Mafia Berkeley
Mafia Berkeley adalah julukan yang diberikan kepada sekelompok menteri bidang ekonomi dan keuangan pada tahun 1973 yang menentukan kebijakan ekonomi Indonesia pada masa awal pemerintahan Presiden Suharto. Mereka disebut mafia karena pemikiranya dianggap sebagai bagian dari rencana CIA untuk membuat Indonesia sebagai boneka Amerika oleh seorang penulis muda Amerika Serikat.[1]
Terminologi
suntingIstilah "Berkeley Mafia" atau Mafia Berkeley pertama kali dicetuskan oleh seorang aktivis-penulis 'kiri' AS, David Ransom, dalam sebuah majalah bernama Ramparts, edisi 4 tahun 1970. Istilah ini merujuk pada ekonom-ekonom Indonesia lulusan Universitas California, Berkeley yang menjadi arsitek utama perekonomian Indonesia pada tahun 1960-an. Ramparts adalah sebuah majalah yang awalnya terbit sebagai media literatur kelompok Katolik, tetapi belakangan menjadi media kelompok 'kiri baru.' Majalah ini sudah berhenti terbit tahun 1975. Dalam artikel tersebut Ransom menghubungkan Mafia Berkeley dengan proyek AS (terutama CIA) untuk menggulingkan Soekarno, melenyapkan pengaruh komunis di Indonesia, mendudukan Soeharto di kekuasaan untuk menjalankan kebijakan politik dan ekonomi yang berorientasi pada Barat, hingga mengaitkan Widjojo dkk. dengan pembantaian massal eks PKI pada akhir tahun 1960-an.[2]
Anggota
suntingSebagian besar dari menteri-menteri yang dituduh sebagai Mafia Berkeley adalah lulusan doktor atau master dari University of California at Berkeley pada tahun 1960-an atas bantuan Ford Foundation. Para menteri tersebut sekembalinya dari Amerika Serikat mengajar di Universitas Indonesia. Pemimpin tidak resmi dari kelompok ini ialah Soemitro Djojohadikoesoemo dan Widjojo Nitisastro. Para anggotanya antara lain Emil Salim, Mohammad Sadli, Ali Wardhana, dan J.B. Soemarlin. Dorodjatun Koentjoro-Jakti yang lulus belakangan dari Berkeley kadang-kadang juga dimasukkan sebagai anggota kelompok ini.
Asal mula
suntingPada pertengahan tahun 1950-an, sebagian besar ekonom yang nantinya disebut sebagai Mafia Berkeley adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). Saat itu fakultas dipimpin oleh Sumitro Djojohadikusumo, seorang ekonom yang menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Industri serta Menteri Keuangan. Sumitro ketika itu adalah satu-satunya dosen yang memiliki gelar doktor ekonomi. Karenanya ia meminta bantuan kawan-kawan dosen dari Belanda dan dari fakultas lainnya untuk membantu pendidikan mahasiswa FEUI.[3]
Saat tensi antara pemerintah Indonesia dan Belanda sedang tinggi akibat perebutan Irian Barat (sekarang disebut sebagai Papua Barat), para pengajar dari Belanda itu mulai meninggalkan Indonesia. Sumitro meminta bantuan Ford Foundation, yang kemudian memutuskan untuk mengadakan program beasiswa di mana beberapa mahasiswa FEUI dipilih untuk dikirim ke luar negeri dan belajar di University of California, Berkeley. Program ini dimulai pada tahun 1957 dan beberapa tahun kemudian, pada tahun 1960-an, seluruh mahasiswa yang dikirim telah kembali pulang ke Indonesia. Mereka kemudian ditugaskan mengajar di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD).[4]
Pada tahun 1966, Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan di Indonesia dari Presiden Soekarno melalui Supersemar. Meskipun belum menjadi presiden hingga dua tahun berikutnya, Soeharto mulai membangun dasar-dasar pemerintahan yang nantinya akan disebut sebagai rezim Orde Baru. Pada akhir Agustus 1966, Soeharto mengadakan seminar di SESKOAD untuk mendiskusikan masalah ekonomi dan politik serta bagaimana Orde Baru akan mengatasi permasalahan itu. Ekonom-ekonom FEUI, yang diketuai oleh Widjojo Nitisastro, mengikuti seminar itu.
