Aksara Jawa

aksara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan bahasa sekitarnya

Aksara Jawa, juga dikenal sebagai Hanacaraka atau Carakan, adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di pulau Jawa. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Jawa, namun dalam perkembangannya juga dipakai untuk menulis sejumlah bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sunda, Madura, dan Sasak serta bahasa historis seperti bahasa Sansekerta dan Kawi. Aksara ini merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Bali. Aksara Jawa aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Jawa sejak pertengahan abad 15 M hingga awal abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai bagian dari muatan lokal, namun dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.[1][2]

Aksara Jawa
ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ
Jenis aksara
BahasaJawa
Sunda
Madura
Sasak
Kawi
Sansekerta
Periode
± abad 15 hingga sekarang
Arah penulisanKiri ke kanan
Aksara terkait
Silsilah
Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
Aksara kerabat
Bali
Batak
Baybayin
Bugis
Incung
Lampung
Makassar
Rejang
Sunda
ISO 15924
ISO 15924Java, 361 Sunting ini di Wikidata, ​Jawa
Pengkodean Unicode
Nama Unicode
Javanese
U+A980U+A9DF
 Artikel ini mengandung transkripsi fonetik dalam Alfabet Fonetik Internasional (IPA). Untuk bantuan dalam membaca simbol IPA, lihat Bantuan:IPA. Untuk penjelasan perbedaan [ ], / / dan  , Lihat IPA § Tanda kurung dan delimitasi transkripsi.

Aksara Jawa adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar 30 aksara dasar. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Jawa adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) namun umum diselingi dengan sekelompok tanda baca rumit yang bersifat dekoratif.

Sejarah

 
Detil salah satu halaman dalam naskah Serat Selarasa koleksi British Library yang disalin pada tahun 1804. Dua figur di paling kiri terlihat sedang melantunkan bacaan beraksara Jawa dengan iringan musik

Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Indonesia yang sejarahnya dapat disusun dengan runut karena banyaknya peninggalan-peninggalan yang memungkinkan penelitian epigrafis secara mendetil. Akar paling tua dari aksara Jawa adalah Aksara Brahmi India India selatan yang berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antar abad 6 hingga 8 M. Di Jawa, aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi yang digunakan sebagai aksara utama masyarakat Jawa selama periode Hindu-Buddha antar abad 8 hingga 15 M dan dalam perkembangannya menjadi akar aksara-aksara tradisional Indonesia lainnya.[3] Aksara Jawa modern sebagaimana yang kini dikenal berangsur-angsur muncul dari aksara Kawi pada peralihan abad 14 hingga 15 M ketika ranah Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan.[4][5][6]

Selama kurang lebih 500 tahun antar abad 15 M hingga awal abad 20 M, aksara Jawa aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Jawa dengan cakupan yang luas dan beragam. Pada silang waktu tersebut, banyak daerah Jawa yang saling terpencil dan sulit berkomunikasi antar satu sama lainnya, sehingga aksara Jawa berkembang dengan berbagai macam gaya penulisan yang khas sepanjang sejarah penggunaannya. Tradisi tulis aksara Jawa terutama terpupuk di lingkungan Kraton, namun naskah beraksara Jawa dibuat dan dipakai dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa yang tidak terbatas pada kalangan ningrat. Karena pengaruh sastra lisan yang kuat, sebagian besar tulisan sastra Jawa tradisional dirancang untuk dilantunkan dalam bentuk tembang.[7] Tradisi tulis Jawa juga mengandalkan penyalinan dan penyusunan ulang secara berkala karena media tulis yang rentan terhadap iklim tropis; akibatnya, kebanyakan naskah fisik yang kini tersisa merupakan salinan abad 18 atau 19 M meski isinya seringkali dapat ditelusuri hingga purwarupa yang beberapa abad lebih tua.[6]

