Kota Bukittinggi
Kota Bukittinggi (bahasa Minangkabau: Bukiktinggi; Jawi, بوكيق تيڠڬي) adalah kota terbesar kedua di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia.[4] Kota ini pernah menjadi ibu kota Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.[5] Kota ini juga pernah menjadi ibu kota Provinsi Sumatera dan Provinsi Sumatera Tengah.[6] Kota ini pada zaman kolonial Belanda disebut dengan Fort de Kock dan mendapat julukan sebagai Parijs van Sumatra. Bukittinggi dikenal sebagai kota perjuangan bangsa dan merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh pendiri Republik Indonesia, di antaranya adalah Mohammad Hatta dan Assaat yang masing-masing merupakan proklamator dan pejabat presiden Republik Indonesia.
Kota Bukittinggi كوتو بوكيق تيڠڬي | ||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Dari atas, kiri ke kanan: Salah satu sudut Kota Bukittinggi, panorama dari Gunung Marapi, patung Tuanku Imam Bonjol, Jam Gadang, Jembatan Limpapeh, Balai kota, Jalan Ahmad Yani, Jenjang Koto Gadang, Ngarai Sianok. | ||||||||||
Julukan: Londen van Andalas | ||||||||||
Motto: Saayun Salangkah (dari Bahasa Minang yang artinya "Kebersamaan" atau "Kegotongroyongan") | ||||||||||
Negara | Indonesia | |||||||||
Provinsi | Sumatera Barat | |||||||||
Pemerintahan | ||||||||||
• Wali kota | M. Ramlan Nurmatias | |||||||||
Luas | ||||||||||
• Total | 25,24 km2 (9,75 sq mi) | |||||||||
Populasi (2015[1]) | ||||||||||
• Total | 110.954 | |||||||||
• Kepadatan | 4,400/km2 (11,000/sq mi) | |||||||||
Zona waktu | UTC+7 (WIB) | |||||||||
Kode area telepon | +62 752 | |||||||||
Situs web | www.bukittinggikota.go.id |
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Pegunungan Bukit Barisan atau sekitar 90 km arah utara dari Kota Padang. Kota ini berada di tepi Ngarai Sianok dan dikelilingi oleh dua gunung yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Lokasinya pada ketinggian 909–941 meter di atas permukaan laut menjadikan Bukittinggi kota berhawa sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C. Luas Bukittinggi secara de jure adalah 145,29 km², mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 84 tahun 1999.[7] Namun secara de facto saat ini, Bukittinggi masih seluas 25,24 km² karena sebagian masyarakat Kabupaten Agam menolak perluasan wilayah tersebut.
Kota Bukittinggi merupakan salah satu pusat perdagangan grosir terbesar di Pulau Sumatera. Pusat perdagangan utamanya terdapat di Pasar Ateh, Pasar Bawah, dan Pasar Aur Kuning. Dari sektor perekonomian, Bukittinggi merupakan kota dengan PDRB terbesar kedua di Sumatera Barat, setelah Kota Padang.[8] Bukittinggi juga dikenal sebagai kota wisata terkemuka dan bersaudara (sister city) dengan Seremban di Negeri Sembilan, Malaysia. Tempat wisata yang ramai dikunjungi adalah Jam Gadang, yaitu sebuah menara jam yang terletak di jantung kota sekaligus menjadi simbol bagi Bukittinggi.
Sejarah
Kota Bukittinggi semula merupakan pasar (pekan) bagi masyarakat Agam Tuo. Kemudian setelah kedatangan Belanda, kota ini menjadi kubu pertahanan mereka untuk melawan Kaum Padri.[9] Pada tahun 1825, Belanda mendirikan benteng di salah satu bukit yang terdapat di dalam kota ini. Tempat ini dikenal sebagai benteng Fort de Kock, sekaligus menjadi tempat peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah stadsgemeente (kota),[10] dan juga berfungsi sebagai ibu kota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam.[11]
Pada masa pendudukan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, bahkan sampai ke Singapura dan Thailand. Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kempetai, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.[12] Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba, dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Agam.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan.[13] Kemudian Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947.
Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai kota perjuangan, ketika pada tanggal 19 Desember 1948 kota ini ditunjuk sebagai Ibu Kota Negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Di kemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18 Desember 2006.[14][15]
Selanjutnya Kota Bukittinggi menjadi kota besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah Provinsi Sumatera Tengah masa itu,[16] yang meliputi wilayah Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Riau, dan Kepulauan Riau sekarang.
Dalam rangka perluasan wilayah kota, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 yang isinya menggabungkan nagari-nagari di sekitar Bukittinggi ke dalam wilayah kota. Nagari-nagari tersebut yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok Anam Suku, Guguak Tabek Sarojo, Ampang Gadang, Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah, Pasia, Kapau, Batu Taba, dan Koto Gadang.[17] Namun, sebagian masyarakat Kabupaten Agam menolak untuk bergabung dengan Bukittinggi sehingga, peraturan tersebut hingga saat ini belum dapat dilaksanakan.[18]
Geografi
Kota Bukittinggi terletak pada rangkaian Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau Sumatera, dan dikelilingi oleh dua gunung berapi yaitu Gunung Singgalang dan Gunung Marapi. Kota ini berada pada ketinggian 909–941 meter di atas permukaan laut, dan memiliki hawa sejuk dengan suhu berkisar antara 16.1–24.9 °C. Sementara itu, dari total luas wilayah Kota Bukittinggi saat ini (25,24 km²), 82,8% telah diperuntukkan menjadi lahan budidaya, sedangkan sisanya merupakan hutan lindung.
Kota ini memiliki topografi berbukit-bukit dan berlembah, beberapa bukit tersebut tersebar dalam wilayah perkotaan, di antaranya Bukit Ambacang, Bukit Tambun Tulang, Bukit Mandiangin, Bukit Campago, Bukit Kubangankabau, Bukit Pinang Nan Sabatang, Bukit Canggang, Bukit Paninjauan, dan sebagainya. Selain itu, terdapat lembah yang dikenal dengan Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75–110 m, yang di dasarnya mengalir sebuah sungai yang disebut dengan Batang Masang.
Data iklim Bukittinggi | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Bulan | Jan | Feb | Mar | Apr | Mei | Jun | Jul | Agt | Sep | Okt | Nov | Des | Tahun |
Rata-rata harian °C (°F) | 23.7 (74.7) |
23.7 (74.7) |
23.9 (75) |
24.4 (75.9) |
24.4 (75.9) |
23.7 (74.7) |
23.6 (74.5) |
23.7 (74.7) |
24.0 (75.2) |
24.4 (75.9) |
24.3 (75.7) |
23.9 (75) |
24.0 (75.2) |
Presipitasi mm (inci) | 251.8 (9.913) |
215.3 (8.476) |
244.6 (9.63) |
282.6 (11.126) |
165.8 (6.528) |
106.6 (4.197) |
108.7 (4.28) |
127.2 (5.008) |
167.4 (6.591) |
176.3 (6.941) |
215.6 (8.488) |
228.3 (8.988) |
2.290,2 (90,165) |
Rata-rata hari hujan atau bersalju | 16.7 | 14.0 | 16.5 | 18.6 | 16.3 | 13.7 | 14.4 | 16.3 | 18.0 | 21.1 | 22.7 | 21.0 | 209.3 |
Sumber: [19] |
Kependudukan
Perkembangan penduduk Bukittinggi tidak terlepas dari berubahnya peran kota ini menjadi pusat perdagangan di dataran tinggi Minangkabau. Hal ini ditandai dengan dibangunnya pasar oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1890 dengan nama loods. Masyarakat setempat mengejanya dengan loih, dengan atap melengkung kemudian dikenal dengan nama Loih Galuang.
