Kesultanan Demak
Kesultanan Demak atau Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam Jawa yang didirikan pada akhir abad ke-15 di Demak. Demak sebelumnya menjadi kadipaten yang tunduk pada Majapahit (yang saat itu sudah mengalami kemunduran) untuk beberapa tahun sebelum hubungan merenggang dan akhirnya melepaskan diri pada perempat akhir abad ke-15.[3]
Kesultanan Demak Karajan Islam ing Demak Nagari Demak | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1478/1479[i]–1549 | |||||||||||||
Status | Kesultanan | ||||||||||||
Ibu kota | Bintoro | ||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Jawa Kuno (selanjutnya berkembang menjadi bahasa Jawa modern seperti sekarang) | ||||||||||||
Agama | Islam | ||||||||||||
Pemerintahan | Monarki absolut Islam | ||||||||||||
• 1478–1505 | Raden Patah | ||||||||||||
• 1515-1518 | Pati Unus | ||||||||||||
• 1505-1515, 1518-1546[ii] | Trenggana | ||||||||||||
• 1545-1549 | Sunan Prawoto | ||||||||||||
Pendirian | |||||||||||||
Era Sejarah | Penyebaran Islam di Jawa | ||||||||||||
• Berdirinya Kadipaten Bintara | 1475 | ||||||||||||
• Melepaskan diri dari Majapahit | 1478/1479[i] | ||||||||||||
• Dibunuhnya Sunan Prawata | 1549 | ||||||||||||
• Pemindahan kekuasaan ke Pajang | 1581/1582 | ||||||||||||
| |||||||||||||
| |||||||||||||
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Menurut cerita tradisional Jawa, kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah, anak raja Majapahit yang terakhir dan seorang putri raja dari Tiongkok.[3] Setelah jatuhnya Majapahit, Wali Songo menempatkan Raden Patah sebuah pemerintahan dan memberinya gelar Panembahan Jimbun.[2]
Kesultanan ini memainkan peran penting dalam keruntuhan Majapahit dan penyebaran Islam di Jawa.[4] Sepanjang setengah awal abad ke-16, Demak berada pada puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Trenggana. Pada masanya, Demak melakukan banyak penaklukkan ke pelabuhan-pelabuhan utama di Pulau Jawa hingga ke pedalaman yang mungkin belum tersentuh oleh Islam.[3] Salah satu pelabuhan yang ditaklukkan Demak adalah Sunda Kelapa, yang pada waktu itu berada dalam kekuasaan Kesultanan Sunda. Hubungan aliansinya dengan Imperium Portugal sejak 1511 menjadi ancaman bagi Demak. Pada 1527, pasukan dari Demak dan Cirebon yang dipimpin oleh Fatahillah melancarkan serangan ke Sunda Kelapa. Serangan itu sukses sehingga Portugal dikalahkan dan Sunda mundur ke pedalaman. Fatahillah kemudian mengganti nama pelabuhan tersebut menjadi Jayakarta.[5]
Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran ketika Trenggana terbunuh dalam perang melawan Panarukan pada 1546. Sunan Prawata kemudian naik takhta menggantikannya, tetapi dibunuh pada 1549 oleh suruhan Arya Panangsang, Adipati Jipang yang ingin menjadi raja Demak.[6][7] Perlawanan dari adipati-adipati lainnya segera muncul, dan akhirnya dibunuh oleh Jaka Tingkir. Jaka Tingkir kemudian memindahkan kekuasaan Demak ke Pajang.[5]
Toponimi
Demak bermula dari pemukiman yang bernama Bintoro. Pemukiman ini aslinya adalah hutan yang dibuka oleh Raden Patah setelah ia berguru pada Sunan Ampel dan menjadi menantunya. Di hutan tersebut, terdapat rumput gelagah yang baunya wangi. Karena itu, tempat tersebut juga dikenal dengan nana Glagahwangi.[8]
Ada beberapa usul mengenai asal usul nama Demak. Menurut Poerbatjaraka, namanya berasal dari bahasa Jawa yaitu delemak yang berarti "rawa". Menurut Hamka, namanya berasal dari bahasa Arab yaitu dimak yang berarti "mata air" (atau "air mata"). Menurut sejarawan lainnya, yaitu Sutjipto Wiryosuparto, namanya berasal dari sebuah kata dalam bahasa Kawi yang berarti "hadiah" atau "pusaka".[9]
Sejarah
Bagian ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Pembentukan
Asal usul Demak tidak diketahui dengan pasti meskipun tampaknya didirikan oleh kemungkinan besar seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po. Kemungkinan besar putranya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504.[10] Putra atau adik Rodim, yang bernama Trenggana bertakhta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun 1521 sampai 1546. Di antara kedua masa ini yang bertakhta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara pada masa Trenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kesultanan Demak berhasil menundukkan Majapahit.[3]
Berdasarkan Babad Tanah Jawi, pendiri Kesultanan Demak adalah Raden Fatah atau Praba atau Raden Bagus Kasan (Hasan) memiliki gelar Jin Bun (gelar Tiongkok) sering disebut juga Senapati Jinbun atau Panembahan Jinbun bergelar Sultan Syah Alam Akbar Al-Fatah. (1455-1518) Memerintah Kesultanan Demak tahun 1500 - 1518.
