Aksara Jawa
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Alteaven (Kontrib • Log) 1643 hari 498 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Aksara Jawa, juga dikenal sebagai Hanacaraka atau Carakan, adalah salah satu aksara tradisional Indonesia yang berkembang di pulau Jawa. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Jawa, namun dalam perkembangannya juga dipakai untuk menulis sejumlah bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sunda, Madura, dan Sasak serta bahasa historis seperti bahasa Sansekerta dan Kawi. Aksara ini merupakan turunan dari aksara Brahmi India melalui perantara aksara Kawi dan berkerabat dekat dengan aksara Bali. Aksara Jawa aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Jawa sejak pertengahan abad 15 M hingga awal abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai bagian dari muatan lokal, namun dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.[1][2]
Aksara Jawa ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ | |
---|---|
Jenis aksara | |
Bahasa | Jawa Sunda Madura Sasak Kawi Sansekerta |
Periode | ± abad 15 hingga sekarang |
Arah penulisan | Kiri ke kanan |
Aksara terkait | |
Silsilah | Menurut hipotesis hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya sebagai berikut:
Dari aksara Brahmi diturunkanlah:
|
Aksara kerabat | Bali Batak Baybayin Bugis Incung Lampung Makassar Rejang Sunda |
ISO 15924 | |
ISO 15924 | Java, 361 , Jawa |
Pengkodean Unicode | |
Nama Unicode | Javanese |
U+A980–U+A9DF | |
Aksara Jawa adalah sistem tulisan abugida yang terdiri dari sekitar 30 aksara dasar. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Jawa adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) namun umum diselingi dengan sekelompok tanda baca rumit yang bersifat dekoratif.
Sejarah
Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Indonesia yang sejarahnya dapat disusun dengan runut karena banyaknya peninggalan-peninggalan yang memungkinkan penelitian epigrafis secara mendetil. Akar paling tua dari aksara Jawa adalah Aksara Brahmi India India selatan yang berkembang menjadi aksara Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antar abad 6 hingga 8 M. Di Jawa, aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Kawi yang digunakan sebagai aksara utama masyarakat Jawa selama periode Hindu-Buddha antar abad 8 hingga 15 M dan dalam perkembangannya menjadi akar aksara-aksara tradisional Indonesia lainnya.[3] Aksara Jawa modern sebagaimana yang kini dikenal berangsur-angsur muncul dari aksara Kawi pada peralihan abad 14 hingga 15 M ketika ranah Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan.[4][5][6]
Selama kurang lebih 500 tahun antar abad 15 M hingga awal abad 20 M, aksara Jawa aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Jawa dengan cakupan yang luas dan beragam. Pada silang waktu tersebut, banyak daerah Jawa yang saling terpencil dan sulit berkomunikasi antar satu sama lainnya, sehingga aksara Jawa berkembang dengan berbagai macam gaya penulisan yang khas sepanjang sejarah penggunaannya. Tradisi tulis aksara Jawa terutama terpupuk di lingkungan Kraton, namun naskah beraksara Jawa dibuat dan dipakai dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa yang tidak terbatas pada kalangan ningrat. Karena pengaruh sastra lisan yang kuat, sebagian besar tulisan sastra Jawa tradisional dirancang untuk dilantunkan dalam bentuk tembang.[7] Tradisi tulis Jawa juga mengandalkan penyalinan dan penyusunan ulang secara berkala karena media tulis yang rentan terhadap iklim tropis; akibatnya, kebanyakan naskah fisik yang kini tersisa merupakan salinan abad 18 atau 19 M meski isinya seringkali dapat ditelusuri hingga purwarupa yang beberapa abad lebih tua.[6]
Ketika kajian mendalam mengenai bahasa Jawa mulai menarik perhatian kalangan Eropa pada abad 18 M, timbullah keinginan untuk menciptakan aksara Jawa cetak agar materi sastra Jawa dapat mudah diperbanyak dan disebarluaskan. Pada tahun 1838, Taco Roorda menyelesaikan font cetak untuk aksara Jawa yang ia gubah berdasarkan langgam penulisan Surakarta dengan sedikit campuran elemen tipografi Eropa. Sejak itu, bacaan beraksara Jawa, dengan font Jawa yang digubah Roorda, dapat dicetak massal dan menjadi lumrah beredar di khalayak umum. Hadirnya teknologi cetak menumbuhkan industri penerbitan yang selama seabad ke depan menghasilkan berbagai macam bacaan sehari-hari dalam aksara Jawa cetak yang mencakup namun tidak terbatas pada surat-surat, buku, koran, majalah, hingga pamflet, iklan, dan uang kertas.[8] Dengan lumrahnya penggunaan aksara Jawa dalam ranah publik, tumbuh pula upaya untuk menstandarisasi ortografi aksara Jawa dari praktek tradisional yang bervariasi. Salah satu upaya ini adalah lokakarya yag berlangsung di Sriwedari, Surakarta pada tahun 1926. Lokakarya ini menghasilkan Wewaton Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang merupakan salah satu landasan awal standardisasi penulisan aksara Jawa ke depannya.