Saat ini Bukittingi merupakan kota terpadat di Provinsi Sumatera Barat, dengan tingkat kepadatan mencapai 4.400 jiwa/km². Jumlah angkatan kerja sebanyak 52.631 orang dan sekitar 3.845 orang di antaranya merupakan pengangguran.[3] Kota ini didominasi oleh etnis Minangkabau, namun terdapat juga etnis Tionghoa, Jawa, Tamil, dan Batak.
Masyarakat Tionghoa datang bersamaan dengan munculnya pasar-pasar di Bukittinggi. Mereka diizinkan pemerintah Hindia Belanda membangun toko/kios pada kaki bukit Benteng Fort de Kock, yang terletak di bagian barat kota, membujur dari selatan ke utara, dan saat ini dikenal dengan nama Kampung Cino. Sementara pedagang India ditempatkan di kaki bukit sebelah utara, melingkar dari arah timur ke barat dan sekarang disebut juga Kampung Keling.
Tahun | 2008 | 2010 | ||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Jumlah penduduk | 106.045 | 110.954 | ||||||||||
Sejarah kependudukan kota Bukittinggi Sumber:[3][20] |
Pemerintahan
Sejak tahun 1918 Kota Bukittinggi telah berstatus gemeente,[21] selanjutnya tahun 1930 wilayah kota ini diperluas menjadi 5.2 km².[22] Pada masa pendudukan Jepang wilayah kota ini kembali diperluas. Kemudian di awal kemerdekaan Indonesia terjadi tumpang tindih batas-batas wilayah kota ini karena penetapan sepihak baik masa Hindia Belanda maupun Jepang.
Saat ini batas wilayah pemerintahan kota dikelilingi oleh Kabupaten Agam, dan konfik antara kedua pemerintah daerah tersebut tentang batas wilayah masih berlanjut,[23] ditambah setelah keluarnya Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 1999 tentang perubahan batas wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Dari peraturan pemerintah (PP) ini luas wilayah Kota Bukittinggi bertambah menjadi 145.29,90 km², dengan memasukkan beberapa nagari yang sebelumnya pada masa pendudukan Jepang berada dalam wilayah administrasi Kota Bukittinggi.[24]
Namun seiring bergulirnya reformasi pemerintahan yang memberikan hak otonomi yang luas kepada kabupaten dan kota, muncul kembali penolakan dari masyarakat Kabupaten Agam atas perluasan dan pengembangan wilayah Kota Bukittinggi tersebut. Bagi masyarakat Kabupaten Agam yang masuk ke dalam wilayah perluasan kota ini, merasa rugi karena dengan kembalinya penerapan model pemerintahan nagari lebih menjanjikan, dibandingkan berada dalam sistem kelurahan. Selain itu timbul asumsi, masyarakat kota yang telah heterogen juga dikhawatirkan akan memberikan dampak kepada tradisi adat dan kekayaan yang selama ini dimiliki oleh nagari.