Penaklukkan dan ekspedisi
Di bawah Pati Unus
Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Kemudian beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya untuk menyerang Portugis di Malaka.[11]
Di bawah Trenggana
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), juga menaklukkan hampir seluruh Pasundan/Jawa Barat (1528 - 1540) serta wilayah-wilayah bekas Majapahit di Jawa Timur seperti Tuban (1527), Madura (1528), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527 - 1529), Kediri (1529), Malang (1529 - 1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1529 - 1546). Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatra), yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Sementara Maulana Hasanuddin putra Sunan Gunung Jati diperintah oleh Trenggana untuk menundukkan Banten Girang. Kemudian hari keturunan Maulana Hasanudin menjadikan Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke Kudus.[12]
Kemunduran
Suksesi raja Demak ketiga tidak berlangsung mulus, terjadi persaingan panas antara P. Surowiyoto]] (Pangeran Sekar) dan Trenggana yang berlanjut dengan di bunuhnya P. Surowiyoto oleh Sunan Prawoto (anak Trenggana), peristiwa ini terjadi di tepi sungai saat Surowiyoto pulang dari Masjid sehabis sholat Jum'at. Sejak peristiwa itu Surowiyoto (Sekar) dikenal dengan sebutan Sekar Sedo Lepen yang artinya sekar gugur di sungai. Pada tahun 1546 Trenggana wafat dan tampuk kekuasaan dipegang oleh Sunan Prawoto, anak Trenggana, sebagai raja Demak keempat, akan tetapi pada tahun 1547 Sunan Prawoto dan isterinya dibunuh oleh Rungkud pengikut P. Arya Penangsang, putra Pangeran Surowiyoto (Sekar). P. Arya Penangsang adalah Adipati Jipang Panolan (Bojonegoro) pada waktu itu, Adipati Arya Penangsang adalah murid terkasih dari ketiga murid terbaiknya yang lain yaitu Pangeran Prawoto (Sunan Prawoto) dan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) murid Kanjeng Sunan Kudus. Jaka Tingkir selain murid Sunan Kudus juga murid Sunan Kalijaga. Pengikut Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri, penguasa Jepara / Kalinyamat (Suami Ratu Kalinyamat). Hal ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak memusuhi P. Arya Penangsang, salah satunya adalah menantu Sultan Trenggono Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya).
Pada tahun 1546 – 1560 karena terjadinya kekosongan kepemimpinan sepeninggalan Sultan Trenggono berikut suksesi pembunuhan Sunan Prawoto maka tahun 1568 semua Adipati sepakat Kasultanan Pajang adalah pengganti Kasultanan Demak. Terjadilah pemindahan kekuasan yang dilakukan oleh Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) atas persetujuan para sunan Walisanga dikarenakan setelah kepemimpinan Sunan Prawoto Kasultanan Demak mengalami masa kelam. Puncak dari peristiwa ini Arya Penangsang dibunuh oleh Sutawijaya, anak angkat Jaka Tingkir. Dengan terbunuhnya Arya Penangsang, maka berakhirlah era Kesultanan Demak. Jaka Tingkir (Hadiwijaya) memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang dan mendirikan Kesultanan Pajang.
