Sejarah ekonomi Indonesia
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Sejarah ekonomi Indonesia terbentuk atas lokasi geografisnya yang terletak diantara persilangan samudera dan benua dunia. Sumber daya alam yang melimpah berupa hasil tani dan bumi serta penduduk yang tinggal dipenjuru kepulauan yang membentuk dasar dari perkembangan Negara Indonesia. Munculnya kontak dengan perdagangan internasional melalui mitra asing yang datang untuk berdagang juga ikut berperan penting dalam perkembangan Indonesia berupa kedatangan pedagang dari India, China, Arab dan Eropa yang ikut mengeksplorasi rempah-rempah.
Pada awal abad ke-17, Vereenigde Oostindische Compagnie, salah satu perusahaan multinasional pertama dalam dunia, sejarah telah mendirikan basis operasional mereka di kepulauan Indonesia untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah dunia. Pada tahun 1800, Hindia belanda merupakan salah satu negara terbesar yang menerima manfaat finansial dari monopoli perdagangan komoditas nusantara di pasar internasional melalui hasil tani seperti kopi, teh, kina, karet dan minyak sawit, hasil bumi seperti minyak, batubara, timah dan tembaga. Hindia Belanda berubah menjadi Republik Indonesia setelah Perang Dunia II.
Pada awal abad ke-21, Indonesia berkembang menjadi kekuatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, sekaligus sebagai kekuatan ekonomi negara berkembang dunia, mengantarkan Indonesia menjadi anggota G-20 dan masuk sebagai negara industri baru.[1]
Kerajaan-kerajaan kuno
Awal mulanya, perekonomian pedesaan di nusantara sangat bergantung pada hasil pertanian seperti padi, serta perdagangan produk hutan; seperti buah tropis, perburuan hewan, tanaman resin, rotan dan kayu. Kerajaan-kerajaan kuno seperti Tarumanagara dan Mataram adalah salah satu contoh dari kerajaan yang mengandalkan kegiatan perekonomiannya pada hasil panen padi dan pajak.
Nusantara sejak lama dikenal akan melimpahnya sumber daya alam; seperti rempah-rempah berupa pala dan cengkeh dari Maluku, merica dan kemukus dari Sumatera Selatan dan Jawa Barat, beras dari Jawa, emas, tembaga dan timah dari Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau di antara, kamper resin dari pelabuhan Barus, sappan dan kayu cendana dari Kepulauan Nusa Tenggara, kayu dari Kalimantan, gading dan badak tanduk dari Sumatera dan eksotis bulu burung dari Indonesia timur adalah beberapa produk yang dicari oleh para pedagang di seluruh dunia. Secara teknis, kontak asing dimulai ketika pada abad ke-4 dimana kerajaan kecil nusantara yang menerima kedatangan pedagang dari India. Seiring dengan perkembangan, datanglah para pedagang-pedagang lain dari daratan Benua Asia lainnya seperti dari Arab dan China. Lokasi nusantara yang strategis diantara rute perdagangan India dan China serta rute perdagangan maritim yang terus berkembang menjadikan nusantara tumbuh sebagai salah satu kekuatan ekonomi dan politik yang berpengaruh dikawasan berupa lahirnya Kerajaan Sriwijaya yang mulai berkembang pada abad ke-7 menjadi kerajaan kosmopolitan berbasis perdagangan.
Sriwijaya
Dalam dunia perdagangan, Kerajaan Sriwijaya berkembang dengan pesat menjadi Kerajaan utama yang mengendalikan 2 jalur perdagangan utama antara India dan Cina, yaitu melalui Selat Sunda dari Palembang dan selat Malaka dari Kedah. Dalam suatu catatan dari pedagang Arab, catatan tersebut menyatakan bahwa luasnya wilayah kerajaan yang begitu besar bahkan membuat kapal tercepatpun tidak mampu untuk bisa berpergian mengelilingi semua pulau-pulau yang menghasilkan kamper, gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga dan cubebs, gading, emas, dan timah, kekayaan masing-masing pulau menjadikan kerajaan ini bisa memiliki kekayaan setara dengan raja yang ada di India.
Selain membina hubungan perdagangan dengan India dan Cina, Sriwijaya juga didirikan perdagangan link dengan Kerajaan di Jazirah Arab. Terdapat sebuah kemungkinan besar, seorang utusan dikirim oleh Maharaja Sri Indrawarman untuk menyampaikan surat perkenalan kepada Khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Kekhalifahan Umayyah di Tahun 718 Masehi. Surat tersebut kembali bersama dengan Zanji (budak wanita dari Zanj), sebagai hadiah dari Khalifah untuk maharaja yang menjadi pertanda baik dibukanya hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan Kekhalifahan Umayyah. Hal ini diperkuat dengan adanya berita dari China yang menyebutkan tentang seorang yang bernama Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indravarman), Maharaja dari Shih-li-fo-shih di Tahun 724 mengirimkan hadiah kepada kaisar berupa ts'engchi (Cina ejaan bahasa arab Zanji). Sriwijaya mendominasi kekuatan ekonomi dan politik dikawasan tersebut hingga berakhirnya pada abad ke-13.
