Sultan Banjar
Berikut ini adalah daftar figur-figur pemimpin yang memerintah di Kesultanan Banjar.[1][2][3][4][5][6]
No. | Potret | Masa | Sultan | Keterangan |
1 |
1520-1546 | Sultan Suryanullah | * Raja Banjarmasih. Nama lahirnya Raden Samudra, Raja Banjar pertama sebagai perampas kekuasaan yang memindahkan pusat pemerintahan di Kampung Banjarmasih yang menggantikan pamannya raja Pangeran Tumenggung (Raden Panjang), menurutnya dia ahli waris yang sah sesuai wasiat kakeknya Maharaja Sukarama (Raden Paksa) dari Kerajaan Negara Daha, padahal ia garis keturunan perempuan (menurut Hikayat Banjar versi resensi I). Setelah turun tahta Pangeran Tumenggung pindah ke daerah Alai beserta seribu penduduk. Sultan Suryanullah dibantu mangkubumi Aria Taranggana.[7] Baginda memeluk Islam pada 24 September 1526. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Sunan Batu Habang. Dalam agama lama, dia dianggap hidup membegawan di alam gaib sebagai sangiang digelari Perbata Batu Habang. | |
2 |
1546-1570 | Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah | * Raja Banjarmasih. Sultan Rahmatullah merupakan putera sulung Sultan Suryanullah, sedangkan Pangeran Anom/Pangeran di Hangsana merupakan putera kedua Sultan Suryanullah. Pangeran Anom/Pangeran di Hangsana menjabat sebagai Dipati. Sultan Rahmatullah dibantu mangkubumi Aria Taranggana.[7] Makam Sultan Rahmatullah terdapat di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Putih. | |
3 | 1570-1595 | Sultan Sultan Hidayatullah I bin Rahmatullah | * Raja Banjarmasih. Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Anggadipa.[7] Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Irang. Puteranya Raden Bagus dilantik sebagai raja muda dengan gelar Ratu Bagus, belakangan Ratu Bagus ditawan di Tuban oleh Sultan Mataram dan baru dibebaskan pada masa Sultan Mustain Billah. Trah keturunan Sultan Hidayatullah I menjadi Datu-datu Taliwang dan Sultan-sultan Sumbawa. Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II/Gusti Mesir Abdurrahman/Dewa Pangeran (Sultan Sumbawa (1763 - 1766) merupakan seorang keturunan Raja Banjar yang menjadi menantu Sultan Sumbawa. Kemudian dia dilantik sebagai Sultan Sumbawa berikutnya oleh Datu Taliwang (raja daerah Taliwang yang juga keturunan Raja Banjar Sultan Hidayatullah I).[8] | |
4 | 1595-1641 | Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah I | * Raja Banjarmasih/Raja Martapura. Nama lahirnya Raden Senapati, diduga ia perampas kekuasaan, sebab ia bukanlah anak dari permaisuri meskipun ia anak tertua. Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Jayanagara, dilanjutkan sepupunya Kiai Tumenggung Raksanagara. Gelar lain : Raden Kushil/Gusti Kacil/Pangeran Senapati/Panembahan Marhum/Raja Maruhum dan gelar yang dimasyhurkan Marhum Panembahan. Dia memindahkan ibukota ke sebelah hulu setelah mendapat serangan dari VOC Belanda dan memberi nama ibukota baru Martapura.[7] Oleh Suku Dayak yang menghayati Kaharingan baginda dianggap hidup sebagai sangiang di Lewu Tambak Raja dikenal sebagai Raja Helu Maruhum Usang. Pada bulan Oktober 1641 baginda mengirim utusan yang membawa hadiah persembahan (bukan upeti) kepada Sultan Mataram sebagai tanda persahabatan. Sekitar tahun 1635 hubungan Banjar dan Mataram mengalami ketegangan, namun mulai membaik sejak tahun 1637. Keturunannya menjadi Sultan-sultan Banjar dan Pangeran Ratu Kotawaringin. | |
