Kaisar Yongle (Hanzi: 永乐, 2 Mei 1360 – 12 Agustus 1424) adalah kaisar ke-3 dari Dinasti Ming, Tiongkok yang memerintah dari tahun 1402 hingga 1424. Ia terlahir dengan nama Zhu Di (朱棣), putra ke-4 dari Zhu Yuanzhang (Kaisar Hongwu). Ia menjadi kaisar setelah menggulingkan keponakannya melalui kudeta berdarah yang dikenal dengan nama Insiden Jingnan (靖难之变). Yongle adalah salah satu kaisar terbaik yang pernah memerintah Tiongkok. Prestasinya antara lain mengirim ekspedisi pelayaran keliling dunia dibawah pimpinan kasim Zheng He sehingga budaya dan keagungan Tiongkok tersebar ke seluruh penjuru dunia dan menyunting Ensiklopedia Yongle (永乐大典), ensiklopedia pertama yang terbesar dan terkomprehensif di dunia. Dialah yang memindahkan ibukota Ming dari Nanjing ke Beijing yang tetap menjadi ibukota hingga kini.

Kaisar Yongle

Kehidupan awal

Zhu Di dilahirkan pada 2 Mei 1360 di Nanjing dari hubungan Hongwu dengan Permaisuri Ma (namun ada dugaan ia lahir dari selir lain). Ia tumbuh dalam lingkungan yang baik ketika Dinasti Ming sedang pada masa jayanya. Ayahnya mendidiknya dan saudara-saudaranya dengan pendidikan yang memadai, mereka juga dianugerahi gelar kepangeranan dan wilayah kekuasaan. Zhu Di sendiri mendapat gelar Pangeran Yan (燕王) dan menguasai Beiping (sekarang Beijing dan wilayah Hebei).

Ketika ia pertama kali datang ke Beiping, wilayah itu sedang dalam kondisi menyedihkan dengan kelaparan, wabah penyakit, dan gangguan keamanan di perbatasan dari suku-suku Mongol. Zhu Di bekerja keras untuk memperbaiki kondisi ini sehingga berhasil meraih dukungan rakyat disana. Ia juga seringkali memerangi Mongol di perbatasan dengan dibantu oleh mertuanya, jenderal Xu Da, yang juga adalah salah satu jenderal yang berjasa dalam pendirian Dinasti Ming.

Zhu Di memberikan kontribusi besar dalam memperkuat pertahanan di perbatasan utara dan mengatasi gangguan keamanan dari Mongol. Ayahnya dan para bawahannya sangat mengagumi keberanian dan bakat kepemimpinannya. Ia adalah seorang yang mahir dalam seni perang, ilmu bela diri, dan sastra. Atas dasar ini Hongwu mempertimbangkan untuk memilihnya sebagai penerusnya berhubung ketiga kakak Zhu Di yaitu putra mahkota Zhu Biao, Zhu Shuang, dan Zhu Gang telah mati muda. Hongwu makin terkesan padanya setelah ia mampu melengkapi puisi jauh lebih baik dibanding cucunya Zhu Yunwen, yang adalah calon kaisar berikutnya. Namun atas keberatan dari beberapa menteri konservatif yang berpegang pada tradisi hak anak sulung, Hongwu pun tidak punya pilihan lain selain tetap menjadikan Zhu Yunwen, yang adalah putra sulung dari putra mahkota Zhu Biao, sebagai penerusnya.

Perjuangan merebut tahta

Kaisar Hongwu wafat pada 24 Juni 1398 dan Zhu Yunwen dinobatkan sebagai Kaisar Jianwen. Kaisar baru ini mengeluarkan kebijakan untuk memangkas kekuasaan para raja muda yang kebanyakan dari mereka adalah paman-pamannya, termasuk Zhu Di. Ketika Zhu Di bersama para pasukannya menuju ke Nanjing untuk memberi penghormatan terakhir pada ayahnya, Jianwen merasakan hal ini adalah ancaman sehingga dia memerintahkan pasukannya untuk menghalaunya kembali ke daerahnya. Ia pun terpaksa pulang dengan perasaan terhina. Bahkan setelah Hongwu dimakamkan pun, Jianwen tidak pernah mengijinkannya dan paman-pamannya yang lain mengunjungi makam Hongwu. Sejak itulah permusuhan antara paman dan keponakan itu makin meruncing.