Ketika kajian mendalam mengenai bahasa Jawa mulai menarik perhatian kalangan Eropa pada abad 18 M, timbullah keinginan untuk menciptakan aksara Jawa cetak agar materi sastra Jawa dapat mudah diperbanyak dan disebarluaskan. Pada tahun 1838, Taco Roorda menyelesaikan font cetak untuk aksara Jawa yang ia gubah berdasarkan langgam penulisan Surakarta dengan sedikit campuran elemen tipografi Eropa. Sejak itu, bacaan beraksara Jawa, dengan font Jawa yang digubah Roorda, dapat dicetak massal dan menjadi lumrah beredar di khalayak umum. Hadirnya teknologi cetak menumbuhkan industri penerbitan yang selama seabad ke depan menghasilkan berbagai macam bacaan sehari-hari dalam aksara Jawa cetak yang mencakup namun tidak terbatas pada surat-surat, buku, koran, majalah, hingga pamflet, iklan, dan uang kertas.[8] Dengan lumrahnya penggunaan aksara Jawa dalam ranah publik, tumbuh pula upaya untuk menstandarisasi ortografi aksara Jawa dari praktek tradisional yang bervariasi. Salah satu upaya ini adalah lokakarya yag berlangsung di Sriwedari, Surakarta pada tahun 1926. Lokakarya ini menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang merupakan salah satu landasan awal standardisasi penulisan aksara Jawa ke depannya.

Seiring dengan semakin meningkatnya permintaan bacaan oleh rakyat pada awal abad 20 M, penerbit Jawa kian mengesampingkan bacaan beraksara Jawa karena alasan ekonomis: untuk materi tulisan yang sama, versi aksara Jawa cetak pada waktu itu memerlukan dua kali lebih banyak kertas dibanding versi huruf Latin, sehingga produksi bacaan beraksara Jawa memerlukan waktu dan biaya yang lebih banyak dibanding bacaan berhuruf Latin. Karena alasan inilah, sejumlah penerbit seperti Balai Pustaka kian memilih huruf Latin untuk menekan biaya dan menjaga agar harga buku tetap terjangkau bagi masyarakat.[9] Meskipun begitu, masyarakat Jawa di awal abad 20 M cenderung tetap mempertahankan penggunaan aksara Jawa dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Dalam kegiatan surat-menyurat, sebagai contoh, penggunaan aksara Jawa dianggap lebih halus dan sopan ketimbang penggunaan huruf Latin, terutama dalam surat untuk orang yang lebih tua. Berbagai penerbit, termasuk Balai Pustaka sendiri, tetap mencetak berbagai buku, koran, dan majalah dalam aksara Jawa karena minat pembaca yang masih memadai meski terdapat kecendrungan pengurangan dari tahun ke tahun. Penggunaan aksara Jawa baru mengalami kemunduran yang signifikan ketika Jepang mulai menduduki Indonesia pada tahun 1942.[10] Beberapa penulis menyebutkan adanya aturan Jepang yang melarang penggunaan aksara lokal dalam ranah publik, meski hingga kini belum ditemukan dokumentasi atau catatan resmi dari larangan tersebut. Namun tidak dipungkuri bahwa penggunaan aksara Jawa memang mengalami kemuduran yang signifikan pada zaman pendudukan Jepang dan tidak berlanjut untuk waktu yang cukup lama karena ketidakstabilan kondisi negara di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Akibatnya, hanya sedikit dari tradisi tulis aksara Jawa pra-kemerdekaan yang masih tersisa pada masa pasca kemerdekaan.[11]

Penggunaan

Penggunaan Aksara Jawa

Selama kurang lebih 500 tahun antar abad 15 M hingga awal abad 20 M, aksara Jawa aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. Karena pengaruh sastra lisan yang kuat, sebagian besar tulisan sastra Jawa tradisional dirancang untuk dilantunkan dalam bentuk tembang.[7] Selain tradisi tulis, aksara Jawa cetak yang pertama kali ditemukan pada abad 19 M juga memungkinkan penggunaan aksara Jawa secara massal dalam berbagai macam bacaan sehari-hari yang mencakup namun tidak terbatas pada surat-surat, buku, koran, majalah, hingga pamflet, iklan, dan uang kertas.[8]

Penggunaan kontemporer

Aksara Jawa sampai sekarang masih diajarkan di sekolah-sekolah wilayah berbahasa Jawa[12] seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta, sebagai bagian dari muatan lokal kelas I SD hingga kelas XII SMA.[13][14] Walaupun demikian, penggunaan sehari-hari, seperti dalam media cetak atau televisi, masih sangat terbatas dan terdesak oleh penggunaan aksara Latin yang lebih mudah diakses. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa. Namun selain itu, usaha-usaha revivalisasi hanya bersifat simbolik dan tidak fungsional, seperti pada penulisan nama jalan. Salah satu penghambatnya adalah tidak adanya pengembangan ortografi dan tipografi aksara,[13] serta digitalisasi komputer yang sulit dilakukan karena kompleksitas aksara Jawa.