Majapahit
Pada abad ke-14 di Pulau Jawa, tumbuh sebuah Kerajaan yang mewarisi peninggalan Kerajaan Singhasari yang bernama Kerajaan Majapahit. Kerajaan yang lahir dari seorang mantan tahanan yang diberikan lahan di sebuah daerah yang bernama desa maja (kini Mojokerto) ini berawal hanya dari sebuah daerah pemukiman yang terletak dipinggir Sungai Brantas. Kerajaan yang ekonominya dulu hanya digerakkan dari hasil panen pertanian bertanah basah dan kering secara pesat berkembang menjadi kerajaan maritim sebagai pusat perdagangan dan ekonomi di nusantara selama berabad-abad. Menurut sumber dari Dinasti Ming dengan judul Yingyai Shenglan bernama Ma Huan melaporkan perkembangan perekonomian dan perdagangan di Pulau Jawa.
Dalam industri pertanian, Padi di pulau Jawa dipanen sebanyak dua kali dalam setahun. Mereka juga menanam dan memanen wijen putih dan lentil, tetapi tidak ada menanam gandum. Tanah di pulau ini menghasilkan Secang (berguna untuk menghasilkan pewarna merah), berlian, cendana, dupa, puyang merica, cantharides (kumbang hijau yang digunakan untuk obat-obatan), biji besi, kura-kura, penyu serta hewan aneh dan langka seperti burung besar seperti ayam, beo lima warna yang bisa menirukan suara manusia, juga ayam mutiara, merak, 'pohon sirih burung', mutiara burung, dan merpati hijau. Terdapat pula Binatang-binatang yang belum pernah kami temui seperti rusa putih, kera putih dan berbagai hewan lainnya. Hewan disini juga sama, ada Babi, kambing, sapi, kuda, dan bebek. Untuk buah-buahan, ada semua buah-buahan pisang, kelapa, tebu, buah delima, lotus, mang-chi-shi (manggis), semangka dan lang Ch' (langsat atau Duku). Selain itu, ada labu dan sayuran.
Kegiatan transaksi sehari-hari dalam perekonomian di Pulau Jawa seperti membeli atau menjual barang, membayar pajak dan denda termonetisasi secara parsial menggunakan koin emas dan perak pada abad ke-8 dan mulai digunakan secara penuh sebagai alat transaksi seabad kemudian melalui eskavasi artefak berupa Temuan Wonoboyo yang ditemukan di Jawa Tengah memperkuat bukti bahwa Kerajaan Majapahit secara finansial terpenuhi kebutuhan transaksinya melalui kebijakan monetisasi. Hasil eskavasi penemuan artefak ini berupa koin emas yang berbentuk benih, mirip dengan jagung, sedangkan koin perak yang mirip dengan tombol. Sekitar tahun 1300an, pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk, terjadi perubahan secara drastis dengan penggantian penggunaan uang koin emas dan perak menjadi koin impor tembaga China tunai. Penemuan koin tembaga China Kuno sebanyak 10,388 keping oleh seorang warga di Kabupaten Sidoarjo dengan berat mencapai 800kg pada bulan November 2008 yang diteliti oleh Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Indonesia (BP3I) Jawa Timur menyatkan bahwa koin-koin tersebut merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit.[2] Meski perubahan alat transaksi ini tidak pernah dijelaskan diberita manapun, terdapat anggapan bahwa seiring dengan makin kompleksnya perkembangan ekonomi di Pulau Jawa dan keinginan untuk memiliki mata uang dengan sistem yang jauh lebih kecil dan cocok untuk digunakan sehari-hari dalam transaksi pasar, maka digantikanlah alat transaksi emas dan perak menjadi tembaga.[3](h107)
Terdapat beberapa catatan mengenai perekonomian yang diambil dari prasasti dan data. Prasasti Canggu pada tahun 1358 menyebutkan terdapat sebanyak 78 lalu lintas penyeberangan laut antar pulau di dalam negeri nusantara.(h107)