Seiring dengan semakin meningkatnya permintaan bacaan oleh rakyat pada awal abad 20 M, penerbit Jawa kian mengesampingkan bacaan beraksara Jawa karena alasan ekonomis: untuk materi tulisan yang sama, versi aksara Jawa cetak pada waktu itu memerlukan dua kali lebih banyak kertas dibanding versi huruf Latin, sehingga produksi bacaan beraksara Jawa memerlukan waktu dan biaya yang lebih banyak dibanding bacaan berhuruf Latin. Karena alasan inilah, sejumlah penerbit seperti Balai Pustaka kian memilih huruf Latin untuk menekan biaya dan menjaga agar harga buku tetap terjangkau bagi masyarakat.[9] Meskipun begitu, masyarakat Jawa di awal abad 20 M cenderung tetap mempertahankan penggunaan aksara Jawa dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Dalam kegiatan surat-menyurat, sebagai contoh, penggunaan aksara Jawa dianggap lebih halus dan sopan ketimbang penggunaan huruf Latin, terutama dalam surat untuk orang yang lebih tua. Berbagai penerbit, termasuk Balai Pustaka sendiri, tetap mencetak berbagai buku, koran, dan majalah dalam aksara Jawa karena minat pembaca yang masih memadai meski terdapat kecendrungan pengurangan dari tahun ke tahun. Penggunaan aksara Jawa baru mengalami kemunduran yang signifikan ketika Jepang mulai menduduki Indonesia pada tahun 1942.[10] Beberapa penulis menyebutkan adanya aturan Jepang yang melarang penggunaan aksara lokal dalam ranah publik, meski hingga kini belum ditemukan dokumentasi atau catatan resmi dari larangan tersebut. Namun tidak dipungkuri bahwa penggunaan aksara Jawa memang mengalami kemuduran yang signifikan pada zaman pendudukan Jepang dan tidak berlanjut untuk waktu yang cukup lama karena ketidakstabilan kondisi negara di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Akibatnya, hanya sedikit dari tradisi tulis aksara Jawa pra-kemerdekaan yang masih tersisa pada masa pasca kemerdekaan.[11]
Penggunaan
Penggunaan Aksara Jawa | |
|
Selama kurang lebih 500 tahun antar abad 15 M hingga awal abad 20 M, aksara Jawa aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. Karena pengaruh sastra lisan yang kuat, sebagian besar tulisan sastra Jawa tradisional dirancang untuk dilantunkan dalam bentuk tembang.[7] Selain tradisi tulis, aksara Jawa cetak yang pertama kali ditemukan pada abad 19 M juga memungkinkan penggunaan aksara Jawa secara massal dalam berbagai macam bacaan sehari-hari yang mencakup namun tidak terbatas pada surat-surat, buku, koran, majalah, hingga pamflet, iklan, dan uang kertas.[8]
Penggunaan kontemporer
Aksara Jawa sampai sekarang masih diajarkan di sekolah-sekolah wilayah berbahasa Jawa[12] seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta, sebagai bagian dari muatan lokal kelas I SD hingga kelas XII SMA.[13][14] Walaupun demikian, penggunaan sehari-hari, seperti dalam media cetak atau televisi, masih sangat terbatas dan terdesak oleh penggunaan aksara Latin yang lebih mudah diakses. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa. Namun selain itu, usaha-usaha revivalisasi hanya bersifat simbolik dan tidak fungsional, seperti pada penulisan nama jalan. Salah satu penghambatnya adalah tidak adanya pengembangan ortografi dan tipografi aksara,[13] serta digitalisasi komputer yang sulit dilakukan karena kompleksitas aksara Jawa.
Pada bulan Februari 2020, PANDI yang bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mengajukan proposal kepada ICANN untuk membuat nama domain dengan aksara Jawa. Menurut PANDI, domain ini diperkirakan dapat digunakan pada pertengahan tahun 2020.[15][16]
Bentuk
Aksara
Aksara merupakan huruf pokok yang merepresentasikan satu suku kata. Aksara Jawa memiliki sekitar 45 aksara, namun tidak semuanya digunakan dengan setara; dalam perkembangannya, terdapat aksara yang tidak lagi digunakan sementara beberapa lainnya hanya digunakan pada konteks tertentu sehingga huruf-huruf dalam aksara Jawa dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsi dan penggunaannya.
