Hari Sabat dalam Gereja Advent

Revisi sejak 14 Maret 2008 17.02 oleh Borgxbot (bicara | kontrib) (Robot: Cosmetic changes)

Hari Sabat merupakan bagian yang penting dalam kepercayaan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh. Ajaran ini diperkenalkan pada pendiri Gereja Advent pada pertenganan abad 19 oleh Rachel Oakes Preston.[1]

Pemeliharaan Hari Sabat

Bagian dari seri tentang
Adventisme
 
Sejarah dan Latarbelakang

Kekristenan
Reformasi Protestan
Anabaptis
Gerakan Miller

Tokoh-tokoh Pendiri

Ellen G. White
Joseph Bates · Uriah Smith
J. N. Andrews · James White

Institusi dan Lembaga

Sekolah, Universitas·
Rumah Sakit, Klinik, Panti Asuhan·
Daftar Gereja Advent di Indonesia

Teologi dan Ajaran

Hari Sabat

Skisma dan Sekte sempalan


Gerakan Advent Hari Ketujuh Pembaharuan
Persekutuan Advent Hari Ketujuh Davidian
Advent Christian Church
Church of God General Conference
Ranting Daud


Orang-orang Advent percaya, hari Sabat merupakan hari khusus berhubungan dengan Allah dan di dalamnya semua manusia diundang supaya merayakannya dengan penuh kegembiraan atas perbuatan Tuhan dalam penciptaan dan penebusan. Pada hari Sabat mereka menghindani apapun yang cenderung menghilangkan suasana kesucian itu. Mereka menghindari segala pekerjaan yang bersifat mencari nafkah dan segala transaksi bisnis (Nehemia 13:15-22). Mereka juga menghindarkan kegiatan yang menyenangkan diri sendiri, melibatkan diri dalam pelbagai keperluan yang bersifat sekular, dengan omong kosong, atau percakapan mengenai olah raga . [2]

“Sabat tidak dimasukkan untuk menjadi saat yang tanpa aktivitas secara sia-sia. Hukum melarang pekerjaan-pekerjaan sekular pada hari Tuhan itu; pekerjaan untuk mencari nafkah harus dihentikan; tidak ada upaya untuk kesenangan diri atau keuntungan duniawi yang diizikan pada hari ini; tetapi sebagaimana Tuhan berhenti dari pekerjaan penciptaan-Nya, dan beristirahat pada hari Sabat dan memberkatinya, demikianlah manusia harus meninggalkan pekerjaan sehari-hari kehidupannya dan menyerahkan jam-jam yang kudus itu kepada perhentian yang menyehatkan, untuk berbakti, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang suci.” [3].

Hari Sabat dimulai pada saat matahari terbenam pada hari Jum’at petang dan berakhir pada matahari terbenam hari Sabtu petang (Kejadian 1:5; Markus 1:32). Pada hari Jum’at orang-orang Advent menyediakan makanan untuk hari Sabat sehingga selama jam-jam hari yang kudus itu mereka dapat berhenti dan segala pekerjaan mereka ( Kel 16:23; Bil 11:8). [4]

Pada hari Jum’at senja, apabila hari Sabat itu mendekat, anggota keluarga atau kelompok umat percaya berkumpul bersama¬-sama sebelum matahani terbenam, dengan menyanyi, berdoa dan membaca Firman Allah, supaya dengan demikian mereka mengundang Tuhan datang sebagai tamu yang dihormati. Begitu pula mereka lakukan pada penutupan Sabat, mengadakan kebaktian bersama pada had Sabat, Sabtu petang, seraya memohon kepada Allah agar hadir dan menuntun sepanjang minggu berikutnya. [5]

Ajaran tentang Hari Sabat

Pernyataan Resmi

Dalam dasar-dasar kepercayaan, Gereja Mesehi Advent Hari Ketujuh memberikan pernyataan sebagai berikut:

Khalik yang penuh kemurahan, setelah enam hari Penciptaan, berhenti pada han ketujuh dan melembagakan hari Sabat bagi semua umat sebagai satu peringatan Penciptaan. Perintah keempat dan Hukum Allah yang tak dapat berubah itu mengharuskan pemeliharaan Sabat hari ketujuh ini sebagai hari istirahat, berbakti, dan melayani sesuai dengan ajanan dan praktik yang dilakukan Yesus Kristus, Tuhan atas hari Sabat itu. Hari Sabat adalah hari perhubungan yang menyenangkan dengan Tuhan Allah, dan juga dengan sesama. Sabat merupakan sebuah lambang penebusan kita di dalam Kristus, satu tanda penyucian kita, sebuah pernyataan bahwa kita tunduk dan taat, sebuah gambaran mendatang tentang kehidupan yang abadi di dalam kerajaan Allah. Sabat merupakan tanda Allah yang kekal, abadinya perjanjian-Nya antara Dia dan umatNya. Pemeliharaan dengan rasa gembira atas hari yang kudus ini dari senja kepada senja, dan matahari terbenam sampai matahari terbenam, adalah sebuah perayaan atas karya kreatif dan tindak perbuatan yang menebus yang dilakukan Tuhan.[6]

Hari Sabat dan Sejarah Kekristenan

Perubahan dari hari Sabat kepada Minggu sebagai Hari berbakti muncul perlahan-lahan. Tidak ada bukti perbaktian Kristen pada hari Minggu dalam minggu itu sebelum abad kedua, akan tetapi bukti menunjukkan bahwa pada pertengahan abad itu beberapa orang Kristen secara sukarela memelihara Hari Minggu sebagai hari perbaktian, bukan sebagai hari perhentian. [7]

Pada abad-abad pertama, di Roma, yang menjadi ibukota Kekaisaran Romawi, rasa anti Yahudi sangat kuat, dan dan waktu ke waktu semakin kuat saja. Reaksi terhadap sentimen kebangsaan ini, orang-orang Kristen yang diam di kota itu berusaha membedakan diri mereka dari orang Yahudi. Mereka mulai meninggalkan beberapa kebiasaan yang dilakukan orang Yahudi dan mulai cenderung menjauh dan pemeliharaan hari Sabat sehingga menuju kepada pemeliharaan hari Minggu secara eksklusif. [8]

Dan abad kedua sampai abad kelima, pengaruh hari Minggu mulai bangkit, orang-orang Kristen masih terus memelihara Sabat Hari ketujuh di hampir seluruh Kerajaan Roma. Sejarawan abad kelima, Socrates, menulis sebagai berikut: “Hampir semua gereja di seluruh dunia memelihara Sabat yang kudus setiap minggu, namun orang Kristen yang di Aleksandnia maupun di Roma, dengan alasan bebenara tradisi kuno, berhenti melakukannya.” [9]

Pada abad ke-4 dan abad ke-5 banyak orang Kristen yang berbakti baik pada hari Sabat maupun hari Minggu. Sozomen, seorang sejarawan lain pada kurun waktu yang sama, menulis, “Penduduk Konstantinopel, dan hampir semua dimana-mana pun, berkumpul bersama-sama pada hari Sabat, dan juga pada hari pertama dalam minggu itu, kebiasaan yang tidak pernah dipelihara di Roma atau di Aleksandria.” [10]

Para Ahli sejarah menduga kepopuleran dan pengaruh penyembahan matahari dari budaya kekafiran Kekaisaran Romawi memegang penanan penting dalam pemeliharaan Hari Minggu, yang semakin bertumbuh penerimaannya sebagai hari perbaktian. Penyembahan matahari memegang peranan penting selama sejarah purbakala. Ini merupakan “sebuah komponen yang paling tua dari agama Romawi....dan bagian awal abad kedua Masehi, aliran Sol Invictus sangat dominan di Roma dan di pelbagai bagian kerajaan itu.” [11]

Agama populer ini memberi dampak pada jemaat Kristen yang mula-mula melalui orang-onang yang baru bertobat. “Orang-orang Kristen yang ditobatkan dan kafir tetap tertarik pada pemujaan matahari. Ini diindikasikan bukan hanya oleh betapa seringnya penghakiman atas praktik semacam ini dan pihak bapa-bapa gereja tetapi juga oleh refleksi yang begitu bermakna dan penyembahan Matahani di dalam liturgi Kristen.” [12]