5 | 1641-1646 | Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah | * Raja Martapura. Sultan Inayatullah (Pangeran Dipati Tuha [ke-1]) merupakan putera sulung Sultan Mustain Billah, sedangkan Pangeran Dipati Anom [ke-1] merupakan putera kedua Sultan Mustain Billah. Setelah dilantik sebagai mangkubumi/Kepala Pemerintahan maka Pangeran Dipati Anom [ke-1] memperoleh gelar Pangeran di Darat. Sultan Inayatullah juga bergelar Ratu Agung. Ia dimakamkan di Kampung Keraton, Martapura. Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera ketiga Sultan Mustain Billah kemudian dilantik menjadi raja daerah di wilayah perbatasan sebelah barat yang disebut Kerajaan Kotawaringin. | |
6 | 1646-1660 | Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah | * Raja Martapura. Nama lahirnya Raden Kasuma Alam. Sultan Saidullah memiliki saudara sebapak yaitu Raden Kasuma Lelana. Kepala Pemerintahan/mangkubumi tetapa dipegang Pangeran di Darat yang kini bergelar Panembahan di Darat. Setelah wafatnya Panembahan di Darat jabatan mangkubumi dilanjutkan pamannya Pangeran Dipati Anta-Kasuma, terakhir dilanjutkan paman tirinya Pangeran Dipati Mangkubumi (Raden Halit). Terdapat masa kekosongan Sultan selama setahun sebelum dia ditabalkan, dan menjalankan "kekuasaan" saat itu adalah mangkubumi Pangeran di Darat.[7] Gelar lain : Wahidullah/Ratu Anum/Ratu Anumdullah/Sultan Ratu. Sultan Ratu memiliki dua putera yaitu Pangeran Suria Angsa (Raden Bagus/Sultan Amrullah) dan Pangeran Suria Negara (Raden Basus/Pangeran Dipati Tuha).[9] Keturunannya menjadi Raja-raja Banjar dan Tanah Bumbu. | |
7 | 1660-1663 | Sultan Ri'ayatullah bin Sultan Mustain Billah | * Raja Martapura. Nama lahirnya Raden Halit. Ia sebagai temporary king/badal menjadi pelaksana tugas bagi Raden Bagus, Putra Mahkota yang belum dewasa. Sebagai Penjabat Sultan dengan gelar resmi dalam khutbah Sultan Rakyatullah (Rakyat Allah). Pemerintahannya dibantu mangkubumi keponakan tirinya Pangeran Mas Dipati bin Pangeran Dipati Antasari. Gelar lain : Pangeran Dipati Tapasena/Pangeran Mangkubumi/Panembahan Sepuh/Tahalidullah/Dipati Halit. Pada tahun 1663 ia dipaksa menyerahkan tahta kepada cucu tirinya Pangeran Dipati Anom II/Sultan Agung yang berpura-pura akan menyerahkan tahta kepada Putra Mahkota Raden Bagus tetapi ternyata untuk dirinya sendiri yang hendak menjadi Sultan.[7] | |
8 | 1663-1679 | Sultan Amrullah Bagus Kasuma bin Sultan Saidullah | * Nama lahirnya Raden Bagus. Masa pemerintahannya sering ditulis tahun 1660-1700. Pada tahun 1660-1663 ia diwakilkan oleh Sultan Rakyatullah dalam menjalankan pemerintahan karena ia belum dewasa. Pada tahun 1663 paman tirinya Pangeran Dipati Anom II/Sultan Agung merampas tahta dari Sultan Rakyatullah, yang semestinya dirinyalah sebagai ahli waris yang sah sebagai Sultan Banjar berikutnya.[7] Sementara itu ia telah dilantik oleh Pangeran Tapesana/Sultan Rakyatullah dengan gelar Sultan Amrullah Bagus Kasuma. Tahun 1663-1679 ia sebagai raja pelarian yang memerintah dari pedalaman (Alay) | |
9 | 1663-1679 | Sultan Agung/Pangeran Suria Nata (ke-2) bin Sultan Inayatullah | * Raja Banjarmasih. Nama lahirnya Raden Kasuma Lalana. Mengkudeta/mengambil hak kemenakannya Raden Bagus sebagai Sultan Banjar. Ia dengan bantuan suku Biaju, memindahkan pusat pemerintahan ke Sungai Pangeran (Banjarmasin). Pemerintahannya dibantu mangkubumi Pangeran Aria Wiraraja, putera Pangeran Ratu. Sebagai raja muda ditunjuk adik kandungnya, Pangeran Purbanagara. Ia berbagi kekuasaan dengan saudara kakeknya Pangeran Ratu (Sultan Rakyatullah) yang kembali memegang pemerintahan Martapura sampai mangkatnya pada 1666. Gelar lain : Pangeran Dipati Anom II.[7] | |
