Invader dan pesawat petarung North American P-51 Mustang.[56] Tidak hanya pesawat saja yang dikirim, tapi juga pilot, mekanik, persenjataan pesawat, dan suku-suku cadang.[57]

Persenjataan juga datang dari Taiwan, tapi bedanya Permesta harus membayar untuk mendapatkan persenjataan tersebut. Kiriman pertama berupa 100 buah senapan dan tiga buah senapan non elastis M20 yang didatangkan dengan pesawat PBY Catalina. Kemudian Taiwan mengirim sebuah kapal yang berisi persenjataan yang bisa digunakan oleh prajurit sebanyak beberapa batalyon, senjata lapangan, dan senjata anti pesawat. Selain itu juga, persetujuan dengan Taiwan termasuk dua buah pesawat transport Beech C-45 dengan disertai tiga pilot sewaan.[58]

Serangan-serangan AUREV

Pada tanggal 13 April 1958 pukul 03.00, pesawat AUREV B-26 berangkat dari lapangan udara Mapanget (sekarang adalah Bandar Udara Internasional Sam Ratulangi). Tujuannya adalah lapangan udara Mandai (sekarang Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin) di Makassar. Mereka sampai di tujuan pada pukul 05.30 dan membom serta menembaki landasan udara selama 15 menit.[59] Kemudian pada tanggal 16 April 1958, pesawat C-45 yang dibeli dari Taiwan berangkat dari lapangan udara Kalawiran. Lapangan udara ini terletak di dekat Langowan dan adalah bekas peninggalan Belanda.[60] Tujuan pesawat C-45 adalah lapangan udara di Balikpapan. Selain pemboman terhadap landasan udara, satu pesawat transport AURI juga hancur. Pada tanggal 20 April 1958, pesawat B-26 dari Mapanget menyerang Palu.[61] Sehari kemudian, pesawat B-26 disertai dua pesawat P-51 menyerang pangkalan udara yang terletak di pulau Morotai (sekarang Bandar Udara Pitu). Selain itu, sasaran kedua adalah pangkalan udara di Jailolo di pulau Halmahera. Selama beberapa hari selanjutnya, serangan udara kembali dilakukan di tempat-tempat tersebut dengan tambahan Ternate.[62][63]

Pada tanggal 28 April 1958, pelabuhan di Donggala (dekat Palu) dan Balikpapan kembali diserang. Di Donggala, kapal-kapal komersial berbendera luar negeri Flying Lark, Aquela, dan Armonia ditengelamkan dan di Balikpapan, kapal komersial San Flaviano ditenggelamkan.[64][65] Selain itu, kapal perang RI Hang Tuah juga tenggelam akibat serangan AUREV di mana 18 awak kapal meninggal dan 28 cedera berat. Pada saat diserang, kapal perang ini baru saja meninggalkan Balikpapan menuju Jawa Timur untuk bergabung dengan armada yang disiapkan untuk menyerang Minahasa.[66]

Operasi Jakarta

Sebelumnya pada tanggal 26 April 1958, Sumual memimpin pasukan yang diangkut oleh beberapa kapal dari Manado menuju ke pulau Morotai dengan tujuan untuk merebut pangkalan udara di sana. Sumual telah meminta AUREV untuk menyerang Morotai lewat udara sebelum Sumual dan pasukannya sampai. Serangan dilakukan dengan pesawat B-26 yang dipiloti oleh Allen Pope yang baru saja tiba di Mapanget dari Filipina. Sebuah pesawat P-51 ikut juga dalam penyerangan. Setelah sampai di Morotai malam sebelumnya, pada keesokan harinya pukul 06.00, pasukan yang dipimpin Sumual memulai penyerangan mereka. Pangkalan udara yang hanya dijaga oleh beberapa tentara AURI dan polisi langsung menyerah tanpa perlawanan.[62] Sumual kemudian meninggalkan satu kompi di Morotai dan berangkat ke Halmahera. Mereka tidak mendapat perlawanan dan berhasil menduduki Jailolo beserta pangkalan udaranya.[67]

Penyerangan di Morotai sebenarnya adalah tahap pertama dari penyerangan bertahap yang direncanakan Sumual dan dinamakan Operasi Jakarta. Operasi Jakarta I adalah untuk merebut pangkalan udara di Morotai. Kemudian Operasi Jakarta II adalah untuk merebut kembali daerah sekitar Palu yang dikuasai oleh TNI dan diteruskan dengan Operasi Jakarta III dengan target Balikpapan dan bagian selatan Kalimantan. Akhir tujuan operasi adalah menyerang Jakarta.[5][68] Sumual menilai keberhasilan operasi militer ini bisa menyakinkan perwira-perwira TT-IV/Diponegoro dan TT-V/Brawijaya yang simpatis terhadap usaha yang salah satu tujuannya adalah untuk mengembalikan dwi tunggal Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.[50][69]

Pada tanggal 8 Mei 1958, Somba memulai Operasi Jakarta II dengan merebut kembali Parigi di dekat Palu dengan bantuan pesawat-pesawat AUREV.[50][67] Sebelumnya pada tanggal 18 April 1958, TNI telah merebut Parigi dan juga Donggala dan Palu dalam Operasi Insjaf.[70]

Tertangkapnya Allen Pope

Selama bulan April dan awal Mei 1958, serangan AUREV terus berlanjut termasuk serangan ke Ambon dan Kendari.[71] AUREV secara mutlak menguasai udara di Indonesia timur. Di daratpun selain Mapanget, Permesta menguasai lapangan-lapangan udara di Jailolo, Kalawiran, Morotai, Tasuka (pangkalan pesawat terbang laut di Danau Tondano), dan Tolotio (sekarang Bandar Udara Jalaluddin).[60] Namun arus keberhasilan Permesta mulai terhenti pada pertengahan Mei 1958.