Wyanjana
Aksara wyanjana (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Sebagai salah satu aksara turunan Brahmi, aksara Jawa pada awalnya memiliki 33 aksara wyanjana untuk menuliskan 33 bunyi konsonan yang digunakan dalam bahasa Sansekerta dan Kawi. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[17][18]
Tempat pelafalan | Pancawalimukha | Semivokal | Sibilan | Celah | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Nirsuara | Bersuara | Sengau | ||||||||
Velar | ꦏ ka |
ꦑ kha |
ꦒ ga |
ꦓ gha |
ꦔ ṅa1 |
ꦲ ha/a6 | ||||
Palatal | ꦕ ca |
ꦖ cha |
ꦗ ja |
ꦙ jha |
ꦚ ña2 |
ꦪ ya |
ꦯ śa5 |
|||
Retrofleks | ꦛ ṭa3 |
ꦜ ṭha |
ꦝ ḍa4 |
ꦞ ḍha |
ꦟ ṇa |
ꦫ ra |
ꦰ ṣa |
|||
Dental | ꦠ ta |
ꦡ tha |
ꦢ da |
ꦣ dha |
ꦤ na |
ꦭ la |
ꦱ sa |
|||
Labial | ꦥ pa |
ꦦ pha |
ꦧ ba |
ꦨ bha |
ꦩ ma |
ꦮ wa |
||||
Catatan
|
Dalam perkembangannya, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara wyanjana dalam deret Sansekerta-Kawi. Aksara Jawa modern hanya menggunakan 20 bunyi konsonan dan 20 aksara dasar yang kemudian disebut sebagai aksara nglegéna (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦔ꧀ꦭꦼꦒꦺꦤ). Sebagian aksara yang tersisa kemudian dialihfungsikan sebagai aksara murda (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦢ) untuk menuliskan gelar dan nama yang dihormati, baik nama tokoh legenda (misal Bima ꦨꦶꦩ) maupun nyata (misal Pakubuwana ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ).[19] Dari 20 aksara nglegéna, hanya 9 aksara yang mempunyai bentuk murda, oleh karena itu penggunaan murda tidak identik dengan penggunaan huruf kapital di dalam ejaan Latin;[19] apabila suku kata pertama suatu nama tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata kedua yang menggunakan murda. Apabila suku kata kedua juga tidak memiliki bentuk murda, maka suku kata ketiga yang menggunakan murda, begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan murda apabila memungkinkan. Dalam penulisan tradisional, penerapan murda tidaklah selalu konsisten dan pada dasarnya bersifat pilihan, sehingga nama seperti Gani dapat dieja ꦒꦤꦶ (tanpa murda), ꦓꦤꦶ (dengan murda di awal), atau ꦓꦟꦶ (seluruhnya menggunakan murda) tergantung dari latar belakang dan konteks penulisan yang bersangkutan. Sisa aksara yang tidak termasuk nglegéna maupun murda adalah aksara mahaprana. Aksara mahaprana tidak memiliki fungsi dalam penulisan Jawa modern dan hanya digunakan dalam penulisan bahasa Sansekerta-Kawi, meski relatif juga jarang muncul dalam kedua bahasa tersebut.[17][a]
ha/a | na | ca | ra | ka | da | ta | sa | wa | la | pa | ḍa | ja | ya | nya | ma | ga | ba | ṭa | nga | |||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Nglegéna | ꦲ | ꦤ | ꦕ | ꦫ | ꦏ | ꦢ | ꦠ | ꦱ | ꦮ | ꦭ | ꦥ | ꦝ | ꦗ | ꦪ | ꦚ | ꦩ | ꦒ | ꦧ | ꦛ | ꦔ | ||
Murda | ꦟ | ꦬ1 | ꦑ | ꦡ | ꦯ | ꦦ | ꦘ | ꦓ | ꦨ | |||||||||||||
Mahaprana | ꦖ | ꦣ | ꦰ | ꦞ | ꦙ | ꦜ | ||||||||||||||||
Catatan
|
Swara
Aksara swara (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦱ꧀ꦮꦫ) adalah aksara yang digunakan untuk menulis vokal murni. Pada awalnya, aksara Jawa memiliki 14 aksara vokal yang diwarisi dari tradisi tulis Sansekerta. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[18]