Pada bulan Februari 2020, PANDI yang bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mengajukan proposal kepada ICANN untuk membuat nama domain dengan aksara Jawa. Menurut PANDI, domain ini diperkirakan dapat digunakan pada pertengahan tahun 2020.[15][16]

Bentuk

Aksara

Aksara merupakan huruf pokok yang merepresentasikan satu suku kata. Aksara Jawa memiliki sekitar 45 aksara, namun tidak semuanya digunakan dengan setara; dalam perkembangannya, terdapat aksara yang tidak lagi digunakan sementara beberapa lainnya hanya digunakan pada konteks tertentu sehingga huruf-huruf dalam aksara Jawa dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsi dan penggunaannya.

Wyanjana

Aksara wyanjana (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Sebagai salah satu aksara turunan Brahmi, aksara Jawa pada awalnya memiliki 33 aksara wyanjana untuk menuliskan 33 bunyi konsonan yang digunakan dalam bahasa Sansekerta dan Kawi. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[17][18]

Aksara Wyanjana (deret kuno)
Tempat pelafalan Pancawalimukha Semivokal Sibilan Celah
Nirsuara Bersuara Sengau
Velar
ka

kha

ga

gha

ṅa1

ha/a6
Palatal
ca

cha

ja

jha

ña2

ya

śa5
Retrofleks
ṭa3

ṭha

ḍa4

ḍha

ṇa

ra

ṣa
Dental
ta

tha

da

dha

na

la

sa
Labial
pa

pha

ba

bha

ma

wa
Catatan

1. ^1 /ŋa/ sebagaimana nga dalam kata "mengalah"
2. ^2 /ɲa/ sebagaimana nya dalam kata "menyanyi"
3. ^3 /ʈa/ sebagaimana tha dalam kata bahasa Jawa "kathah"
4. ^4 /ɖa/ sebagaimana dha dalam kata bahasa Jawa "padha"
5. ^5 /ɕa/ sebagaimana sya dalam kata "syair"
6. ^6 aksara ha dapat dilafalkan /ha/ atau /a/ tergantung kata yang bersangkutan

Dalam perkembangannya, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara wyanjana dalam deret Sansekerta-Kawi. Aksara Jawa modern hanya menggunakan 20 bunyi konsonan dan 20 aksara dasar yang kemudian disebut sebagai aksara nglegéna (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦔ꧀ꦭꦼꦒꦺꦤ). Sebagian aksara yang tersisa kemudian dialihfungsikan sebagai aksara murda (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦢ) untuk menuliskan gelar dan nama yang dihormati, baik nama tokoh legenda (misal Bima ꦨꦶꦩ) maupun nyata (misal Pakubuwana ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ).[19] Dari 20 aksara nglegéna, hanya 9 aksara yang mempunyai bentuk murda, oleh karena itu penggunaan murda tidak identik dengan penggunaan huruf kapital di dalam ejaan Latin;[19] apabila suku kata pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata kedua yang menggunakan murda. Apabila suku kata kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan. Dalam penulisan tradisional, penerapan murda tidaklah selalu konsisten dan pada dasarnya bersifat pilihan, sehingga nama seperti Gani dapat dieja ꦒꦤꦶ​ (tanpa murda), ꦓꦤꦶ (dengan murda di awal), atau ꦓꦟꦶ (seluruhnya menggunakan murda) tergantung dari latar belakang dan konteks penulisan yang bersangkutan. Sisa aksara yang tidak termasuk nglegéna maupun murda adalah aksara mahaprana. Aksara mahaprana tidak memiliki fungsi dalam penulisan Jawa modern dan hanya digunakan dalam penulisan bahasa Sansekerta-Kawi, meski relatif juga jarang muncul dalam kedua bahasa tersebut.[17][a]

Aksara Wyanjana (deret baru)
ha/a na ca ra ka da ta sa wa la pa ḍa ja ya nya ma ga ba ṭa nga
Nglegéna
Murda 1
Mahaprana
Catatan

1. ^1 ra agung, memiliki fungsi yang serupa dengan aksara murda lainnya namun tidak dikenal secara luas karena penggunaannya yang terbatas di lingkungan Kraton[17]

Swara

Aksara swara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦱ꧀ꦮꦫ) adalah aksara yang digunakan untuk menulis vokal murni. Pada awalnya, aksara Jawa memiliki 14 aksara vokal yang diwarisi dari tradisi tulis Sansekerta. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[18]