Pada tanggal 18 Mei 1958, Pope bersama operator radio Harry Rantung berangkat dengan pesawat B-26 menuju ke Ambon dan lapangan udaranya untuk ke sekian kalinya. Setelah membom landasan, karena masih ada satu bom lagi Pope mencoba menemukan armada TNI yang datang untuk menduduki kembali kepulauan Halmahera. Setelah ditemukannya, Pope memfokuskan serangan ke kapal transport prajurit RI Sewaga. Ia tidak melihat kedatangan sebuah P-51 yang dipiloti Kapten Ignatius Dewanto. Tembakan Dewanto pada saat Pope sedang menyiapkan pesawatnya untuk pemboman mengenai sayap kanan pesawat. Sedangkan tembakan dari konvoi kapal mengenai perut pesawat. Pesawat kemudian mulai terbakar dan Pope berteriak kepada Rantung untuk loncat keluar.[72] Pada waktu Pope loncat keluar kakinya kena ekor pesawat. Pope dan Rantung turun dengan parasut dan jatuh di pinggir Pulau Hatata yang terletak di sebelah barat Ambon. Pope dalam keadaan mengenaskan, tapi Rantung masih sempat menolong. Mereka berdua ditemukan oleh warga setempat yang disertai beberapa prajurit marinir dari KRI Sewaga yang dipimpin Letkol KKO Huhnholz.[73]

Dua hari kemudian, orang-orang CIA di Mapanget mendapat perintah dari Filipina untuk mengundurkan diri dari Manado. Pope baru saja hilang beberapa hari sebelumnya dan mereka tidak tahu kalau dia tewas atau sudah ditangkap.[74] Pernyataan resmi tentang Pope oleh pemerintah Indonesia baru keluar pada tanggal 27 Mei 1958.[75] Namun sebelum Pope hilang, pemerintah Amerika Serikat sudah ada sentimen untuk mengubah kebijakan terhadap situasi di Indonesia. Kesimpulan mereka bahwa masih ada perwira-perwira tinggi TNI di Jawa yang menentang gerakan komunis seperti Letjen Ahmad Yani membuat perubahan dukungan ke pemerintah Indonesia masih bisa dipahami.[76] Pada sebuah seminar tentang Permesta di Universitas Indonesia pada tahun 1991 yang dihadiri oleh Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Sumual berkomentar, "Amerika membantu kami demi mengamankan kepentingannya. Kalau kemudian dia berubah, meninggalkan kami dan membantu jenderal di Jakarta, itu juga demi kepentingan negara mereka sendiri."[5]

Operasi Nunusaku

Beberapa hari sebelum Pope ditembak jatuh dan CIA menarik asetnya dari Mapanget, sebuah operasi AURI yang dinamakan Operasi Nunusaku dilakukan untuk melumpuhkan pesawat-pesawat AUREV. Sejumlah pesawat AURI yang terdiri dari lima buah pesawat P-51, empat buah pesawat B-25, dan satu buah PBY Catalina dikumpulkan untuk operasi ini.[77] Sebelum penyerangan dilakukan, pesawat-pesawat ini terbang ke beberapa lapangan udara di sekitar Ambon pada sore hari untuk menghindari serang AUREV yang biasa dilakukan pada siang hari. Pada tanggal 15 Mei 1958 pukul 04.00, mereka berangkat menuju ke sasaran mereka. Sebagian menuju Mapanget dan sebagian menuju ke Kalawiran. Di Mapanget, mereka melakukan serangan di mana pesawat B-25 membom landasan dan pesawat P-51 menembaki pesawat-pesawat AUREV yang sedang diparkir. Sebuah roket mengenai pesawat PBY Catalina dan pesawat itu langsung terbakar. Setelah penyerangan, pesawat AUREV yang tersisa yang masih berfungsi di Mapanget masing-masing tinggal satu B-26 dan satu P-51. Sedangkan serangan AURI di lapangan udara Kalawiran menghancurkan kedua pesawat C-45 yang berasal dari Taiwan.[78]

Pada tanggal 9 Juni 1958, AURI kembali melakukan serangan ke lapangan udara Mapanget. Pesawat-pesawat P-51 datang dari Morotai (yang telah jatuh ke tangan TNI). Namun serangan ini tidak membuahkan hasil seperti serangan sebelumnya. Kali ini pertahanan di Mapanget dengan senapan-senapan anti pesawat lebih siap. Dua pesawat P-51 AURI berhasil ditembak jatuh di mana satu pilot tewas.[79]

Operasi Mena

 
Pasukan KKO ALRI di pulau Morotai.