Untuk melaksanakan upayanya melemahkan para raja muda dan mengawasi mereka, Jianwen menempatkan orang-orang yang setia padanya di setiap wilayah kekuasaan mereka. Dengan orang-orang Jianwen di sekelilingnya, Zhu Di bertindak sangat hati-hati. Untuk melonggarkan pengawasan dari keponakannya, dengan cerdik ia berpura-pura sakit dan menjadi gila sambil membangun kekuatannya melalui orang-orang kepercayaannya. Tahun 1399, setelah dukungan dan kekuatannya cukup, ia memutuskan tibalah saatnya untuk bertindak. Ia menyatakan perang terhadap keponakannya dengan dalih menyelamatkannya dari ‘pejabat-pejabat jahat’, peristiwa ini dikenal dalam sejarah sebagai Insiden Jingnan.

Perang ini berlangsung selama empat tahun. Di medan perang Zhu Di berhasil memperoleh banyak kemenangan gemilang. Beberapa kali ia mengalahkan Li Jinglong, komandan tertinggi kekaisaran. 15 Januari 1402, pasukannya menuju ke ibukota Nanjing. Ketika ia sampai di sana, Li Jinglong yang sudah frustasi dan kehabisan semangat tempur membukakan pintu kota dan membiarkan Zhu dan pasukannya masuk. Ketika itu istana kekaisaran telah terbakar dengan dahsyat, Jianwen dan seluruh keluarganya dinyatakan telah tewas dalam kebakaran itu, namun jenazahnya tidak pernah ditemukan sehingga meninggalkan banyak spekulasi dan misteri hingga kini.

Awal yang berdarah-darah

Setelah berhasil menggulingkan keponakannya Zhu Di menjadi kaisar dengan gelar Kaisar Yongle atau juga dikenal dengan nama kuilnya Kaisar Ming Chengzu (明成祖). Ia mengawali rezimnya dengan perburuan dan pembantaian terhadap para pendukung Jianwen. Banyak menteri, jenderal, kasim, dayang, dan orang-orang yang melayani keponakannya dihukum mati dalam waktu beberapa hari setelah naik tahta. Metode hukuman mati yang dikenal dengan nama pemusnahan sembilan keturunan (诛九族, zhu jiuzu) diterapkan. Mereka yang dikenai hukuman ini bernasib sangat tragis, karena seluruh keluarganya dari buyut hingga cicitnya turut dihabisi. Metode kejam ini telah berlangsung sejak zaman Dinasti Qin dan berakhir pada tahun-tahun terakhir Dinasti Qing.

Yongle memerintahkan Fang Xiaoru, seorang sejarawan dan menteri Jianwen untuk membuat naskah proklamasi untuk penobatannya sebagai kaisar. Fang, sebagai hamba yang setia menolak dengan tegas dan mencampakkan kuas di hadapan Yongle. Yongle menantangnya, “Anda mungkin tidak takut mati, tapi apakah anda tidak takut jika keluarga anda hingga sembilan keturunan digiring ke panggung hukuman mati ?”. Fang menjawab, “Jangankan sembilan, sepuluh pun silakan ! aku tetap tidak akan menuliskannya !” setelah berkata demikian ia menulis sebuah kalimat di kertas dan melemparkannya pada Yongle. Kalimat yang berbunyi ‘maling dari Yan mencuri tahta’ itu membuat Yongle murka sehingga memerintahkan Fang disiksa dengan kejam. Seluruh keluarga, kerabat, sahabat dan muridnya ditangkap dan dihukum mati satu persatu di hadapannya untuk membuatnya berubah pikiran. Namun Fang tetap berdiri dengan tenang menyaksikan orang-orang yang dicintainya mati di depan matanya tanpa meninggalkan kesetiaanya pada bekas junjungannya hingga tiba gilirannya. Jumlah yang dihukum mati dalam kasus ini mencapai 873 orang.

Jenderal Tie Xuan yang pernah hampir membunuhnya dalam perang juga dihukum mati dengan kejam, anak istrinya dijual ke rumah bordil. Jing Qing, seorang menteri yang setia pada Jianwen mencoba membunuhnya, namun gagal sehingga malah mendatangkan bencana bagi dirinya dan keluarganya. Kekejaman ini menjadi sebuah lembaran hitam dalam masa pemerintahannya. Kepada mereka yang menyerah, Yongle menerimanya dengan tangan terbuka. Di depan umum ia memusnahkan semua dokumen dan laporan yang pernah diserahkan mereka pada Jianwen. Katanya pada mereka, “Kalian adalah bawahanku sekarang, selama kalian setia padaku, kita lupakan yang telah lalu dan mari bersama menghadapi yang akan datang.” Demikianlah Yongle menghabiskan tahun-tahun pertamanya sebagai kaisar dengan memberantas pendukung Jianwen, bandit, dan organisasi rahasia anti-pemerintah.