Aksara Swara
Tempat pelafalan Pendek Panjang
Velar
a
ꦄꦴ
ā
Palatal
i

ī
Retrofleks
ṛ/re1
ꦉꦴ
2
Dental
ḷ/le3

4
Labial
u
ꦈꦴ
ū
Velar-Palatal
é5

ai6
Velar-Labial
o
ꦎꦴ
au7
Catatan

1. ^1 pa cerek, dalam perkembangannya di Jawa dilafalkan /rə/ sebagaimana re dalam kata "remah"
2. ^2 pa cerek dirgha, dalam bahasa Sansekerta sebenarnya hanya digunakan sebagai pelengkap sistem fonologi Panini[21]
3. ^3 nga lelet, dalam perkembangannya di Jawa dilafalkan /lə/ sebagaimana le dalam kata "lemah"
4. ^4 nga lelet raswadi, dalam bahasa Sansekerta sebenarnya hanya digunakan sebagai pelengkap sistem fonologi Panini[21]
5. ^5 /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
6. ^6 diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
7. ^7 diftong /aw/ sebagaimana au kata "pantau"

Sebagaimana aksara wyanjana, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara swara dalam deret Sansekerta-Kawi, dan kini hanya aksara untuk vokal pendek yang umumnya diajarkan. Dalam penulisan modern, aksara swara digunakan untuk menggantikan aksara wyanjana ha ꦲ (yang pelafalannya bisa jadi ambigu karena berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/) pada nama atau istilah asing yang pelafalannya perlu dipertegas.[22]

Pa cerek ꦉ, pa cerek dirgha ꦉꦴ, nga lelet ꦊ, dan nga lelet raswadi ꦋ adalah konsonan silabis yang dalam bahasa Sansekerta hanya digunakan pada beberapa kasus spesifik sebagai pelengkap sistem fonologi Pāṇini.[21] Ketika digunakan untuk bahasa selain Sansekerta, pelafalan keempat aksara ini seringkali bervariasi. Dalam perkembangan bahasa Jawa modern, hanya pa cerek dan nga lelet yang digunakan; pa cerek dilafalkan /rə/ (sebagaimana re dalam kata "remah") sementara nga lelet dilafalkan /lə/ (sebagaimana le dalam kata "lemah"). Dalam pengajaran modern, aksara ini seringkali dipisahkan dari aksara swara menjadi kategori sendiri yang disebut aksara gantèn. Kedua aksara ini wajib digunakan untuk mengganti tiap kombinasi ra+pepet (ꦫꦼ → ꦉ) serta la+pepet (ꦭꦼ → ꦊ) tanpa terkecuali.[23]

Rékan

Aksara rékan (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦫꦺꦏꦤ꧀) adalah aksara tambahan yang digunakan untuk menulis bunyi asing.[24] Aksara ini pada awalnya dikembangkan untuk menuliskan kata serapan dari bahasa Arab, kemudian diadaptasi pula untuk kata serapan dari bahasa-bahasa Eropa seperti bahasa Belanda dan Inggris. Sebagian besar aksara rékan dibentuk dengan menambahkan diakritik cecak telu pada aksara yang bunyinya dianggap paling mendekati dengan bunyi asing yang bersangkutan. Sebagai contoh, aksara rékan fa ꦥ꦳ dibentuk dengan menambahkan cecak telu pada aksara wyanjana pa ꦥ. Kombinasi wyanjana dan ekivalen bunyi asing tiap rékan bisa jadi berbeda-beda antar penulis. Beberapa aksara rékan dapat dilihat sebagaimana berikut:[25]

Aksara Rékan
ḥa kha qa dza sya fa/va dha za gha tha 'a
Aksara Jawa ꦲ꦳ ꦏ꦳ 1 ꦢ꦳ ꦱ꦳ ꦥ꦳ ꦝ꦳ ꦗ꦳ ꦒ꦳ ꦛ꦳ ꦔ꦳
Abjad Arab ح خ ق ذ ش ف ض ز غ ط ع
Catatan

1. ^1 ka sasak, hanya digunakan dalam penulisan bahasa Sasak

Diakritik

Diakritik (sanḍangan ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀) adalah tanda yang melekat pada aksara untuk mengubah vokal inheren aksara yang bersangkutan. Sebagaimana aksara, diakritik Jawa juga dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok tergantung dari fungsi dan penggunaannya.