Kecamatan di Kota Bukittinggi adalah:
Perwakilan
DPRD kota Bukittinggi 2009-2014 | ||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Partai | Kursi | |||||||||||
Lambang Partai Demokrat Partai Demokrat | 8 | |||||||||||
Lambang Partai Golkar Partai Golkar | 3 | |||||||||||
PAN | 3 | |||||||||||
PKS | 3 | |||||||||||
Lambang PPP PPP | 3 | |||||||||||
Partai Hanura | 2 | |||||||||||
PBB | 1 | |||||||||||
Partai Gerindra | 1 | |||||||||||
PKPI | 1 | |||||||||||
Total | 25 | |||||||||||
Sumber:[25] |
Pada Pemilu Legislatif 2009, DPRD Kota Bukittinggi adalah sebanyak 25 orang dan tersusun dari perwakilan sembilan partai.[25]
Pendidikan
Sejak zaman kolonialis Belanda, kota ini telah menjadi pusat pendidikan di Pulau Sumatera.[26] Dimulai sejak tahun 1872, dengan berdirinya Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (sekolah guru untuk guru-guru bumiputra) atau dikenal juga dengan nama sekolah radja, yang selanjutnya berkembang menjadi volksschool atau sekolah rakyat. Kemudian pada tahun 1912 muncul Hollandsch Inlandsche School (HIS), yang dilanjutkan dengan berdirinya Sekolah Pamong Opleiding School voor Inlandsch Ambtenaren (OSVIA) tahun 1918. Pada tahun 1926 juga telah berdiri MULO di Kota Bukittinggi.[27]
Pada masa awal kemerdekaan di kota ini pernah berdiri sekolah Polwan dan Kadet serta sekolah Pamong Praja yang pertama di Indonesia. [28] Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dan FKIP Universitas Andalas (sekarang Universitas Negeri Padang) juga pertama kali didirikan di kota ini sebelum dipindahkan ke Kota Padang.[29]
Pendidikan formal | SD atau MI negeri dan swasta | SMP atau MTs negeri dan swasta | SMA negeri dan swasta | MA negeri dan swasta | SMK negeri dan swasta | Perguruan tinggi | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Jumlah satuan | 65 | 19 | 11 | 5 | 13 | 4 | ||||||
Data sekolah di kota Bukittinggi Sumber:[30][31] |
Kesehatan
Kota Bukittinggi telah memiliki pelayanan kesehatan yang baik, kota dengan luas relatif kecil ini telah memiliki 5 rumah sakit, yaitu 3 milik pemerintah dan 2 milik swasta. Selain itu, juga didukung oleh 5 puskesmas, 6 puskesmas keliling, dan 15 puskesmas pembantu. Salah satu yang utama adalah Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar, merupakan rumah sakit umum milik pemerintah bertipe B dengan jumlah tempat tidur sebanyak 299.[32]
Rumah Sakit Stroke Nasional yang terdapat di kota ini, merupakan rumah sakit milik pemerintah dengan pelayanan khusus penyakit stroke, dan memiliki jumlah tempat tidur sebanyak 124 buah.[33][34] Rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus pengobatan stroke pertama di Indonesia dan ketiga di dunia.[29] Selain itu terdapat juga Rumah Sakit Islam Ibnu Sina, sebuah rumah sakit swasta yang telah memiliki kapasitas tempat tidur sebanyak 136 buah.[32]
Sementara itu untuk meningkatkan ketersediaan dan kualitas tenaga kesehatan dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat, sampai tahun 2009 terdapat delapan institusi pendidikan tenaga kesehatan di Kota Bukittinggi. Dua institusi milik pemerintah (Poltekes) dan enam dikelola oleh pihak swasta.[32]
Perhubungan
Kota Bukittinggi berada pada posisi strategis Jalur Lintas Sumatera, yang menghubungkan Padang, Medan, dan Palembang, serta berada di antara Padang dan Pekanbaru. Terminal Aur Kuning merupakan terminal utama untuk angkutan transportasi darat di kota ini. Sementara untuk transportasi dalam kota, tersedia angkutan kota, taksi, dan bendi (kereta kuda). Berdasarkan catatan Dinas Pekerjaan Umum, seluruh jalan di kota ini panjangnya mencapai 196 km, termasuk jalan negara dan jalan provinsi.
Sebelumnya kota ini dilalui oleh jalur kereta api yang menghubungkan Payakumbuh dan Padang yang dibangun sekitar awal abad ke-20. Namun pada dekade 1970-an, sarana transportasi ini tidak diaktifkan lagi. Kota ini juga telah memiliki sarana transportasi udara non-kelas yang bernama Bandar Udara Gadut.[35]
Perekonomian
Perkembangan pasar Loih Galuang yang sekarang disebut juga Pasar Ateh, membuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1900 mengembangkan sebuah loods ke arah timur, tepatnya pada kawasan pinggang bukit yang berdekatan dengan selokan yang mengalir di kaki bukit. Karena lokasi pasar tersebut berada di kemiringan, masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Pasar Teleng (Miring) atau Pasar Lereng. Perkembangan berikutnya di sekitar kawasan tersebut muncul lagi beberapa pasar, di antaranya Pasar Bawah dan Pasar Banto. Pasar-pasar tradisional di sekitar kawasan Jam Gadang ini, kemudian berkembang menjadi tempat penjualan hasil kerajinan tangan dan cendera mata khas Minangkabau. Dalam penataan pasar, pemerintah Hindia Belanda juga menghubungkan setiap pasar tersebut dengan janjang (anak tangga), dan di antara anak tangga yang terkenal adalah Janjang 40.
