Undang-Undang Pornografi

Pornografi
Revisi sejak 23 September 2008 04.39 oleh 61.94.124.247 (bicara) (sebuah ancang-ancang untuk diskriminasi)

Rancangan Undang-Undang Pornografi (sebelumnya bernama Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi, disingkat RUU APP) adalah suatu rancangan produk hukum berbentuk undang-undang yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mengatur mengenai pornografi (dan pornoaksi pada awalnya). RUU ini direncanakan akan disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada 23 September 2008.[1]

RUU APP menyulut kontroversi

Pembahasan akan RUU APP ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR.[2] Dalam perjalanannya draf RUU APP pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal. Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum". Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) sehingga secara harafiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur".

Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal.[3]

Pada RUU Pornografi, defisini pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP, dengan memasukkan definisi "gerak tubuh". [4]

Rancangan terakhir RUU ini masih menimbulkan kontroversi, banyak elemen masyarakat dari berbagai daerah (seperti Bali, NTT, Sulawesi Utara, Sumatra Utara, dan Papus), LSM perempuan yang masih menolak RUU ini [5][6] .

Panitia khusus DPR

Panitia khusus DPR untuk RUU Antipornografi dan Pornoaksi ini diketuai oleh Balkan Kaplale dari Partai Demokrat.

Draf RUU APP adalah warisan dari Komisi VI DPR Periode 1999-2004. Pada Periode 2004-2009 awalnya RUU APP ini tidak tercantum dalam prolegnas, tapi kemudian masuk lewat Komisi VIII DPR, lalu dibahas di Badan Musyawarah DPR (Bamus). Bamus kemudian menyepakati RUU tersebut untuk dibawa ke Sidang paripurna DPR. Paripurna kemudian menerima usulan tersebut dan menugaskan panitia khusus (Pansus) untuk membahas. RUU APP ditetapkan oleh Rapat Paripurna DPR periode 1999-2004 sebagai RUU usul inisiatif DPR tanggal 23 September tahun 2003. Polemik keras dan aksi-aksi di masyarakat yang menyulut kekerasan antara pihak yang menolak dan menerima membuat DPR memutuskan untuk menarik dan menyusun kembali draf RUU APP.

DPR periode 2005-2009 memasukkan RUU itu ke dalam Prioritas Prolegnas. RUU ini dibahas secara cepat. Pada tanggal 27 September 2005 terbentuk Panitia Khusus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.

Pada Maret 2006, 10 anggota Pansus RUU Antipornografi menandatangani pernyataan penolakan terhadap Ketua Pansus RUU, Balkan Kaplale karena telah melakukan kebohongan publik, atas pernyataannya di media massa yang membuat masyarakat bingung. [1] [2] [3]

8 Juni 2006, Latifah Iskandar dari fraksi PAN, seorang anggota pansus, mengatakan bahwa DPR saat ini belum pernah merevisi draft RUU APP yang lama. RUU tersebut saat ini baru ditangani oleh tim perumus yang tugasnya antara lain memberi perhatian dan melakukan koreksi atas redaksional RUU ini. Setelah Tim Perumus selesai melakukan tugasnya, baru kemudian RUU itu bisa dibahas subtansinya kembali oleh Pansus. Jadi Pansuslah yang berhak memotong, menambah atau mengganti pasal-pasal yang ada dalam RUU itu.

Tim Perumus merampungkan Naskah Akademik dan RUU Pornografi tanggal 13 Desember 2007.

Ketentuan pornoaksi kemudian dihilangkan dan RUU diperbaiki menjadi RUU tentang Pornografi. Panitia Khusus mengesahkannya pada tanggal 4 Juli 2007. Surat Presiden diajukan ke DPR pada tanggal 20 September 2007 dan rapat dengar pendapat pertama dengan pemerintah dilakukan pada 8 November 2007.

Daftar inventarisasi masalah (DIM) sandingan Pemerintah dan DPR tak dibahas dalam Pansus, terutama untuk pasal- pasal berbeda. Pembahasannya dilimpahkan ke Panitia Kerja (Panja) yang sifatnya tertutup dan berlangsung selama kurang lebih satu bulan (Juni 2008). Banyak rapat tidak memenuhi kuorum, artinya hanya diikuti kurang dari 50 persen anggota Pansus maupun panja.[7]

Kontroversi

Isi pasal RUU APP ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Kelompok yang mendukung diantaranya MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. MUI mengatakan bahwa pakaian adat yang mempertontonkan aurat sebaiknya disimpan di museum [4]. Sedangkan kelompok yang menentang berasal dari aktivis perempuan (feminisme), seniman, artis, budayawan, dan akademisi.

Dari sisi substansi, RUU ini dianggap masih mengandung sejumlah persoalan, antara lain RUU ini mengandung atau memuat kata-kata atau kalimat yang ambigu, tidak jelas, atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Misalnya, eksploitasi seksual, erotis, kecabulan, ketelanjangan, aurat, gerakan yang menyerupai hubungan seksual, gerakan menyerupai masturbasi, dan lain-lain.

Pihak yang menolak mengatakan bahwa pornografi yang merupakan bentuk eksploitasi berlebihan atas seksualitas, melalui majalah, buku, film dan sebagainya, memang harus ditolak dengan tegas. Tapi tidak menyetujui bahwa untuk mencegah dan menghentikan pornografi lewat sebuah undang-undang yang hendak mengatur moral dan akhlak manusia Indonesia secara pukul rata, seperti yang tertera dalam RUU APP atau RUU Porno ini, tapi seharusnya lebih mengatur penyebaran barang-barang pornografi dan bukannya mengatur soal moral dan etika manusia Indonesia.

Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada draft terakhir RUU Pornografi menyebutkan, pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang. [8][9]


Penyeragaman budaya

RUU ini juga dianggap tidak mengakui kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, etnis dan agama. RUU dilandasi anggapan bahwa negara dapat mengatur moral serta etika seluruh rakyat Indonesia lewat pengaturan cara berpakaian dan bertingkah laku berdasarkan paham satu kelompok masyarakat saja. Padahal negara Indonesia terdiri diatas kesepakatan ratusan suku bangsa yang beraneka ragam adat budayanya. Ratusan suku bangsa itu mempunyai norma-norma dan cara pandang berbeda mengenai kepatutan dan tata susila.

Tapi persepsi yang berbeda tampak pada pandangan penyusun dan pendukung RUU ini. Mereka berpendapat RUU APP sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengubah tatanan budaya Indonesia, tetapi untuk membentengi ekses negatif pergeseran norma yang efeknya semakin terlihat akhir-akhir ini. Karena itulah terdapat salah satu eksepsi pelaksanaannya yaitu yang menyatakan adat-istiadat ataupun kegiatan yang sesuai dengan pengamalan beragama tidak bisa dikenai sanksi, sementara untuk pertunjukan seni dan kegiatan olahraga harus dilakukan di tempat khusus pertunjukan seni atau gedung olahraga (Pasal 36), dan semuanya tetap harus mendapatkan ijin dari pemerintah dahulu (Pasal 37).