Tempat pelafalan | Pendek | Panjang | ||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Velar | ꦄ a |
ꦄꦴ ā | ||||||||
Palatal | ꦆ i |
ꦇ ī | ||||||||
Retrofleks | ꦉ ṛ/re1 |
ꦉꦴ ṝ2 | ||||||||
Dental | ꦊ ḷ/le3 |
ꦋ ḹ4 | ||||||||
Labial | ꦈ u |
ꦈꦴ ū | ||||||||
Velar-Palatal | ꦌ é5 |
ꦍ ai6 | ||||||||
Velar-Labial | ꦎ o |
ꦎꦴ au7 | ||||||||
Catatan
|
Sebagaimana aksara wyanjana, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara swara dalam deret Sansekerta-Kawi, dan kini hanya aksara untuk vokal pendek yang umumnya diajarkan. Dalam penulisan modern, aksara swara digunakan untuk menggantikan aksara wyanjana ha ꦲ (yang pelafalannya bisa jadi ambigu karena berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/) pada nama atau istilah asing yang pelafalannya perlu dipertegas.[22]
Pa cerek ꦉ, pa cerek dirgha ꦉꦴ, nga lelet ꦊ, dan nga lelet raswadi ꦋ adalah konsonan silabis yang dalam bahasa Sansekerta hanya digunakan pada beberapa kasus spesifik sebagai pelengkap sistem fonologi Pāṇini.[21] Ketika digunakan untuk bahasa selain Sansekerta, pelafalan keempat aksara ini seringkali bervariasi. Dalam perkembangan bahasa Jawa modern, hanya pa cerek dan nga lelet yang digunakan; pa cerek dilafalkan /rə/ (sebagaimana re dalam kata "remah") sementara nga lelet dilafalkan /lə/ (sebagaimana le dalam kata "lemah"). Dalam pengajaran modern, aksara ini seringkali dipisahkan dari aksara swara menjadi kategori sendiri yang disebut aksara gantèn. Kedua aksara ini wajib digunakan untuk mengganti tiap kombinasi ra+pepet (ꦫꦼ → ꦉ) serta la+pepet (ꦭꦼ → ꦊ) tanpa terkecuali.[23]
Rékan
Aksara rékan (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦫꦺꦏꦤ꧀) adalah aksara tambahan yang digunakan untuk menulis bunyi asing.[24] Aksara ini pada awalnya dikembangkan untuk menuliskan kata serapan dari bahasa Arab, kemudian diadaptasi pula untuk kata serapan dari bahasa-bahasa Eropa seperti bahasa Belanda dan Inggris. Sebagian besar aksara rékan dibentuk dengan menambahkan diakritik cecak telu pada aksara yang bunyinya dianggap paling mendekati dengan bunyi asing yang bersangkutan. Sebagai contoh, aksara rékan fa ꦥ꦳ dibentuk dengan menambahkan cecak telu pada aksara wyanjana pa ꦥ. Kombinasi wyanjana dan ekivalen bunyi asing tiap rékan bisa jadi berbeda-beda antar penulis. Beberapa aksara rékan dapat dilihat sebagaimana berikut:[25]
ḥa | kha | qa | dza | sya | fa/va | dha | za | gha | tha | 'a | ||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Aksara Jawa | ꦲ꦳ | ꦏ꦳ | ꦐ1 | ꦢ꦳ | ꦱ꦳ | ꦥ꦳ | ꦝ꦳ | ꦗ꦳ | ꦒ꦳ | ꦛ꦳ | ꦔ꦳ | |||||||||||
Abjad Arab | ح | خ | ق | ذ | ش | ف | ض | ز | غ | ط | ع | |||||||||||
Catatan
|
Diakritik
Diakritik (sanḍangan ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀) adalah tanda yang melekat pada aksara untuk mengubah vokal inheren aksara yang bersangkutan. Sebagaimana aksara, diakritik Jawa juga dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok tergantung dari fungsi dan penggunaannya.
Swara