Untuk mengurangi penumpukan pada satu kawasan, pemerintah Bukittinggi kemudian mengembangkan kawasan perkotaan ke arah timur dengan membangun Pasar Aur Kuning, yang saat ini merupakan salah satu pusat perdagangan grosir terbesar di Pulau Sumatera. Disebabkan luas wilayah yang kecil, sektor perdagangan merupakan salah satu pilihan bagi pemerintah Bukittinggi dalam meningkatkan pendapatan penduduknya.
Selain itu pemerintah Bukittinggi juga menelurkan beberapa program dalam mengentaskan kemiskinan, di antaranya pelatihan keterampilan membordir dan pelatihan pembuatan kebaya, serta penumbuhan wirausaha baru.[36] Bordir asli Bukittinggi biasanya menggunakan teknik krancang langsung yang tergolong rumit dan memakan waktu. Ini berbeda dengan barang hasil serupa buatan Tasikmalaya, Jawa Barat yang menggunakan teknik krancang solder. [37]
Pariwisata
Industri pariwisata merupakan salah satu sektor andalan Kota Bukittinggi. Banyaknya objek wisata yang menarik, menjadikan kota ini dijuluki sebagai "kota wisata". Pada tahun 2012, jumlah wisatawan mancanegara yang mengunjungi kota ini mencapai 26.629 orang.[38] Saat ini di Bukittinggi terdapat sekitar 60 hotel dan 15 biro perjalanan.[39] Hotel-hotel yang terdapat di Bukittinggi antara lain The Hills, Hotel Pusako, dan Grand Rocky Hotel.
Ngarai Sianok merupakan salah satu objek wisata utama. Taman Panorama yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan untuk melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang Dunia II yang disebut dengan Lubang Japang. Untuk mengunjungi nagari Koto Gadang di bawah ngarai, wisatawan bisa melalui Janjang Koto Gadang. Jenjang yang memiliki panjang sekitar 1 km ini, memiliki desain seperti Tembok Besar China.[40]
Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum kebudayaan Minangkabau. Kebun Binatang Bukittinggi dan Benteng Fort de Kock, dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di Kota Bukittinggi.
Pasar Ateh (Pasar Atas) berada berdekatan dengan Jam Gadang yang merupakan pusat keramaian kota. Di Pasar Ateh terdapat banyak penjual kerajinan tangan dan bordir,[41] serta makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat, seperti keripik sanjai (keripik singkong ala daerah Sanjai di Bukittinggi) yang terbuat dari singkong, karupuak jangek yang dibuat dari bahan kulit sapi atau kerbau, dan karak kaliang, sejenis makanan kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8.