Keberhasilan Majapahit berkembang hingga menjadi salah satu kerajaan yang makmur dan sejahtera karena dua faktor utama. Pertama, dataran rendah Pulau Jawa yang terletak di Timur Laut cocok untuk dijadikan lahan pertanian konsumsi seperti padi dan budidaya berbagai tanaman konsumsi dan komoditas yang mampu menjadi pendapatan utama kerajaan, dan terdapat proyek-proyek irigasi yang secara signifikan berpengaruh pada pertumbuhan permintaan tanaman komoditas tersebut. Kedua, pelabuhan-pelabuhan di pantai utara secara aktif dimanfaatkan oleh kerajaan ini untuk memasarkan dan memperdagangkan komoditas hasil tani dan bumi yang dipanen mungkin, serta jaringan transportasi laut yang frekuensinya banyak dan terjangkau disemua daerah nusantara memungkinkan majapahit untuk memperluas wilayah kekuasannya dengan mudah yang diikuti dengan kemudahan akses untuk mendapatkan rempah-rempah dari Kepulauan Maluku yang melewati Jawa menjadi sumber pendapatan penting bagi Majapahit.(h107)
Dalam Kakawin Nagarakretagama, Majapahit yang terkenal menarik para pedagang asing dari jauh seperti dari India, Khmer, Siam, dan China untuk berdagang di Majapahit. Sementara di periode selanjutnya, dalam berita China yang berjudul Yingyai Shenglan disebutkan bahwa sebagian besar dari pedagang China dan pedagang-pedagang Muslim dari barat (tepatnya Arab dan India, sebagian besar dari kerajaan Muslim di Sumatera dan Semenanjung malaya) menetap di kota-kota pelabuhan Majapahit, seperti Tuban, Gresik dan Hujung Galuh (Surabaya). Pajak dikenakan terhadap beberapa orang asing, seperti mereka yang membuka usaha dan melakukan kegiatan perdagangan luar negeri. Kerajaan Majapahit memiliki hubungan diplomatik dan perdagangan dengan China dinasti Ming, Annam dan Champa, Kamboja, Siam Ayutthayan, Burma Martaban dan India selatan (Wijayanagara).
Jaringan perdagangan Islam
Pedagang Muslim telah menyebarkan agama Islam di sepanjang rute perdagangan yang menghubungkan Dunia Islam yang membentang dari Mediterania, Timur Tengah, India, Kepulauan di Asia Tenggara dan China. Para pedagang Muslim dari jazirah Arab dan teluk berlayar melintasi nusantara dalam perjalanan mereka ke menuju China, sejak perjalanan perdananya pada abad ke-9 yang dibuktikan melalui penemuan Bangkai kapal Belitung yang berisi muatan dari Cina di lepas pantai Pulau Belitung. Kehadiran para pedagang Muslim menjadi salah satu penguat pengaruh berdirinya Kerajaan Islam di nusantara yang bertepatan dengan jatuhnya kerajaan Hindu-Buddha. Pada abad ke-13, Islam telah memiliki pijakan di Indonesia melalui berbagai kerajaan bernuansa Islam seperti Kesultanan Samudera Pasai di Aceh dan Kesultanan Ternate di Kepulauan Maluku. Maluku yang merupakan daerah penghasil rempah-rempah mendapatkan namanya dari bahasa arab "Jazirat al Muluk" yang berarti "kepulauan para raja".
Pada abad ke-14, pemukiman Muslim mulai berkembang disekitar untuk menyambut kedatangan para pedagang Muslim dari India dan Timur Tengah untuk berdagang. Salah satu kerajaan Muslim yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik dikawasan nusantara saat itu adalah Kesultanan Melaka yang mengontrol strategis selat Malaka, dan Kesultanan Demak yang menggantikan Majapahit sebagai kekuatan regional di Jawa. Kesultanan juga aktif untuk menyebarkan agama Islam di nusantara, dan pada akhir abad ke-15, Islam menjadi agama mayoritas di kepulauan nusantara setelah Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang masing-masing bernuansa Hindu dan Budha kehilangan kekuasannya atas kerajaannya, mayoritas agama Islam di nusantara tersebar dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga sebagian Maluku, Nusa Tenggara dan Papua. Kerajaan Islam di nusantara juga terhubung dengan jaringan perdagangan dan diplomatik yang membentang dari Muslim Spanyol di Barat untuk Muslim koloni perdagangan di pelabuhan Cina Timur, hingga seperti rempah-rempah dari Indonesia seperti cengkeh, pala dan merica akhirnya bisa mencapai pasar rempah-rempah di Canton, Damaskus dan Kairo.