10 | 1679-1700 | Sultan Amarullah Bagus Kasuma/Suria Angsa/Saidillah bin Sultan Saidullah | * Raja Kayu Tangi. Ia sempat lari ke daerah Alay (1663-1679) kemudian menyusun kekuatan dan berhasil membinasakan pamannya tirinya Sultan Agung beserta anaknya Pangeran Dipati, kemudian naik tahta kedua kalinya. Saudara tirinya Raden Basus/Suria Negara/Pangeran Dipati Tuha diangkat sebagai Raja daerah Negara, yang kemudian membangun kerajaan Tanah Bumbu dengan wilayah dari Tanjung Aru sampai Tanjung Silat yang diperuntukan bagi anaknya yaitu Pangeran Mangu, anak lainnya Pangeran Citra menjadi Sultan Kelua. | |
11 | 1700-1717 | Sultan Tahmidullah I/Panembahan Kuning bin Sultan Amrullah/Tahlil-lullah | * Raja Kayu Tangi. Tahmidullah I memiliki dua putera dewasa, yang tertua adalah Sultan Ilhamidullah/Sultan Kuning/Sultan Badarul Alam dan yang kedua Sultan Sepuh/Tamjidullah I.[10][11] Sedangkan penguasa daerah Negara dijabat oleh Pangeran Mas Dipati[12]Trah keturunan Sultan Tahmisillah I menjadi Sultan-sultan Sumbawa. Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II/Gusti Mesir Abdurrahman/Dewa Pangeran (Sultan Sumbawa (1763 - 1766) merupakan seorang putera dari Pangeran Aria bin Sultan Tahmidillah (ke-1). Sebagai menantu Sultan Sumbawa. kemudian dia dilantik sebagai Sultan Sumbawa berikutnya oleh Datu Taliwang (raja daerah Taliwang yang juga keturunan Raja Banjar Sultan Hidayatullah I).[13] | |
12 | 1717-1730 | Panembahan Kasuma Dilaga | * Raja Kayu Tangi. Ia adalah mangkubumi dan adik sultan sebelumnya. Iparnya yang bernama Raden Jaya Negara dilantik sebagai penguasa daerah Negara | |
13 | 1730-1734 | Sultan il-Hamidullah/Sultan Kuning bin Sultan Tahmidullah I | * Raja Kayu Tangi. Gelar lain : Sultan Kuning atau Pangeran Bata Kuning.[14] Panglima perang dari La Madukelleng menyerang Banjarmasin pada tahun 1733 | |
14 | 1734-1759 | Sultan Tamjidullah I bin Sultan Tahmidullah I | * Raja Kayu Tangi. Gelar lain: Sultan Sepuh/Panembahan Badarulalam.[14] Raja Kayu Tangi. Ia semula mangkubuminya Sultan Kuning, kemudian setelah mangkatnya Sultan Kuning, ia bertindak sebagai wali Putra Mahkota Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah gelar Ratu Anom yang belum dewasa. Tamjidullah I yang bergelar Sultan Sepuh ini berusaha Sultan Banjar tetap dipegang pada dinasti garis keturunannya. Adiknya Pangeran Nullah (Penembahan Hirang) dilantik sebagai mangkubumi.[15] Tamjidullah I mangkat 1767. | |
15 | 1759-1761 | Sultan Muhammadillah/Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Il-Hamidullah/Sultan Kuning | * Raja Kayu Tangi. Ia menggantikan mertuanya Sultan Sepuh/Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar. Setelah itu mantan Sultan Sepuh tidak lagi memakai gelar Sultan tetapi hanya sebagai Panembahan. Sebagai mangkubumi adalah Pangeran Nata dengan gelar Ratu Dipati, putera Sultan Sepuh. Gelar lain : Sultan Muhammadillah/Sultan Aminullah/Muhammad Iya'uddin Aminullah/Muhammad Iya'uddin Amir ulatie ketika mangkat anak-anaknya masih belum dewasa, tahta kerajaan kembali dibawah kekuasaan Tamjidillah I tetapi dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata Dilaga sebagai wali Putra Mahkota. | |
