Biksuni atau bikuni (Sanskerta: भिक्षुणी, bhikṣuṇī; Pali: bhikkhuṇī atau bhikkhunī) adalah sebutan bagi seorang perempuan yang ditahbiskan menjadi anggota monastik dalam agama Buddha. Bila yang pria disebut biksu atau bhikkhu, maka yang wanita disebut biksuni atau bhikkhuni.

Seorang bhikkhunī Taiwan, anggota penahbisan garis Dharmaguptaka.
Seorang bhikkhuni senior di dalam tradisi Mahayana, sedang menerima dana makanan.
Penahbisan bhikkhuni sering terjadi di dalam penahbisan garis Dharmaguptaka. Festival Waisak, Taiwan

Dalam bahasa sehari-hari, umat Buddha di Indonesia membedakan antara biksuni dengan bhikkhunī karena perbedaan aliran yang dianut. Biksuni, yang diserap dari bahasa Sanskerta bhikṣu, umum digunakan untuk biarawati beraliran Mahayana; sedangkan bhikkhunī (bahasa Pali) umum digunakan untuk biarawati beraliran Theravāda.

Perhimpunan keduanya membentuk persaudaraan para biksu dan biksuni yang biasa disebut Sangha. Para biksu dan biksuni hidup menjalani peraturan moral Buddhis yang ditetapkan sendiri oleh Buddha Gautama. Peraturan ini disebut vinaya. Garis penahbisan biksuni yang sesungguhnya masih bertahan sampai saat ini adalah yang berbasis Mahayana, seperti di negara-negara Korea, Cina, Vietnam dan Taiwan.

Menurut naskah-naskah Buddhis, persaudaraan para biksuni pertama kali didirikan oleh Buddha Gautama sebagai jawaban atas permohonan spesifik dari ibu tirinya Mahapajapati Gotami, yang kemudian menjadi biksuni pertama di dunia. Inilah untuk pertama kalinya organisasi buddhis wanita pertama dibentuk. Sejak saat itu, persaudaraan para biksuni menyebar ke banyak negara di dunia, termasuk kawasan Asia Tenggara.

Agar sebuah negara dapat disebut negara Buddhis, mayoritas penduduknya haruslah beragama Buddha dan memiliki setidaknya empat perkumpulan yaitu perkumpulan para biksu, biksuni, upasaka dan upasika.[1]

Sejarah

sunting

Menurut tradisi Theravada, persaudaraan para biksuni dibentuk lima tahun setelah terbentuknya persaudaraan para biksu.

Agama Buddha terbilang unik di antara agama-agama India yang berkembang saat itu. Hal ini dikarenakan Buddha, sebagai pendiri agama ini, secara eksplisit mengatakan bahwa seorang wanita memiliki kemampuan yang sama dengan pria untuk mencapai nirvana dan dapat mencapai semua (empat) tingkatan pencerahan di dalam Dhamma dan Vinaya dalam ajaran Buddha.[2][3] Banyak syair-syair yang diungkapkan oleh para biksuni pada masa kehidupan Buddha Gautama yang tercatat sampai sekarang sebagai bagian dari kitab suci Tipitaka.

Demikian pula di dalam sutra-sutra Mahayana seperti Sutra Teratai, bab 12,[4] yang mencatat 6000 biksuni Arahat yang sedang menerima prediksi Bodhisatva dan Buddha yang akan datang dari Buddha Gautama.[4] Meskipun pada awal pendiriannya mendapat sedikit cobaan, di dalam agama Buddha para wanita dapat secara terbuka mengaspirasi dan melatih diri mereka hingga kepada pencapaian tingkat kesucian tertinggi, Arahat.

Agama Buddha pada masa awal pembentukkannya tidak memiliki tempat bernaung bagi para biksu dan biksuni yang disebut vihara. Hal ini menyebabkan banyak para biksu dan biksuni yang tinggal menetap di dalam hutan sendirian untuk waktu yang lama. Hal ini tentunya akan berbahaya bagi seorang biksuni karena mereka akan dengan mudah menjadi sasaran oleh para penyamun atau orang jahat sehingga Buddha akhirnya melarang para biksuni tinggal di dalam hutan yang jauh dari masyarakat. Para biksuni akhirnya menetap di tempat-tempat yang lebih dekat dengan penduduk setempat.

Menurut beberapa ahli, banyaknya jumlah peraturan moral yang harus dipatuhi oleh seorang biksuni (dibandingkan dengan para biksu) disebabkan untuk melindungi mereka dari banyak tantangan sehingga tidak tepat bila disebut bahwa itu merupakan bentuk diskriminasi. Dr. Chatsumarn Kabilsingh menulis, "Para biksuni pada masa kehidupan Buddha, memiliki hak dan pembagian yang sama dengan para biksu dalam segala hal. Sebagai contoh, delapan jubah yang dipersembahkan kepada kedua sangha (sangha biksu dan sangha biksuni) pada sebuah tempat dimana terdapat seorang biksuni dan empat orang biksu. Buddha kemudian membagi jubah-jubah itu menjadi dua bagian; empat untuk biksuni dan empat untuk biksu, karena pembagian jubah bagi kedua sangha adalah sama. Karena para biksuni lebih jarang memperoleh undangan dari para umat awam, Buddha biasanya membawa dana makanan ke wihara dan membaginya sama rata kepada kedua sangha. Dia melindungi para biksuni dan berlaku adil terhadap kedua belah pihak. Mereka adalah bawahan dalam arti adik perempuan dan adik laki-laki bagi Buddha, tidak dalam pengertian antara majikan dan budak-budaknya."[5]

Referensi

sunting
  1. ^ "Abstract: A brief overview of the situation for nuns in the Tibetan Tradition". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-02-27. Diakses tanggal 2012-07-31. 
  2. ^ Ven. Professor Dhammavihari, Women and the religious order of the Buddha
  3. ^ Padmanabh S. Jaini (1991). Gender and Salvation Jaina Debates on the Spiritual Liberation of Women. University of California Press, Berkeley. ISBN 0-520-06820-3. this is in contrast to Jain tradition which is always compared to with Buddhism as they emerged almost at the same time, which is non-conclusive in a woman's ability to attain final liberation Digambara makes the opening statement: There is moksa for men only, not for women; #9 The Svetambara answers: There is moksa for women; 
  4. ^ a b Chapter 12 of Lotus Sutra
  5. ^ Dr. Chatsumarn Kabilsingh The History of the Bhikkhuni Sangha

Pranala luar

sunting