Sanḍangan swara (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦱ꧀ꦮꦫ) adalah sanḍangan yang digunakan untuk merubah vokal inheren /a/ menjadi vokal lainnya sebagaimana berikut:[26]
Pendek | Panjang | ||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
-a | -i | -u | -é[1] | -o | -e[2] | -ā | -ī | -ū | -ai[3] | -au[4] | -eu[5] |
- | ꦶ | ꦸ | ꦺ | ꦺꦴ | ꦼ | ꦴ | ꦷ | ꦹ | ꦻ | ꦻꦴ | ꦼꦴ |
- | wulu | suku | taling | taling-tarung | pepet | tarung | wulu melik | suku mendut | dirga muré | dirga muré-tarung | pepet-tarung |
ka | ki | ku | ké | ko | ke | kā | kī | kū | kai | kau | keu |
ꦏ | ꦏꦶ | ꦏꦸ | ꦏꦺ | ꦏꦺꦴ | ꦏꦼ | ꦏꦴ | ꦏꦷ | ꦏꦹ | ꦏꦻ | ꦭꦻꦴ | ꦏꦼꦴ |
Catatan
|
Panyigeging wanda
Sanḍangan panyigeging wanda (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦥꦚꦶꦒꦼꦒꦶꦁꦮꦤ꧀ꦢ) digunakan untuk menutup suatu suku kata dengan konsonan, sebagaimana berikut:[27]
-m[1] | -ng | -r | -h | pemati | |
---|---|---|---|---|---|
ꦀ | ꦁ | ꦂ | ꦃ | ꧀ | |
panyangga | cecak | layar | wignyan | pangkon | |
kam | kang | kar | kah | k | |
ꦏꦀ | ꦏꦁ | ꦏꦂ | ꦏꦃ | ꦏ꧀ | |
Catatan
|
Wyanjana
Sanḍangan wyanjana (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) digunakan untuk menuliskan gugus konsonan dengan semivokal dalam satu suku kata, sebagaimana berikut:[28]
-re | -y- | -r- | -l- | -w- |
---|---|---|---|---|
ꦽ | ꦾ | ꦿ | ꧀ꦭ | ꧀ꦮ |
keret | pengkal | cakra | panjingan la | gembung |
kre | kya | kra | kla | kwa |
ꦏꦽ | ꦏꦾ | ꦏꦿ | ꦏ꧀ꦭ | ꦏ꧀ꦮ |
Pasangan
Vokal inheren dari tiap aksara dasar dapat dimatikan dengan penggunaan diaktrik pangkon. Namun begitu pangkon normalnya tidak digunakan di tengah kata atau kalimat, sehingga untuk menuliskan suku kata tertutup di tengah kata dan kalimat, digunakanlah bentuk pasangan (ꦥꦱꦔꦤ꧀) yang dimiliki oleh setiap aksara dasar. Apabila suatu pasangan melekat pada aksara dasar, maka vokal inheren aksara yang bersangkutan akan mati. Bentuknya sebagaimana berikut:
ha/a | na | ca | ra | ka | da | ta | sa | wa | la | pa | ḍa | ja | ya | nya | ma | ga | ba | ṭa | nga | |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Nglegéna | ꦲ ꧀ꦲ |
ꦤ ꧀ꦤ |
ꦕ ꧀ꦕ |
ꦫ ꧀ꦫ |
ꦏ ꧀ꦏ |
ꦢ ꧀ꦢ |
ꦠ ꧀ꦠ |
ꦱ ꧀ꦱ |
ꦮ ꧀ꦮ |
ꦭ ꧀ꦭ |
ꦥ ꧀ꦥ |
ꦝ ꧀ꦝ |
ꦗ ꧀ꦗ |
ꦪ ꧀ꦪ |
ꦚ ꧀ꦚ |
ꦩ ꧀ꦩ |
ꦒ ꧀ꦒ |
ꦧ ꧀ꦧ |
ꦛ ꧀ꦛ |
ꦔ ꧀ꦔ |
Murda | ꦟ ꧀ꦟ |
ꦬ ꧀ꦬ |
ꦑ ꧀ꦑ |
ꦡ ꧀ꦡ |
ꦯ ꧀ꦯ |
ꦦ ꧀ꦦ |
ꦘ ꧀ꦘ |
ꦓ ꧀ꦓ |
ꦨ ꧀ꦨ |
|||||||||||
Mahaprana | ꦖ ꧀ꦖ |
ꦣ ꧀ꦣ |
ꦰ ꧀ꦰ |
ꦞ ꧀ꦞ |
ꦙ ꧀ꦙ |
ꦜ ꧀ꦜ |
Angka
0 | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
꧐ | ꧑ | ꧒ | ꧓ | ꧔ | ꧕ | ꧖ | ꧗ | ꧘ | ꧙ |
Tanda baca
Dalam aksara Jawa, tanda baca yang tersedia hanya koma, titik, dan pengapit (berfungsi sebagai tanda kurung atau tanda petik, dengan perbedaan aturan penulisan). Dibanding dengan alfabet Latin, aksara Jawa tidak memiliki tanda seru, tanda tanya, tanda hubung, garis miring, titik dua, titik koma, petik tunggal maupun simbol-simbol matematika umum, seperti tambah, kurang, sama dengan. Namun, aksara Jawa memiliki tanda baca-tanda baca khusus yang tidak terdapat dalam sistem penulisan lainnya.
Secara sederhana, tanda baca dapat dibedakan menjadi dua: umum dan khusus. Tanda baca umum digunakan di penulisan biasa, sementara tanda baca khusus digunakan dalam penulisan karya sastra (puisi, dll.)