16 | 1761-1801 | Sunan Nata Alam (Pangeran Mangkubumi) bin Sultan Tamjidullah I | * Raja Kayu Tangi. Tahun 1771 ia memindah ibukota ke Martapura yang dinamakan Bumi Selamat. Semula sebagai wali Putra Mahkota dengan gelar Panembahan Kaharuddin Halilullah. Pamannya yang bernama Pangeran Mas menjadi mangkubumi dengan gelar Ratu Anom Kasuma Yuda (mangkubumi Sultan Tahmidullah II). Ratu Anom Kasuma Yuda kemudian wafat dan digantikan Ratu Anom Ismail atau Ratu Anom Mangkudilaga.[15] Gelar lain : Sultan Tahmidullah II/Sunan Nata Alam (1772)/Pangeran Nata Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran Nata Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul Mu'minin Abdullah(1762)/Sunan Sulaiman Saidullah I(1787)/Panembahan Batu (1797)/Panembahan Anom. Mendapat bantuan VOC untuk menangkap Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang menuntut tahta dengan bantuan Arung Trawe/Petta To Rawe pimpinan suku Bugis-Paser yang mengalami kegagalan, kemudian Pangeran Amir menjalin hubungan dengan suku Bakumpai dan akhirnya ditangkap Kompeni Belanda 14 Mei 1787, kemudian diasingkan ke Srilangka. Sebagai balas jasa kepada VOC maka dibuat perjanjian 13 Agustus 1787 yang menyebabkan Kesultanan Banjar menjadi vazal VOC atau daerah protektorat, bahkan pengangkatan Sultan Muda dan mangkubumi harus dengan persetujuan VOC. Sultan Tahmidullah II mempunyai saudara perempuan bernama Ratu Laiya yang menikah dengan Sultan Muhammad dari Sumbawa.[16] | |
17 | 1801-1825 | Sultan Sulaiman al-Mutamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II | * Menurut tradisi suksesi di kesultanan Banjar yang berlaku saat itu, maka putera sulung dari permaisuri akan dilantik sebagai Sultan Muda dan putera kedua akan dilantik sebagai mangkubumi (Pangeran Mangkubumi) untuk menggantikan mangkubumi sebelumnya yang meninggal dunia. Baginda dilantik sebagai Sultan Muda atau Pangeran Ratu Sultan Sulaiman sejak tahun 1767 ketika berusia 6 tahun. Adiknya yaitu Pangeran Mangku Dilaga/Pangeran Ismail kemudian dilantik sebagai mangkubumi dengan gelar Ratu Anom Mangku Dilaga/Ratoe Anom Ismail. Belakangan Ratoe Anom Ismail dihukum bunuh oleh Sultan Sulaiman Saidullah karena diduga akan merencanakan kudeta, sehingga jabatan mangkubumi berikutnya jatuh kepada putera kedua Sultan Sulaiman Saidullah yang bernama Pangeran Husin. Sebagai mangkubumi Pangeran Husin bergelar Pangeran Mangku Bumi Nata, jadi ia merupakan adik Sultan Adam - anak sulung Sultan Sulaiman Saidullah.[17] Pada masa itu wilayah Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris, namun Inggris melepaskan kekuasaannya atas Banjarmasin. Kemudian Pemerintahan Hindia Belanda datang kembali ke Banjarmasin untuk menegaskan kekuasaannya. Sultan Sulaiman digantikan anaknya Sultan Adam. Keturunannya menjadi Sultan Banjar dan raja-raja Kusan, Batulicin dan Pulau Laut. Diantara putera-puterinya adalah Ratu Mashud (ibunda Pangeran Antasari) dan Pangeran Singosari yang menurunkan Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah. | |
18 | 1825-1857 | Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mutamidullah | * Baginda mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782, selanjutnya ia menggantikan ayahandanya sebagai Sultan Banjar. Ia dibantu adiknya Pangeran Husin bergelar Pangeran Mangku Bumi Nata sebagai mangkubumi. Setelah wafatnya Pangeran Mangku Bumi Nata maka putera kedua Sultan Adam yaitu Pangeran Noh dilantik sebagai mangkubumi (Pangeran Mangkubumi) dengan gelar Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana oleh Belanda pada 1842, sedangkan putera sulung yaitu Pangeran Ratu dilantik sebagai Sultan Muda dengan gelar Sultan Muda Abdul Rahman. Untuk memperoleh calon Pangeran Mahkota berikutnya maka Sultan Muda dinikahkan dengan sepupunya putri dari mangkubumi.