Swara

Sanḍangan swara (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦱ꧀ꦮꦫ) adalah sanḍangan yang digunakan untuk merubah vokal inheren /a/ menjadi vokal lainnya sebagaimana berikut:[26]

Sanḍangan Swara
Pendek Panjang
-a -i -u [1] -o -e[2] -ai[3] -au[4] -eu[5]
- ꦺꦴ ꦻꦴ ꦼꦴ
- wulu suku taling taling-tarung pepet tarung wulu melik suku mendut dirga muré dirga muré-tarung pepet-tarung
ka ki ku ko ke kai kau keu
ꦏꦶ ꦏꦸ ꦏꦺ ꦏꦺꦴ ꦏꦼ ꦏꦴ ꦏꦷ ꦏꦹ ꦏꦻ ꦭꦻꦴ ꦏꦼꦴ
Catatan

1. ^/e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
2. ^/ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"
2. ^diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
2. ^diftong /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"
2. ^/ɤ/ sebagaimana eu dalam kata bahasa Sunda "peyeum"

Panyigeging wanda

Sanḍangan panyigeging wanda (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦥꦚꦶꦒꦼꦒꦶꦁꦮꦤ꧀ꦢ) digunakan untuk menutup suatu suku kata dengan konsonan, sebagaimana berikut:[27]

Sanḍangan Panyigeging Wanda
-m[1] -ng -r -h pemati
panyangga cecak layar wignyan pangkon
kam kang kar kah k
ꦏꦀ ꦏꦁ ꦏꦂ ꦏꦃ ꦏ꧀
Catatan

1. ^ umumnya hanya ditemukan dalam salinan lontar Bali untuk menuliskan suku kata suci om ꦎꦀ

Wyanjana

Sanḍangan wyanjana (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) digunakan untuk menuliskan gugus konsonan dengan semivokal dalam satu suku kata, sebagaimana berikut:[28]

Sanḍangan Wyanjana
-re -y- -r- -l- -w-
ꦿ ꧀ꦭ ꧀ꦮ
keret pengkal cakra panjingan la gembung
kre kya kra kla kwa
ꦏꦽ ꦏꦾ ꦏꦿ ꦏ꧀ꦭ ꦏ꧀ꦮ

Pasangan

Vokal inheren dari tiap aksara dasar dapat dimatikan dengan penggunaan diaktrik pangkon. Namun begitu pangkon normalnya tidak digunakan di tengah kata atau kalimat, sehingga untuk menuliskan suku kata tertutup di tengah kata dan kalimat, digunakanlah bentuk pasangan (ꦥꦱꦔꦤ꧀) yang dimiliki oleh setiap aksara dasar. Apabila suatu pasangan melekat pada aksara dasar, maka vokal inheren aksara yang bersangkutan akan mati. Bentuknya sebagaimana berikut:

Aksara dan Pasangan Wyanjana
ha/a na ca ra ka da ta sa wa la pa ḍa ja ya nya ma ga ba ṭa nga
Nglegéna
​ ꧀ꦲ

​ ꧀ꦤ

​ ꧀ꦕ

​ ꧀ꦫ

​ ꧀ꦏ

​ ꧀ꦢ

​ ꧀ꦠ

​ ꧀ꦱ

​ ꧀ꦮ

​ ꧀ꦭ

​ ꧀ꦥ

​ ꧀ꦝ

​ ꧀ꦗ

​ ꧀ꦪ

​ ꧀ꦚ

​ ꧀ꦩ

​ ꧀ꦒ

​ ꧀ꦧ

​ ꧀ꦛ

​ ꧀ꦔ
Murda
​꧀ꦟ

​꧀ꦬ

​꧀ꦑ

​꧀ꦡ

​꧀ꦯ

​꧀ꦦ

​꧀ꦘ

​꧀ꦓ

​꧀ꦨ
Mahaprana
​꧀ꦖ

​꧀ꦣ

​꧀ꦰ

​꧀ꦞ

​꧀ꦙ

​꧀ꦜ

Angka

Angka
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Tanda baca

Macam-macam rupa tanda baca pepadan dalam naskah Jawa

Dalam aksara Jawa, tanda baca yang tersedia hanya koma, titik, dan pengapit (berfungsi sebagai tanda kurung atau tanda petik, dengan perbedaan aturan penulisan). Dibanding dengan alfabet Latin, aksara Jawa tidak memiliki tanda seru, tanda tanya, tanda hubung, garis miring, titik dua, titik koma, petik tunggal maupun simbol-simbol matematika umum, seperti tambah, kurang, sama dengan. Namun, aksara Jawa memiliki tanda baca-tanda baca khusus yang tidak terdapat dalam sistem penulisan lainnya.