Operasi Mena adalah bagian dari operasi gabungan yang diberi nama Operasi Merdeka.[80] Operasi ini ditugaskan oleh pemerintah pusat untuk menumpas pemberontakan Permesta. Operasi Mena sendiri yang terdiri dari Operasi Mena I dan Operasi Mena II bertujuan untuk mengamankan Kepulauan Halmahera. Operasi Mena I yang dipimpin oleh Pieters ditugaskan untuk merebut kembali Jailolo, sedangkan Operasi Mena II yang dipimpin oleh Holnhulz ditugaskan untuk merebut kembali Morotai.[81] Pada tanggal 27 Mei 1958 dalam sebuah konferensi pers yang diadakan di Jakarta, Pieters mengatakan bahwa sekitar 400 prajurit Permesta telah dikepung di Jailolo dan telah menerima ultimatum dari TNI untuk menyerahkan diri. Pieters berada di Jakarta pada waktu itu untuk membawa tahanan Allen Pope yang ditangkap di Ambon.[82] Sedangkan Holnhulz merebut kembali Morotai pada tanggal 20 Mei 1958. Holnhulz termasuk dalam Amphibious Task Force 21 (ATG-21 atau Gugus Tugas Amphibi 21) dari Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). ATF-21 terdiri dari dua kapal angkut pasukan yaitu RI Sawega dan RI Baumasepe dan lima kapal penyapu ranjau (PR).[83] Pasukan marinirnya mendarat dan menyerang pada dini hari dengan diikuti oleh Pasukan Gerak Cepat (PGT) yang terjun dari pesawat AURI.[84]

Operasi Sapta Marga

 
Pasukan KKO ALRI bergerak ke Amurang.

Operasi Sapta Marga juga adalah bagian dari operasi gabungan Operasi Merdeka.[80] Operasi Sapta Marga sendiri yang terdiri dari empat operasi terpisah bertujuan untuk merebut kembali daerah-daerah di Sulawesi Utara dan Tengah. Operasi Sapta Marga I dipimpin oleh Letkol Inf Sumarsono untuk merebut kembali Sulawesi Tengah. Operasi Sapta Marga II dipimpin Mayor Agus Prasmono untuk merebut kembali Gorontalo termasuk lapangan udara Tolotio dan untuk memberi dukungan terhadap gerilyawan pimpinan Nani Wartabone yang berpihak pada pemerintah pusat.[85] Operasi Sapta Marga III dipimpin oleh Letkol Inf Ernst Julius (E. J.) Mangenda untuk merebut kembali kepulauan Sangihe dan Talaud di utara Manado.[86] Operasi Sapta Marga IV dipimpin oleh Letkol Inf Rukmito Hendraningrat untuk merebut kembali basis utama Permesta di Sulawesi Utara.[87]

Operasi Sapta Marga II berhasil merebut kembali Gorontalo pada pertengahan Mei 1958 dengan bantuan Nani Wartabone setelah sebelumnya daerah itu direbut oleh pasukan Permesta dari Wartabone pada tanggal 17 Maret 1958.[88] Sebelumnya pada tanggal 19 Februari 1958, Somba membagi daerah militer KDM-SUT menjadi dua regimen. Sektor I/Resimen Tim Pertempuran Ular Hitam meliputi Sangihe dan Talaud, Minahasa, dan Bolaang-Mongondow dipimpin oleh Mayor Dolf Runturambi. Kemudian Sektor II/Resimen Tim Pertempuran Anoa meliputi Sulawesi Tengah dipimpin oleh Gerungan.[50] Somba sendiri bersama tiga batalyon berangkat ke Sulawesi Tengah pada bulan April 1958 untuk mencoba merebut kembali daerah Palu dan Donggala.[52] Namun dengan jatuhnya Gorontalo melalui Operasi Sapta Marga II, Somba menjadi terpisah dengan basis di Minahasa dan terpaksa harus melakukan perjalanan kembali ke Minahasa melewati daerah yang sudah dikuasai TNI. Perjalanan ini memakan waktu dua bulan dan pasukannya banyak yang menjadi korban baik akibat penyakit maupun akibat serangan-serangan musuh selama perjalanan. Sayangnya, Gerungan dan pasukannya sekitar 200 orang memilih untuk ke selatan. Mereka akhirnya bergabung dengan Abdul Kahar Muzakkar. Pada tahun 1965, Gerungan ditangkap, diadili, dan dieksekusi.[88] Operasi ketiga, yaitu Operasi Sapta Marga III Sangihe dan Talaud berhasil diamankan pada tanggal 21 Mei 1958.[88]

Operasi Sapta Marga IV juga sering disebut Operasi Merdeka itu sendiri karena merupakan operasi terbesar yang memfokuskan pada basis utama Permesta. Pada tanggal 1 Juni 1958, sebuah armada berangkat dari Jawa menuju ke Sulawesi Utara.[79] Armada ini terdiri dari 17 kapal ALRI dan 10 kapal dari Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI) dan Jawatan Pelayaran (DJAPEL). Kapal-kapal perang yang ikut dalam armada ini adalah kapal perusak RI Gadjah Mada, kemudian kapal-kapal korvet RI Hasanudin, RI Pattimura, dan RI Pattiunus. Selain itu terdapat kapal angkut pasukan RI Sawega dan RI Baumasepe, dan kapal-kapal perang lainnya yaitu RI Baruna, RI Biscaya, dan kapal-kapal tanker RI Pladju dan RI Tjepu. Enam kapal penyapu ranjau juga ikutserta.[89] Dari segi pasukan, jumlah pasukan yang termasuk dalam operasi ini adalah sebanyak 16 batalyon.[90] Batalyon-batlyon ini berasal dari, antara lain TT-II/Siliwangi, TT-IV/Diponegoro, TT-V/Brawijaya, dan TT-XIV/Hasanuddin.[85][91]

Penyerangan terhadap basis Permesta dimulai pada tanggal 13 Juni 1958 di mana dua peleton Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) (sekarang KOPASSUS) melakukan pendaratan dan pengintaian 12 kilometer di sebelah utara Manado.[92] Sebelumnya pada tanggal 8 Juni 1958, Manado telah dibombardir oleh kapal-kapal perang ALRI.[93] Sedangkan AURI menyerang lapangan udara Mapanget dan juga Tomohon dan Tondano pada tanggal 11 dan 13 Juni 1958.[94] Kemudian pada tanggal 16 Juni 1958, pendaratan yang lebih besar yang terdiri dari satu batalyon KKO dan dua batalyon infanteri dilakukan di Kema yang terletak sekitar 30 kilometer di sebelah tenggara Manado.[92] Pendaratan didukung oleh kapal-kapal perang ALRI Gugus Tugas Amphibi 25 (ATG-25) yang dipimpin oleh Letkol John Lie, Komandan RI Gadjah Mada.[89][95]