[18] Setelah wafatnya Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana maka pemerintah kolonial Belanda melantik putera dari selir Sultan Muda Abdul Rahman yang bernama Pangeran Tamjidillah (ke-2) untuk mengisi jabatan mangkubumi (pada saat Sultan Muda Abdul Rahman masih hidup). Ketika Sultan Muda Abdul Rahman mangkat (sebelum sempat menjabat sebagai Sultan Banjar) maka Belanda melantik Tamjidullah II sebagai Sultan Muda sejak 8 Agustus 1852 sambil merangkap jabatan mangkubumi yang sudah dijabat sebelumnya. Hal ini melanggar adat keraton biasanya mangkubumi dan Sultan Muda dijabat oleh orang yang berbeda, karena sepatutnya Sultan Muda dijabat oleh putera sulung dari permaisuri. Sultan Adam menolak pengangkatan Tamjidullah II sebagai Sultan Muda, karena ia menginginkan Pangeran Hidayatullah II untuk jabatan tersebut. Namun setelah wafatnya Sultan Adam, malahan Pangeran Tamjidullah II tetap dilantik pemerintah kolonial Belanda sebagai Sultan Banjar untuk menggantikan sultan Adam, dan sehari kemudian Tamjidullah II menandatangani surat pengasingan pamannya sendiri Pangeran Prabu Anom untuk diasingkan ke Bandung pada 23 Februari 1858. Tahun 1853 Sultan Adam sebenarnya sudah mengutus surat ke Batavia agar pengangkatan Tamjidullah II sebagai Sultan Muda (calon Sultan) dibatalkan. Sebagai tandingan Sultan Muda Tamjidullah, tahun 1855 Sultan Adam melantik puteranya Pangeran Prabu Anom (adik almarhum Sultan Muda Abdul Rahman) sebagai Raja Muda. Kemudian Sultan Adam sempat membuat surat wasiat yang menunjuk cucunya Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar penggantinya dan Pangeran Prabu Anom sebagai Mangkubumi, surat wasiat inilah yang menjadi dasar perlawanan segenap bangsawan dan rakyat Banjar terhadap kolonial Hindia Belanda[19] | |
19 | 1857-1859 | Sultan Tamjidullah II al-Watsiq Billah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam | *Sejak 1851 ia dilantik Belanda sebagai mangkubumi (sewaktu Sultan Muda Abdurrahaman masih hidup) untuk menggantikan Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana (adik Sultan Muda Abdurrahaman) yang meninggal dunia, tidak hanya itu kemudian pada tahun 1852 ia dilantik Belanda menjadi Sultan Muda (merangkap mangkubumi) menggantikan ayahnya Sultan Muda Abdurrahman yang mangkat pada 5 Maret 1852, walaupun pelantikannya sebagai Sultan Muda ini tidak disetujui kakeknya Sultan Adam. Pada 3 November 1857 Tamjidullah II diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar, padahal ia anak selir meskipun ia sebagai anak tertua dan kemudian Belanda mengangkat Hidayatullah II sebagai mangkubumi. Jalur suksesi menurut tradisi kesultanan Banjar, untuk promosi jabatan putera-putera dari seorang Sultan yang bertahta, maka putera permaisuri yang sulung dilantik sebagai Sultan Muda dan seorang putera yang lainnya akan dilantik sebagai mangkubumi (jabatan bergengsi kedua setelah Sultan). Pelantikan Tamjidullah II ini sengaja dibuat salah oleh Belanda. Tamjidullah II memiliki tanah lungguh di Kota Banjarmasin karena itu sebagian rakyat dan ulama Banjarmasin mendukungnya. Banjarmasin menurut tradisi berada di bawah otoritas putera tertua Sultan. Pengangkatan Tamjidullah II ditentang segenap bangsawan karena menurut wasiat semestinya Hidayatullah II sebagai Sultan karena ia anak permaisuri. Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar kemudian mengirimnya ke Bogor. Sultan Seman, mertua Tamjidullah II ditangkap dan dihukum gantung dengan empat orang pengikutnya dengan tuduhan melakukan pemberontakan. Sebagai pengganti jabatan Sultan Banjar yang kosong, Belanda melantik komisi pemerintahan kerajaan yang terdiri atas Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Muhammad Tambak Anyar. Sementara Sultan Muda menghindari penangkapan Belanda melarikan diri ke pulau Sumatera. | |
