Suku Bayan adalah suatu komunitas yang merupakan bagian khusus dari masyarakat suku-bangsa Sasak yang lebih luas, dan dikenal sebagai pusat budaya Lombok tertua. Komunitas ini terpusat di sebuah desa yang bernama Desa Bayan, sebagai bagian dari wilayah Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain itu, suku Bayan sebagai pengamal adat-istiadat atau sistem religi seperti yang ada di Desa Bayan juga tersebar di berbagai dusun yang ada di desa-desa wilayah Kecamatan Bayan, bahkan juga terdapat di daerah Lombok Tengah. Dusun-dusun tersebut adalah Dusun Bayan Belek Timur dan Dusun Bayan Belek Barat (Desa Bayan); Dusun Bumantar, Boyotan Asli (Desa Selengan); Dusun Batu Gembung (Desa Akar-Akar); Dusun Semokabang, Semalangkara, Sani, Karang Tanggul, Batu Menjangkung, Batusan (Desa Anyar), dan Dusun Loang Godek, Batu Geraniung, Tanjung Bi (Desa Loloan).[1]

Masyarakat suku Bayan dideskripsikan secara khusus di luar masyarakat suku Sasak. Hal ini dikarenakan adanya hal-hal khas yang menjadi ciri tersendiri di samping secara umum mereka merupakan bagian dari masyarakat suku Sasak. Kekhasan suku Bayan terkait dengan adat-istiadat dan sistem keyakinan mereka yang disebut dengan Islam Wetu Telu (Islam Waktu Tiga). Sistem keyakinan tersebut berbeda dengan ajaran Islam murni yang disebut dengan "Islam Waktu Lima".[2]

Beberapa pengamat sosial seperti Adonis mengkategorikan masyarakat suku Bayan sebagai "masyarakat terasing". Ciri khas adat atau religi dari masyarakat suku Bayan telah menjadi bahan berita populer dari berbagai media massa di Indonesia. Untuk berkomunikasi di antara warga Bayan, mereka menggunakan bahasa Sasak yang termasuk rumpun bahasa Austronesia dengan dialek Sasak-Bayan.[3]

Sistem kekerabatan

Sistem kekerabatan berdasarkan hubungan dari leluhur yang sama di dalam masyarakat suku Bayan disebut dengan Kadang Waris, yaitu: hubungan keturunan dari pihak kerabat tunggal leluhur asal laki-laki (patrilineal). Ikatan kekerabatan ini diperoleh berdasarkan genealogis dari suatu perkawinan. Mereka yang telah berkeluarka biasanya tinggal bersama di tempat kediaman keluarga laki-laki dalam suatu pekarangan (keluarga segubuk atau keluarga luas), namun masing-masing terpecah dalam keluarga-keluarga intinya yang berdekatan satu sama lain.

Pada sistem perkawinan masyarakat suku Bayan dikenal dengan nama kawin perodongan (perjodohan), yaitu perkawinan antara laki-laki dengan perempuan yang masih merupakan kerabat dekat atas kemauan kedua orang tua tanpa sepengetahuan kedua mempelai; kawin lamar, yaitu perkawinan antara laki-laki dengan perempuan yang masih merupakan kerabat dekat atas dasar suka sama suka, baik karena kemauan kedua orang tua maupun dari orang tua pihak laki-laki saja; kawin marariq, yaitu perkawinan antara laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka, tetapi tidak mendapatkan persetujuan dari orang tua; serta bero, yaitu perkawinan incest (sumbang) yang ditabukan secara adat, yaitu perkawinan anak dengan sepupu derajat pertama dan perkawinan antara seorang laki-laki dengan kemenakannya sendiri. Bentuk perkawinan yang ideal dalam suku Bayan adalah paternal pararel cousin (perkawinan dengan saudara misan) karena dianggap dapat memelihara kemurnian darah keturunan, menambah ikatan kekerabatan, serta dapat mempertahankan keutuhan warisan.[4]

Sistem kepercayaan

Suku Bayan mengkonsep alam ke dalam tiga golongan yang saling bertentangan. Golongan pertama disebut dengan gumi beliq (makrokosmos/alam semesta), yang bersifat sakral, suci, keramat, dan memiliki kekuatan ataupun sifat baik. Golongan kedua disebut dengan gumi beriq (mikrokosmos/manusia), yang bersifat tidak keramat, profan (tidak suci), dan memiliki kekuatan ataupun sifat buruk. Golongan ketiga disebut dengan gumi baqiq (alam roh-roh halus), yang merupakan kombinasi dari sifat golongan pertama dan kedua.[5]

Konsep tentang gumi beliq, gumi beriq, dan gumi baqiq tersebut merupakan suatu orientasi nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat suku Bayan yang berhubungan dengan alam sekitar mereka. Hal tersebut diyakini dapat mengantisipasi sikap masyarakat dalam mengelola alam secara semena-mena. Untuk menyelaraskan kehidupan yang harmoni dengan alam sekitar dan menghormati para leluhur, maka suku Bayan melaksanakan upacara ritual yang disebut dengan Upacara Bagawe Aliq. Upacara tersebut dilaksanakan setiap tahun pertama dalam rangkaian delapan tahun yang seluruhnya menjadi satu windu dan diselenggarakan di atas sebuah bukit yang terletak di tengah-tengah wilayah desa.[5]