Perdagangan komoditas rempah-rempah oleh eropa
Sejak kejatuhan Konstantinopel terjadi, muncul kekhawatiran dikalangan kerajaan di seantero Eropa untuk mendapatkan rempah-rempah yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menghadapi musim dingin. Maka, kerajaan di seluruh Eropa saat itu memutuskan untuk membentuk tim ekspedisi di masing-masing kerajaan untuk berlomba-lomba mendapatkan sumber dari rempah-rempah tersebut. Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang mencapai Indonesia, pencarian mereka tersebut tidak hanya untuk memonopoli sumber utama yang kelak menjadi pendapatan yang menguntungkan bagi kerajaan mereka, tetap mereka juga secara pesat membangun Gereja Katolik Roma sebagai basis misionaris, pos perdagangan dan benteng militer dan barak senjata. Dimulai dengan ekspedisi eksplorasi yang dikirim dari penaklukan Malaka pada tahun 1512, armada Portugis mulai menjelajah lebih dalam kepulauan Indonesia, untuk dan berusaha untuk menguasai sumber rempah-rempah yang berharga.[4] Kemudian, kehadiran portugis di Indonesia berkurang setelah Solor, Flores dan Timor (lihat Timor portugis) di Nusa Tenggara barat, jatuh ke tangan pribumi Ternate dan mengalahkan Belanda.[5]
Di awal abad ke-17, Netherland East India Company (VOC) didirikan oleh Pemerintah Belanda sebagai BUMN yang mengelola usaha perdagangan komoditas rempah-rempah dan budidaya tanaman komoditas berbasis ekspor. VOC dalam perkembangannya menjadi salah satu perusahaan terkuat dan berpengaruh dikawasan nusantara, tidak hanya untuk kepentingan bisnis dan menghasilkan keuntungan semata. Tetapi juga sebagai alat Pemerintah Belanda untuk menguasai nusantara. Diversifikasi usaha yang luas dalam kegiatan bisnis VOC dari perusahaan pelayaran yang menghubungkan Indonesia dengan Eropa membawa komoditas rempah-rempah serta membuka kantor pemasaran dan penjualan dibeberapa kota utama di Asia dan Eropa. Langkah demi langkah, Belanda bersaing secara terbuka dengan Portugis untuk memperebutkan kekayaan nusantara, dimulai dengan penaklukan Belanda di Ambon, Maluku Utara dan Banda. Secara statistik, perkembangan usaha VOC melampaui semua pesaingnya di kawasan Asia.
Antara tahun 1602-1796, VOC telah mengirim satu juta orang Eropa untuk bekerja di nusantara berserta dengan kantor perwakilan dikota-kota lain di Asia, memiliki armada dagang dan perang sebanyak 4,785 kapal, dan perusahaan mencetak target produksi lebih dari 2,5 juta ton produk rempah-rempah. VOC menikmati keuntungan besar dari kebijakan monopoli perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku pada abad ke-17.[6] Keuntungan ini juga menjadi modal VOC pada tahun 1619 untuk mendirikan ibukota Hindia Belanda dikota pelabuhan yang bernama Jacatra dan mengubah nama kota tersebut menjadi Batavia (sekarang Jakarta). Selama dua abad berikutnya, Perusahaan mengakuisisi tambahan terminal pelabuhan sebagai basis perdagangan dan melindungi kepentingan mereka dengan mengambil alih wilayah sekitarnya. VOC juga membagi dividen sebesar 18% pertahun selama 200 tahun hingga abad ke 19 akibat perusahaan bergerak diluar kemampuannya untuk membiayai perang dan terjadi banyak korupsi ditubuh VOC.[7]
Ekonomi kolonial eropa
Hindia Belanda dibentuk dari hasil kolonialisasi Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang dibubarkan oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1800 karena berbagai permasalahan yang membebani perusahaan. Meskipun ekonomi Belanda meningkat kembali melalui sistem pajak tanah, perimbangan anggaran pemerintah telah terbebani dengan luar biasa atas pengeluaran-pengeluaran seperti Perang Diponegoro di Jawa dan Perang Padri di Sumatera, serta perang melawan Belgia pada tahun 1830 membawa Belanda ke jurang kebangkrutan. Pada tahun 1830, Gubernur Jenderal, Johannes van den Bosch ditunjuk oleh pemerintah Belanda untuk mengisi kembali anggaran negara yang kosong akibat berbagai pengeluaran luar biasa dengan mengeksploitasi sumber daya alam Hindia Belanda. Melalui cara ini, Belanda mampu menguasai seluruh wilayah di seluruh pulau Jawa untuk pertama kalinya pada tahun 1830, penguasaan Pulau Jawa oleh Belanda menjadi sangat strategis. Hal ini terjadi karena ditemukan cara yang lebih maksimal untuk menggenjot pendapatan dari sistem yang ada dengan memperkenalkan kebijakan pertanian dari pemerintah dengan sistem tanam paksa.[8] Disebut cultuurstelsel (sistem budidaya) di belanda dan tanam paksa (forced perkebunan) di Indonesia, petani diwajibkan untuk memberikan hasil tani yang dapat dijual sesuai dengan peraturan yang berlaku sebagai bentuk pajak dengan jumlah tertentu, seperti gula atau kopi.[9] Banyak dari pendapatan yang diinvestasikan kembali oleh Belanda untuk cadangan anggaran dari antisipasi kebangkrutan.[9][10] Antara tahun 1830 dan 1870, pendapatan sebesar 1 miliar gulden diambil dari Indonesia, 25 persen pendapatan pertahun dibagikan kepada Pemerintah Belanda berupa dividen yang dimasukkan kedalam anggaran.[11] Sistem ini menjadi salah satu bentuk kekejaman penjajahan Belanda terhadap petani yang menderita akibat pendapatan yang tidak layak yang berujung pada busung lapar dan wabah penyakit pada tahun 1840-an.[10]