Rumusan dalam RUU APP tersebut dikhawatirkan akan dapat menjadikan seorang yang pada resepsi pernikahan memakai baju kebaya yang sedikit terbuka di bagian dada, dapat dikenakan sanksi paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun atau denda paling sedikit Rp. 200 Juta dan paling banyak Rp. 1 milyar, karena resepsi pernikahan bukanlah upacara kebudayaan atau upacara keagamaan. Sedangkan seseorang yang lari pagi di jalanan atau di lapangan dengan celana pendek dikhawatirkan akan bisa dinyatakan melanggar hukum, karena tidak dilakukan di gedung olahraga.

Menyudutkan perempuan

RUU dipandang menganggap bahwa kerusakan moral bangsa disebabkan karena kaum perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan sebagai pihak yang bersalah. Perempuan juga dianggap bertanggungjawab terhadap kejahatan seksual.

Menurut logika patriarkis di dalam RUU ini, seksualitas dan tubuh penyebab pornografi dan pornoaksi merupakan seksualitas dan tubuh perempuan. Bahwa dengan membatasi seksualitas dan tubuh perempuan maka akhlak mulia, kepribadian luhur, kelestarian tatanan hidup masyarakat tidak akan terancam. Seksualitas dan tubuh perempuan dianggap kotor dan merusak moral.

Sedangkan bagi pendukungnya, undang-undang ini dianggap sebagai tindakan preventif yang tidak berbeda dengan undang-undang yang berlaku umum di masyarakat.

 
Aksi Budaya tolak RUU APP

RUU PORNOGRAFI: SEBUAH ANCANG-ANCANG UNTUK DISKRIMINASI TERHADAP GENDER, AGAMA (MINORITAS) DAN BUDAYA Oleh : Winner Jhonshon, S.H.*

Pendahuluan

Pornografi, memang ternyata telah menjadi masalah bagi dunia, bukan hanya Indonesia tapi juga diberbagai negara, baik itu negara yang bercirikan ‘timur’ yang memiliki kekhasan dengan sopan santun dan nilai-nilai yang masih terjaga berdasarkan adat istiadat setempat, maupun negara yang bercirikan ‘barat’, yang digambarkan hidup dalam kebebasan dan individualisme, yang percaya bahwa sepanjang sesuatu hal tidak merugikan orang lain, maka hal tersebut boleh-boleh saja berjalan dan dilakukan (believe in private rights). Amandemen pertama Konstitusi Amerika, menganut kebebasan individual ini (Bernard Schwartz : 1990 : 130-157)). Pemikiran ini didasari atas logika hukum Kantian, yaitu bahwa kebebasan seseorang hanya dapat dibatasi oleh kebebasan orang lain. Jika perilaku seseorang melukai kebebasan orang lain, maka hal tersebut merupakan pelanggaran hukum (bandingkan Theo Huijbers : 1982 : 98). Hal ini juga yang diadopsi dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Disana dicantumkan bahwa manusia memang terlahir secara bebas, dan hidup dalam kebebasan (art. 1-3). Dalam konteks penghargaan terhadap individu, maka tentunya hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan individu, jika kita kaitkan dengan deklarasi tersebut, mestilah tidak dapat dikenakan sanksi secara hukum, sepanjang perbuatannya itu tidak merugikan atau mengganggu kebebasan dan hak-hak asasi orang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama terlihat di negara-negara Barat semacam Amerika – yang selama ini menjadi acuan bagi demokrasi dan persamaan di muka hukum - , ternyata mengenai pornografi, ada hal yang agak berbeda. Di Amerika, bukan hanya pornografi, tetapi juga kecabulan (obscenity) telah menjadi objek pelanggaran hukum. Pada tahun 1957, dalam sebuah perkara yang kemudian menjadi dasar bagi berlakunya aturan tentang larangan pornografi dan kecabulan, Hakim William Brennan menyatakan bahwa kecabulan merupakan sebuah bentuk ‘pembicaraan rendahan’ (lower value speech) yang tidak dilindungi oleh Amandemen Pertama Konstitusi Amerika (Jethro K. Lieberman : 1992 : 354). Dalam pengertian ini, maka ada batasan yang ditambahkan dalam istilah hukum di Amerika selain pornografi, yaitu kecabulan (yang tidak kita temui di rancangan UU Pornografi, tetapi secara brutal ditempelkan dalam pengertian pornografi). Perlu diketahui, bahwa dengan adanya klausul obscenity ini, maka yang dibatasi di Amerika adalah bukan hanya pornografi (porno-graphy) yang konteksnya lebih kepada gambar atau visualisasi, namun juga kecabulan yang audibel atau hanya bermuatan audio (suara). Hal ini menunjukkan bahwa ada bagian spesifik yang juga dilarang, dan terpisah dari pengertian pornografi. Dalam fase selanjutnya pada perkembangan hukum di Amerika, pornografi dan kecabulan telah menjadi bagian yang turut meramaikan khasanah persengketaan di Amerika. Pada tahun 1960, Hakim Burger (Warren Burger) mulai memberikan beberapa ukuran untuk sebuah perbuatan (action) dikategorikan sebagai kecabulan atau pornografi yaitu bahwa sesuatu dapat dikategorikan sebagai pornografi atau kecabulan jika tema dominan dari sebuah tindakan atau karya tersebut secara kumulatif (Lieberman, op.cit. : 355) : 1. Mendorong secara nyata berahi dan keinginan untuk melakukan hubungan sex ; 2. Secara nyata bersifat ofensif terhadap nilai-nilai didalam masyarakat (community) dan menghina standar dalam masyarakat menyangkut gambaran mengenai materi seksual ; 3. mengakibatkan hilangnya sama sekali nilai-nilai sosial dalam masyarakat ; Perlu dicatat, bahwa yang menjadi titik penilaiannya adalah ‘tema dominan’. Pengertiannya adalah misalnya Jika dalam sebuah alur cerita film misalnya ada adegan yang memuat hal-hal yang berbau sex, maka sepanjang ceritanya memang bukan ditujukan untuk itu dan adegan tersebut hanya untuk menggambarkan keadaan sebenarnya tanpa unsur yang vulgar (atau di dalam konteks Amerika, dikenal dengan nama hardcore sex material), maka hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah penayangan pornografi. Jadi, memang ada batasan mengenai apa yang dimaksud dengan pornografi dan kecabulan. Dalam peraturan mengenai pornografi, Amerika menerapkan lebih banyak aturan yang membatasi materi seksualitas, baik dari content (isi) maupun juga distribusinya, yang ditujukan untuk melindungi anak-anak dibawah umur. Berbagai peraturan kemudian muncul sebagai alat bagi perlindungan anak-anak dari pornografi. Aturan-aturan tersebut terpisah dari aturan-aturan yang mengatur pornografi itu sendiri. Sesungguhnya muatan yang bersifat materi seksual, dalam konteks-konteks tertentu memang sudah menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia. Patung-patung Yunani yang menggambarkan dewa-dewi, sudah menggambarkan materi seksualitas. Di Mesir dan tanah Arab, gambaran dewa-dewi jaman awal Mesopotamia dan juga tarian perut, dikenal sebagai bagian dari kekayaan budaya. Demikian juga simbol-simbol yang kita kenal dalam cerita India, ada juga yang menunjukkan bagian-bagian dari tubuh yang terbuka. Pentas-pentas olahraga dan juga pentas-pentas musik untuk perdamaian, banyak juga yang memiliki nilai sensualitas. Lukisan-lukisan para pelukis ternama juga banyak yang menampilkan materi seksualitas. Bukan hanya itu, beberapa adegan dan sikap dalam berpakaian di berbagai belahan dunia juga memunculkan bagian-bagian terbuka dari tubuh, misal di Indonesia, adanya tarian-tarian yang menonjolkan liukan tubuh wanita, yang menonjolkan bagian-bagian sensual dari wanita, bahkan dalam pernikahan di berbagai amsyarakat adat, menunjukkan bahwa memang hal-hal yang menunjukkan bagian tubuh yang terbuka merupakan bagian dari budaya Indonesia. Dengan demikian maka materi seksualitas memang telah menjadi bagian dari kehidupan dunia dan juga kita di Indonesia.