Pada abad keempat undang-undang hari Minggu mulai diperkenalkan. Undang-undang hari Minggu yang pertama dikeluarkan dan kemudian menjadi undang-undang hari Minggu yang bersifat religius. Undang-undang sipil pertama mengenai hari Minggu didekritkan oleh kaisar Konstantinus I pada tanggal 7 Maret 321 M. Dengan melihat bahwa hari Minggu itu sangat populer di kalangan pemuja matahari dan juga di kalangan Kristen, sehingga Konstantin berharap bahwa dengan menjadikan hari Minggu itu sebagai hari libur, ia dapat memastikan dukungan dan kedua konstituensi ini bagi pemerintahannya. [13]

Undang-undang hari Minggu Konstantin membayangkan latar-belakangnya selaku penyembah matahari. “Pada Hari pemujaan Matahari (venerabili die Solis) hendaknya para hakim dan penduduk yang tinggal di kota-kota beristirahat dan tempat-tempat kerja ditutup. Di pedesaan, penduduk yang berhubungan dengan pertanian dapat dengan bebas dan didukung undang-undang meneruskan usaha mereka.” [14]

Beberapa dekade kemudian gerejapun mengikuti teladan itu. Konsili Laodikea (364 M), yang tidak merupakan konsili universal pertama kalinya mengeluarkan undang-undang pemeliharaan hari Minggu. Dalam Kanon 29 ketentuan gereja menyatakan bahwa orang-orang Kristen haruslah memuliakan hari Minggu dan “jika mungkin janganlah bekerja hari itu,” sementana itu mencela praktik pemeliharaan hari Sabat, dan mengatakan supaya orang-orang Kristen janganlah “berpangku tangan pada Sabtu (kata Yunani sabbaton, “Sabat”), dan hanus bekenja pada hari itu.” [15]

Pada tahun 538 M, Konsili ketiga Gereja Katolik Roma mengeluarkan sebuah undang-undang yang lebih keras dari yang dikelurkan Konstantin. Kanon 28 dan konsili ini mengatakan bahwa pada hari Minggu “pekerjaan pertanian pun harus disingkirkan agar dengan demikian orang-orang tidak terhalang datang ke gereja[16]

Sejarah

The Sabbath was introduced to the Adventist movement of William Miller and his followers by the Seventh Day Baptists. The group of "sabbatarian Adventists" emerged from 1845 to 1849 from among the Adventist groups, later to become the Seventh-day Adventists. Joseph Bates was the foremost proponent of the Sabbath amongst this group.

A young Seventh Day Baptist layperson named Rachel Oakes Preston living in New Hampshire was responsible for introducing the Sabbath to the Millerite Adventists. Due to her influence Frederick Wheeler began keeping the seventh day as the Sabbath after personally studying the issue in March 1844 following a conversation with Preston, according to his later report. He is reputed to be the first ordained Adventist minister to preach in support of the Sabbath. Several members of the church in Washington, New Hampshire he occasionally ministered to also followed his decision, forming the first Sabbatarian Adventist church. These included William Farnsworth (biography) and his brother Cyrus. T. M. Preble soon accepted it either from Wheeler, Oakes, or someone else at the church. These events actually preceded the "Great Disappointment" which followed shortly after, when Jesus did not return as expected on October 22, 1844.

Preble was the first Millerite to promote the Sabbath in print form; through the February 28, 1845 issue of the Hope of Israel in Portland, Maine. In March he published his Sabbath views in tract form as A Tract, Showing that the Seventh Day Should be Observed as the Sabbath". This tract led to the conversion of J. N. Andrews and other Adventist families in Paris, Maine, as well as to Joseph Bates (in 1845). These men in turn convinced James and Ellen White, as well as Hiram Edson and hundreds of others.[2] (Preble is known to have kept the seventh day Sabbath until mid-1847. He later repudiated the Sabbath and opposed the Seventh-day Adventists).