Secara sederhana, tanda baca dapat dibedakan menjadi dua: umum dan khusus. Tanda baca umum digunakan di penulisan biasa, sementara tanda baca khusus digunakan dalam penulisan karya sastra (puisi, dll.)

Pada
pada lingsa Koma
pada lungsi Titik
adeg Tanda kurung atau petik
adeg-adeg Pembuka paragraf
pisélèh ꧌...꧍ Tanda kurung atau petik
rerenggan ꧁...꧂ Pengapit judul
pangkat Titik dua
rangkap Tanda pengulangan kata
tirta tumétès Tanda koreksi
isèn-isèn Tanda koreksi
pada guru ꧋꧆꧋ Pengawal surat
pada pancak ꧉꧆꧉ Pengakhir surat
pepadan
pada anḍap Pengawal surat
pada madya Pengawal surat
pada luhur Pengawal surat
purwapada ꧅ ꦧ꧀ꦖ ꧅ Pengawal tembang
madyapada ꧅ ꦟ꧀ꦢꦿ ꧅ Pergantian tembang
wasanapada ꧅ ꦆ ꧅ Pengakhir tembang

Pengurutan

Aksara Jawa modern umum diurutkan menggunakan deret Hanacaraka yang dinamakan berdasarkan empat aksara pertama dalam deret tersebut. Dalam urutan tersebut, ke-20 aksara nglegèna yang digunakan dalam bahasa Jawa modern membentuk sebuah pangram yang menceritakan tokoh legendaris Aji Saka. Deret ini merupakan deret yang paling banyak digunakan dan dikenal oleh kebanyakan masyarakat Jawa.[29]

Deret Hanacaraka
       
ꦲꦤꦕꦫꦏ(18px) ꦢꦠꦱꦮꦭ(18px) ꦥꦝꦗꦪꦚ(18px) ꦩꦒꦧꦛꦔ(18px)
(h)ana caraka
ada dua utusan
data sawala
yang berselisih pendapat
paḍa jayanya
sama kuatnya
maga baṭanga
inilah mayat mereka

Deret hanacaraka bukanlah satu-satunya cara untuk mengurutkan aksara Jawa. Untuk penulisan bahasa Sansekerta dan Kawi yang memerlukan 33 aksara dasar, aksara Jawa dapat diurutkan berdasarkan tempat pelafalannya (warga) menurut prinsip fonologi Sansekerta yang pertama kali dijabarkan oleh Pāṇini.[18][29] Deret ini, yang kadang disebut deret Kaganga berdasarkan empat aksara pertamanya, merupakan deret standar dalam aksara-aksara turunan Brahmi yang masih bisa digunakan untuk menulis bahasa Sansekerta, seperti aksara Devanagari, Tamil, Thai, dan Khmer. Deret ini masih digunakan dalam praktek penulisan aksara Bali kontemporer.

Deret Sansekerta (Kaganga)
Pancawalimukha Ardhasuara Ūṣma Wisarga
Kaṇṭhya Tālawya Mūrdhanya Dantya Oṣṭhya
         
ꦏꦑꦒꦓꦔ(18px) ꦕꦖꦗꦙꦚ(18px) ꦛꦜꦝꦞꦟ(18px) ꦠꦡꦢꦣꦤ(18px) ꦥꦦꦧꦨꦩ(18px) ꦪꦫꦭꦮ(18px) ꦯꦰꦱ(18px) (18px)
ka kha ga gha nga ca cha ja jha nya ṭa ṭha ḍa ḍha ṇa ta tha da dha na pa pha ba bha ma ya ra la wa śa ṣa sa ha


Contoh teks

Berikut adalah cuplikan dari Kakawin Rāmāyaṇa yang dicetak pada tahun 1900 dengan bahasa dan ejaan Kawi.[30]