Sumual sudah mengantisipasi bahwa pendaratan akan terjadi di Kema dan memimpin sendiri pertahanan di sana. Namun ia cedera pada waktu sebuah mortir meledak di dekatnya sehingga ia harus mundur ke Manado. Pertahanan di Kema dengan cepat bisa dilewati oleh pasukan TNI. Kemudian selain mengarah ke Manado, mereka juga bergerak ke arah Bitung yang mempunyai pelabuhan. Bitung dapat direbut dua hari kemudian.[96]

Pada saat yang sama, pasukan RPKAD menyerang lapangan udara Mapanget untuk menetralisir pertahanan udara di Mapanget. Pasukan Permesta berhasil memukul mundur RPKAD, tetapi korban jatuh di kedua belah pihak. Ironisnya, yang menjadi pencetus pembentukan RPKAD tidak lain adalah Kawilarang (bersama Slamet Riyadi). Ada anggota RPKAD yang membelot ke Permesta sebelum pertikaian dimulai sehingga pasti ada yang saling kenal. Kawilarang sendiri mengenal salah satu prajurit RPKAD yang tewas.[97]

Pertempuran sengit di Minahasa

Walaupun pertahanan pasukan Permesta bisa diatasi oleh pasukan TNI pada saat pendaratan, namun perlawanan yang dilakukan di jalan menuju Manado lebih sengit. Pasukan Permesta melawan TNI dengan senapan mesin berat dengan peluru berkaliber .50 dan senjata lapangan yang menembakkan mortir 60 mm. Perlawanan ini memperlambat gerak TNI untuk mencapai Manado. Hal yang sama terjadi dengan pasukan RPKAD dan infanteri yang bergerak ke Manado dari utara.[97] Tambahan pasukan mendarat di Wori di utara Manado pada tanggal 21 dan 24 Juni 1958 untuk mendukung pasukan TNI yang sudah ada.[88] Keadaan ini juga memaksa pimpinan operasi TNI untuk memfokuskan semua pasukan untuk merebut Manado daripada rencana semula di mana sebagian pasukan akan langsung bergerak ke Tondano dan Tomohon. Setelah perlawanan yang sengit selama delapan hari, pada tanggal 24 Juni 1958, Warouw menginstruksikan pengevakuasian kota Manado di mana markas Permesta pindah ke Tomohon. Dua hari kemudian barulah pasukan TNI bisa masuk Manado tanpa perlawanan karena pasukan Permesta sudah meninggalkan kota tersebut.[93] Manado berhasil dibebaskan pada 26 Juni 1958.[98] Dengan jatuhnya Manado, pimpinan Permesta mengubah siasat perlawanan mereka ke perlawanan gerilya.[99]

Hampir sebulan lewat barulah TNI bisa merebut kota terbesar kedua di Minahasa yaitu Tondano pada tanggal 21 Juli 1958.[100] Kemudian sebulan lagi barulah Tomohon bisa direbut pada tanggal 16 Agustus 1958.[101] Perebutan Tomohon mendapat bantuan besar dari komandan Permesta setempat yaitu Mayor Eddy Mongdong. Ia menghubungi pasukan TNI di Tondano yang bersiap untuk menyerang Tomohon dan menyatakan bahwa ia bersama 1.500 prajurit dalam sektornya bersedia menyerah. Beberapa hari kemudian Langowan dan Kalawiran diduduki pada tanggal 20 Agustus 1958.[100] Pasukan KKO yang ikutserta dalam merebut Langowan termasuk dalam Operasi Mega yang dimulai sejak 19 Agustus 1958. Kemudian sebulan kemudian, Operasi Nuri dilaksanakan antara tanggal 19 dan 25 September 1958 dengan tujuan untuk menguasai daerah di antara Langowan, Amurang, dan juga Motoling.[102]

Situasi di mana TNI menduduki kota-kota dan lokasi-lokasi di sekitar jalan-jalan transportasi, sedangkan daerah-daerah sisanya termasuk dipegunungan dikuasai oleh pasukan Permesta, menjadi keadaan selama hampir satu tahun sejak September 1958. Perlawanan yang terjadi selanjutnya adalah serangan-serangan gerilya skala kecil. Beberapa pertempuran yang lebih besar juga terjadi, misalnya antara tanggal 17 dan 19 Februari 1959, serangan besar-besaran dilakukan Permesta yang dinamakan Operasi Jakarta Spesial. Serangan serentak dilakukan di Amurang, Kawangkoan, Langowan, dan Tondano. Serangan-serangan ini hampir memukul mundur TNI di beberapa tempat, tetapi juga memakan korban sekitar 100 prajurit di kubu Permesta. Walau tidak berhasil, serangan ini membuktikan bahwa pasukan Permesta masih melakukan penyerangan.[103][104]