Olahraga
Masyarakat Bukittinggi sangat menyukai olahraga berkuda, dan setiap tahunnya kota ini mengadakan lomba pacu kuda di Bukit Ambacang, yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1889.[9] Perlombaan pacu kuda ini merupakan rangkaian perlombaan pacu kuda yang diadakan di beberapa kawasan lain di Sumatera Barat. Dengan adanya pelombaan ini, mendorong para peternak kuda untuk tetap bertahan dan memanfaatkan tradisi ini sebagai sumber mata pencarian.[42]
Pers dan media
Sekitar tahun 1924 di kota ini diterbitkan surat kabar Periodik yang dipimpin oleh S. Moesjafir, kemudian disusul penerbitan surat kabar mingguan Doenia Achirat oleh Sain al Malik dan Soetan Perpatih, namun surat kabar ini tidak berumur panjang. Selain itu beberapa tokoh pers wanita di kota ini seperti Djanewar Djalil dan Sjamsidar Jahja juga menerbitkan surat kabar Soeara Poetri yang mengetengahkan beberapa isu emansipasi wanita.[43]
Pada masa pendudukan Jepang, di kota ini pernah didirikan pemancar radio terbesar untuk Pulau Sumatera. Pemancar ini dalam rangka mengibarkan semangat rakyat untuk menunjang kepentingan Perang Asia Timur Raya versi Jepang.[44] Di kota ini terdapat beberapa stasiun pemancar radio sebagai sarana informasi dan hiburan masyarakat, antara lain: RRI Bukittinggi, Elsi FM[45], SK FM[46], dan GRC FM.[47]
Kota persaudaraan
Kota lain yang menjadi Sister City dari kota Bukittinggi adalah:
Galeri
-
Masjid Bengkudu di dekat Bukittinggi, salah satu masjid tertua di Indonesia
-
Masjid di Padang Luar di Fort de Kock (Bukittinggi), 1911
-
Pasar Ateh tempo dulu
-
Jalan Jendral Sudirman
-
Pasar Atas, pusat perbelanjaan di Bukittinggi di seberang Jam Gadang
Catatan kaki
- ^ "Kota Bukittinggi Dalam 2016"
- ^ "Perpres No. 10 Tahun 2013". 2013-02-04. Diakses tanggal 2013-02-15.
- ^ a b c sumbar.bps.go.id Jumlah Penduduk Kota Bukittinggi
- ^ Pola dan Model Keruangan Kualitas Penerimaan Sinyal Telepon Seluler di Kota Bukittinggi
- ^ Mestika Zed, Eddy Utama, Hasril Chaniago; Sumatera Barat di panggung sejarah, 1945-1995; Panitia Peringatan 50 Tahun RI, 1995.
- ^ Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Ediati Kamil; Kronik Revolusi Indonesia: 1947, Kepustakaan Populer Gramedia, 2001
- ^ http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart=94
- ^ Bukittinggi - Kompaspedia
- ^ a b Asnan, Gusti, (2003), Kamus sejarah Minangkabau, Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau, ISBN 978-979-97407-0-0.
- ^ Sujamto, (1991), Cakrawala otonomi daerah, Sinar Grafika, ISBN 978-979-8061-17-2.
- ^ www.docstoc.com Pembangunan-infrastruktur Kota Bukittinggi masa kolonial Belanda (diakses pada 29 Juni 2010)
- ^ Barbara Gifford Shimer & Guy Hobbs, (2010), The Kenpeitai in Java and Sumatra, Equinox Publishing, ISBN 978-602-8397-10-0.
- ^ Hasan, Teuku Moehammad (1991). Meester Teuku Moehammad Hasan memoir gubenur Sumatera dari Aceh ke pemersatu bangsa. Papas Sinar Sinanti. ISBN 979-9314-00-3.
- ^ www.setneg.go.id Hari Bela Negara.
- ^ Hakiem, Lukman, (2008), 100 tahun Mohammad Natsir: berdamai dengan sejarah, Penerbit Republika, ISBN 978-979-1102-31-5.
- ^ hukum.unsrat.ac.idUndang-undang Nomor 9 Tahun 1956 (diakses pada 29 Juni 2010)
- ^ Harian Haluan [1]
- ^ www.pu.go.id Pemkot Bukittinggi Bertekad Menata Kembali Ruang Kota-nya (diakses pada 26 Juni 2010)
- ^ "Bukittinggi, Indonesia Travel Weather Averages". Weatherbase. Diakses tanggal 7 Maret 2016.
- ^ Kesalahan pengutipan: Tag
<ref>
tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernamaBPS
- ^ Staadblats van Nederlandsch-Indie, 310, 1918.