20 | 1859-1862 | Sultan Hidayatullah Halilillah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam | * Nama lahirnya adalah Gusti Andarun, kemudian sebagai mangkubumi ia memakai gelar Pangeran Hidayatullah. Ia dikenal sebagai Sultan tanpa mahkota. Sesuai wasiat Sultan Adam ia sebagai Sultan Banjar penggantinya. Pada 9 Oktober 1856 ia dilantik Belanda sebagai mangkubumi tetapi diam-diam ia menjadi oposisi Tamjidullah II, misalnya dengan mengangkat Kiai Adipati Anom Dinding Raja (Jalil) sebagai tandingan adipati Banua Lima Kiai Adipati Danu Raja yang berada di pihak Belanda/Sultan Tamjidullah II. Pangeran Hidayatullah II memiliki tanah lungguh meliputi Alai, Paramasan, Amandit, Karang Intan, Margasari dan Basung. Perjuangan Sultan Hidayatullah II dibantu oleh tangan kanannya Demang Lehman yang memegang pusaka kerajaan Keris Singkir dan Tombak Kalibelah.[20] Ketika berada di Banua Lima pada bulan September 1859, ia dilantik di Amuntai oleh rakyat Banua Lima sebagai Sultan Banjar, dan Pangeran Wira Kasuma sebagai mangkubumi. Pelantikan ini untuk memenuhi angan-angan rakyat Banua Lima walaupun bersifat marjinal karena pada dasarnya seluruh wilayah berada dalam kekuasaan Belanda. Penobatanya ini pada umumnya disetujui pula oleh rakyat yang berada di Banua Lima maupun di luar Banua Lima. Pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar yang digantikan komisi kerajaan dibawah Pangeran Suria Mataram (anak Sultan Adam) dan Pangeran Mohammad Tambak Anyar (anak Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana). Sultan Hidayatullah II pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur | |
21 | 1862 | Pangeran Antasari bin Pangeran Mashud bin Sultan Amir[21] bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah | * Raja Bakumpai dan Tanah Dusun. Pada 14 Maret 1862, yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur, rakyat Tanah Dusun, Siang dan Murung memproklamasikan pengangkatan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi dalam kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Khalifah ini dibantu Tumenggung Surapati sebagai panglima perang. Pusat perjuangan di Menawing, pedalaman sungai Barito, Murung Raya, Kalteng. Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, wafat 11 Oktober 1862 di kampung Sampirang, Bayan Begak, karena penyakit cacar. Dimakamkan kembali 11 November 1958 di Komplek Makam Pangeran Antasari, Banjarmasin. | |
22 | 1862-1905 | Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin | * Raja Pagustian/Kastapura[22] . Sebagai kepala Pemerintahan Pagustian meneruskan perjuangan ayahnya, Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda dengan dibantu kakaknya Panembahan Muda/Gusti Muhammad Said sebagai mangkubumi dan Panglima Batur sebagai panglima perang. Ia melantik menantunya Pangeran Perbatasari bin Panembahan Muhammad Said sebagai Mangkubumi menggantikan almarhum ayahandanya. Pangeran Perbatasari tertangkap di daerah Pahu, Kutai Barat dan dibuang ke Kampung Jawa Tondano. Sultan Muhammad Seman sempat mengirim Panglima Bukhari ke Kandangan untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Muhammad Seman gugur pada 24 Januari 1905 ditembak Belanda yang mengakhiri Perang Banjar dan banyak para pahlawan pejuang yang tertangkap, Pangeran Aminullah (menantu Pangeran Prabu Anom) dibuang ke Surabaya, Ratu Zaleha diasingkan ke Bogor, keturunan Tumenggung Surapati yang tertangkap diasingkan ke Bengkulu, dan sebagai penerus Sultan Muhammad Seman adalah Gusti Berakit. Negeri Banjar menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur Haga, Pimpinan Pemerintahan Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman Jepang), Pangeran Muhammad Noor (Gubernur Kalimantan I), sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan. | |