Munculnya banyak pemberitaan tentang menderitanya petani Hindia Belanda di Pulau Jawa terkait sistem tanam paksa atau budidaya yang diterapkan Belanda untuk mengisi kembali kas negara yang kosong akibat mengalami pengeluaran luar biasa mulai menuai kecaman dan penolakan dari masyarakat Belanda sendiri, karena kebijakan ini dinilai tidak manusiawi. Kebijakan ini lantas digantikan dengan reformasi agraria pada masa Liberal yang mengatur bahwa pengusaha non-Belanda ikut diperbolehkan untuk tidak hanya menyewa lahan, tetapi juga diperbolehkan memliki lahan. Sejak itu investasi swasta mengalir masuk ke Hindia Belanda seperti pertambangan dan perkebunan. Belitung yang menjadi rumah dari pertambangan timah mendapatkan investasi dari sindikasi pembiayaan dari sekelompok pengusaha belanda, termasuk adik dari Raja William III. Pertambangan dimulai pada tahun 1860. Pada tahun 1863 Jacob Nienhuys memperoleh konsesi dari Kesultanan Deli (Sumatera Timur) untuk menggunakan lahan yang ada untuk digunakan sebagai lahan perkebunan tembakau.[12] Hindia belanda secara resmi membuka kesempatan bagi para perusahaan swasta dan Pengusaha Belanda menanamkan investasi pada lahan perkebunan dan pabrik pengolahan hasil tani. Produksi gula meningkat dua kali lipat antara tahun 1870 dan 1885; tanaman baru seperti teh dan kina berkembang, dan karet diperkenalkan, yang mengarah ke peningkatan keuntungan secara dramatis bagi pra pengusaha swasta. Portofolio investasi perusahaan swasta tidak hanya berhenti pada pertanian dan perkebunan, tetapi merambah hingga eksplorasi dan produksi minyak di Sumatera dan Kalimantan menjadi sumber daya berharga bagi Belanda yang menjadi negara salah satu negara Eropa yang berpengaruh dalam hal industrialisasi. Komersialisasi kegaitan perdagangan diperluas dari Jawa ke luar pulau dengan semakin banyak wilayah yang berada dibawah kekuasaan Belanda hingga paruh kedua abad ke-19. Namun, akibat kelangkaan lahan untuk produksi beras, bersamaan dengan terjadinya peningkatan populasi, terutama di Jawa, mengakibatkan beras sulit untuk didapat.
Eksploitasi kekayaan Indonesia memberikan kontribusi signifikan terhadap industrialisasi yang berlangsung di Belanda, sekaligus meletakkan dasar bagi industrialisasi di Indonesia. Belanda memperkenalkan kopi, teh, kakao, tembakau dan karet untuk ditanam di Jhamparan lahan yang subur di Pulau Jawa dibudidayakan oleh petani Jawa, yang dikumpulkan oleh pemerantaraan China, dan dijual diperdagangkan diluar negeri oleh pedagang dari Eropa.[10] Pada akhir abad ke-19 pertumbuhan ekonomi didasarkan pada permintaan dunia untuk teh, kopi, dan kina. Pemerintah menginvestasikan jaringan kereta api (150 mil panjang pada tahun 1873, 1.200 pada tahun 1900), serta jalur telegraf. Hal ini menjadi nilai tambah bagi para pengusaha untuk mendirikan usahanya seperti bank-bank, toko-toko dan koran. Hindia belanda menjadi rumah bagi sebagian besar pasokan komoditas dunia dari kina dan merica, karet, kelapa, dan teh, gula, kopi, dan minyak. Keuntungan yang didapt dari Belanda dari Hindia Belanda membuat negara tersebut menjadi salah satu kekuatan kolonial dunia terkuat setelah Inggris dan Perancis.[10] Koninklijke Paketvaart Maatschappij perusahaan pelayaran Belanda juga ikut berpartisipasi dalam penyatuan ekonomi kolonial dengan menjadikan Jakarta sebagai pusat pengiriman antar pulau dari maupun menuju, daripada melalui Singapura, sehingga fokus kegiatan ekonomi lebih banyak di pulau Jawa.[13]
Resesi yang terjadi di seluruh dunia pada akhir tahun 1880-an dan awal tahun 1890-an mengakibatkan harga-harga komoditas jatuh dan Hindia Belanda yang ekonominya mengandalkan perdaganagn komoditas ikut terseret kedalam resesi ini. Wartawan dan pegawai negeri sipil mengaku bahwa sebagian besar populasi tidak lebih baik daripada masa peraturan sistem ekonomi tanah paksa dan hal ini mengakibatkan terjaidnya gelombang kelaparan di penjuru Hidia Belanda. Pulihnya kembali harga komoditas dari resesi, mengundnag peningkatan nilai investasi di Hindia Belanda. Produksi dan investasi perusahaan swasta dibidang gula, timah, kopra dan kopi perdagangan telah berkembang signfikan, dan karet, tembakau, teh dan minyak juga menjadi komoditas ekspor utama.[14] Reformasi politik yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda mendorong daerah untuk memiliki otonomi daerah pemerintahan kolonial, bergerak dari sistem sentralistik menjadi desentralistik.