Pemerintahan

Dalam memerintah, Yongle meneruskan kebijakan ayahnya yang berpihak pada rakyat kecil dan pengawasan yang ketat terhadap para tuan tanah dan orang kaya. Ia memperbaiki kondisi negara yang sempat hancur setelah perang saudara selama tiga tahun lebih. Dibuatnya rencana jangka panjang untuk memperkuat dan menstabilkan ekonomi pasca perang. Untuk itu ia meningkatkan pembudidayaan tanah terlantar sehingga meningkatkan populasi di daerah tersebut, daerah-daerah subur seperti wilayah bawah Sungai Yangtze juga dimanfaatkan secara maksimal. Ia juga meningkatkan produksi pertanian dan tekstil. Selain itu ia juga merenovasi Kanal Besar hingga akhirnya dapat menjadi jalur transportasi perdagangan internasional. Pada zaman ini kapitalisme mulai tumbuh di Tiongkok.

Ia menempatkan orang-orang yang memegang jabatan dalam pemerintahan dengan selektif. Mereka dipilih berdasarkan bakat dan prestasinya untuk menjabat posisi yang tepat. Seperti ayahnya, ia juga berani bertindak tegas terhadap para pejabat korup. Karena berhutang budi pada kaum kasim yang membocorkan rahasia kelemahan militer ketika Insiden Jingnan, ia memulihkan hak berpolitik mereka yang pada masa ayahnya dihilangkan. Para kasim membentuk organisasi mata-mata Dongchang (东厂) disamping Pengawal Seragam Brokat (锦衣卫, jinyi wei) yang telah ada sejak zaman Hongwu. Biro ini bertugas mengawasi para pejabat dan rakyat dari kemungkinan memberontak. Dari sinilah mulai timbul bibit-bibit penyalahgunaan wewenang oleh kasim yang pada masa yang akan datang membawa kekacauan politik.

Proyek Yongle yang paling ambisius adalah memindahkan ibukota dari Nanjing ke Beijing. Konon keputusan ini diambil ketika ia bersama para staffnya mengamati Nanjing dari bukit di sekeliling kota itu. Dari sana terlihat posisi istana kekaisaran sangat rentan terhadap serangan artileri. Pelaksanaannya dimulai tahun 1403, saat itu ia mengirim ratusan ribu transmigran dari Nanjing, Shanxi dan Zhejiang dalam lima gelombang, tujuannya adalah untuk meningkatkan populasi Beijing dan membangun wilayah itu. Tahun 1420 akhirnya istana kekaisaran baru yang dikenal dengan nama Kota Terlarang (紫禁城, zijin cheng) akhirnya selesai dibangun setelah tertunda beberapa tahun akibat kebakaran dan gempa bumi. Tahun berikutnya ibukota Tiongkok dipindah ke Beijing yang menjadi pusat pemerintahan hingga kini.

Yongle seorang yang menganut ajaran Konfusius, namun ia memperlakukan agama-agama lain seperti Tao, Budha, dll dengan adil. Ia mempromosikan ajaran Budha di daerah-daerah pedalaman untuk mengatasi keterbelakangan dan menekan gejolak sosial. Di saat yang sama ia juga mempromosikan ajaran Konfusius sebagai standar norma-norma sosial seperti misalnya pemilihan calon pejabat dan tata-tertib di istana. Sebagai seorang yang sangat mencintai budaya bangsanya, ia berusaha menghapus budaya Mongol yang masih tersisa dari zaman Yuan. Ia melarang penggunaan nama, bahasa, cara berpakaian, dan tradisi yang berbau Mongol.

Perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan, budaya dan literatur diwujudkannya dalam proyek besar lainnya yaitu penyuntingan sebuah ensiklopedia umum. Ia mengumpulkan dua ribuan kaum terpelajar di bawah koordinasi sekretaris agungnya, Xie Jin untuk menyusun bahan-bahan mengenai sejarah, seni, filsafat, astronomi, geografi, teknologi, dan cabang-cabang ilmu lainnya dalam sebuah buku besar. Proyek ini selesai sekitar tahun 1407 atau 1408 dan dinamakan Ensiklopedia Yongle. Sayangnya, dari 11.000 lebih bab, hanya 400 bab kurang yang selamat hingga kini akibat kekacauan yang terjadi pada masa berikutnya.