- ^ Besluit van Gouverneur General, 25, 1930.
- ^ Haris, Syamsuddin, (2004), Desentralisasi dan otonomi daerah: Naskah akademik dan RUU usulan LIPI, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-98014-1-8.
- ^ hukum.unsrat.ac.id Peraturan Pemerintah RI No. 84 Tahun 1999 (diakses pada 26 Juni 2010)
- ^ a b caleg-sumbar.com Caleg Terpilih Kota Bukittinggi
- ^ Abdullah, Taufik, (2009), Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933), Equinox Publishing, ISBN 978-602-8397-50-6.
- ^ Azizah Etek, Mursyid A. M., Arfan B. R., (2008), Kelah sang demang Jahja Datoek Kajo: pidato otokritik di Volkstraad, 1927-1939, PT LKiS Pelangi Aksara, ISBN 978-979-1283-58-8.
- ^ www.bukittinggikota.go.id Pendidikan (diakses pada 8 September 2012)
- ^ a b Daniel Dhakidae, ed. (2003). Profil Daerah: Kabupaten dan Kota Jilid 2. Penerbit Buku Kompas. hlm. 120. ISBN 979-709-054-X.
- ^ nisn.jardiknas.org Rekap data
- ^ ban-pt.depdiknas.go.id Hasil Pencarian Akreditasi Program Studi (diakses pada 27 Juni 2010)
- ^ a b c www.depkes.go.id Profil Kesehatan Kota Bukittinggi
- ^ www.bukittinggikota.go.id Kesehatan (diakses pada 11 Juli 2010)
- ^ www.depkes.go.id Daftar rumah sakit (diakses pada 11 Juli 2010)
- ^ Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional, (1999), Profil 111 kawasan andalan Indonesia: Kawasan barat Indonesia, Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional
- ^ www.kabarindonesia.com Sang Pengentasan Kemiskinan ala Kota Bukittinggi (diakses pada 26 Juni 2010)
- ^ Daniel Dhakidae, ed. (2003). Profil Daerah: Kabupaten dan Kota Jilid 2. Penerbit Buku Kompas. hlm. 115–118. ISBN 979-709-054-X.
- ^ www.antarasumbar.com Kunjungan Turis Mancanegara ke Bukittinggi Meningkat
- ^ regionalinvestment.com Profil Kota Bukittinggi (diakses pada 26 Juni 2010)
- ^ padangekspres.co.id Janjang Koto Gadang
- ^ Vaisutis, Justine (2007). Indonesia. Lonely Planet. ISBN 1-74104-435-9.
- ^ Bangun, M. Tinjauan ekonomi-sosial & pembangunan sepanjang Sumatera dan Kalimantan Barat,. Yayasan Pola Pembangunan Indonesia.
- ^ Marthias Dusky Pandoe, Julius Pour, (2010), Jernih melihat cermat mencatat: antologi karya jurnalistik wartawan senior Kompas, Penerbit Buku Kompas.
- ^ Situs resmi pemerintah kota Bukittinggi
- ^ www.elsifm.com Elsi FM (diakses pada 11 Juli 2010)
- ^ www.skfmbukittinggi.com SK FM (diakses pada 11 Juli 2010)
- ^ www.grcfmbukittinggi.com GRC FM (diakses pada 11 Juli 2010)
- ^ "Bukittinggi: Jabaran Rencana Kota Kembar". Bukittinggi Department. Diakses tanggal 10 Juli 2013.
Pranala luar
Cari tahu mengenai Bukittinggi pada proyek-proyek Wikimedia lainnya: | |
Definisi dan terjemahan dari Wiktionary | |
Gambar dan media dari Commons | |
Berita dari Wikinews | |
Kutipan dari Wikiquote | |
Teks sumber dari Wikisource | |
Buku dari Wikibuku |
- (Indonesia) Situs web resmi kota Bukittinggi
- (Indonesia) Situs Resmi Kementrian Pariwisata