Ekonomi dunia kembali sehat di akhir 1890-an dan semuanya kembali. Investasi asing, terutama dari Inggris mengalami peningkatan yang didorong. Pada tahun 1900, jumlah aset asing yang ada di Hindia Belanda mencapai nilai sebesar 750 juta guilders (US$300 juta) dengan dominan di Pulau Jawa.[15]
Pembangunan dan peningkatan kualitas infrastruktur konektivitas seperti perluasan pelabuhan dan pembangunan serta perbaikan jalan-jalan adalah prioritas utama Belanda untuk mendorong terjadinya modernisasi ekonomi, fasilitasi perdagangan, dan mempercepat akses gerak militer. Pada tahun 1950, para insinyur belanda telah membangun dan meningkatkan kualitas jaringan jalan sepanjang 12.000 km permukaan beraspal, 41,000 km jalan cor dan 16.000 km dari permukaan kerikil.[16] Selain itu, Wim Ravensteijn menyatakan bahwa Belanda telah membangun 7,500 km jalur kereta api, jembatan, sistem irigasi yang menjangkau 1,4 Juta Hektar lahan pertanian yang akan menjadi struktur ekonomi kolonial dan sesudah masa kolonial. [17]
Republik Indonesia
Hindia belanda sendiri jatuh ke tangan pasukan Kekaisaran Jepang pada tahun 1942. Selama Perang Dunia II, perekonomian Hindia belanda (Indonesia) bisa dibilang tidak ada pergerakan atau sama sekali hancur, karena setiap sumber daya yang ada diarahkan terhadap upaya perang kekaisaran, pasukan Jepang menerapkan kebijakan bela diri ketat. Banyak kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian dan obat-obatan yang tidak terpenuhi yang mengakibatkan terjadinya bencana kelaparan dan mewabahnya penyakit. Pada awal tahun 1945, pasukan Jepang mulai menunjukkan kekalahan dalam berbagai perang, yang berpuncak pada pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki.
Kepresidenan Soekarno
Pada tanggal 17 agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Di tengah-tengah kekacauan, Indonesia diterbitkan pertama mereka rupiah uang kertas pada tahun 1945. Antara tahun 1945 dan 1949, Indonesia telah terlibat dalam Revolusi Nasional. Kondisi ekonomi jatuh ke dalam kekacauan, terutama di Jawa dan Sumatera, sebagai orang-orang yang berjuang untuk bertahan hidup perang.
Pada tahun 1960-an, perekonomian memburuk secara drastis sebagai hasil dari ketidakstabilan politik. Mereka muda dan berpengalaman pemerintah, yang mengakibatkan kemiskinan dan kelaparan. Pada saat kejatuhan Soekarno pada pertengahan tahun 1960-an, perekonomian berada dalam kekacauan dengan 1.000% inflasi tahunan, menyusut pendapatan ekspor, infrastruktur yang hancur, pabrik-pabrik beroperasi pada kapasitas yang minimal, dan diabaikan investasi.
Kepresidenan Soeharto
Berikut ini Presiden Soekarno kejatuhan pemerintahan Orde Baru membawa tingkat disiplin untuk kebijakan ekonomi yang cepat membawa inflasi ke bawah, menstabilkan mata uang, penjadwalan kembali utang luar negeri, dan menarik bantuan luar negeri dan investasi. (Lihat Mafia Berkeley). Indonesia sampai saat ini di Asia Tenggara-satunya anggota OPEC, dan tahun 1970-an harga minyak menimbulkan disediakan ekspor pendapatan rejeki yang memberikan kontribusi untuk mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, rata-rata lebih dari 7% dari tahun 1968 sampai 1981. tingkat Tinggi peraturan dan ketergantungan pada penurunan harga minyak, pertumbuhan melambat menjadi rata-rata 4,3% per tahun antara tahun 1981 dan 1988. Berbagai reformasi ekonomi yang diperkenalkan pada akhir 1980-an termasuk yang dikelola devaluasi rupiah untuk meningkatkan daya saing ekspor, dan de-regulasi sektor keuangan, investasi Asing mengalir ke Indonesia, khususnya ke berkembang pesat yang berorientasi ekspor sektor manufaktur, dan dari tahun 1989 hingga tahun 1997, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata lebih dari 7%.