Kontroversi dalam RUU Pornografi Rancangan undang-undang tentang pornografi, yang rencananya akan disahkan pada tanggal 23 September 2008 (atau, diundur) ini, nampaknya juga menyiratkan secara jelas keinginan untuk melakukan pembatasan terhadap ekspresi sensual dan materi-materi yang bersifat pornografi. Dalam salah satu klausul rancangan undang-undang ini mencantumkan dengan jelas salah satu landasan moral bagi undang-undang pornografi ini, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Jadi kita sekarang telah melihat bahwa secara ide undang-undang ini memang sangat diperlukan. Dalam tujuan sebagaimana tercantum pada Pasal 3 RUU ini, terlihat pula tujuan yang mulia, yaitu selain mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks, terdapat juga kepentingan untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak dan wanita (dari pornografi). Namun demikian, ternyata dalam rumusan-rumusan Pasal yang lain, kita akan menemukan kontradiksi, kesesatan berpikir dan berdefinisi, celah bagi ketidakpastian hukum maupun prosedur dan ketidakonsistenan dalam ayat-ayat rancangan undang-undang ini, salah satu kesesatan adalah muncul dalam pengertian mengenai pornografi, yang tidak mengikuti kaidah pengertian yang benar sebagaimana tergambar pada Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi:

” Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”

Dalam rumusan ini, ada beberapa hal yang perlu dikritisi, yaitu pengertian sebagai berikut : 1. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan.......................

Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa para pembuat undang-undang membuat suatu pengertian yang asal-asalan. Pengertian pornografi, jika diambil dari pengertian pornography, adalah berarti rumusannya adalah sesuatu hal yang bersifat grafis (graph). Dari sini saja pengertian ini sudah sesat. Mana mungkin suara suara dan bunyi bisa masuk dalam pengertian pornografi? Jelas sekali ini mengandung ketidakbenaran dalam berbahasa. Fuad Hassan mengatakan, jika seseorang sudah tidak benar dalam berbahasa, maka hal itu sudah menunjukkan bahwa dia juga sudah tidak benar dalam berpikir. Penjelasan mengenai hal ini tidak ada, jika kita mencari dari sumber RUU ini diberbagai website. Malah, penjelasan atas RUU ini dimulai dari Pasal 4. Padahal Pasal 1 ini memiliki masalah yang sangat besar dari segi bahasa dan definisi. Dan, tentunya akan memiliki implikasi yang serius bila dilanjutkan dalam tataran praktek pnerapan hukumnya. 2. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia....yang dapat membangkitkan hasrat seksual......

Mengenai materi seksualitas ini, tidak ada penjelasan apa itu materi seksualitas. Sebab jika kita melihat kepada Penjelasan Pasal 14 Undang-undang ini yang menjelaskan mengenai materi seksualitas, maka kita akan menemukan penjelasan yang justru berseberangan dengan pengertian pada Pasal 1 angka 1 ini. Inilah penjelasan Pasal 14 itu :

Yang dimaksud dengan "materi seksualitas" adalah materi yang tidak mengandung unsur yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau tidak melanggar kesusilaan dalam masyarakat, misalnya patung telanjang yang menggambarkan lingga dan yoni.

Jika kita bandingkan dengan pengertian Pada Pasal 1angka 1 tersebut, maka kita akan mendapatkan rumusan yang kontradiktif. Bagaimana mungkin, sebuah definisi dalam sebuah undang-undang bisa memiliki pengertian yang bertentangan pada saat yang sama? Yang satu dapat membangkitkan hasrat seksual, sementara menurut pengertian yang lain, adalah hal yang tidak membangkitkan ? jadi, kira-kira begini, ’pornografi adalah materi seksualitas yang dapat.....’, sementara pada frasa yang lain, ’materi seksualitas adalah materi yang tidak mengandung unsur yang dapat ........’ Jika kita buat preposisi logikanya kira-kira begini : A = B yang dapat mengakibatkan C (Pasal 1 angka 1) B = tidak dapat mengakibatkan C (Penjelasan Pasal 14) Jika digabungkan maka : A = yang dapat mengakibatkan C, yang tidak dapat mengakibatkan C

Bagaimana ini? Mungkin Prof. Jujun Suriasumantri (IPB), atau bahkan Prof I. Bambang Sugiharto (Fakultas Filsafat UNPAR) harus bantu kita untuk menjelaskan ini. Atau mungkin kita harus meminta arwah Prof. Drijarkara membantu kita (?) 3. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.

Rumusan ini jelas adalah rumusan yang sangat rentan terhadap multi tafsir. Apalagi jika penafsirannya diambil secara gramatikal, maka pastilah sangat berbahaya. Sebab, tingkat kebangkitan hasrat seksual tiap orang berbeda-beda. Warga Arab, pasti akan sangat cepat sekali terangsang dengan hal yang sedikit terbuka (merefer kepada banyaknya kasus perkosaan terhadap TKI kita di tanah Arab sana). Sedangkan orang Papua sama sekali cuek dengan fenomena ibu-ibu yang topless. Apalagi di Bali, yang setiap hari ada saja orang yang berjemur, namun saya belum pernah mendengar ada orang disana yang memperkosa orang yang sedang berjemur. Kalau diambil gambaran secara umum apa itu yang membangkitkan gairah seksual, maka pastilah tidak mungkin, sebab kita pasti harus menunjukkan kutub-kutub ekstrim yang luar biasa untuk mencapai kesepakatan itu. Seorang yang pergi ke tempat pelacuran, pastilah memang sudah meniatkannya, tanpa harus melihat gambar porno. Amerika bisa melakukan pendefinisian hal ini, karena sistem stare decisis memungkinkan untuk memberikan penjelasan yang panjang lebar, limitatif dan terukur setiap waktu mengenai pengertian pornografi. Juga sistem pragmatic legal realism memberikan kepada masyarakat kesempatan untuk menguji kembali putusan hakim dalam konteks yang berbeda (Harold J. Berman : 1972). Jika kita analogikan dengan prinsip eksak, maka dalam sistem stare decisis, jika ada perbedaan uraian dalam sebuah tindak pidana, maka referensi hukum untuk putusan akan berbeda. Jadi ada ukuran-ukuran yang logis dan ilmiah dalam pengertian-pengertian yang berkembang di Amerika (Dalam pengertian matematis, jika garis itu berbeda 0,0000000000000....derajat saja, maka tentunya akan membawa ke arah yang berbeda. Dan jangan lupa, sebagaimana telah diuraikan dalam pendahuluan diatas, di Amerika (penyebutan Amerika ini penting, karena Balkan Kaplale, anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat menyatakan di media bahwa studi banding terhadap pengaturan pornografi ini sudah dilakukan bahkan sampai ke Amerika, artinya beliau berusaha mendapatkan pembenaran dari sana) melakukan pembatasan secara terbatas dan strict enough sehingga menutup peluang bagi penafsiran yang terlalu luas. Di dalam putusan Hakim Warren menyangkut Fanny Hill case disana dinyatakan bahwa pornografi akan menjadi pelanggraan hukum, jika itu ternyata menjadi tema dominan (dominan theme ). Hal ini yang tidak kita temui dalam rumusan RUU Pornografi ini. Dan, itu pun dilakukan dalam sistem Anglo Saxon, yang berbeda dengan sistem eropa kontinental, dimana hakim lebih dominan merupakan corong undang-undang, sehingga jika dalam suatu undang-undang telah ditetapkan suatu pengertian yang multitafsir atau penafsiran yang terlalau luas (hatzaai artikelen) maka tidak ada kesempatan untuk melakukan pengujian di pengadilan, sebab pengadilan tentunya akan me-refer kepada penafsiran gramatikal terlebih dahulu, sebagaimana praktek dalam school of positivism.

4. Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh,

Ini juga merupakan hal yang berbahaya jika pengertiannya tidak diperbaiki. Jangan-jangan gerak tubuh para penari jaipong , menjadi perbuatan yang melawan hukum (wederrechtelijkheid). Demikian juga syair dan percakapan dalam drama yang memang bisa saja menganut pembicaraan tentang bagian tubuh tertentu yang sensual, karena untuk menggambarkan suatu keadaan tentunya penting untuk menggambarkan keadaan itu dengan sebenarnya. Sebenarnya dengan tidak logisnya pengertian pada Pasal 1 angka 1 tentang definisi pornografi tersebut, maka sesungguhnya pengertian selanjutnya tidak memiliki keabsahan lagi secara ilmiah. Sebab istilah pornografi ini akan digunakan dalam Pasal-pasal berikutnya. Namun demikian, saya masih ingin berbicara mengenai Pasal-Pasal lain, mencoba menuntaskan yang ingin saya ungkapkan disini pada kali ini. Kita beranjak ke Pasal 4. Dalam rumusan Pasal ini, sebenarnya Pasal ini semestinya menjadi Penjelasan bagi Pasal 1 angka 1, namun sayangnya, topiknya berbeda. Pasal 4 ini lebih menyoroti mengenai distribusi. Coba kita lihat rumusannya : Pasal 4 (1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; atau e. alat kelamin.

(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang :

a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual

Jika saja rumusan Pasal 4 ayat 1 a-e ini menjadi rumusan bagi Pasal 1 angka 1, maka saya kira tidak akan ada pihak yang berkeberatan, karena didalamnya ada kepastian hukum mengenai definisi pornografi. Sehingga rumusan Pasal 4 ini bunyinya tidak perlu terlalu panjang, dan hanya seperti ini:

Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi; Itu saja, sebab dengan demikian maka referensi mengenai pornografi menjadi semakin jelas dan mudah untuk mencernanya. Demikian juga akan sangat mudah berlaku bagi Pasal 10 RUU ini. Bagaimana mungkin, sebuah perincian definisi diulang-ulang dalam sebuah Undang-undang? Ini menandakan kualitas legal drafting yang masih parah (mungkin karena Dirjen perundang-undangan di DEPKUMHAMnya dari kampus tempat saya bernaung dulu kali ya?). Lucunya, dalam Pasal-Pasal 7-9, istilah pornografi dimuat tanpa menyertakan pengertian yang ada di Pasal 4. Jadi semakin tidak jelas kemana maksudnya RUU ini. Tapi, apa daya, ternyata rumusan yang dimiliki oleh RUU ini adalah rumusan yang ’sengaja dibuat jadi luas’ dengan agenda tertentu. Dan ini sedikit banyak menunjukkan kualitas para pegiat undang-undang baik itu di DEPKUMHAM maupun di DPR, yang masih harus kita renungkan lagi kompetensinya.

Kita lanjutkan ke Pasal 14. Pasal ini terlihat seperti ’memberikan’ ruang permisi kepada budaya lokal maupun ritual tradisional tertentu untuk menggunakan materi seksualitas. Yang dicontohkan adalah lingga dan yoni. Namun, ternyata rumusan dalam pasal ini adalah rumusan kata ’dapat’. Bagi kita para advokat, terutama dalam hal pidana, kata ’dapat’ ini mungkin sudah menjadi momok, karena dengan kata’dapat’ ini penguasa diberikan diskresi untuk melakukan tindakan sesuai kewenangannya (contoh: Pasal 21 KUHAP mengenai penahanan). Dalam rumusan Pasal ini, ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan kita, yang perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut, yaitu:

1. otoritas manakah yang berhak menilai apakah sebuah karya atau perbuatan itu menunjukkan budaya tertentu? 2. apakah nilai budaya tersebut hanya diberlakukan bagi budaya setempat, atau budaya lain disuatu tempat juga boleh, misal komunitas orang Bali di Lampung, apakah juga bisa melakukannya? Bagaimana dengan komunitas lain yang ada di Aceh, Minang dan daerah yang kental dengan nuansa syar’i, apakah akan diberikan penghargaan yang sama terhadap budaya pendatang di suatu daerah? 3. apakah budaya yang dimaksud adalah budaya nusantara? Bagaimana dengan budaya bangsa India, Arab, Tionghoa dan sebagainya? Atau budaya Barat, apakah juga dilindungi?

Mengapa kita perlu mengajukan pertanyaan itu? Karena sebuah produk hukum mesti jelas. Apalagi Pasal 14 ini tidak memiliki amanat organik untuk dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Jadinya tidak akan ada penjelasan dalam pelaksanaannya. Dan, bukan rahasia bahwa di Indonesia, egoisme kedaerahan masih tinggi, jadi ada kekhawatiran bahwa budaya pendatang di suatu tempat tidak akan terlindungi, dan biasanya akan menjadi bulan-bulanan masyarakat setempat. Mengapa hal ini juga perlu dipertanyakan? Karena ada banyak ekspresi budaya yang dapat dikategorikan ’melanggar’ jika RUU ini diberlakukan. Dan, di beberapa daerah, asimilasi antara budaya dan agama masih terasa kencang, misalnya di Jawa. Kita akan menemui pengantin yang ’siraman’ hanya mengenakan kain saja, dan juga ada yang sudah berpakaian lebih religius. Yang mana akan jadi acuan? Demikian juga diberbagai daerah lain. Hal ini akan membawa kerancuan dalam kualifikasi. Jika, kemudian seperti yang saya uraikan, warga Bali yang ada di Lampung melakukan ritual tradisional adat Bali, dengan lenggak-lenggoknya, lalu kemudian warga atau penegak hukum dengan alasan pornografi melakukan upaya hukum, siapa yang akan menilai? Ahli hukum adat setempat, atau ahli hukum adat Bali? Hal ini harus dipertegas, sebab jika tidak maka komunitas-komunitas adat yang tersebar di berbagai pelosok negeri sebagai kaum pendatang, akan mengalami nasib yang mengenaskan. Lebih lagi ternyata Pasal 14 ini tidak memberikan ruang bagi agama. Bagi kamu Nasrani, RUU ini bisa jadi merupakan wujud penghinaan karena yang ada disalib itu tergambar secara visual, hampir telanjang. Bagaimana ini? Apa setiap rumah atau gereja yang memasang salib atau setiap pertunjukkan wafatnya Isa Almasih akan dikriminalisasikan? Makin keliatan parahnya RUU ini. Kemudian, Pasal 22 , yang bunyinya sebagai berikut : Pasal 22

(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21

    dapat dilakukan dengan cara:

a.melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini; b.melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan; c.melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang

  mengatur tentang pornografi; dan 

d.melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf

     b dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan 
     peraturan perundang-undangan.