Dalam seminar, para ekonom mempresentasikan ide mereka serta rekomendasi kebijakan kepada Soeharto. Soeharto kagum akan ide mereka dan dengan cepat meminta mereka untuk bekerja sebagai Tim Ahli di bidang Ekonomi dan Keuangan.[5]
Pencapaian dan kontroversi
suntingPada 3 Oktober 1966, atas saran dari para ekonom ini, Soeharto mengumumkan program untuk menstabilisasi dan merehabilitasi ekonomi Indonesia.[4] Pada akhir masa kepemimpinan Soekarno, inflasi di Indonesia secara tak terkendali telah mencapai empat digit dan tumpukan hutang yang besar.[6] Hal ini terjadi karena pemerintahan di bawah Soekarno menghabiskan uang besar-besaran untuk membangun monumen, menasionalisasi industri, dan membiayai defisit anggaran dengan pinjaman luar negeri.[6] Mafia Berkeley memperbaikinya dengan melakukan deregulasi dan berusaha menurunkan inflasi serta menyeimbangkan anggaran.[6]
Efek dari program tersebut berlangsung cepat dengan turunnya tingkat inflasi dari 650% pada tahun 1966 menjadi hanya 13% pada tahun 1969.[7] Rencana itu juga menekankan rehabilitasi infrastruktur dan juga pengembangan di bidang pertanian. Ketika Soeharto akhirnya menjadi presiden pada tahun 1968, Mafia Berkeley segera diberi berbagai jabatan menteri di kabinet Soeharto. Dengan posisi ini, Mafia Berkeley memiliki pengaruh kuat dalam kebijakan ekonomi dan membawa perekonomian Indonesia ke tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi. Pertumbuhan ekonomi terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 6,5 persen per tahun antara tahun 1965 hingga 1997, ketika Asia Tenggara dilanda krisis moneter.[6]
Namun, tidak semua orang menyukai pendekatan liberal yang dijalankan Mafia Berkeley. Dari dalam Order Baru sendiri, mereka menghadapi perlawanan dari para Jenderal seperti Ali Murtopo, Ibnu Sutowo, dan Ali Sadikin yang mengharapkan pendekatan ekonomi yang lebih nasionalistik.[8] Beberapa pihak, seperti Hizbut-Tahrir Indonesia, menganggap Mafia Berkeley sebagai pengkhianat karena langkah privatisasi yang mereka lakukan dinilai sebagai bentuk penjualan aset-aset bangsa.[9] Pada masa kenaikan harga minyak pada tahun 1970-an, Indonesia yang kaya akan cadangan minyak meraup banyak keuntungan. Soeharto mulai berpaling ke kelompok ekonomi nasionalis dan kekuatan Mafia Berkeley pun dikurangi.
Soeharto kembali ke Mafia Berkeley saat pertumbuhan ekonomi Indonesia mulai terhambat karena turunnya harga minyak di pertengahan tahun 1980-an. Mafia Berkeley sekali lagi melakukan liberalisasi dan deregulasi, sebagai hasilnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali meningkat.[10] Namun sekali lagi, saat perekonomian Indonesia tumbuh, Mafia Berekley menghadapi oposisi politik. Kali ini lawan mereka adalah Sudharmono dan Ginandjar Kartasasmita yang menginginkan nasionalisme ekonomi serta dari BJ Habibie yang menginginkan pengembangan ekonomi berbasis teknologi. Dan seperti yang sebelumnya telah terjadi, Soeharto kembali berpihak pada nasionalis ekonomi dan memperlemah posisi Mafia Berkeley.
Pada masa kehancuran perekonomian Indonesia akibat krisis finansial Asia Tenggara pada tahun 1997, Mafia Berkeley turut dipersalahkan dan dianggap sebagai bagian dari rezim Orde Baru. Pada masa reformasi, hanya Widjojo yang masih dipertahankan di pemerintahan.
Referensi
sunting- ^ Boediono Bela Widjojo Nitisastro Soal Tuduhan Mafia Berkeley Diarsipkan 2011-06-19 di Wayback Machine.. Tempo Interaktif. Diakses 4 Februari 2011.
- ^ Ransom, David. "The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre". Ramparts, Oktober 1970. Hal. 27-28, 40-49.
- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-01-25. Diakses tanggal 2006-04-14.
- ^ a b (Elson 2001, hlm. 149)
- ^ Dick, Howard (2002). The Emergence of a National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000. Crow's Nest, NSW, Australia: Allen and Unwin. hlm. 196.
- ^ a b c d ‘Berkeley Mafia’ Now Has $514 Billion at Stake: William Pesek. BusinessWeek. Diakses 4 Februari.
- ^ "Emil Salim: Pak Harto Selamatkan Bangsa dari Kehancuran | Soeharto Media Center - Soeharto Review". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-02-05. Diakses tanggal 2011-02-04.
- ^ (Elson 2001, hlm. 217)
- ^ Mafia Berkeley: Pengkhianat!. Hizbut-Tahrir Indonesia. Diakses 4 Februari 2011.
- ^ (Elson 2001, hlm. 247)