23 | 2010 | Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah bin Gusti Jumri bin Gusti Umar bin Pangeran Haji Abubakar bin Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman al-Mu'tamidullah | *Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah zuriat dari Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman. Pada masa kemelut Perang Banjar, hanya Pangeran Singosari (saudara Sultan Adam) dan Pangeran Surya Mataram (anak Sultan Adam) yang masih dipercaya oleh rakyat Banjar sebagai tempat mengadukan segala permasalahan pada masa itu. Pangeran Singosari merupakan "perwakilan" Kesultanan Banjar di Banua Lima. Setelah lama mengalami kevakuman, para zuriat Kesultanan Banjar bertekad "Maangkat Batang Tarandam" untuk menghidupkan kembali Kesultanan Banjar. Maka melalui musyawarah Tinggi Adat, para zuriat yang tergabung dalam Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar (LAKKB), pada 24 Juli 2010 resmi menganugerahkan gelar Pangeran dan menobatkan Gusti Khairul Saleh (Bupati Kabupaten Banjar 2005-2015) sebagai Raja Muda Banjar dan seterusnya diangkat menjadi Sultan Banjar. | |
Referensi
- ^ (Belanda) (1867)De tijdspiegel. Fuhri. hlm. 165.
- ^ disporbudpar.kalselprov.go.id
- ^ KALIMANTAN SELATAN
- ^ Banjarmasin merebut kembali sejarah kerajaan dan budaya
- ^ http://kasultananbanjar.blogspot.com/2012/09/silsilah-sultan-hidayatullah-al.html
- ^ http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/raja-banjar-sejak-sultan-suriansyah.html
- ^ a b c d e f g h (Melayu) Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990.
- ^ SEJARAH RAJA & PEMERINTAHAN DI SUMBAWA
- ^ (Inggris) Souza, George Bryan (2004). The Survival of Empire: Portuguese Trade and Society in China and the South China Sea 1630-1754. Cambridge University Press. hlm. 127. ISBN 0521531357.ISBN 9780521531351
- ^ (Belanda) Willem Adriaan Rees, De bandjermasinsche krijg van 1859-1863: met portretten, platen en een terreinkaart, D. A. Thieme, 1865
- ^ (Indonesia)Helius Sjamsuddin; Pegustian dan Temenggung: akar sosial, politik, etnis, dan dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906; Balai Pustaka, 2001
- ^ http://eprints.lib.ui.ac.id/12976/1/82338-T6811-Politik%20dan-TOC.pdf
- ^ SEJARAH RAJA & PEMERINTAHAN DI SUMBAWA
- ^ a b Tamar Djaja, Pustaka Indonesia: riwajat hidup orang-orang besar tanah air, Jilid 2, Bulan Bintang, 1965
- ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamatutur candi
- ^ (Belanda) Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde, Jilid 14, Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 1864
- ^ Padoeka Pangeran Mangkoe Boemi, yang memegang parintah dalam negrie BANDJARMASING (Belanda) Philippus Pieter Roorda van Eysinga, Handboek der land- en volkenkunde, geschiedtaal-, aardrijks- en staatkunde von Nederlandsch Indie. 3 boeken [in 5 pt.], 1841
- ^ (Indonesia) Mohamad Idwar Saleh, Sri Sutjiatiningsih; Pangeran Antasari, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993
- ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19, PT Balai Pustaka, 1992, ISBN 979-407-410-1, 9789794074107
- ^ (Belanda) Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Notulen van de Directievergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Jilid 3, 1866
- ^ (Belanda) Nederlanderh, Host Indie, Penerbit Brill Archive
- ^ (Indonesia) Susanto, A. Budi (2007). Masihkah Indonesia. Kanisius. hlm. 216. ISBN 9792116575.ISBN 9789792116571