Amangkurat V

Susuhunan dari Mataram
Revisi sejak 2 Agustus 2016 09.28 oleh AABot (bicara | kontrib) (Robot: Perubahan kosmetika)

Raden Mas Garendi, juga disebut Sunan Kuning, adalah seorang cucu raja Amangkurat III dari Mataram. Tahun 1742, saat dia berumur 12 tahun, dia diangkat sebagai raja Mataram oleh pemberontak yang menantang kekuasaan Susuhunan Pakubuwana II (bertahta bertahta 1729-1746). Raden Mas Said dilahirkan di Keraton Kartasura pada 17 April 1725. Ayahnya bernama Kangjeng Pangeran Arya Mangkoenagoro dan ibunya Raden Ayu Wulan, puteri dari pangeran Balitar. Ayahnya dikenal sebagai pangeran yang cerdik berkat pengetahuannya yang mendalam tentang sastra dan tradisi Jawa. Itulah sebabnya ia dianggap pantas menggantikan tahta ayahnya yaitu Amangkurat IV. Namun suasana politik keraton Kartasura tidak terlalu nyaman bagi sang pangeran. Sejak adiknya naik tahta dengan gelar Pakubuwana II, ia malahan dianggap duri dalam daging bagi klik kerajaan yaitui bunda raja, Gusti Kangjeng Ratu Ageng dan Patih Danureja. Ia pun difitnah dan akhirnya dibuang ke Ceylon sampai ke Kaapstad.

Sejak pembuangan ayahnya Raden Mas Said dan adiknya Raden Mas Ambia danRaden Mas Sabar hidup menyedihkan. Mereka sebelumnya juga telah ditinggal ibunya. Ketiga anak itu hidup dalam suasana kemelaratan dan tersisih dari kehidupan istana. Tidak ada lagi pada mereka terpancar gambaran sebagai putera calon raja. Namun pada sisi lain melalui kehidupan yang penuh penderitaan ini ia sangat akrab dengan rakyat kecil. Teman dekat mereka yang selalu menemani adalah Raden Sutawijaya dan Raden Suradiwangsa.

Menjelang usia 14 tahun oleh Pakubuwana II, Raden Mas Said diangkat menjadi seorang Manteri Gandek dengan gelar Raden Mas Ngabehi Suryakusuma dengan mendapat tanah lungguh( jabatan) seluas 50 karya. Ketika terjadi pelarian orang-orang Cinadari Batavia meluas ke Kartasura pada 1740 sempat timbul perlawanan rakyat kepada penguasa VOC di Kartasura. Atas huru-hara ini Raden Mas Said bersimpati pada perlawanan rakyat. Pasukan pemberontakan yang dipimpin oleh Mas Garendi berhasil menduduki keraton.

Kondisi keraton yang kurang aman dan kekhawatiran akan keselamatan adik-adiknya, Raden Mas Said memutuskan untuk meninggalkan istana diikuti oleh teman-temannya seperti Sutawijaya dan Suradiwangsa. Atas saran Suradiwangsa Raden Mas Said dianjurkan untuk pergi ke Nglaroh, daerah tempat Suradiwangsa pada 1741. Selama di Nglaroh Raden Mas Said bersama adik-adiknya dan pengikutnya melakukan latihan perang sebagai persiapan melawan Belanda. Di Nglarohlah kharisma Raden Mas Said mulai bersinar. Ia tumbuh menjadi pemimpin perjuangan melawan Belanda. Sebagai pemimpin perjuangan ia mengangkat Raden Sutawijaya sebagai panglima perang dan diberi gelar Raden Ngabehi Rangga Panambang. Sementara Suradiwangsa diangkat sebagai patih dan diberi gelar Kyai Kudanawarsa.

Sejak 1741 Raden Mas Said mengobarkan perlawanan terhadap Belanda selama 16 tahun. Periode perang pertama (1741-1742) bergabung dengan Sunan Kuning di Randu Lawang. Periode kedua selama sembilan tahun (1743-1752) bersama dengan Pangeran Mangkubumi. Periode ketiga selama lima tahun (1752-1757) Raden Mas Said berjuang sendiri melawan VOC, Sultan Hamengku Buwana I danPakubuwana III. Selama perjuangannya yang sangat panjang, berpindah-pindah medan pertempuran, dan melelahkan itu Raden Mas Said selalu didampingi oleh neneknya Raden Ajeng Sumanarsa, kedua isterinya (Kangjeng Ratu Bendara dan Mas Ayu Matah Ati), putera-puteranya serta pengikut setianya. Mereka semua terlatih duduk di atas punggung kuda, naik-turun pegunungan dan lembah, serta pandai dalam bertahan hidup. Kesatuan mereka yang selalu berhasil dijaga karena semangat TIJI-TIBEH. Keteguhan Raden Mas Said dalam berjuang akhirnya berhasil memaksakan perjanjian politik dengan Pakubuwana III di Salatiga yang mendasari berdirinya pemerintahan Mangkunegaran.