Rumusan Pasal ini, terutama pada ayat (1) d, merupakan sebuah pemberian kesempatan oleh pembentuk UU , agar kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini kerap melakukan sweeping, perusakan terhadap barang maupun penganiayaan, untuk dapat mengekspresikan perbuatan tersebut dengan alasan ’pembinaan’, karena dalam RUU ini peran tersebut tidak limitatif. Yang limitatif justru poin a dan b, yang sebetulnya tidak perlu dilimitasi, karena sudah jelas prosedurnya. Jika Pasal ini dibiarkan, maka akan ada banyak ‘laskar’, ‘barisan’, ‘komando’, ‘forum’, ‘front’ dan sebagainya yang akan berperan serta untuk melakukan ’pembinaan’ dengan caranya. Bukan tidak mungkin, mereka juga akan merambah ke daerah lain untuk melakukan ’pembinaan’ itu. Jika pada tahun 1999 Laskar Jihad bisa datang ke Ambon dan berperang dengan alasan disana ada RMS, maka tentunya dengan covering Pasal 22 ayat (1) d UU Pornografi ini, kelompok-kelompok tersebut akan leluasa. Mungkin tempat ibadah kaum minoritas di suatu daerah, yang ada patung-patung atau gambar ’porno’ akan bisa diserbu dengan alasan ’pembinaan’ ini. Apalagi dengan keberadaan aparat hukum kita yang masih lemah dalam melindungi keamanan masyarakat, dan hanya ada jika kita memang tidak memerlukannya. Hal ini, saya sampaikan bukan sebagai sebuah prejudice, tapi berbasiskan fakta empiris selama ini, dimana kelompok-kelompok masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu bisa dengan leluasa melakukan anarkisme, dan kenyataan bahwa aparat penegak hukum ’swasta’ lebih bernyali dan berwibawa daripada yang resmi.

Diskriminasi Dalam RUU Pornografi RUU ini, memang telah nyata dan jelas memiliki sisi-sisi diskriminasi. Dari tinjauan berbagai Pasal, ternyata Undang-Undang ini memiliki nuansa diskriminasi dan anti terhadap pluralitas. Tujuan Undang-undang ini untuk melindungi anak-anak, perempuan serta membatasi distribusi material pornografi, ternyata tidak sebatas itu. Undang-undang ini didalamnya ternyata telah terkandung beberapa jenis diskriminasi, diantaranya :

1. Gender Dalam RUU ini, bisa dipastikan bahwa yang menjadi objek pornografi adalah wanita. Pastilah pertunjukkan wanita saja yang dapat dinilai sebagai pornografi. Hal ini memberikan kriminalisasi atas nama gender. Seolah bahwa wanita adalah sumber pornografi. Seakan-akan karena ada wanita maka ada pornografi. Kegiatan lain yang dikategorikan pornografi adalah yang menyimpang. Artinya, jika pun ada pornografi dalam kategori lain, maka itu adalah menyimpang. Sementara bagi wanita, keberadaannya saja sudah menjadi objek pornografi. Mengenai hal ini, saya kira kita bisa mengelaborasi lebih jauh dengan aktivis perempuan, yang lebih fasih untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai bias gender ini. 2. Budaya Diskriminasi terhadap budaya, lebih jelas lagi, karena budaya di Indonesia memiliki keragaman yang cukup luar biasa. Ada perbedaan yang menjulang dengan sangat antara kebudayaan di Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur. Hal ini, sebagaimana saya ungkapkan di atas, akan menimbulkan kesenjangan antara budaya mana saja yang diakomodir di Nusantara ini. Walaupun dalam Pasal 14 diberikan kesempatan, namun tidak ada jaminan bahwa di masa yang akan datang hal ini akan berjalan dengan baik. Apalagi di Papua, saya melihat bahwa yang mendominasi secara sosial bukanlah orang Papua, namun orang dari bagian lain Indonesia. Mungkin perbandingannya sudah 60 persen Papua dan 40 persen orang lain. Dan hal ini bisa saja berubah konstelasinya di masa yang akan datang. RUU ini, dengan strategi asimilasi dan penetrasi tertentu yang dilakukan oleh golongan mayoritas, maka perlahan akan menindas dan menggerogoti budaya Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Dan ini adalah bahaya yang harus dijauhkan dari kita. Padahal Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005 telah meratifikasi INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA), dan UU No. 29 tahun 1999 tentang ratifikasi Kovenan tentang penghapusan Diskriminasi Etnik Minoritas. Kita akan ditertawakan dunia karena untuk meratifikasi kovenan tersebut kita dapet pinjaman uang, namun tidak mau melaksanakannya. Karakter bangsa kita akan terlihat ’lain’ dimata Internasional. 3. Agama Ekspresi beragama, juga mengalami ancaman. Apalagi dalam RUU ini tidak ada pengecualian atas dasar agama. Ada banyak patung dari agama Budha dan Hindu yang menunjukkan keterbukaan bagian tubuh, dan patung itu banyak berada di Jawa, dengan penganut Budha yang sangat sedikit. Juga ada patung manusia yang juga terbuka, yang terpaku pada kayu salib. Penganut agama ini malah tersebar hampir diseluruh Indonesia, dan selama ini juga telah menjadi bulan-bulanan kaum mayoritas, dengan catatan pembubaran tempat ibadah yang begitu intensif, baik secara resmi dan lebih banyak lagi tidak resmi. Penganutnya ada di Aceh hingga Papua. Bagaimana perlindungan terhadap kebebasan berekspresi secara religi, jika tidak ada perlindungan yang nyata dari Undang-undang? Dengan demikian maka sudah nyata bahwa RUU ini sarat dengan kepentingan mayoritas dan berisikan diskriminasi terhadap kaum minoritas bangsa ini.Mengenai diskriminasi ini, bangsa ini sudah memiliki catatan. Yang sederhana, pengadilan yang diadakan secara formal untuk agama tertentu, namun untuk lapisan agama yang lain tidak ada (secara khusus). Ini sebetulnya merupakan salah satu bentuk diskriminasi. Namun, atas nama mayoritas, kaum minoritas tidak dapat berbuat apa-apa. Belum lagi UU perpajakan (UU Pajak Penghasilan) yang memberi keringanan pada praktek filantropi agama tertentu, namun tidak memberikan hal yang sama kepada penganut agama yang lain. Dan, banyak lagi jumlah diskriminasi berdasarkan agama di Indonesia ini. Jika saya uraikan lebih lanjut dalam prakteknya, kita akan kaget melihat bagaimana strategi diskriminasi ini sudah menjamur sedemikian rupa dan sudah menunjukkan bahwa negara ini bukan lagi milik seluruh rakyat Indonesia.

