Perang pandan
Perang pandan adalah salah satu tradisi yang ada di Desa Tenganan, Kecamatan Karangasem, Bali.[1] Perang pandan juga disebut dengan istilah makere-kere. [1] Upacara perang pandan menjadi daya tarik bagi wisatawan, baik wisatawan dalam negeri maupun wisatawan asing.[2] Peran pandan merupakan salah satu tradisi yang dilakukan untuk menghormati dewa Indra atau Dewa perang.[1] Perang pandan merupakan bagian dari ritual Sasihh Sembah. [1] Sasih sembah ialah ritual terbesar yang ada di Desa Tenganan. [1]
Sejarah
Masyarakat Desa Tenganan memiliki kepercayaan yang berbeda dari umumnya masyarakat Bali. [1] Masyarakat di Desa Tenganan menganut agama Hindu Indra. [1] Pemeluk agama Hindu Indra tidak membedakan umatnya dalam kasta. [1] Mereka juga menempatkan Dewa Indra sebagai Dewa tertinggi. [1] Masyarakat Tenganan percaya bahwa desa yang mereka tempati merupakan hadian dari Dewa Indra. [1]
Jaman dahulu daerah Tenganan di pimpin oleh seorang raja yang kejam bernama Maya Denawa. [1] Maya Denawa menganggap dirinya sebagai seorang Dewa. [1] Selain menganggap dirinya Dewa, Maya Denata juga melarang masyarakat Tenganan untuk melakukan ritual keagamaan. [1] Pengakuan Maya Denata sebagai dewa membuat murka para Dewa, kemudian Dewa Indra diutus untuk melawan Maya Denata. [1] Peperangan antara Maya Denata dan Dewa Indra dimenangkan oleh Dewa Indra.[3] Peperangan antara Maya Denata dan Dewa Indra tersebut kini di peringati masyarakat Desa Tenganan dengan upacara perang pandan, karena Dewa Indra adalah dewa perang.[3]
Tempat
Upacara perang pandan dilaksanakan di Desa Tenganan.[3] Tenganan adalah salah satu desa tertua yang ada di pulau Bali.[1] Desa ini dikelilingi oleh bukit seperti benteng.[3] Ritual perang pandan dilakukan di depan balai pertemuan desa Tenganan. [1]
Waktu pelaksanaan
Perang pandan dilakukan setiap bulan kelima atau sasih kalima dalam penanggalan desa adat Tenganan. [1] Ritual perang pandan berlangsung kurang lebih selama dua hari berturut-turut. [1] Upacara ritual ini dilakukan setiap satu tahun sekali. [4] Perang pandan dilaksanakan mulai dari jam 2 sore hingga selesai selama tiga jam.[4]
Alat
Tradisi perang pandan, dilakukan dengan menggunakan pandan berduri sebagai alat atau senjata untuk berperang.[5] Pandan berduri yang digunakan adalah pandan yang sudah diikat sehingga berbentuk seperti gada.[6] Peserta perang pandan juga sebuah tameng.[6] Tameng tersebut digunakan untuk melindungi diri dari serangan lawan.[6] Tameng yang digunakan pada perang pandan terbuat dari rotan yang dianyam. [6]
Perang pandan diiringi musik gamelan seloding.[6] Seloding adalah alat musik di daerah Tenganan yang hanya boleh dimainkan oleh orang yang disucikan. [6] Alat musik ini juga tidak sembarangan dimainkan, melainkan hanya pada acara tertentu saja. [6] Alat tersebut memiliki pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu tidak boleh menyentuh tanah.[6]
Peserta
Perang pandan dilakukan oleh pemuda desa Tenganan dan luar desa Tenganan.[6] Pemuda dari dalam desa berperan sebagai peserta perang pandan sedangkan pemuda dari luar desa sebagai peserta pendukung. [6] Anak-anak yang sudah mulai beranjak dewasa juga sudah turut ambil bagian dalam upacara ini. [6] Upacara ini juga dapat menjadi simbol seorang anak sudah beranjak dewasa.[6]
Urutan acara
Upacara perang pandan didahului dengan mengelilingi desa sebagai wujud permintaan keselamatan kepada Dewa. [1] Setelah mengelilingi desa, kemudian dilanjutkan ritual minum tuak bersama. [6] Tuak kemudian di kumpulkan bersama dan dibuang di sebelah panggung. [6] Pemangku adat akan memberikan aba-aba tanda perang dimulai. [6] Perang dilakukan berpasangan yaitu sejumlah dua orang. [6] Peserta perang pandan akan menari-nari dan sesekali menyabetkan pandan berduri pada peserta lainnya sealam datu menit lalu bergantian dengan pasangan lain.[6] Meskipun tubuhnya berdarah, pada peserta tetap terlihat senang karena hal itu adalah salah satu ungkapan syukur mereka dan cara menghormati Dewa Indra.[6] Setelah perang selesai peserta yang terluka diolesi ramuan tradisional yang terbuat dari kunyit.[6] Acara selanjutnya setelah perang usai adalah melakukan sembahyang di pure.[6] Meskipun peserta terluka tetapi tidak ada dendam di antara peserta.[6] Hal tersebut disimbolkan dengan makan bersama yang menunjukkan kebersamaan.[6] Acara tersebut dinamakan megibung.[6]
Pakaian
Peserta perang pandan memakai pakaian adat Tenganan yang bernama kain tenun Pegringsingan. [1] Masyarakat pria hanya menggunakan sarung atau disebut kamen, selendang atau disebut saput, dan ikat kepala atau udeng.[1] Pria tersebut tidak mengenakan baju alias bertelanjang dada.[1]
Rujukan
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v "Upacara Perang Pandan". Wisata Dewata. Diakses tanggal 28 April 2014.
- ^ "Warga Tenganan Lestarikan Tradisi Perang Pandan". Kompas. Diakses tanggal 30 April 2014.
- ^ a b c d "Sejarah Tenganan Pegringsingan,dan Perang pandan Berduri". KPF Bali. Diakses tanggal 30 April 2014.
- ^ a b "Perang Pandan is War Dance in Tenganan Village". Bali Golden Tour. Diakses tanggal 1 Mei 2014.
- ^ "Tradisi Perang Pandan di Desa Tenganan Bali Village". Plesir.com. Diakses tanggal 1 Mei 2014.
- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w [hhttp://www.diwira-tourandtravel.com/2013/10/perang-pandan-di-desa-tenganan.html "Mengenal Tradisi Perang Pandan di Desa Adat Tenganan Bali"]. Diwira Tour and Travel. Diakses tanggal 1 Mei 2014.