Bahasa Jawa Tegal

dialek bahasa Jawa yang dituturkan di pesisir utara Jawa Tengah
Revisi sejak 30 Oktober 2012 13.12 oleh Medelam (bicara | kontrib) (←Suntingan 112.215.64.251 (bicara) dikembalikan ke versi terakhir oleh Andreas Sihono)

Bahasa Jawa Tegal adalah salah satu dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Kota Tegal dan sekitarnya.

Bahasa Tegal
Basa Tegal
Dituturkan diJawa (Indonesia)
WilayahJawa Tengah, Tegal
Penutur
± 2.5 juta
Lihat sumber templat}}
Beberapa pesan mungkin terpotong pada perangkat mobile, apabila hal tersebut terjadi, silakan kunjungi halaman ini
Klasifikasi bahasa ini dimunculkan secara otomatis dalam rangka penyeragaman padanan, beberapa parameter telah ditanggalkan dan digantikam oleh templat.
Posisi bahasa Jawa Tegal dalam harap diisi Sunting klasifikasi ini 

Catatan:

Simbol "" menandai bahwa bahasa tersebut telah atau diperkirakan telah punah
Kode bahasa
ISO 639-2tgl
ISO 639-3tgl
LINGUIST List
LINGUIST list sudah tidak beroperasi lagi
jav-teg
Lokasi penuturan
Peta
Peta
Perkiraan persebaran penuturan bahasa ini.
Koordinat: 6°52′12″S 109°9′0″E / 6.87000°S 109.15000°E / -6.87000; 109.15000 Sunting ini di Wikidata
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Tegal termasuk daerah Jawa Tengah di dekat perbatasan bagian barat. Letak Tegal yang ada di pesisir Jawa bagian utara, juga di daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat, menjadikan dialek yang ada di Tegal beda dengan daerah lainnya. Pengucapan kata dan kalimat agak kental. Dialek Tegal merupakan salah satu kekayaan bahasa Jawa, selain Banyumas. Meskipun memiliki kosa kata yang relatif sama dengan bahasa Banyumas, pengguna dialek Tegal tidak serta-merta mau disebut ngapak karena beberapa alasan antara lain: perbedaan intonasi, pengucapan, dan makna kata.

Ciri khas

Selain pada intonasinya, dialek Tegal memiliki ciri khas pada pengucapan setiap frasanya, yakni apa yang terucap sama dengan yang tertulis. Secara positif -seperti dipaparkan oleh Ki Enthus Susmono dalam Kongres Bahasa Tegal I- hal ini dinilai memengaruhi perilaku konsisten masyarakat penggunanya. Untuk lebih jelas, mari kita amati beberapa contoh dan tabel berikut ini:

  • padha, dalam dialek Tegal tetap diucapkan 'pada', seperti pengucapan bahasa Indonesia, tidak seperti bahasa Jawa wetanan (Yogyakarta, Surakarta, dan sekitarnya) yang mengucapkan podho.
  • saka, (dari) dalam dialek Tegal diucapkan 'saka', tidak seperti bahasa Jawa wetanan (Yogyakarta, Surakarta, dan sekitarnya) yang mengucapkan soko.

Tabel 1 (perbedaan pengucapan)

Dialek Tegal Bahasa Jawa Standar
padha podho
saka soko
sega sego
apa opo
tuwa tuwo

Dalam kasus tersebut, Enthus menilai masyarakat pengguna bahasa Jawa wetanan (Surakarta, Yogyakarta, dan sekitarnya) kurang konsisten ketika mengucapkan gatutkaca ditambahi akhiran ne. Kata itu bukan lagi diucapkan gatutkocone, melainkan katutkacane, seperti yang dituturkan oleh masyarakat Tegal. Lihat tabel berikut ini:

Tabel 2 (kesamaan ucapan pada kata dasar ditambah akhiran ne)

Kata Dasar Dialek Tegal Bahasa Jawa Standar
segane+ne segane segane, bukan segone
gatutkaca+ne gatutkacane gatutkacane, bukan gatutkocone
rupa+ne rupane rupane, bukan rupone