Suku Bayan pernah menganut agama Islam yang disebut dengan Islam Wetu Telu. Pada saat ini, kepercayaan tersebut semakin berkurang jumlahnya. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan mereka menjadi sasaran kegiatan-kegiatan dakwah yang terus meningkat dari kalangan Islam Waktu Lima yang telah berhasil mengkonversi banyak penganut Islam Wetu Telu. Islam Wetu Telu adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh sekelompok suku Sasak di beberapa desa yang berada di Pulau Lombok. Islam Wetu Telu dikembangkan oleh Nursada, putra bungsu dari Pangeran Sanga Pati yang menyebarkan ajaran agam Islam di Pulau Lombok. Sistem kepercayaan ini terkait dengan ajaran Islam murni, yang mereka sebut "Islam Waktu Lima". Pengikut Islam Wetu Telu percaya kepada Allah SWT, Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah SWT, dan Alquran sebagai kitab sucinya. Istilah Islam Wetu Telu itu sendiri tidak pernah dikenal pada masa awal perkembangan agama Islam di Pulau Lombok. Istilah tersebut dikenal sejak Belanda masuk ke pulau ini dan menajamkan istilah itu dengan "Waktu Lima" untuk memecah-belah sesuai dengan naluri para penjajah.[6]

Dalam pelaksanaannya, mereka melakukan berbagai upacara yang banyak menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Mereka hanya melaksanakan empat dari lima rukun Islam, yaitu: syahadat, shalat, zakat, dan puasa, sedangkan ibadah haji tidak mereka kenal. Orang yang wajib melaksanakan ajaran itu terbatas pada orang-orang yang disebut dengan lebe (kiai atau guru), sedangkan orang yang bukan lebe tidak perlu mengerjakan ibadah haji karena sudah diwakili oleh mereka.

Organisasi sosial

Masyarakat Bayan memiliki struktur pemerintahan desa yang tidak jauh berbeda dengan pemerintah desa lainnya. Organisasi pemerintahan desa meliputi: pemerintahan umum, bidang agama, adat-istiadat, dan bidang sosial-ekonomi. Sistem kepemimpinan masyarakat Bayan terbagi menjadi dua bagian, yaitu: sistem kepemimpinan desa dinas dan sistem kepemimpinan desa adat. Desa dinas secara vertikal terjalin secara struktural ke kecamatan, sedangkan desa adat yang secara otonom memiliki kepengurusan dan kepemimpinan yang bertanggung jawab ke dalam masyarakat harus disesuaikan sesuai dengan adat yang berlaku. Selain dipimpin oleh seorang kepala desa, masyarakat Bayan juga dipimpin oleh penghulu yang bertugas mengurus dan melaksanakan adat-istiadat yang berhubungan dengan upacara-upacara keagamaan.[5]

Pada masa lalu, kepala desa disebut dengan pemusungan dan warga masyarakat desa dipanggil dengan sebutan kanoman. Dalam masyarakat suku Bayan ada juga yang disebut dengan klian atau keliang (kepala dusun) yang bertugas membantu kepala desa untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan warga masyarakatnya. Klian atau keliang itu juga berfungsi sebagai pemangku. Pemangku adat ini bertugas sebagai perantara yang berhubugan dengan dunia gaib dan makhluk-makhluk halus yang menjaga tempat-tempat tertentu. Selain itu, pemangku juga bertugas membantu mengobati warga masyarakat yang mendapatkan gangguan dari anta boga tau selaq (makhluk halus yang jahat) yang menyebabkan munculnya berbagai macam penyakit.[5] Dalam melaksanakan tugasnya, keliang dibantu oleh jerowarah (juru arah) yang mewakilinya apabila dirinya sedang berhalangan.

Dahulu, lembaga masyarakat pedesaan di Bayan dikenal dengan sebutan Krama Desa, yang merupakan lembaga pembuat keputusan bersangkutan dengan semua aspek pembangunan serta tata hukum yang berlaku dan tata kesusilaan di tingkat desa, sedangkan di tingkat kampung lembaga ini disebut Krama Gubuk, namun berdasarkan Keputusan Mendagri No. 27 tahun 1984 namanya kemudian diubah menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa.[7]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Baal, J. Van (1976). Pesta Alip di Bayan. Jakarta: Bhratara. hlm. 16. 
  2. ^ Sumerta, I Made (2005). Jenis-Jenis dan Fungsi Pemangku Adat dalam Usaha Memahami Struktur Masyarakat Bayan di Lombok Barat. Denpasar: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. hlm. 114. 
  3. ^ Tito, Adonis (1989). Suku Terasing Sasak di Bayan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. hlm. 18. 
  4. ^ Arsana, Ida Bagus Anom (1993). Begawe Alip: Suatu Upacara Perbaikan Makam Leluhur Pada Komunitas Petani Suku Sasak di Desa Bayan Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Denpasar: FS-Unud. hlm. 80–82. 
  5. ^ a b c d Soeriadiredja, Purwadi (2015). Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia (Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. hlm. 26–27. 
  6. ^ Budiwanti, Erni (2000). Islam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima. Yogyakarta: LKIS. hlm. 2–6. 
  7. ^ Arsana, Ida Bagus Anom (1993). Begawe Alip: Suatu Upacara Perbaikan Makam Leluhur Pada Komunitas Petani Suku Sasak di Desa Bayan Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Denpasar: FS-Unud. hlm. 65–75.