Beberapa Tinjauan Mengenai Pemberlakuan UU Pornografi

Jika RUU Porografi dengan sktesa yang sekarang diberlakukan, maka akan ada beberapa hal yang menjadi catatan buruk mengenai hal in. Diantaranya adalah syarat keabsahan sebuah produk UU, yaitu secara filosofis, Yuridis dan Sosiologis. Secara Yuridis nampaknya tidak terlalu bermaslaah, karena dibuat oleh lembaga yang berwenang. Namun, perlu kita kritisi beberapa hal di bawah ini: 1. Keabsahan secara Filosofis Jika UU Pornografi versi yang sekarang diberlakukan, maka dengan kenyataan bahwa saudara-saudara kita di Bali memiliki sumber pariwisata yang luar biasa, dan sudah menjadi kawasan Internasional, maka akan membuat matinya dunia pariwisata di Bali. Padahal, masyarakat Bali sekalipun banyak wisatawan Barat yang melancong dan berbikini serta berjemurdi pantai dengan pakaian yang aduhai, ternyata mereka tidak dapat bergeming dengan keteguhan mereka memegang budaya dan agama mereka. Padahal di Bali tidak ada norma formal yang berisikan sanksi pidana, untuk membuat mereka patuh pada tradisi. Rupanya pemuka agama Hindu disana memang memiliki wibawa yang luar biasa dan memiliki otoritas persuasif yang hebat, sehingga umat di Bali tetap mau patuh kepada ajaran agamanya. Ini hanya salah satu contoh ketidakadilan yang muncul akibat pemberlakuan RUU ini. Masih banyak lagi tentang hal ini di Pangandaran, Pelabuhan Ratu, Bunaken, Ancol dan sebagainya. Juga ada banyak aspek diskriminatif dari UU ini. Selain itu, UU ini bertentangan dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika yang menjadi filosofi kita dalam berbangsa atau dalam istilah Ibnu Khaldun sebagai ushul ashabiyah kita. Dengan demikian maka secara filosofis UU ini sudah tidak lagi absah. 2. Keabsahan Secara Sosiologis Penolakan dari berbagai daerah serta berbagai lapisan masyarakat, menunjukkan bahwa UU ini memang sudah tidak memiliki keabsahan secara sosiologis. Seorang tokoh di Bali menyatakan bahwa masyarakat Bali mengancam akan melakukan pembangkangan terhadap pemberlakuan UU ini. Dengan demikian maka jika UU ini diberlakukan, hanya akan menunjukkan pemerintah yang tidak punya wibawa terhadap rakyatnya, karena memaksakan aturan yang tidak sesuai dengan volksgeist (jiwa rakyat) di berbagai daerah di Indonesia. Dalam pengertian Georges Gurvitch (1963: 21) , hal ini menunjukkan bahwa para ahli hukum dan legal drafter kita sedang mengasingkan diri secara congkak, dari kenyataan , dan memalingkan diri dari segala apa yang bersangkut paut dengan kenyataan sosial hukum. Para ahli hukum kita bangga untuk berdebat dalam kekosongan formalistis dari tempat suci yang disebut negara. Dalam situasi ini maka akan terjadi bahwa negara, teks-teks legislatif dan putusan-putusan pengadilan kemudian akan menghalangi jalan kepada segala kontak dengan hidup masyarakat. RUU ini, juga telah menafikan suatu pakta perjuangan bersama antara berbagai lapisan amsyarakat untuk bersama-sama membangun Indonesia, tanpa memberikan privilege kepada suatu kelompok agama tertentu berdasarkan legitimasi mayoritas. 3. Motivasi Dibalik Pemberlakuan UU Pornografi UU ini terlihat dirancang dengan tergesa-gesa, dipaksakan dan seperti ’kejar tayang’. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat, terutama masyarakat minoritas, mengenai apa motivasi di balik UU ini? Kita tidak akan menyadarinya hingga seorang anggota DPR RI yang bernama Mahfudz Siddiq dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menyatakan di Koran Kompas dan di beberapa media, bahwa pengesahan RUU ini pada tanggal 23 September merupakan ’hadiah Ramadhan’ bagi PKS. Kita tidak begitu paham apa maksudnya. Namun, dari pernyataan itu, bisa timbul suatu dugaan bahwa UU ini merupakan ’pesanan’ dari kelompok tertentu untuk memaksakan ideologinya dan membangun kekuatan melalui legislasi untuk menggolkan unifikasi ideologi di Indonesia, bukan Pancasila tentunya. Seolah-olah ada kelompok tertent yang merasakan religious satisfy dengan munculnya UU pornografi. Semestinya PKS tidak mengkaitkan hal ini dengan Ramadhan, karena tentunya akan menimbulkan interpretasi yang mengarah kepada kepentingan kelompok tertentu di bangsa ini. Apalagi hal ini diperkuat dengan pernyataan saudara Al Muzzamil Yusuf yang menyatakan bahwa mereka yang tidak setuju atas RUU Pornografi ini, tidak siap menjadi bagian dari keluarga besar Negara Kesatuan Republik Indonesia (detik.com, Kamis 18, 09, 2008, 14:14 WIB). Secara kontrario, ini dapat diartikan seperti tantangan terbuka bagi elemen bangsa lain yang tidak setuju dengan RUU ini, untuk tidak bergabung dengan NKRI. Dengan demikian maka dapat ditafsirkan bahwa PKS memang ingin menunjukkan bahwa partainya memang berniat secara vis-a-vis menantang untuk berhadapan dengan elemen masyarakat lainnya, terutama dengan kaum minoritas, dan tidak memiliki minat untuk memelihara kesatuan bangsa, kecuali hanya ingin menggolkan ideologinya saja. Dan ini adalah sama dengan menyemai benih disintegrasi di tengah bangsa ini. Pernyataan yang lain dari Muzzamil Yusuf adalah, menyatakan bahwa yang tidak setuju dengan RUU ini, tidak paham demokrasi. Padahal demokrasi dalam konteks penegakan HAM juga semestinya melindungi kaum lain dan tidak bisa atas nama mayoritas kemudian melakukan penindasan melalui proses legislasi. Bahwa proses yang selama ini ada harus dihargai, memang benar, namun suara rakyat juga harus diperhatikan. Yang agak unik, analisis mengenai demokrasi ini datang dari PKS yang didalamnya sendiri tidak mengenal demokrasi. Tidak ada pemilihan oleh anggota atau konstituen, tapi penunjukkan langsung. Jadi agak lucu juga kalau PKS ngomongin demokrasi. Secara keseluruhan, terlihat jelas ada agenda terselubung melalui proses legislasi, untuk menggolkan kepentingan kelompok mayoritas dan melakukan penindasan atas minoritas.