Wilayah pengguna

Berikut adalah pemetaan masyarakat pengguna dialek Tegal:

Tokoh dialek Tegal

  • Ki Enthus Susmono, yang selalu setia memasukkan unsur dialek Tegal dalam setiap pementasan wayangnya
  • Lanang Setiawan, yang telaten mengumpulkan kosa kata dialek Tegal kemudian disusun dalam Kamus Bahasa Tegal. Lanang juga produktif menciptakan lagu-lagu Tegalan yang disebarkan melalui jalur indie label.
  • Ki Slamet Gundono
  • Hadi Utomo
  • Yono Daryono, yang menggagas Kongres Bahasa Tegal I

Contoh Dialek Tegal

A : "Koen kas maring ngendi?"

B : "Kas maring warung."

A : "Tane koen pan maring ngendi maning."

B : "Nyong pan maring warnet. Pan melu?"

A : "Neng kana pan ngapa?"

B : "Pan ngerjakna PR kliping. Sida melu?"

A : "Ya wis, tapi sing mbayari sapa?"

B : "Urunan wis. Oke?"

A : "Oke wis. Makasih."

Kongres bahasa Tegal

Kongres bahasa Tegal I digelar oleh pemerintah Kota Tegal pada tanggal 4 April 2006, di Hotel Bahari Inn kota Tegal. Acara yang digagas oleh Yono Daryono, tersebut menghadirkan beberapa tokoh antara lain SN Ratmana (cerpenis), Ki Enthus Susmono (dalang Tegal), Eko Tunas (penyair Tegal). Tujuan digelarnya kongres itu adalah mengangkat status dialek Tegalan menjadi bahasa Tegal.

Pelopor dan penggita bahasa Tegal adalah Lanang Setiawan. Selain menciptakan lagu-lagu tegalan, ia juga menerbitkan tabloid tegalan, TEGAL TEGAL, menulis novel berjudul Oreg Tegal, dan secara rutin menulis kolom tetap Anehdot Tegalan di harian Pagi Nirmala Post. Karena kesetiaannya, pada 19 Oktober 2008 ia menerima anugerah Penghargaan Penggiat Bahasa Tegal dari Walikota Tegal, Adi Winarso.

Bahasa gaul

Tak kalah dengan daerah lain, Tegal juga memiliki bahasa gaul yang asal muasalnya dari bahasa prokem. Bahasa ini pertama digunakan oleh para gerilyawan saat perang kemerdekaan. Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan, bahasa prokem beralih fungsi menjadi bahasa gaul. Pola pembentukan bahasa gaul Tegal menggunakan distribusi fonem. Contoh kata jasak berasal dari kata bapak (bapa). Di sini huruf B digeser (diganti) dengan huruf J, dan huruf P diganti dengan huruf S. Sementara huruf hidup (vokal) tidak mengalami perubahan.

Kosa kata bahasa gaul Tegal

Asal kata Bahasa Gaul Tegal
aku yanu
bapa (k) jasak
mbok (ibu) jok
batir (teman) jakwir
kakang (kakak) sahang
minum nyikung
adik yarik
balik (pulang) jagin
wadon (cewek) tarok

Pelajaran bahasa daerah

Sejak masa kepemimpinan H Mardiyanto, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menerapkan aturan agar setiap siswa (dari SD sampai SMA) mendapatkan pelajaran Bahasa Jawa. Namun kebijakan ini menemui kendala yakni permasalahan dialek bahasa. Sebagai contoh, anak yang lahir di Tegal otomatis bahasa ibu-nya adalah Bahasa Tegal, bukan Yogyakarta atau Solo. Jika Pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah hanya mengacu pada bahasa standar saja, tentu para siswa akan susah menyesuaikan dengan kultur yang telah mereka terima sejak lahir. Akhirnya muncul anggapan, pelajaran Bahasa Jawa di sekolah merupakan 'paksaan' agar menggunakan bahasa-nya orang wetanan.