PDB per kapita tumbuh 545% dari tahun 1970 sampai tahun 1980 sebagai hasil dari peningkatan mendadak dalam pendapatan ekspor minyak dari tahun 1973 hingga 1979.
Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi dari 1987-1997 menutupi jumlah kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Pertumbuhan yang datang dengan biaya tinggi dalam hal yang lemah dan korup, lembaga publik yang parah hutang melalui salah urus sektor keuangan, menipisnya sumber daya alam Indonesia, dan budaya nikmat dan korupsi di elit bisnis. Korupsi terutama mendapatkan momentum pada tahun 1990-an, mencapai tingkat tertinggi dari hirarki politik seperti Soeharto menjadi yang paling korup pemimpin menurut Transparency International's pemimpin yang korup daftar. Sebagai hasilnya, sistem hukum sangat lemah, dan tidak ada cara yang efektif untuk menegakkan kontrak, menagih hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Praktek perbankan yang sangat canggih, dengan agunan pinjaman berbasis norma dan meluasnya pelanggaran peraturan kehati-hatian, termasuk batas terhubung pinjaman. Hambatan Non-tarif, rent-seeking oleh perusahaan milik negara subsidi domestik hambatan ke perdagangan domestik dan ekspor pembatasan semua menciptakan distorsi ekonomi.
Krisis Keuangan Asia
Dengan krisis keuangan Asia yang mulai mempengaruhi Indonesia di pertengahan tahun 1997 menjadi krisis ekonomi dan politik. Indonesia adalah respon awal adalah untuk mengapung rupiah, menaikkan suku suku bunga domestik, dan memperketat kebijakan fiskal. Pada oktober 1997 Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang bertujuan untuk stabilisasi ekonomi makro dan penghapusan beberapa negara yang paling merusak kebijakan ekonomi, seperti Program Mobil Nasional dan monopolicengkeh, baik yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Nilai tukar rupiah tetap lemah, namun, dan Presiden Soeharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Pada agustus 1998, Indonesia dan IMF menyepakati sebuah Extended Fund Facility (EFF) di bawah Presiden B. J Habibie yang termasuk signifikan reformasi struktural target. Presiden Abdurrahman Wahid menjabat pada oktober 1999, dan Indonesia dan IMF yang ditandatangani lain EFF pada bulan januari 2000. Program baru ini juga memiliki jangkauan ekonomi, reformasi struktural dan tata kelola target.
Efek dari krisis keuangan dan ekonomi yang parah. Pada bulan November 1997, cepat depresiasi mata uang telah melihat utang publik mencapai US$60 miliar, memaksakan parah strain pada anggaran pemerintah. Pada tahun 1998, real PDB mengalami kontraksi sebesar 13.1%. Ekonomi mencapai titik terendah pada pertengahan tahun 1999 dan pertumbuhan PDB riil untuk tahun ini adalah 0.8%. Inflasi mencapai 72% pada tahun 1998 namun melambat menjadi 2% pada tahun 1999.
Nilai tukar rupiah yang telah di Rp 2.600/USD1 range pada awal agustus 1997 jatuh ke 11.000/US $ 1 pada bulan januari 1998, dengan kurs spot sekitar 15.000 untuk periode singkat selama semester pertama tahun 1998. Ia kembali ke 8.000/USD1 range pada akhir tahun 1998 dan telah umumnya diperdagangkan di Rp 8,000–10,000/USD1 range sejak itu, dengan fluktuasi yang relatif dapat diprediksi dan bertahap.
Pasca Suharto
Pada akhir tahun 2004 Indonesia menghadapi 'mini krisis' karena harga minyak internasional naik dan impor. Mata uang mencapai Rp 12.000/USD1 sebelum stabilisasi. Pemerintah terpaksa memangkas besar-besaran subsidi bahan bakar, yang direncanakan untuk biaya $14 miliar untuk tahun 2005, pada bulan oktober. hal Ini menyebabkan lebih dari dua kali lipat dalam harga konsumen bahan bakar, mengakibatkan inflasi dua digit. Situasi telah stabil, tapi ekonomi terus berjuang dengan inflasi sebesar 17% pada tahun 2005.
