Dharmasraya

Ibukota Kerajaan Melayu

Dharmasraya adalah nama ibu kota dari sebuah Kerajaan Melayu di Sumatra.[1] Nama ini muncul seiring dengan melemahnya kerajaan Sriwijaya setelah serangan Rajendra Chola I (raja Chola dari Koromandel) pada tahun 1025.

Dharmasraya

Malayu
1183–1347
{{{coat_alt}}}
Arca Bhairawa
Ibu kotaDharmasraya
Hulu Batang Hari
Bahasa yang umum digunakanMelayu Kuno, Sanskerta
Agama
Buddha
PemerintahanMonarki
Maharaja 
Sejarah 
1183
• Malayapura
1347
Mata uangKoin emas dan perak
Didahului oleh
Digantikan oleh
Minanga
Sriwijaya
krjKerajaan
Pagaruyung
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Awal mula

Munculnya Wangsa Mauli

Kemunduran kerajaan Sriwijaya akibat serangan Rajendra Chola I, telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya. Beberapa waktu kemudian muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang disebut dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut raja Swarnabhumi bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa yang mendapat kiriman hadiah Arca Amoghapasa dari Raja Kertanagara, raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton merupakan ibu kota dari negeri bhūmi mālayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.

Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan. Dari catatan Tiongkok[2] disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya. Karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.

Daerah kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225[3] disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatra, sampai Jawa bagian barat.

San-fo-tsi

Dalam naskah-naskah kronik Tiongkok, istilah San-fo-tsi digunakan untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum. Namun pada zaman Dinasti Song sekitar tahun 990–an, istilah ini identik dengan Sriwijaya. Namun ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi masih tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Tiongkok, yaitu kedatangan utusan San-fo-tsi ke Tiongkok pada periode 1079 dan 1088.[4]

Dalam berita Tiongkok yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta besar ke Tiongkok yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi (Jambi) bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian dilanjutkan pengiriman utusan selanjutnya tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak ada menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya. Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan Kerajaan Dharmasraya, karena saat itu masa kejayaan Sriwijaya sudah berakhir.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap digunakan dalam berita Tiongkok untuk menyebut Pulau Sumatra secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada abad ke-14, yaitu zaman Majapahit dan Dinasti Ming. Catatan sejarah Dinasti Ming masih menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya masih ada. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut adanya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Pararaton menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan dari Jawa ke Sumatra yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahisa Anabrang atau Kebo Anabrang. Kemudian pada tahun 1286 Kertanagara kembali mengirimkan utusan untuk mengantarkan Arca Amoghapasa yang kemudian dipahatkan pada Prasasti Padang Roco di Dharmasraya ibu kota bhumi malayu, sebagai hadiah dari Kerajaan Singhasari. Tim ini kembali ke Pulau Jawa pada tahun 1293 sekaligus membawa dua orang putri dari Kerajaan Melayu yang bernama Dara Petak dan Dara Jingga. Kemudian Dara Petak dinikahi oleh Raden Wijaya yang telah menjadi raja Majapahit penganti Singhasari, dan pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sedangkan Dara Jingga dinikahi oleh sira alaki dewa (orang yang bergelar dewa) dan kemudian melahirkan Tuan Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik dengan Adityawarman,[5] dan kelak menjadi Tuan Surawasa (Suruaso) berdasarkan Prasasti Batusangkar di pedalaman Minangkabau.[6]

Dalam Kitab Nagarakretagama

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut bhumi melayu sebagai salah satu di antara sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit.[7] Namun interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus mengantarkan upeti ini masih kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini. Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit, sekaligus melakukan beberapa penaklukan yang dimulai dengan menguasai Palembang[2]. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai bupati Palembang yang berjasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343[8]. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman[5].

Dari Dharmasraya ke Malayapura

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, pada tahun 1347 masehi atau 1267 saka, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan kerajaannya dengan nama Malayapura.[9] Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya, dan memindahkan ibu kotanya dari Dharmasraya ke daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso)[10]. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada bangsa Mauli penguasa Dharmasraya, dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Walaupun ibu kota kerajaan Melayu telah dipindahkah ke daerah pedalaman, Dharmasraya tetap dipimpin oleh seorang Maharaja Dharmasraya. Tetapi statusnya berubah menjadi raja bawahan, sebagaimana tersebut pada Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan ditulis pada zaman Adityawarman[11].

Daftar Raja Dharmasraya

Berikut ini daftar nama raja Dharmasraya:

Tahun (Masehi) Nama raja atau gelar Ibu kota /
pusat pemerintahan
Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
1183 Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa Dharmasraya Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand, perintah kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin.
1286 Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa Dharmasraya Prasasti Padang Roco tahun 1286 di Siguntur (Kabupaten Dharmasraya sekarang di Sumatra Barat), pengiriman Arca Amoghapasa sebagai hadiah Raja Singhasari kepada Raja Dharmasraya.
1316 Srimat Sri Akarendrawarman Dharmasraya atau Pagaruyung atau Suruaso Prasasti Suruaso di Kabupaten Tanah Datar sekarang, di mana Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan yang dibuat oleh raja sebelumnya yaitu Akarendrawarman.
1347 Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa Pagaruyung atau Suruaso Memindahkan pemerintahan ke Pagaruyung atau Suruaso,

Manuskrip pada Arca Amoghapasa bertarikh 1347 di Kabupaten Dharmasraya sekarang, Prasasti Suruaso dan Prasasti Kuburajo di Kabupaten Tanah Datar sekarang.

Rujukan

  1. ^ J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok
  2. ^ a b Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: LKIS
  3. ^ Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.
  4. ^ Paul Michel Munoz, 2006, Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
  5. ^ a b C.C. Berg, (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  6. ^ Reichle, N., (2007), Violence and serenity: late Buddhist sculpture from Indonesia. University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-2924-7.
  7. ^ Kern, Hendrik (1918). "VI". H. Kern: deel. De Nāgarakṛtāgama, slot. Spraakkunst van het Oudjavaansch. M. Nijhoff. hlm. 265–275. 
  8. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, 1996, Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  9. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  10. ^ Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi, hlm. 235-256.
  11. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.

Pranala luar