Pada Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Aksara Jawa Latin
XVI
31
꧅ꦗꦲ꧀ꦤꦷꦪꦴꦲ꧀ꦤꦶꦁꦠꦭꦒꦏꦢꦶꦭꦔꦶꦠ꧀꧈ ꦩꦩ꧀ꦧꦁꦠꦁꦥꦴꦱ꧀ꦮꦸꦭꦤꦸꦥꦩꦤꦶꦏꦴ꧈ ꦮꦶꦤ꧀ꦠꦁꦠꦸꦭꦾꦁꦏꦸꦱꦸꦩꦪꦱꦸꦩꦮꦸꦫ꧀꧈ ꦭꦸꦩꦿꦴꦥ꧀ꦮꦺꦏꦁꦱꦫꦶꦏꦢꦶꦗꦭꦢ꧉ Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwekang sari kadi jalada. Air jernih telaga bagaikan langit, seekor kura-kura mengambang di dalamnya bagai bulan, bintangnya adalah bunga-bunga yang bertebaran, menyebarlah sarinya bagaikan awan

Berikut adalah cuplikan Serat Katuranggan Kucing yang dicetak pada tahun 1871 dengan bahasa dan ejaan Jawa modern.[31]

Pada Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Aksara Jawa Latin
7 ꧅ꦭꦩꦸꦤ꧀ꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ ꦲꦮꦏ꧀ꦏꦺꦲꦶꦉꦁꦱꦢꦪ꧈ ꦭꦩ꧀ꦧꦸꦁꦏꦶꦮꦠꦺꦩ꧀ꦧꦺꦴꦁꦥꦸꦠꦶꦃ꧈ ꦊꦏ꧀ꦱꦤꦤ꧀ꦤꦶꦫꦥꦿꦪꦺꦴꦒ꧈ ꦲꦫꦤ꧀ꦮꦸꦭꦤ꧀ꦏꦿꦲꦶꦤꦤ꧀‍꧈ ꦠꦶꦤꦼꦏꦤꦤ꧀ꦱꦱꦼꦢꦾꦤ꧀ꦤꦶꦥꦸꦤ꧀‍꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦭꦁꦏꦸꦁꦲꦸꦠꦩ꧈ Lamun sira ngingu kucing, awaké ireng sadaya, lambung kiwa témbong putih, leksan nira prayoga, aran wulan krahinan, tinekanan sasedyan nira ipun, yén buṇḍel langkung utama 7. Kucing yang berwarna hitam semua tetapi perut sebelah kirinya terdapat témbong (bercak) putih disebut wulan krahinan. Kucing ini membawa kebaikan berupa tercapainya semua keinginan. Lebih baik jika ekornya buṇḍel (membulat).
8 ꧅ꦲꦗꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ ꦭꦸꦫꦶꦏ꧀ꦲꦶꦉꦁꦧꦸꦤ꧀ꦠꦸꦠ꧀ꦥꦚ꧀ꦗꦁ꧈ ꦥꦸꦤꦶꦏꦲꦮꦺꦴꦤ꧀ꦭꦩꦠ꧀ꦠꦺ꧈ ꦱꦼꦏꦼꦭꦤ꧀ꦱꦿꦶꦁꦠꦸꦏꦂꦫꦤ꧀‍꧈ ꦲꦫꦤ꧀ꦝꦣꦁꦱꦸꦁꦏꦮ꧈ ꦥꦤ꧀ꦲꦢꦺꦴꦃꦫꦶꦗꦼꦏꦶꦤꦶꦥꦸꦤ꧀‍꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦤꦺꦴꦫꦔꦥꦲ꧈ Aja sira ngingu kucing, lurik ireng buntut panjang, punika awon lamaté, sekelan sring tukaran, aran ḍaḍang sungkawa, pan adoh rijeki nipun, yén buṇḍel nora ngapa 8. Kucing dengan bulu lurik hitam berekor panjang jangan dipelihara. Kucing itu disebut ḍaḍang sungkawa. Kehidupanmu akan sering bertengkar dan jauh dari rizki. Apabila ekornya buṇḍel, maka tidak masalah.

Blok Unicode

Aksara Jawa resmi dimasukkan ke dalam Unicode sejak Oktober 2009 dengan dirilisnya Unicode versi 5.2. Blok Unicode aksara Jawa terletak pada kode U+A980–U+A9DF. Terdapat 91 kode yang mencakup 53 huruf, 19 tanda baca, 10 angka, dan 9 vokal. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.