Untuk tahun 2006, Indonesia economic outlook yang lebih positif. Pertumbuhan ekonomi menjadi 5,1% pada tahun 2004 dan mencapai 5,6% pada tahun 2005. Pendapatan riil per kapita telah mencapai tahun fiskal 1996/1997 tingkat. Pertumbuhan itu terutama didorong oleh konsumsi domestik, yang menyumbang sekitar tiga perempat dari produk domestik bruto Indonesia. The Jakarta Stock Exchange adalah yang terbaik di pasar Asia pada tahun 2004 sampai dengan 42%. Masalah yang terus menempatkan hambatan pada pertumbuhan termasuk rendah asing tingkat investasi, birokrasi, dan korupsi yang meluas yang menyebabkan 51.43 triliun rupiah atau 5.6573 miliar dolar AS atau sekitar 1,4% dari PDB akan hilang secara tahunan. Namun, ada yang sangat kuat optimisme dengan kesimpulan damai pemilu pada tahun 2004 dan pemilihan presiden reformis Susilo Bambang Yudhoyono.
Tingkat pengangguran (februari 2007) adalah 9.75%. Meskipun perlambatan ekonomi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat menjadi sepuluh tahun tinggi dari 6,3% pada tahun 2007. Tingkat pertumbuhan ini sudah cukup untuk mengurangi kemiskinan dari 17.8% menjadi 16,6% berdasarkan garis kemiskinan yang ditetapkan Pemerintah dan membalikkan tren baru-baru ini terhadap pengangguran pertumbuhan, dan tingkat pengangguran turun 8,46% pada bulan februari 2008. tidak Seperti banyak yang lebih tergantung pada ekspor tetangga, telah berhasil rok resesi, dibantu oleh permintaan domestik yang kuat (yang membuat sampai sekitar dua-pertiga dari ekonomi) dan paket stimulus fiskal pemerintah dari sekitar 1,4% dari PDB, yang diumumkan awal tahun ini. Setelah India dan China, Indonesia saat ini ketiga pertumbuhan ekonomi tercepat di Group of Twenty (G20) industri dan negara berkembang. $512 miliar ekonomi tumbuh 4,4% pada kuartal pertama dari tahun sebelumnya, bulan lalu, IMF revisi 2009 pola bagi negara untuk 3-4% dari 2,5%. Indonesia menikmati fundamental yang kuat dengan otoritas dilaksanakan luas ekonomi dan reformasi keuangan, termasuk pengurangan cepat di publik dan uln, penguatan korporasi dan perbankan sektor neraca dan mengurangi bank kerentanan melalui kapitalisasi yang lebih tinggi dan lebih baik pengawasan.
Lihat pula
- Sejarah Indonesia
- Perekonomian Indonesia
- Sejarah mata uang rupiah
Catatan
- ^ What is the G-20, g20.org.
- ^ "Uang Kuno Temuan Rohimin Peninggalan Majapahit". November 2008.
- ^ John Miksic, ed. (1999). Ancient History. Indonesian Heritage Series. Vol 1. Archipelago Press / Editions Didier Millet. ISBN 9813018267.
- ^ Ricklefs, M.C (1993). A History of Modern Indonesia Since c.1300, second edition. London: MacMillan. hlm. 22–24. ISBN 0-333-57689-6.
- ^ Miller, George (ed.) (1996). To The Spice Islands and Beyond: Travels in Eastern Indonesia. New York: Oxford University Press. hlm. xv. ISBN 967-65-3099-9.
- ^ Van Boven, M. W. "Towards A New Age of Partnership (TANAP): An Ambitious World Heritage Project (UNESCO Memory of the World – reg.form, 2002)". VOC Archives Appendix 2, p.14.
- ^ Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia Since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan. hlm. 110. ISBN 0-333-57689-6.
- ^ Ricklefs (1991), p 119
- ^ a b Taylor (2003), p. 240
- ^ a b c d *Witton, Patrick (2003). Indonesia. Melbourne: Lonely Planet. hlm. 23–25. ISBN 1-74059-154-2.
- ^ The Jakarta Globe
- ^ Dick, et al. (2002), p. 95
- ^ Vickers (2005), p. 20
- ^ Vickers (2005), p. 18
- ^ Dick, et al. (2002), p. 97
- ^ Marie-Louise ten Horn-van Nispen and Wim Ravesteijn, "The road to an empire: Organisation and technology of road construction in the Dutch East Indies, 1800-1940," Journal of Transport History (2009) 10#1 pp 40-57
- ^ Wim Ravesteijn, "Between Globalization and Localization: The Case of Dutch Civil Engineering in Indonesia, 1800–1950," Comparative Technology Transfer and Society, 5#1 (2007) pp. 32–64, quote p 32. online