pada lingsa | ꧈ | Koma |
---|---|---|
pada lungsi | ꧉ | Titik |
adeg | ꧊ | Tanda kurung atau petik |
adeg-adeg | ꧋ | Pembuka paragraf |
pisélèh | ꧌...꧍ | Tanda kurung atau petik |
rerenggan | ꧁...꧂ | Pengapit judul |
pangkat | ꧇ | Titik dua |
rangkap | ꧏ | Tanda pengulangan kata |
tirta tumétès | ꧞ | Tanda koreksi |
isèn-isèn | ꧟ | Tanda koreksi |
pada guru | ꧋꧆꧋ | Pengawal surat |
pada pancak | ꧉꧆꧉ | Pengakhir surat |
pada anḍap | ꧃ | Pengawal surat |
---|---|---|
pada madya | ꧄ | Pengawal surat |
pada luhur | ꧅ | Pengawal surat |
purwapada | ꧅ ꦧ꧀ꦖ ꧅ | Pengawal tembang |
madyapada | ꧅ ꦟ꧀ꦢꦿ ꧅ | Pergantian tembang |
wasanapada | ꧅ ꦆ ꧅ | Pengakhir tembang |
Pengurutan
Aksara Jawa modern umum diurutkan menggunakan deret Hanacaraka yang dinamakan berdasarkan empat aksara pertama dalam deret tersebut. Dalam urutan tersebut, ke-20 aksara nglegèna yang digunakan dalam bahasa Jawa modern membentuk sebuah pangram yang menceritakan tokoh legendaris Aji Saka. Deret ini merupakan deret yang paling banyak digunakan dan dikenal oleh kebanyakan masyarakat Jawa.[29]
ꦲꦤꦕꦫꦏ | ꦢꦠꦱꦮꦭ | ꦥꦝꦗꦪꦚ | ꦩꦒꦧꦛꦔ |
(h)ana caraka ada dua utusan |
data sawala yang berselisih pendapat |
paḍa jayanya sama kuatnya |
maga baṭanga inilah mayat mereka |
Deret hanacaraka bukanlah satu-satunya cara untuk mengurutkan aksara Jawa. Untuk penulisan bahasa Sansekerta dan Kawi yang memerlukan 33 aksara dasar, aksara Jawa dapat diurutkan berdasarkan tempat pelafalannya (warga) menurut prinsip fonologi Sansekerta yang pertama kali dijabarkan oleh Pāṇini.[18][29] Deret ini, yang kadang disebut deret Kaganga berdasarkan empat aksara pertamanya, merupakan deret standar dalam aksara-aksara turunan Brahmi yang masih bisa digunakan untuk menulis bahasa Sansekerta, seperti aksara Devanagari, Tamil, Thai, dan Khmer. Deret ini masih digunakan dalam praktek penulisan aksara Bali kontemporer.
Pancawalimukha | Ardhasuara | Ūṣma | Wisarga | ||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Kaṇṭhya | Tālawya | Mūrdhanya | Dantya | Oṣṭhya | |||
ꦏꦑꦒꦓꦔ | ꦕꦖꦗꦙꦚ | ꦛꦜꦝꦞꦟ | ꦠꦡꦢꦣꦤ | ꦥꦦꦧꦨꦩ | ꦪꦫꦭꦮ | ꦯꦰꦱ | ꦲ |
ka kha ga gha nga | ca cha ja jha nya | ṭa ṭha ḍa ḍha ṇa | ta tha da dha na | pa pha ba bha ma | ya ra la wa | śa ṣa sa | ha |
Contoh teks
Berikut adalah cuplikan dari Kakawin Rāmāyaṇa yang dicetak pada tahun 1900 dengan bahasa dan ejaan Kawi.[30]
Pada | Bahasa Jawa | Bahasa Indonesia | |
---|---|---|---|
Aksara Jawa | Latin | ||
XVI 31 |
꧅ꦗꦲ꧀ꦤꦷꦪꦴꦲ꧀ꦤꦶꦁꦠꦭꦒꦏꦢꦶꦭꦔꦶꦠ꧀꧈ ꦩꦩ꧀ꦧꦁꦠꦁꦥꦴꦱ꧀ꦮꦸꦭꦤꦸꦥꦩꦤꦶꦏꦴ꧈ ꦮꦶꦤ꧀ꦠꦁꦠꦸꦭꦾꦁꦏꦸꦱꦸꦩꦪꦱꦸꦩꦮꦸꦫ꧀꧈ ꦭꦸꦩꦿꦴꦥ꧀ꦮꦺꦏꦁꦱꦫꦶꦏꦢꦶꦗꦭꦢ꧉ | Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwekang sari kadi jalada. | Air jernih telaga bagaikan langit, seekor kura-kura mengambang di dalamnya bagai bulan, bintangnya adalah bunga-bunga yang bertebaran, menyebarlah sarinya bagaikan awan |
Berikut adalah cuplikan Serat Katuranggan Kucing yang dicetak pada tahun 1871 dengan bahasa dan ejaan Jawa modern.[31]
Pada | Bahasa Jawa | Bahasa Indonesia | |
---|---|---|---|
Aksara Jawa | Latin | ||