Javanese[1][2]
Bagan kode resmi Unicode Consortium (PDF)
  0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+A98x
U+A99x
U+A9Ax
U+A9Bx ꦿ
U+A9Cx
U+A9Dx
Catatan
1.^Per Unicode versi 14.0
2.^Abu-abu berarti titik kode kosong
Lihat pula Tabel alternatif Unicode aksara Jawa yang diurutkan berdasarkan hanacaraka

Galeri

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Contoh kata dengan aksara mahaprana yang pernah digunakan dalam sastra Kawi misal nirjhara (ꦤꦶꦂꦙꦫ, air terjun)[20]

Rujukan

  1. ^ Behrend 1996, hlm. 161.
  2. ^ Everson 2008, hlm. 1.
  3. ^ Holle, K F (1882). "Tabel van oud-en nieuw-Indische alphabetten". Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie. Batavia: W. Bruining. 
  4. ^ Casparis, J G de (1975). Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500. 4. Brill. ISBN 9004041729. 
  5. ^ Campbell, George L. (2000). Compendium of the World's Languages. 1. New York: Routledge. 
  6. ^ a b Behrend 1996, hlm. 161-162.
  7. ^ a b Behrend 1996, hlm. 167-169.
  8. ^ a b Mollen & 200, hlm. 154-158.
  9. ^ Robson 2011, hlm. 25.
  10. ^ Hadiwidjana, R. D. S. (1967). Tata-sastra: ngewrat rembag 4 bab : titi-wara tuwin aksara, titi-tembung, titi-ukara, titi-basa. U.P. Indonesia. 
  11. ^ Robson 2011, hlm. 27-28.
  12. ^ Bahasa Jawa? Ih, "Boring" Banget. Kompas daring 25-09-2006. Diakses 6-5-2009.
  13. ^ a b Abdul Wahab. Masa depan bahasa, sastra, dan aksara daerah. Nawala.
  14. ^ Sy, Zulfikar (2016-11-09). "Bahasa Jawa Jadi Muatan Lokal Wajib". MerahPutih. Diakses tanggal 2019-09-24. 
  15. ^ Fauzan Jamaludin (31 Januari 2020). "PANDI Siapkan Domain Aksara Jawa Bisa Digunakan Pertengahan Tahun 2020". MERDEKA.com. Diakses tanggal 01 Februari 2020. 
  16. ^ Arindra Meodia (31 Januari 2020). Alviansyah Pasaribu, ed. "PANDI berencana buat nama domain aksara Jawa". ANTARA News. Diakses tanggal 01 Februari 2020. 
  17. ^ a b c Everson 2008, hlm. 1-2.
  18. ^ a b c Poerwadarminta, W J S (1930). Serat Mardi Kawi (PDF). 1. Solo: De Bliksem. hlm. 9-12. 
  19. ^ a b Darusuprapta 2003, hlm. 11-13.
  20. ^ Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Robson, Stuart Owen, ed. Old Javanese-English Dictionary. Nijhoff. hlm. 1191, entri 11. ISBN 9024761786. 
  21. ^ a b c Woodard, Roger D (2008). The Ancient Languages of Asia and the Americas. Cambridge University Press. hlm. 9. ISBN 0521684943. 
  22. ^ Darusuprapta 2003, hlm. 13-15.
  23. ^ Darusuprapta 2003, hlm. 20.
  24. ^ Darusuprapta 2003, hlm. 16-17.
  25. ^ Hollander, J J de (1886). Handleiding bij de beoefening der Javaansche Taal en Letterkunde. Leiden: Brill. hlm. 3. 
  26. ^ Darusuprapta 2003, hlm. 19-24.
  27. ^ Darusuprapta 2003, hlm. 24-28.
  28. ^ Darusuprapta 2003, hlm. 29-32.
  29. ^ a b Everson & 2008 5-6.
  30. ^ Kern, Hendrik (1900). Rāmāyaṇa Kakawin. Oudjavaansch heldendicht. ’s Gravenhage: Martinus Nijhoff. 
  31. ^ Serat Katoerangganing ning Koetjing (ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦏꦠꦸꦫꦁꦒꦤ꧀ꦤꦶꦁꦏꦸꦠ꧀ꦕꦶꦁ), diterbitkan oleh Percetakan GCT Van Dorp & Co di Semarang, tahun 1871. Pindaian Google Books dari koleksi Perpustakaan Nasional Belanda, No 859 B33.

Daftar pustaka

Pranala luar

Naskah digital

Pedoman penulisan

Lainnya