Prestasi militer

Masalah utama yang dihadapi Kekaisaran Ming pada tahun-tahun pertamanya adalah gangguan di perbatasan dari suku Mongol yang berniat memulihkan kembali Dinasti Yuan. Secara tradisional, orang Han jarang memakai strategi offensif dalam menghadapi mereka, namun Yongle bertindak sebaliknya dari kebiasaan lama ini. Ia melakukan lima kali ekspedisi militer ke Mongolia untuk menghancurkan suku-suku Mongol pemberontak yang berniat menguasai Tiongkok lagi. Pertahanan di Tembok Besar diperkuat dan diplomat-diplomat handal dikirim untuk menjalin persekutuan dengan suku-suku Mongol yang saling bertikai agar mereka terpecah-pecah dan tidak menjadi ancaman bagi Tiongkok. Secara periodik ia juga melakukan operasi-operasi militer untuk memperlemah kekuatan mereka. Tujuan Yongle adalah agar bangsa Mongol semakin tergantung secara ekonomi pada Tiongkok dan memenangkan dukungan mereka. Ia berusaha agar Mongol menjadi negara protektorat Tiongkok dimana semua suku-sukunya bersumpah setia dan mengirimkan upeti tahunan. Dari pengalamannya berperang dengan Mongol, ia mendapat pelajaran mengenai pentingnya pasukan kaveleri sehingga ia mengerahkan segenap sumberdayanya untuk menciptakan pasukan berkuda yang kuat. Yongle menghabiskan banyak waktunya untuk berperang dengan Mongol, kemenangan dan kekalahan datang silih berganti. Ekspedisinya yang paling berhasil adalah yang ke-2, dimana wilayah perbatasan utara mengalami masa damai selama lebih dari tujuh tahun.

Annam (sekarang Vietnam) juga merupakan masalah yang memusingkan selama pemerintahannya. Pada tahun 1406, dalam rangka menanggapi petisi dari keluarga Dinasti Tran yang telah terguling, Yongle mengirimkan 500.000 pasukannya untuk menaklukkan Annam yang telah dikuasai Dinasti Ho. Secara teori misi pasukan Tiongkok hanya untuk menggulingkan Dinasti Ho dan merestorasi Dinasti Tran, namun Tiongkok juga mempunyai agenda tersembunyi untuk menganeksasi Annam dan menjadikannya salah satu provinsi Tiongkok seperti pada masa lampau. Dengan runtuhnya Dinasti Ho tahun 1407, Tiongkok menggencarkan usahanya untuk mempenetrasikan budayanya pada rakyat disana. Namun usaha ini mendapat tentangan keras dari rakyat Annam, mereka mulai berontak terhadap pasukan pendudukan Tiongkok. Pada tahun 1418 pemberontakan terbesar dipimpin oleh Le Loi. Hingga kematian Yongle tahun 1424, pasukan pemberontak Le telah menduduki hampir seluruh provinsi Annam. Tahun 1427, perjuangan mereka berhasil, cucu Yongle, Kaisar Xuande menarik pasukannya dari Annam dan secara resmi mengakui kemerdekaan Annam. Le Loi mendirikan dinasti baru disana yaitu Dinasti Le dan menjadi rajanya yang pertama.

Pada awal masa pemerintahannya Tiongkok hampir terlibat perang besar dengan Tamerlane, pemimpin suku Mongol di Asia Tengah yang telah memporak-porandakan Persia, India, dan Irak. Yongle telah mempersiapkan pasukan besar di wilayah barat laut untuk menghadapi serbuan pasukan barbar itu. Namun dalam perjalanannya ke Tiongkok, sang tiran yang haus darah itu jatuh sakit dan meninggal tahun 1405 sehingga perang tidak terjadi.

Ekspedisi pelayaran keliling dunia

Terdorong oleh ambisi untuk memperluas pengaruh Tiongkok, Yongle memerintahkan Zheng He memimpin armada besar untuk melakukan ekspedisi keliling dunia. Ekspedisi pertama dimulai tahun 1405, jauh sebelum bangsa barat memulai ekspedisi serupa. Sejak tahun itu hingga 1434, armada itu telah melakukan tujuh kali pelayaran ke lebih dari 30 negara di Asia dan Afrika, bahkan ada kemungkinan telah mencapai benua Amerika.