7 | ꧅ꦭꦩꦸꦤ꧀ꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ ꦲꦮꦏ꧀ꦏꦺꦲꦶꦉꦁꦱꦢꦪ꧈ ꦭꦩ꧀ꦧꦸꦁꦏꦶꦮꦠꦺꦩ꧀ꦧꦺꦴꦁꦥꦸꦠꦶꦃ꧈ ꦊꦏ꧀ꦱꦤꦤ꧀ꦤꦶꦫꦥꦿꦪꦺꦴꦒ꧈ ꦲꦫꦤ꧀ꦮꦸꦭꦤ꧀ꦏꦿꦲꦶꦤꦤ꧀꧈ ꦠꦶꦤꦼꦏꦤꦤ꧀ꦱꦱꦼꦢꦾꦤ꧀ꦤꦶꦥꦸꦤ꧀꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦭꦁꦏꦸꦁꦲꦸꦠꦩ꧈ | Lamun sira ngingu kucing, awaké ireng sadaya, lambung kiwa témbong putih, leksan nira prayoga, aran wulan krahinan, tinekanan sasedyan nira ipun, yén buṇḍel langkung utama | 7. Kucing yang berwarna hitam semua tetapi perut sebelah kirinya terdapat témbong (bercak) putih disebut wulan krahinan. Kucing ini membawa kebaikan berupa tercapainya semua keinginan. Lebih baik jika ekornya buṇḍel (membulat). |
8 | ꧅ꦲꦗꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ ꦭꦸꦫꦶꦏ꧀ꦲꦶꦉꦁꦧꦸꦤ꧀ꦠꦸꦠ꧀ꦥꦚ꧀ꦗꦁ꧈ ꦥꦸꦤꦶꦏꦲꦮꦺꦴꦤ꧀ꦭꦩꦠ꧀ꦠꦺ꧈ ꦱꦼꦏꦼꦭꦤ꧀ꦱꦿꦶꦁꦠꦸꦏꦂꦫꦤ꧀꧈ ꦲꦫꦤ꧀ꦝꦣꦁꦱꦸꦁꦏꦮ꧈ ꦥꦤ꧀ꦲꦢꦺꦴꦃꦫꦶꦗꦼꦏꦶꦤꦶꦥꦸꦤ꧀꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦤꦺꦴꦫꦔꦥꦲ꧈ | Aja sira ngingu kucing, lurik ireng buntut panjang, punika awon lamaté, sekelan sring tukaran, aran ḍaḍang sungkawa, pan adoh rijeki nipun, yén buṇḍel nora ngapa | 8. Kucing dengan bulu lurik hitam berekor panjang jangan dipelihara. Kucing itu disebut ḍaḍang sungkawa. Kehidupanmu akan sering bertengkar dan jauh dari rizki. Apabila ekornya buṇḍel, maka tidak masalah. |
Blok Unicode
Aksara Jawa resmi dimasukkan ke dalam Unicode sejak Oktober 2009 dengan dirilisnya Unicode versi 5.2. Blok Unicode aksara Jawa terletak pada kode U+A980–U+A9DF. Terdapat 91 kode yang mencakup 53 huruf, 19 tanda baca, 10 angka, dan 9 vokal. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.
Javanese[1][2] Bagan kode resmi Unicode Consortium (PDF) | ||||||||||||||||
0 | 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | A | B | C | D | E | F | |
U+A98x | ꦀ | ꦁ | ꦂ | ꦃ | ꦄ | ꦅ | ꦆ | ꦇ | ꦈ | ꦉ | ꦊ | ꦋ | ꦌ | ꦍ | ꦎ | ꦏ |
U+A99x | ꦐ | ꦑ | ꦒ | ꦓ | ꦔ | ꦕ | ꦖ | ꦗ | ꦘ | ꦙ | ꦚ | ꦛ | ꦜ | ꦝ | ꦞ | ꦟ |
U+A9Ax | ꦠ | ꦡ | ꦢ | ꦣ | ꦤ | ꦥ | ꦦ | ꦧ | ꦨ | ꦩ | ꦪ | ꦫ | ꦬ | ꦭ | ꦮ | ꦯ |
U+A9Bx | ꦰ | ꦱ | ꦲ | ꦳ | ꦴ | ꦵ | ꦶ | ꦷ | ꦸ | ꦹ | ꦺ | ꦻ | ꦼ | ꦽ | ꦾ | ꦿ |
U+A9Cx | ꧀ | ꧁ | ꧂ | ꧃ | ꧄ | ꧅ | ꧆ | ꧇ | ꧈ | ꧉ | ꧊ | ꧋ | ꧌ | ꧍ | ꧏ | |
U+A9Dx | ꧐ | ꧑ | ꧒ | ꧓ | ꧔ | ꧕ | ꧖ | ꧗ | ꧘ | ꧙ | ꧞ | ꧟ | ||||
Catatan |
Galeri
|
Lihat pula
Catatan
Rujukan
- ^ Behrend 1996, hlm. 161.
- ^ Everson 2008, hlm. 1.
- ^ Holle, K F (1882). "Tabel van oud-en nieuw-Indische alphabetten". Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie. Batavia: W. Bruining.
- ^ Casparis, J G de (1975). Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500. 4. Brill. ISBN 9004041729.
- ^ Campbell, George L. (2000). Compendium of the World's Languages. 1. New York: Routledge.
- ^ a b Behrend 1996, hlm. 161-162.
- ^ a b Behrend 1996, hlm. 167-169.
- ^ a b Mollen & 200, hlm. 154-158.
- ^ Robson 2011, hlm. 25.
- ^ Hadiwidjana, R. D. S. (1967). Tata-sastra: ngewrat rembag 4 bab : titi-wara tuwin aksara, titi-tembung, titi-ukara, titi-basa. U.P. Indonesia.
- ^ Robson 2011, hlm. 27-28.
- ^ Bahasa Jawa? Ih, "Boring" Banget. Kompas daring 25-09-2006. Diakses 6-5-2009.
- ^ a b Abdul Wahab. Masa depan bahasa, sastra, dan aksara daerah. Nawala.