Konklusi Solusionis Pornografi, memang harus diperangi, bahkan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Namun, amat penting untuk menjaga agar dalam melakukan hal tersebut, kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan non diskriminatif, sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (UU No. 17 tahun 2007, Mengenai Arahan, Bagian IV.1.2.E). Perlu sekali memberikan batasan yang jelas, baik mengenai definisi pornografi, perlindungan terhadap tradisi, ritual, budaya, agama dan seni, agar tidak memberikan ruang interpretasi bagi mereka yang hendak memberangus peradaban dan kebhinekaan. Perlu juga pemikiran bahwa yang harus dikedepankan adalah peranan tokoh agama dan budaya di masyarakat, tanpa harus dikuatkan secara normatif, untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat mengenai perlunya memegang keyakinan agama dan budaya setempat. Mungkin para Pendeta Hindu bisa menjadi sumber studi banding bagi para pemimpin agama yang lain, mengenai bagaimana metode persuasi sehingga masyarakat Hindu Bali bisa tetap taat sementara dunia dan budaya Barat begitu terbuka dihadapan mereka. Formalisasi peranan para tokoh agama dan budaya, menunjukkan bahwa kita kekurangan (jika tidak bisa dibilang tidak ada) tokoh yang berwibawa di bangsa ini, di tengah-tengah masyarakat dan ditengah-tengah umat. Demikian juga perlu diberikan kepastian hukum yang lebih ketat mengenai prosedur peranan masyarakat dalam pembinaan, agar tidak ada masyarakat yang memberlakukan masyarakat lain secara diskriminatif, dan bahkan bisa saja terjadi eigenrichting (main hakim sendiri). Hal ini tentunya mengancam kehidupan masyarakat yang menganut rule of law dan bukan rule of groups. Norma yang mengatur mengenai pencegahan praktek penyebaran pornografi, mutlak diperlukan. Namun, masih menjadi pertanyaan apakah hal itu perlu diberlakukan secara khusus dalam suatu perundang-undangan, atau bisa dimuat secara elegan dalam UU yang terkait? Hal ini untuk menghindari disharmonisasi produk hukum di Indonesia. Kita sudah terlalu banyak memiliki UU yang tidak harmonis satu dengan yang lain. Sebagai contoh, antara UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Lingkungan Hidup, UU Penanaman Modal dan UU Pokok Agraria. Secara simultan keseluruhan UU ini saling berkait satu dengan yang lain, namun secara tidak harmonis. Ini barulah satu contoh. Ada banyak contoh lain yang menunjukkan disharmonisasi UU di negeri ini. Mestinya agenda kita dalam kerangka memerangi pornografi ini, adalah melakukan harmonisasi dan penyempurnaan materi dalam UU Perlindungan Anak, KUHP, UU Penyiaran, UU Perfilman, Perpajakan, dan beberapa UU lain yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak, pornografi , distribusi media dan perlindungan terhadap wanita sebagai korban, daripada membentuk UU baru yang kontroversial dan mengancam keutuhan bangsa. Satu hal yang mungkin penting kita ingat, bahwa Prof. Mochtar Kusumaatmadja pernah menyampaikan bahwa mengenai hal-hal yang sensitif, sebaiknya tidak usah dilakukan pengaturan. Biarkan saja hal tersebut mengalir bersama perubahan bangsa. Nampaknya Prof. Muchtar melihat jauh kedepan, kepada bahaya yang bisa ditimbulkan bagi bangsa ini jika sebuah norma yang menbgandung sensitivitas, diberlakukan secara dipaksakan dalam sebuah bentuk formal. Yang paling penting, jika pun UU ini harus diberlakukan, maka pengertian-pengertian, batasan dan penjelasannya harus dievaluasi, agar lebih mengikuti kaidah-kaidah hukum secara teoretik dengan benar, dan menghindari kesan bahwa para pembentuk UU memiliki pengertian yang banal tentang pornografi. Bahkan mungkin supaya tidak salah lagi, perlu ditambahkan frasa ’Kecabulan”, sehingga UU ini melindungi bukan hanya dari pornografi , namun juga dari kecabulan (low value speech). Harus dijauhi juga semangat untuk menggolkan tujuan tertentu dari kelompok tertentu. Dengan demikian maka UU ini memang harus dievaluasi dan direvisi. Jika tidak, memang benarlah bahwa UU ini akan menjadi ancang-ancang dan semacam pintu masuk bagi diskriminasi bagi gender, agama (minoritas) dan budaya lokal. Tulisan ini dibuat setengah matang, karena saya belum menelaah kelemahannya dari kacamata konstitusi, kovenan internasional secara mendalam, serta banyak kajian yang saya kira akan berkembang dalam diskursus selanjutnya. Namun, setidaknya mari kita berpikir untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa kita ini adalah bangsa yang demokratis dan menjunjung tinggi pernghargaan terhadap Hak Asasi dan Hak-hak kaum minoritas dan perempuan. Kita tentunya tidak boleh mengamini ungkapan Geert Wilders di penghujung film Fitna-nya. Kita harus menguir jauh-jau anasir-anasir yang akan menciptakan stigmatisasi yang buruk bagi bangsa kita ataupun juga bagi kelompok di bangsa ini. Dan, kita harus berdoa supaya bangsa ini tetap utuh.

  • Penulis adalah Advokat, Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan Ham Jawa Barat (ELHAM JABAR) dan Mahasiswa Pascasarjana.

Peristiwa

Gelar seribu tayub

Pada 15 Maret 2006, ribuan seniman di Kota Solo, menggelar pentas seni kolosal di pelataran Taman Budaya Jawa Tengah bertajuk "Gelar 1.000 Tayub Seniman Solo Menolak RUU APP", sekaligus mendeklarasikan penolakan terhadap pengesahan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Aksi ini melibatkan seniman dari berbagai disiplin seperti teaterawan, musisi, penari, koreografer, dalang, pelukis, sastrawan, teater-teater kampus, dan sanggar-sanggar serta penari-penari tradisional. Aksi ini diikuti oleh tokoh seni seperti Garin Nugroho, Didik Nini Thowok, dalang wayang "suket" Slamet Gundono. [5] [6]

Karnaval budaya

Pada 22 April 2006, ribuan masyarakat bergabung dalam karnaval budaya "Bhinneka Tunggal Ika" untuk menolak RUU ini. Peserta berasal dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari aktivis perempuan, seniman, artis, masyarakat adat, budayawan, rohaniwan, mahasiswa, hingga komunitas jamu gendong dan komunitas waria. Peserta berkumpul di Monumen Nasional (Monas) untuk kemudian berpawai sepanjang jalan Thamrin hingga jalan Sudirman, kemudian berputar menuju Bundaran HI.

Ribuan peserta aksi melakukan pawai iring-iringan yang dimulai oleh kelompok pengendara sepeda onthel, delman, dilanjutkan dengan aksi-aksi tarian dan musik-musik daerah seperti tanjidor, gamelan, barongsai, tarian Bali, tarian adat Papua, tayub, reog, dan ondel-ondel. Banyak peserta tampak mengenakan pakaian tradisi Jawa, Tionghoa, Badui, Papua, Bali, Madura, Aceh, NTT dan lain-lain. Mulai dari kebaya hingga koteka dan berbagai baju daerah dari seantero Indonesia yang banyak mempertunjukkan area-area terbuka dari tubuh.