Ketika itu keterampilan membuat kapal bangsa Tionghoa telah lebih maju dari bangsa barat. Mereka menggunakan kompas yang paling canggih dan peta navigasi yang akurat. Catatan-catatan menyeluruh disimpan oleh beberapa sarjana dan pakar dalam ekspedisi tersebut. Catatan itu berisi informasi rinci tentang navigasi, pelabuhan tujuan, terumbu karang, dan tempat-tempat dimana ditemukan kawanan ikan jenis tertentu. Publikasi dan cerita-cerita pelayaran itu juga meningkatkan kesadaran akan geografi regional di antara bangsa Tionghoa serta meningkatkan kegiatan kelautan mereka. Kemajuan ini selain meningkatkan kemakmuran di wilayah pesisir juga memungkinkan migrasi bangsa Tionghoa ke luar negeri terutama wilayah Asia Tenggara dimana terdapat populasi Tionghoa terbesar hingga kini.

Dalam pelayaran ini Tiongkok telah memenangkan penghormatan dari berbagai bangsa di dunia tanpa harus melalui penaklukan atau perang. Setiap Zheng He pulang, turut bersamanya perwakilan negara-negara lain yang meliputi diplomat, pengusaha, raja dan ratu untuk membuka hubungan persahabatan dengan Tiongkok. Sayangnya ekspedisi ini tidak dilanjutkan pada masa-masa selanjutnya. Para penerus Yongle bersikap menjaga jarak terhadap orang-orang asing sehingga ekspedisi ini dihentikan secara resmi tahun 1434 oleh Kaisar Xuande. Tiongkok pun kembali menjadi negara yang mengisolasi diri seperti negara-negara Asia Timur lainnya pada zaman itu.

Kehidupan pribadi

Permaisuri Yongle adalah Permaisuri Xu, putri sulung dari jenderal Xu Da. Ketika ia meninggal tahun 1407, Yongle berencana untuk menikahi adiknya Xu Miaojin serta menjadikannya sebagai permaisuri berikutnya. Namun Miaojin menolak, ia lalu memutuskan untuk menggunduli kepalanya dan menjadi biksuni. Yongle tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk memaksanya dan sejak itu ia tidak pernah mengangkat permaisuri lain.

Yongle paling menyayangi putranya yang ke-2, Zhu Gaoxu yang atletis dan berkarakter prajurit daripada putra mahkotanya, Zhu Gaochi yang intelek dan humanis. Dia bahkan berencana untuk mengalihkan status putra mahkota pada Zhu Gaoxu, apalagi rencana ini juga didukung putra ke-3 nya, Zhu Gaosui. Setelah berkonsultasi dengan menteri-menterinya Yongle mengurungkan niatnya untuk menjadikan Gaoxu sebagai penerusnya. Zhu Gaoxu sangat marah dengan keputusan ayahnya, dia membunuh sekretaris agung Xie Jin yang membuat Yongle membatalkan niatnya, akibatnya ia diasingkan ke sebuah kota kecil di Shandong. Di kemudian hari, Zhu Gaoxu melakukan pemberontakan yang gagal karena ketidakpuasannya ini.

Kematian

Pada 1 April 1424, dalam ekspedisi Mongolia ke-5 nya, Yongle mengalami stress berat karena tidak mampu mengejar musuhnya yang bergerak cepat, akibatnya kesehatannya makin menurun hingga akhirnya meninggal pada 8 Agustus 1424. Ia dimakamkan di kompleks pemakaman Ming, mausoleum Changling (长陵), di pinggiran kota Beijing. Makamnya adalah salah satu dari dua makam kaisar Ming yang dibuka untuk umum sebagai objek wisata.

Lihat pula

Daftar Kaisar Dinasti Ming

Referensi

  • Fu Chunjiang, “Chinese History: Ancient China to 1911”, Singapore: Asiapac Books, 2005
  • Lin Shan, “Dragon Tales: China’s History from Tang to Qing”, Singapore: Asiapac Books, 2006
  • Liu Wenyuan, "Tales of the Great Wall", Beijing: Foreign Languages Press, 1997
Didahului oleh:
Kaisar Jianwen
Kaisar Tiongkok
(Dinasti Ming)
1402-1424
Diteruskan oleh:
Kaisar Hongxi

Templat:Link FA