Keretakan di kubu Permesta

Walaupun perlawanan tetap dilakukan, tidak bisa dipungkiri bahwa situasi di kubu Permesta semakin memprihatinkan. Karena harus bergerilya, markas Sumual, Kawilarang, Warouw, dan Somba berada di tempat-tempat berbeda. Komunikasi dan koordinasi di antara mereka semakin sulit dan tentunya juga dengan pasukan mereka. Para komandan di sektor-sektor menjadi lebih sulit untuk dikontrol oleh atasan mereka dan juga terjadi pertengkaran antara satuan-satuan pasukan.[105] Pertengkaran juga terlihat sampai di atas di mana Sumual dan Kawilarang mulai tidak sepandangan dalam mengambil keputusan-keputusan. Sayangnya, Warouw yang biasanya menjadi penengah antara Sumual dan Kawilarang ditangkap oleh pasukan yang dipimpin oleh Jan Timbuleng pada bulan April 1960.[106] Timbuleng memimpin sekelompok yang melakukan pemberontakan dan perlawanan di Minahasa Selatan sebelum terjadinya Permesta. Timbuleng menyerah pada bulan Maret 1957 dan selanjutnya dilebur ke dalam Permesta.[107] Setelah diketahui bahwa Warouw disandera oleh Timbuleng, Timbuleng sendiri ditahan oleh Sumual. Sebelumnya Timbuleng telah memerintahkan anak buahnya untuk mengeksekusi Warouw kalau sampai Timbuleng tertangkap. Eksekusi dilaksanakan pada satu hari di bulan Oktober 1960.[108] Pembunuhan terhadap Warouw yang merupakan lembaran hitam dalam perjuangan Permesta menyebabkan saling curiga di antara sesama pasukan. Pembunuhan ini juga merupakan satu lagi hal yang menyebabkan terpecah-belahnya kekompakan di dalam kubu Permesta.[109]

Kembali ke NKRI

Usaha damai

Usaha untuk mempertemukan kubu Permesta dengan pemerintah pusat dilakukan hampir bersamaan oleh dua orang yaitu Albertus Zacharias Roentoerambi (A. Z. R.) Wenas dan Frits Johannes (F. J.) Tumbelaka. Wenas pada waktu itu adalah Ketua Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Wenas menyerukan kepada kedua belah pihak untuk meletakkan senjata dan mencari jalan damai dalam khotbah-khotbah, surat-surat, dan siaran radionya. Pada bulan Oktober 1959, ia bertemu dengan Kawilarang untuk membahas kemungkinan perdamaian dengan pemerintah pusat. Ia juga bertemu dengan Warouw di Remboken. Selain itu, ia menulis surat kepada Presiden Sukarno yang berisi usul-usul untuk mencapai perdamaian.[110]

Pada bulan Oktober 1959, Tumbelaka yang juga dipanggil "Broer" menghubungi Kolonel Surachman yang pada waktu itu adalah Panglima TT-V/Brawijaya guna membahas situasi di Sulawesi Utara. Tumbelaka sendiri pernah menjabat sebagai perwira senior di TT-V/Brawijaya dan juga ikutserta dalam perang kemerdekaan di Jawa Timur bersama Somba dan Warouw. Dalam pertemuannya dengan Tumbelaka, Surachman mengungkapkan keprihatinannya terhadap pengaruh PKI di Jawa Timur yang semakin besar dan bahwa perang melawan Permesta telah menguras tenaga TNI yang adalah keuntungan buat PKI.[111] Setelah beberapa pertemuan dengan staf Brawijaya yang lain, mereka setuju untuk mengirim Tumbelaka ke Manado untuk berusaha mengadakan kontak dengan Somba. Walaupun Warouw mempunyai posisi lebih tinggi dalam Permesta, adalah Somba yang memimpin pasukan paling berpengalaman yang sebagian berasal dari TNI.[112]

Perundingan

Pada tanggal 5 Januari 1960, Tumbelaka berangkat ke Manado. Setelah bertemu dengan beberapa orang dari Kodam XIII/Merdeka, ia dipertemukan dengan Samuel Hein "Tjame" Ticoalu. Tumbelaka meminta Tjame masuk ke daerah Permesta untuk membawa sebuah pesan kepada Somba yang sebagiannya berbunyi "untuk mencari solusi yang baik terhadap permasalahan yang sedang berlanjut". Tjame berhasil bertemu dengan Somba dan memberi pesan dari Tumbelaka. Pada waktu itu Kawilarang juga ada bersama Somba. Mereka berdua mengirim pesan kepada Warouw tentang apa yang disampaikan Tumbelaka. Warouw sendiri pada waktu itu sedang berusaha untuk bertemu dengan Sumual untuk membicarakan pertemuannya dengan Wenas.[112]

Pertemuan pertama antara Tumbelaka dan Somba terjadi di desa Matungkas dekat Airmadidi pada tanggal 15 Maret 1960.[113] Pertemuan ini diikuti dengan pertemuan-pertemuan yang diikuti oleh pimpinan Permesta lainnya selain Somba seperti Mantiri dan Lendy Tumbelaka (sepupu dari Broer Tumbelaka). Pertemuan-pertemuan ini berlangsung sampai akhir tahun 1960. Topik-topik pembahasan penting yang disampaikan dari kubu Permesta termasuk otonomi daerah, apa yang akan dilakukan dengan pasukan setelah persetujuan ditetapkan, dan apa yang akan dilakukan tentang situasi komunisme di Indonesia.[114] Perundingan berjalan lama karena semua hal harus disetujui oleh kedua belah pihak. Sama pentingnya adalah setiap keputusan perundingan diusahakan untuk disampaikan ke komandan-komandan di lapangan.[115] Dari pihak pemerintah pusat, beberapa tindakan dilakukan untuk menunjukkan keseriusan terhadap perundingan yang sedang berlangsung. Pada saat awal perundingan pada bulan Maret 1960, sebuah instruksi presiden mengumumkan dibaginya Provinsi Sulawesi menjadi dua provinsi. Salah satunya adalah Provinsi Sulawesi Utara dan Tengah dengan ibukota di Manado.[113] Kemudian pada akhir tahun 1960, Nasution memberikan pidato yang disiarkan oleh Radio Republik Indonesia di Manado tentang pentingnya negara Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila di mana negara Indonesia adalah negara yang menganut Ketuhanan yang Maha Esa.[114]