Banyak tokoh ikut serta dalam aksi demonstrasi ini, diantaranya mantan Ibu Negara Shinta N Wahid, GKR Hemas dari Keraton Yogyakarta, Inul Daratista, Gadis Arivia, Rima Melati, Ratna Sarumpaet, Franky Sahilatua, Butet Kertaradjasa, Garin Nugroho, Goenawan Moehammad, Sarwono Kusumaatmadja, Dawam Rahardjo, Ayu Utami, Rieke Diah Pitaloka, Becky Tumewu, Ria Irawan, Jajang C Noer, Lia Waroka, Olga Lidya, Nia Dinata, Yeni Rosa Damayanti, Sukmawati Soekarnoputri, Putri Indonesia Artika Sari Devi dan Nadine Candrawinata, dll. [7] [8]

Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika

Pada 13 Mei 2006 di Komunitas Utan Kayu dilakukan deklarasi "Masyarakat Bhinneka Tunggal Ika". Deklarasi ditandatangani oleh tokoh-tokoh seperti WS Rendra, Lily Chadidjah Wahid, Adnan Buyung Nasution, Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Shahnaz Haque, Jajang C Noer, Hariman Siregar, Budiman Sudjatmiko, Ayu Utami, Rahman Tolleng, Muslim Abdurachman, Musdah Mulia, Dawam Rahardjo, Garin Nugroho, Butet Kertaradjasa, Franky Sahilatua, Dian Sastro, Sujiwo Tedjo, Ade Rostina, BJD Gayatri, La Ode Ronald Firman, dan lain-lain. Acara dibuka dengan pembacaan puisi Setelah Rambutmu Tergerai oleh Rendra.

Pernyataan ini dibuat berdasarkan keprihatinan pada RUU APP, sejumlah rancangan undang-undang dan peraturan daerah yang memaksakan spirit moralitas, nilai-nilai dan norma-norma agama tertentu. Kesewenangan ini disebutkan sebagai bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita pendirian negara Republik Indonesia. [9]

Aksi sejuta umat

Pada tanggal 21 Mei 2006, umat Islam dari berbagai ormas, partai dan majlis taklim berkumpul di bundaran HI untuk mengikuti aksi sejuta umat dalam rangka mendukung RUU APP, memberantas pornografi-pornoaksi, demi melindingi akhlak bangsa, dan mewujudkan Indonesia yang bermartabat. Aksi dimulai dengan longmarch dari bundaran HI ke gedung DPR RI.

Tampak hadir di tengah-tengah kerumunan massa sejumlah artis, tokoh dan ulama'. Di antaranya, KH Abdurrasyid Abdullah Syafii, Ketua MUI Pusat KH Ma'ruf Amien, Dra Hj. Tuty Alawiyah AS, Ustadz Hari Moekti, Inneke Kosherawati, Astri Ivo, Henki Tornado, Prof. Dr. Dien Syamsuddin, KH Husein Umar, Habib Rizieq Shihab (FPI), H. Muhammad Ismail Yusanto (HTI), H. Mashhadi (FUI), KH Zainuddin MZ (PBR), H. Rhoma Irama (PAMMI), Hj. Nurdiati Akma (Aisyiyah), Habib Abdurrahman Assegaf, KH Luthfi Bashori (DIN) dan lain-lain. Dari jajaran pimpinan DPR RI, Agung Laksono (Ketua DPR), Zainal Maarif (Wakil Ketua DPR) dan Balkan Kaplale (Ketua Pansus RUU-APP).

Fatwa MUI

MUI, pada 27 Mei 2006, mengeluarkan beberapa fatwa, diantaranya berisi: fatwa tentang perlu segeranya RUU APP diundangkan dan fatwa yang berisi desakan kepada semua daerah untuk segera memiliki perda anti maksiat, miras serta pelacuran.

Fadholy El Muhir diadukan ke polisi

Pada 1 Juni 2006, Ny Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid didampingi Tim Pembela Perempuan Bhinneka Tunggal Ika mengadukan Ketua Forum Betawi Rempug Fadholy El Muhir ke Polda Metro Jaya. Ny Shinta mengadukan pernyataan Fadholy dalam acara dialog di Metro TV pada 21 Mei pukul 22.30 telah melecehkan dan menghina pribadi dan integritasnya sebagai peserta pawai Bhinneka Tunggal Ika untuk menolak Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi. Dalam dialog itu, Fadholy menyatakan, "Peserta pawai budaya adalah perempuan-perempuan bejat berwatak iblis yang merusak moral bangsa Indonesia." Pernyataan-pernyataan Fadholy diikuti penyerangan-penyerangan dan ancaman-ancaman untuk menutup tempat usaha para peserta pawai budaya lainnya. Ny Shinta sebelumnya juga sudah melayangkan somasi. Setelah karnaval budaya, FBR sempat mengancam terbuka di TV bahwa akan melakukan sweeping terhadap peserta pawai, bahkan Inul diancam akan diusir dari Jakarta dan bisnis karaokenya akan dirusak.[10] [11] [12]

Pancasila Rumah Kita

Aliansi Bhinneka Tunggal Ika (BTI) kembali menggelar karnaval budaya pada 3 Juni yang mengetengahkan berbagai pentas seni di Bundaran HI dan karnaval sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman. Selain melakukan pawai budaya, Aliansi BTI bersama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Dirjen Kesbangpol Depdagri juga mengadakan acara "Curhat Budaya" pada 1 dan 2 Juni di Hotel Nikko. Karnaval dan curhat budaya ini diberi judul: Pancasila Rumah Kita. Beberapa tokoh yang terlibat dalam aksi tersebut antara lain Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Prof. Dr. Syafii Maarif, A. Mustofa Bisri, Prof. Edy Sedyawati, Ratna Sarumpaet, Siswono Yudhohusodo, I Gde Ardika, Franky Sahilatua, Prof. Melani Budianta, Moeslim Abdurahman, Mohammad Sobary, Mudji Sutrisno, Kamala Chandra Kirana, Prof. Dr. Toety Heraty, Jamal D. Rahman, Nurul Arifin, Mirta Kartohadiprodjo, Gugun Gondrong. Organisasi yang terlibat diantaranya Banteng Muda Indonesia, Arus Pelangi, Garda Bangsa, Repdem, GMKI. [13]

Rujukan

  1. ^ RUU Pornografi, PDIP dan PDS Akan Walkout, Sinar Harapan, 17 September 2008
  2. ^ RUU Pornografi Segera Disahkan, Republika Online, 21 September 2008
  3. ^ Inilah Isi RUU Pornografi, detikNews, 16 September 2008
  4. ^ Tidak Dirancang Dengan Matang, Kompas 22 September 2008
  5. ^ Komponen Rakyat Bali Tolak RUU Pornografi
  6. ^ Masyarakat Bali Tolak RUU Pornografi
  7. ^ Moeslim: Sebaiknya Tolak Saja RUU Ini Kompas, 22 September 2008
  8. ^ RUU Pornografi, Ancaman Kriminal bagi Perempuan
  9. ^ UU Pornografi Intervensi Kebebasan Dan Kehidupan Pribadi

Pranala luar