Ekonomi
Tomé Pires pada abad ke-16 mencatat bahwa komoditas utama yang menjadi ekspor Demak adalah beras, rempah-rempah, dan buah-buahan. Tujuan ekspor komoditas tersebut adalah Melaka dan Maluku yang diangkut dengan jung dan penjajap. Pires juga mencatat bahwa Demak telah menjadi tempat penimbunan padi yang berasal dari daerah-daerah pertanian di sekitarnya. Peranannya dalam menjadi pusat kegiatan ekonomi pertanian semakin penting setelah keruntuhan Juwana pada 1513. Selain itu, perbudakan juga disebut Pires sebagai salah satu komoditas Demak, tetapi tidak diketahui apakah perdagangan budak masih terjadi pada masa itu. Demak juga melakukan kegiatan impor berupa hewan-hewan dan pakaian dari Melaka, Gujarat, dan Benggala.[13]
Sistem perekonomian Demak juga didukung dengan penggunaan mata uang baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sebuah Berita Tiongkok dari awal abad ke-15 menyebutkan bahwa mata uang tembaga dari Tiongkok umum digunakan sebagai mata uang di Jawa. Pires juga mencatat demikian, dan selain itu mencatat bahwa mata uang Portugis juga dikenal dan disukai oleh orang Jawa. Terdapat juga mata uang lokal Jawa, yang disebut Pires sebagai tumdaya atau tael.[14]
Klaim pendirian kembali
Keakuratan bab atau bagian ini diragukan dan artikel ini perlu diperiksa ulang dengan mencantumkan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. |
Berawal dari tugas keluarga besar Raden Suminto Joyo Kusumo sejak tahun 1986 untuk mengurus Makam Astana Gedhong Kenep, Raden Sumito mendirikan Yayasan Keraton Glagahwangi Dhimak pada tahun 1999.[15] Seiring dengan perkembangan waktu untuk memperlancar kegiatan perawatan Makam Astana Gedhong Kenep yang sejak tahun 2006 dimasukan sebagai cagar budaya, maka didirikan Paguyuban Ahli Waris Sinuhun Agung Cokro Joyokusumo alias Pangeran Dhimak pada 22 maret 2007.
Atas kiprah Raden Sumito menjaga budaya kerajaan Demak pada tanggal 7 oktober 2009 di Kuala Lumpur, Malaysia. Raden Sumito dikukuhkan sebagai Sultan Demak oleh Perkumpulan Sultan Raja Nusantara dan dianugrahi gelar Duli Yang Maha Mulia Kanjeng Sri Suryo Alam oleh Prof. Dr. Noto Broto dari Selangor. Legalitas Kraton Demak diakui oleh pemerintah propinsi Jawa Tengah, Gubernur Ganjar Pranowo mengkonfirmasikan bahwa kraton Demak, Kendal dan Djipang bukan lembaga adat palsu seperti kraton Agung Sejagat.[16] Selain itu Kraton Demak merupakan anggota Dewan Adat Nusantara yang merupakan salah satu asosiasi resmi kerajaan di Indonesia.[17][18]
Galeri
-
Bagian dalam Masjid Agung Demak yang terdaat saka guru atau empat tiang kayu utama. Masjid ini dibangun dengan arsitektur Vernakular Jawa.
-
Masjid Agung Demak yang dibangun pada akhir abad ke-15 dan merupakan salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak.
Lihat pula
Referensi
Catatan kaki
- ^ De Graaf 1976, hlm. 8.
- ^ a b Raffles 1817, hlm. 143.
- ^ a b c d e Ricklefs 2008, hlm. 39.
- ^ Ooi 2004, hlm. 864.
- ^ a b Ooi 2004, hlm. 410.
- ^ De Graaf 1976, hlm. 9.
- ^ Raffles 1817, hlm. 153-154.
- ^ Ramelan 1997, hlm. 54.
- ^ Amar 1996, hlm. 14.
- ^ Ricklefs 2008, hlm. 38.
- ^ Cortesão 1944.
- ^ Ricklefs 2008.
- ^ Ramelan 1997, hlm. 64-70.
- ^ Ramelan 1997, hlm. 70-71.
- ^ "Raden Suminto :Di Komplek Kami Tidak Ada Ajaran Aliran Sesat".
- ^ "Selain di Purworejo, Ternyata di Jateng Bermunculan Kerajaan Baru, Ada di Blora, Kendal, Demak".
- ^ "14 Kerajaan se-Nusantara Deklarasikan Perjanjian Adat Indonesia Bersatu".
- ^ "Dewan Adat Nusantara Anugerahi Soekarno Bintang Mahaputra".
Daftar pustaka
- Amar, Imron Abu (1996). Sejarah Ringkas Kerajaan Islam Demak. Kudus: Menara Kudus.
- Cortesão, Armando (1944). The Suma oriental of Tomé Pires and the book of Francisco Rodrigues. London: The Hakluyt Society.
- De Graaf, Hermanus Johannes (1976). Pigeaud, T. G. Th., ed. Islamic States in Java 1500-1700. Brill. doi:10.1163/9789004287006. ISBN 978-90-04-28700-6.
- Ooi, Keat Gin (2004). Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor. ABC-CLIO. ISBN 978-1-57607-770-2.
- Raffles, Thomas Stamford (1817). The History of Java, v. 1-2 (edisi ke-2). London: John Murray.
- Ramelan, Wiwin Djuwita (1997). Rahardjo, Supratikno, ed. Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
- Ricklefs, Merle Calvin (2008). A History of Modern Indonesia Since C.1200. Palgrave Macmillan. ISBN 978-1-137-05201-8.