Pada tanggal 17 Desember 1960, pertemuan antara Tumbelaka, Mantiri, dan Arie Supit menyetujui langkah-langkah konkrit untuk mengakhiri pemberontakan. Langkah-langkah tersebut adalah sebuah permohonan dari Menteri Pertahanan/KASAD agar para pemberontak kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dan pernyataan dari kubu Permesta yang menyatakan bahwa mereka siap untuk kembali, sebuah gencatan senjata, sebuah pertemuan teknis militer tentang pengaturan pasukan Permesta setelah terjadinya gencatan senjata, dan sebuah upacara inspeksi yang akan dilakukan oleh Menteri Pertahanan/KASAD terhadap pasukan bekas Permesta.[116]

Kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi

Kelompok Permesta pertama yang menjawab seruan untuk menghentikan perlawanan bukanlah pasukan di bawah pimpinan Somba melainkan pasukan di bawah pimpinan Laurens Saerang yang pada waktu itu adalah Kepala Daerah Minahasa serta pemimpin Brigade Manguni. Pada tanggal 15 Februari 1961 di Langowan, dilaksanakan sebuah apel untuk menandakan kembalinya Brigade Manguni dan kelompok-kelompok Permesta lainnya yang berada di bawah pimpinan Saerang. Apel tersebut dihadiri Panglima Kodam XIII/Merdeka Kolonel Sunandar Priyosudarmo dan Wakil KASAD Mayjen Ahmad Yani.[117][118] Pasukan lain yang turut menyerahkan diri pada hari itu ada PWP dan orang-orang dari lima basis gerilya di daerah Kakas dan Langowan.[118]

Pada tanggal 4 April 1961 barulah pasukan di bawah pimpinan Somba menyerahkan diri. Penyerahan diri Somba ditandai dengan penandatanganan pernyataan dan naskah penyelesaian masalah Permesta antara Somba dan Pangdam Kodam XIII/Merdeka di desa Malenos (dekat Amurang) yang dikenal sebagai Peristiwa Malenos[119] Dari Kodam XIII/Merdeka, hadir Priyosudarmo disertai Kepala Kepolisian Sulawesi Utara dan Tengah Drs. Moerhadi Danuwilogo. Adapun dari Pimpinan Permesta, selain Somba, hadir Lendy Tumbelaka, Wim Tenges, dan Mantiri. Dalam upacara diadakan inspeksi prajurit TNI maupun prajurit Permesta oleh Priyosudarmo dan Somba. Priyosudarmo dan Somba sudah saling kenal sebelumnya karena mereka mengikuti kursus di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) (sekarang SESKOAD) pada saat yang sama.[120]

Sebuah upacara juga diadakan pada tanggal 14 April 1961 di dekat Tomohon yang dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mayjen Hidayat Martaatmaja dari TNI dan Kawilarang dari Permesta. Turut hadir dalam upacara tersebut adalah Yani dan Atase Militer Kedutaan Besar Amerika Serikat Kolonel George Benson. Upacara puncak pada tanggal 12 Mei 1961 di dekat Tomohon dilaksanakan sebagai langkah paling akhir berupa inspeksi oleh Nasution selaku Menteri Pertahanan/KASAD terhadap pasukan Permesta. Nasution mengambil kesempatan bertemu dengan Kawilarang pada waktu itu.[121]

Setelah upacara puncak pada tanggal 12 Mei 1961, tinggallah Sumual dan pasukan yang masih mengikutinya yang belum menyerahkan diri. Sumual baru menyerahkan diri pada tanggal 20 Oktober 1961.[122] Dia memutuskan untuk menyerahkan diri setelah mendengar bahwa Presiden Republik Persatuan Indonesia (RPI) mengumumkan berakhirnya permusuhan dengan Republik Indonesia.[5][123] RPI adalah negara yang dibentuk untuk menggabungkan pemberontakan-pemberontakan di seluruh wilayah Indonesia. Bergabungnya Permesta dalam RPI didukung oleh Sumual, tapi ditentang oleh Kawilarang dan Warouw.[124]

Akhir gerakan

Pemberian amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat dengan Permesta resmi diberikan dengan keluarnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 322 Tahun 1961 tentang "Pemberian Amnesti dan Abolisi Kepada Para Pengikut Gerakan 'Permesta' Di Bawah Pimpinan Kawilarang, Laurens Saerang, dan Somba yang Memenuhi Panggilan Pemerintah Kembali Ke Pangkuan Ibu Pertiwi".[125] Keppres ini dikeluarkan pada tanggal 22 Juni 1961. Sumual termasuk orang yang memperoleh amnesti.[126]