- ^ Sy, Zulfikar (2016-11-09). "Bahasa Jawa Jadi Muatan Lokal Wajib". MerahPutih. Diakses tanggal 2019-09-24.
- ^ Fauzan Jamaludin (31 Januari 2020). "PANDI Siapkan Domain Aksara Jawa Bisa Digunakan Pertengahan Tahun 2020". MERDEKA.com. Diakses tanggal 01 Februari 2020.
- ^ Arindra Meodia (31 Januari 2020). Alviansyah Pasaribu, ed. "PANDI berencana buat nama domain aksara Jawa". ANTARA News. Diakses tanggal 01 Februari 2020.
- ^ a b c Everson 2008, hlm. 1-2.
- ^ a b c Poerwadarminta, W J S (1930). Serat Mardi Kawi (PDF). 1. Solo: De Bliksem. hlm. 9-12.
- ^ a b Darusuprapta 2003, hlm. 11-13.
- ^ Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Robson, Stuart Owen, ed. Old Javanese-English Dictionary. Nijhoff. hlm. 1191, entri 11. ISBN 9024761786.
- ^ a b c Woodard, Roger D (2008). The Ancient Languages of Asia and the Americas. Cambridge University Press. hlm. 9. ISBN 0521684943.
- ^ Darusuprapta 2003, hlm. 13-15.
- ^ Darusuprapta 2003, hlm. 20.
- ^ Darusuprapta 2003, hlm. 16-17.
- ^ Hollander, J J de (1886). Handleiding bij de beoefening der Javaansche Taal en Letterkunde. Leiden: Brill. hlm. 3.
- ^ Darusuprapta 2003, hlm. 19-24.
- ^ Darusuprapta 2003, hlm. 24-28.
- ^ Darusuprapta 2003, hlm. 29-32.
- ^ a b Everson & 2008 5-6.
- ^ Kern, Hendrik (1900). Rāmāyaṇa Kakawin. Oudjavaansch heldendicht. ’s Gravenhage: Martinus Nijhoff.
- ^ Serat Katoerangganing ning Koetjing (ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦏꦠꦸꦫꦁꦒꦤ꧀ꦤꦶꦁꦏꦸꦠ꧀ꦕꦶꦁ), diterbitkan oleh Percetakan GCT Van Dorp & Co di Semarang, tahun 1871. Pindaian Google Books dari koleksi Perpustakaan Nasional Belanda, No 859 B33.
Daftar pustaka
- Behrend, T E (1996). "Textual Gateways: the Javanese Manuscript Tradition". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation. ISBN 0834803496.
- Darusuprapta (2003). Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara bekerja sama dengan Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Tingkat I Jawa Tengah, dan Daerah Tingkat I Jawa Tengah. ISBN 979-8628-00-4.
- Everson, Michael (2008-03-06). "Proposal for encoding the Javanese script in the UCS" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (N3319R3).
- Molen, Willem van der (1993). Javaans Schrift. Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Rijksuniversiteit te Leiden (dalam bahasa Belanda). Semaian 8. Leiden: Rijksuniversiteit te Leiden. ISBN 90 73084 09 1.
- Molen, Willem van der (2000). "Hoe Heft Zulks Kunnen Geschieden? Het Begin van de Javaanse Typografie". Dalam Bernard Arps. Woord en Schrift in de Oost. De betekenis van zending en missie voor de studie van taal en literatuur in Zuidoost-Azie (dalam bahasa Belanda). Semaian 19. Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Rijksuniversiteit te Leiden. hlm. 132-162. ISBN 9074956238.
- Robson, Stuart Owen (2011). "Javanese script as cultural artifact: Historical background". RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs. 45 (1-2): 9-36.
- Rochkyatmo, Amir (1996-01-01). Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Pranala luar
Naskah digital
- Babad Mataram dan Babad ing Sangkala (1738), koleksi British Library no. MSS Jav 36
- Kumpulan dokumen Kraton Yogyakarta (1786-1812), koleksi British Library no. Add Ms 12341
- Papakem Pawukon dari Bupati Sepuh Demak di Bogor (1814), koleksi British Library no. Or 15932
- Pitutur Hamengkubuwana I (1812), koleksi British Library no. Add MS 12337
- Raffles Paper vol III, kumpulan surat-surat yang diterima Raffles dari penguasa-penguasa Jawa pada tahun 1816, koleksi British Library no. Add MS 45273
- Serat Jaya Lengkara Wulang (1803), koleksi British Library no. MSS Jav 24
- Serat Selarasa (1804), koleksi British Library no. MSS Jav 28
- Usana Bali (1870) salinan Jawa dari sebuah lontar Bali berjudul sama, koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia no. CS 152
Pedoman penulisan
- Wewaton Sriwedari (1926)
- Serat Mardi Kawi vol 1 (1930), vol 2 (1931), dan vol 3 (1931)
- Pedoman Penulisan Aksara Jawa (2002)