Bates proposed that a meeting should be organized between the believers in New Hampshire and Port Gibson. At this meeting, which occurred sometime in 1846 at Edson's farm, Edson and other Port Gibson believers readily accepted the Sabbath message and at the same time forged an alliance with Bates and two other folk from New Hampshire who later became very influential in the Adventist church, James and Ellen G. White. Between April, 1848, and December of 1850 twenty-two "Sabbath conferences" were held in New York and New England. These meetings were often seen as opportunities for leaders such as James White, Joseph Bates, Stephen Pierce and Hiram Edson to discuss and reach conclusions about doctrinal issues.[3]

Also in 1846, a pamphlet written by Bates created widespread interest in the Sabbath. Shortly afterwards Bates, James White, Ellen Harmon (later White), Hiram Edson, Frederick Wheeler and S. W. Rhodes led the promotion of the Sabbath, partly through regular publications.[4]

While initially it was believed that the Sabbath started at 6pm, by 1855 it was generally accepted that the Sabbath begins at Friday sunset.[citation needed]

The Present Truth magazine was largely devoted to the Sabbath at first. J. N. Andrews was the first Adventist to write a book-length defense of the Sabbath, first published in 1861.

Two of Andrews' books include Testimony of the Fathers of the First Three Centuries Concerning the Sabbath and the First Day and History of the Sabbath. The most prominent early critic of the Adventist church was former Adventist D. M. Canright. Books he wrote include The Lord's Day From Neither Catholics nor Pagans: An Answer to Seventh-Day Adventism on this Subject, and Seventh-day Adventism Renounced which is largely about the Sabbath.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ http://en.wiki-indonesia.club/wiki/Sabbath_in_Seventh-day_Adventism
  2. ^ Laurel Damsteegt, ”Apa yang anda perlu ketahui tentang 27 Uraian Doktrin Dasar Alkitabiah”, Indonesia Publishing House, cetakan 4, 2002. Hal 306
  3. ^ The Desire of Ages, hlm. 207
  4. ^ Laurel Damsteegt, ”Apa yang anda perlu ketahui tentang 27 Uraian Diktrin Dasar Alkitabiah”, Indonesia Publishing House, cetakan 4, 2002. Hal 307
  5. ^ Idem. Hal 307
  6. ^ http://www.adventist.org/beliefs/fundamental/index.html
  7. ^ Justin Martyr, First Apology dalam Ante-Nicene Fathers (GrandRapids: Wm. b. Eerdsinans 1979),jilid 9, hlm. 186
  8. ^ Bacciocchi, From Sabbath to Sunday (Rome: Pontifical Gregorian University Press, 1977), hlm. 223-232.
  9. ^ Socrates,Ecclesiastical History, buku 5, bab 22, terjemahan dalam Nicene and Post-Nicene Fathers seri kedua (Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans, 1979),jilid 2, hlm. 132.
  10. ^ Sozomen, Ecclesiastical History, buku 5, bab 22, terjemahan dalam Nicene and Post-Nicene Fathers seri kedua (Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans, 1979),jilid 2, hlm 390.
  11. ^ Gaston H. Halsbcrghe, The Cult of Sol Invictus (Leiden: EJ. Brill, 1972), hlm. 26, 44.
  12. ^ Bacciocchi, Rise of Sunday Observance, hlm. 140.
  13. ^ H.G. Heggtveit, Illustreret Kirkehistorie (Chnistiana/Oslo/:Cammer-meyers Boghandel, 1891-1895), hlm. 202, sebagaimana diterjemahkan dalam SDA Bible Students’Source book, edisi revisi., hlm. 1000.
  14. ^ Codex Justinianus, buku 3, judul 12, hal 3, terj. dalam Schaff, History of the Christian Church edisi kelima (New York: Charles Scnibuer, 1902),jilid 3, hlm, 380, catatan 1).
  15. ^ Konsili Laodikea, Kanon 29, dalam Charles J. Hefele, A History of the Councils of the Church From the Original Documents, terj. dan editor Henry N. Oxenham (Edinburgh: T and T Clark, 1876),jilid 2, hlm. 316. Lihat juga SDA Bible Student’s Source book edisi revisi, hlm. 885.
  16. ^ Giovanni Domenico Mansi, ed., Sacronum Conciliorum jilid 9, col. 919, dikutip oleh Maxwell, God Cares I, hlm 129. Dikutip sebagian dalam Andrews, History of the Sabbath and First Day of the Week hlm. 374.

Pranala luar