Galeri

 
Perdamaian Permesta dengan pusat di desa woloan
 
Perdamaian Permesta dengan pusat di desa woloan
 
Perdamaian Permesta dengan pusat di desa woloan

Catatan

  1. ^ Pada 1958
  2. ^ Dukungan udara dan material

Referensi

  1. ^ "keterlibatan-amerika-serikat-dalam-prri". kompas. 20 September 2021. 
  2. ^ Lundstrom-Burghoorn (1981), hlm. 43.
  3. ^ Schouten (1998), hlm. 215.
  4. ^ Harvey (1977), hlm. 3.
  5. ^ a b c d e TEMPO (2008).
  6. ^ Liwe (2002), hlm. 89.
  7. ^ Jacobson (2002), hlm. 2–3.
  8. ^ Liwe (2002), hlm. 18.
  9. ^ a b Harvey (1977), hlm. 44.
  10. ^ Usman (2010), hlm. 150, 156.
  11. ^ Harvey (1977), hlm. 41–42.
  12. ^ a b Turner (2017), p. 177.
  13. ^ Harvey (1977), hlm. 42.
  14. ^ Harvey (1977), hlm. 45–47.
  15. ^ Ricklefs dan Nugraha (2008), hlm. 531.
  16. ^ Harvey (1977), hlm. 47.
  17. ^ Liwe (2002), hlm. 99.
  18. ^ Harvey (1977), hlm. 49.
  19. ^ Harvey (1977), hlm. 53, 54.
  20. ^ a b Harvey (1977), hlm. 55.
  21. ^ Nalenan (1981), hlm. 232.
  22. ^ Harvey (1977), hlm. 76.
  23. ^ Soejono (1981), hlm. 285.
  24. ^ Harvey (1977), hlm. 77.
  25. ^ Harvey (1977), hlm. 50.
  26. ^ Harvey (1977), hlm. 60.
  27. ^ Harvey (1977), hlm. 61.
  28. ^ Harvey (1977), hlm. 66.
  29. ^ Hakiem (2019), hlm. 449.
  30. ^ TEMPO (2007).
  31. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 36.
  32. ^ Time (1958).
  33. ^ Hakiem (2019), hlm. 456.
  34. ^ Hakiem (2019), hlm. 458.
  35. ^ Harvey (1977), hlm. 84.
  36. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 37.
  37. ^ Harvey (1977), hlm. 94.
  38. ^ Sulu (2011), hlm. 407.
  39. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 245.
  40. ^ Harvey (1977), hlm. 95.
  41. ^ Sulu (2011), hlm. 30.
  42. ^ Tribun News (2013).
  43. ^ Indonesia (April 1983), hlm. 118.
  44. ^ South China Sunday Post (2 Maret 1958), p. 6.
  45. ^ Harvey (1977), hlm. 124.
  46. ^ Harvey (1977), hlm. 96–98.
  47. ^ Harvey (1977), hlm. 113.
  48. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 38.
  49. ^ Harvey (1977), hlm. 102.
  50. ^ a b c d Harvey (1977), hlm. 104.
  51. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 44.
  52. ^ a b Harvey (1977), hlm. 105.
  53. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 16.
  54. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 39, 40.
  55. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 58.
  56. ^ Hellstrom (July–August 1999), hlm. 24–38.
  57. ^ Kennedy (1996), hlm. 74.
  58. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 39, 40, dan 58.
  59. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 86, 87.
  60. ^ a b TNI Angkatan Udara (2010).
  61. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 112.
  62. ^ a b Conboy dan Morrison (1999), hlm. 113, 114.
  63. ^ Pour dan Sudomo (1997), hlm. 64.
  64. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 125, 126.
  65. ^ Kahin dan Kahin (1997), hlm. 290.
  66. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 126.
  67. ^ a b Conboy dan Morrison (1999), hlm. 131.
  68. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 116.
  69. ^ Sulu (2011), hlm. 385.
  70. ^ Mokoginta (1964), hlm. 138.
  71. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 127, 128.
  72. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 148, 149.
  73. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 152.
  74. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 155.
  75. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 158.
  76. ^ Harvey (1977), hlm. 109.
  77. ^ Gusti Fikri Noor (November 2015), hlm. 31.
  78. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 135–137.
  79. ^ a b Conboy dan Morrison (1999), hlm. 159.
  80. ^ a b Komandoko (2010), hlm. 62.
  81. ^ Pour dan Sudomo (1997), hlm. 67, 69.
  82. ^ Arnhemsche Courant (28 Mei 1958)
  83. ^ Jawatan Penerangan Angkatan Laut (1960), hlm. 35.
  84. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 157.
  85. ^ a b KODAM XIV/Hasanuddin.
  86. ^ Sutrisminingsih (2012), hlm. 46.
  87. ^ Sutrisminingsih (2012), hlm. 47.
  88. ^ a b c d Harvey (1977), hlm. 110.
  89. ^ a b Jawatan Penerangan Angkatan Laut (1960), hlm. 36.
  90. ^ Kahin dan Kahin (1997), hlm. 293.
  91. ^ Sulu (2011), hlm. 120.
  92. ^ a b Conboy dan Morrison (1999), hlm. 160.
  93. ^ a b Kahin dan Kahin (1997), hlm. 184.
  94. ^ Harvey (1977), hlm. 115.
  95. ^ Setyautama (2008), hlm. 186.
  96. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 160, 162.
  97. ^ a b Conboy dan Morrison (1999), hlm. 162.
  98. ^ Setiono (2008), hlm. 791.
  99. ^ Sulu (2011), hlm. 185.
  100. ^ a b Harvey (1977), hlm. 117.
  101. ^ Sulu (2011), hlm. 4.
  102. ^ Jawatan Penerangan Angkatan Laut (1960), hlm. 147.
  103. ^ Harvey (1977), hlm. 118.
  104. ^ Conboy dan Morrison (1999), hlm. 169.
  105. ^ Harvey (1977), hlm. 121.
  106. ^ Sulu (2011), hlm. 181.
  107. ^ Harvey (1977), hlm. 46, 121.
  108. ^ Sulu (2011), hlm. 228.
  109. ^ Sulu (2011), hlm. 233.
  110. ^ Henley (November 2007).
  111. ^ Harvey (1977), hlm. 134.
  112. ^ a b Harvey (1977), hlm. 135.
  113. ^ a b Harvey (1977), hlm. 136.
  114. ^ a b Harvey (1977), hlm. 140.
  115. ^ Harvey (1977), hlm. 144.
  116. ^ Harvey (1977), hlm. 141.
  117. ^ Sulu (2011), hlm. 248, 249.
  118. ^ a b Harvey (1977), hlm. 142.
  119. ^ Anwar (2006), hlm. 139.
  120. ^ Harvey (1977), hlm. 146.
  121. ^ Harvey (1977), hlm. 147.
  122. ^ Harvey (1977), hlm. 149.
  123. ^ Harvey (1977), hlm. 148.
  124. ^ Harvey (1977), hlm. 128.
  125. ^ Sulu (2011), hlm. 347.
  126. ^ Raditya (2019).

Sumber referensi

  • Conboy, Kenneth; Morrison, James (1999). Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957–1958 [Kaki ke Dalam Api: Operasi Terselubung CIA di Indonesia, 1957–1958] (dalam bahasa Inggris). Annapolis: Naval Institute Press. ISBN 1-55750-193-9. 
  • Gusti Fikri Noor (November 2015). "Leo Wattimena, Penerbang 'Ugal-Ugalan'". AVIASI. Tangerang: Trend Media Global. 
  • Hakiem, Lukman (2019). Biografi Mohammad Natsir. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 
  • Harvey, Barbara S. (1977). Permesta: Half a Rebellion [Permesta: Setengah Pemberontakan] (dalam bahasa Inggris). Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University. 
  • Hellstrom, Leif (Juli–Agustus 1999). "Air War in Paradise: the CIA and Indonesia 1958" [Perang Udara di Firdaus: CIA dan Indonesia 1958]. Air Enthusiast (dalam bahasa Inggris) (82). 
  • Jacobson, M. (2002). Cross Border Triangles and Deterritorialising Identities. Assessing the Diaspora Triangle: Migrant-Host-Home [Segitiga Lintas Batas dan Identitas Deterritorialising. Menilai Segitiga Diaspora: Migrant-Host-Home]. SEARC Working Papers Series (dalam bahasa Inggris). 19. Hong Kong: South East Asia Research Series Publications. 
  • Kahin, Audrey R.; Kahin, George McTurnan (1997) [1995]. Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia [Subversi sebagai Kebijakan Luar Negeri: Rahasia Kegagalan Eisenhower dan Dulles di Indonesia] (dalam bahasa Inggris). Seattle: University of Washington Press. ISBN 0-295-97618-7. 
  • Kennedy, Douglas Blake (1996) (dalam bahasa Inggris). Operation Haik: The Eisenhower Administation and the Central Intelligence Agency in Indonesia, 19571959 (Tesis MA). Athens: University of Georgia. 
  • Komandoko, Gamal (2010). Ensiklopedia Pelajar dan Umum. Jakarta: Pustaka Widyatama. 
  • Liwe, Amelia Joan (2010) (dalam bahasa Inggris). From Crisis to Footnote: The Ambiguous Permesta Revolt in Post-Colonial Indonesia (Tesis PhD). Madison: University of Wisconsin, Madison. 
  • Lundstrom-Burghoorn, W. (1981). Minahasa Civilization: A Tradition of Change [Peradaban Minahasa: Tradisi Perubahan] (dalam bahasa Inggris). Göteborg: ACTA Universitatis Gothoburgensis. 
  • Mokoginta, A. J. (1964). Sedjarah Singkat Perdjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia. Jakarta: Staf Angkatan Bersenjata. 
  • Nalenan, R. (1981). Arnold Mononutu: Potret Seorang Patriot. Jakarta: Gunung Agung. 
  • Pour, Julius; Sudomo (1997). Laksamana Sudomo, mengatasi gelombang kehidupan. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 
  • Ricklefs, Merle Calvin; Nugraha, Moh. Sidik (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 
  • Schouten, M. J. C. (1998). Leadership and Social Mobility in a Southeast Asian society: Minahasa 1677–1983 [Kepemimpinan dan Mobilitas Sosial dalam Masyarakat Asia Tenggara: Minahasa 1677–1983] (dalam bahasa Inggris). Leiden: KITLV Press. 
  • Setyautama, Sam (2008). Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 
  • Soejono, R. P. (1981). Sejarah Nasional Indonesia. 6. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  • "Rebel Military Leaders Dismissed" [Pemimpin Militer Pemberontakan diberhentikan] (dalam bahasa Inggris). South China Sunday Post. 1958-03-02. 
  • Sulu, Phill M. (2011). Permesta dalam Romantika, Kemelut, dan Misteri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utamanya. 
  • Sutrisminingsih (2012). Sejarah penumpasan pemberontakan PRRI. Jakarta: Pusat Sejarah TNI. 
  • "Revolt in the Provinces" [Pemberontakan di Povinsi-provinsi] (dalam bahasa Inggris). TEMPO. 2007-08-14. Diakses tanggal 2020-06-06. 
  • "Indonesia: Brink of Revolt" [Indonesia: Di Ambang Pemberontakan] (dalam bahasa Inggris). TIME. 1958-02-17. 
  • Turner, Barry (2017). A. H. Nasution and Indonesia's Elites [A. H. Nasution dan Kaum Elit Indonesia] (dalam bahasa Inggris). Lanham: Lexington Books. 
  • Usman, Syafaruddin (2010). Tragedi patriot dan pemberontak Kahar Muzakkar. Jakarta: Penerbit NARASI. 

Pranala luar