Korupsi

tindakan yang dilakukan oleh oknum dari suatu pihak untuk memperkaya diri/golongan tertentu yang merugikan orang banyak
Revisi sejak 1 Agustus 2022 01.23 oleh 114.125.228.28 (bicara) (Ringkasan singkat)

Korupsi adalah semua yang memiliki keterkaitan terhadap tindakan yang diancam dengan sanksi sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pengubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi[1][2]. Dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2020[3].

Indeks persepsi korupsi di 2009. Semakin hijau menunjukkan tingkat korupsi semakin rendah; sedangkan semakin merah menunjukkan semakin tinggi tingkat korupsi sebuah negara
Konvensi PBB Menentang Korupsi

Rasuah atau mencuri (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, haram, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok, mencuri, maling) ialah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri sipil, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik dan masyarakat yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.[4]

Sudut pandang hukum Tindakan Pidana Korupsi

  1. Melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian Negara (Pasal 2)
  2. Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/perekonomian Negara (Pasal 3)
  3. Penyuapan (Pasal5, Pasal 6, dan Pasal 11)
  4. Penggelapan dalam Jabatan (Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10)
  5. Pemerasan dalam Jabatan (Pasal 12)
  6. Berkaitan dengan Pemborongan proyek pengadaan barang/jasa pemerintah (Pasal 7)
  7. Gratifikasi (Pasal 12B dan Pasal 12C)[5][1][6].

Tindak pidana korupsi secara garis besar

  1. Perbuatan melawan hukum;
  2. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
  3. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
  4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
  5. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;
  6. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;
  7. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;
  8. Saksi atau ahli yang tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu;
  9. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu;
  10. Saksi yang membuka identitas pelapor;[7].
  11. Perencanaan kegiatan yang menggunakan anggaran sektor public kebijakan pemerintah tentang anggaran belanja proses tahapannya tidak Profesional terutama dalam pengadaan barang/jasa dan lain sebagainya[8].

Bagian dari tindak pidana korupsi

  1. Kerugian keuangan negara,
  2. Pemberi dan Penerima Suap pejabat di lingkungan birokrasi pemerintah[9]
  3. Perbuatan curang
  4. Benturan kepentingan dalam pengadaan barang/jasa,
  5. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
  6. Penggelapan dalam jabatan,
  7. Pemerasan dalam jabatan,
  8. Pungutan liar (pungli),
  9. Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
  10. Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.

Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan Pemilihan Umum partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain[10][11][7].

Kondisi yang mendukung munculnya korupsi

Persepsi masyarakat internasional maupun nasional (mayoritas pengusaha dan pemerintahan) terhadap tingkat korupsi di suatu negara, tingkat korupsi tersebut terutama dikaitkan dengan urusan ijin-ijin usaha, pajak, pemenang pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui proses tender Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa, beacukai, pungutan liar dan proses pembayaran termin-termin proyek, Keuangan dan Perbankan, Minyak dan Gas Bumi, BUMN dan BUMD, Pengelolaan APBN dan APBD, Lembaga Manajemen Aset Negara dan Aset Daerah, Pertambangan, Badan Layanan Umum, Badan Layanan Umum Daerah[12][13][14]. Pendukung munculnya korupsi adalah sebagai berikut:

  1. Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada masyarakat.
  2. Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
  3. Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
  4. Proyek yang melibatkan uang rakyat (masyarakat) dalam jumlah besar.
  5. Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
  6. Lemahnya ketertiban hukum.
  7. Lemahnya profesi hakim.
  8. Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan Media massa.
  9. Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
  10. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau sumbangan kampanye[15][16][17].
  11. Unsur DPRD meminta jatah Proyek dan/atau menerima dan memberi uang Suap[18]
  12. Politik biaya tinggi,
  13. Sistem pemilu dan Pilkada bermasalah,
  14. Proses kandidasi yang transaksional,
  15. Partai Politik rakmatis, tidak idiologis dan Korupsi,
  16. Sikap permisif masy terhadap korupsi,
  17. Politisi Tidak Bermoral[19]
  18. Para Politisi-politisi Tidak Ber-Akhlak[20]

Terpidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (Dua ratus limapuluh juta rupiah) setiap orang yang:

  1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
  2. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya[7].
  • Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (Seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00 (Tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
  1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau:
  2. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili seperti, korupsi dengan iman yang mantab.
  3. Disiplin adalah sebuah keyakinan akan yang seharusnya, bukan tentang membenarkan yang bisa namun disiplin ialah membiasakan yang benar, berkomitmen dengan apa yang sudah disepakati dan bersungguh-sungguh dalam menjalaninya.
  4. Amanah adalah sipat yang dapat dipercaya, hal ini menjadi sangat penting karena memiliki jabatan yang di pegangnya, sipat amanah ini dapat menjadi pandu bagi seseorang untuk tetap menjaga kepercayaan negara dan masyarakat terhadap apa yang ia kerjakan.
  5. Kerjasama, sikap ini muncul bukan dalam satu malam menang, namun sederhananya orang yang lebih mementingkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan terasa lebih ringan dan dapat di selesaikan secara efektif dan efisien[7].
  • Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatan nya dan yang berlawanan dengan kewajiban atas tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Yang dinilai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
  2. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
  • Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)[7].

Panduan Para Hakim Menjatuhkan Hukuman Terpidana Korupsi

Peraturan Mahkamah Agung (MA) keterkaitan dengan hukuman pidana untuk pelaku korupsi disebut koruptor, tertuang dalam Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020, yang menjadi panduan para hakim untuk menjatuhkan hukuman penjara terdakwa kasus korupsi[3]. Diundangkan sejak 24 Juli 2020, regulasi ini mengatur secara spesifik sebagai pedoman bagi hakim agar praktik disparitas terhadap pelaku korupsi di Indonesia, pengkategorian hukuman koruptor berdasarkan jumlah uang yang di ambil (Pasal 6) dan tingkat kesalahan (Pasal 7)[3]. Pidana Hukuman berdasarkan Undang-undang Tipikor Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: "Setiap orang yang secara melawab hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat (4) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp tak terbatas"[21].

Undang-undang Tipikor Pasal 3 yang berbunyi: "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalak gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp tak terbatas"[21].

Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Tipikor juga dapat menimbulkan ketakutan dan khawatir terhadap jabatan pemerintahan, dalam mengambil keputusan "Bertentangan dengan Undang-undang Dasar dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," selama ini hingga dalam praktiknya seringkali disalahgunakan oleh aparat ... ... "Untuk menjangkau banyak perbuatan yang merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan dan keputusan diskresi yang menimbulkan bersipat mendesak dapat di pergunakan landasannya Undang-undang Tipikor Pasal 3 dan Pasal 2"[21].

  • Dikategorikan tentang kerugian keuangan Negara, terdakwa korupsi dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Tipikor, Perma ini dibagi lima kategori yaitu :
  1. Paling terpaling berat yaitu kerugian negara lebih dari Rp. 100 miliar
  2. Berat yaitu kerugian negara Rp. 25 miliar-Rp. 100 miliar
  3. Sedang yaitu kerugian negara Rp. 1 miliar-Rp. 25 miliar
  4. Ringan yaitu kerugian negara Rp. 200 juta-Rp. 1 miliar
  5. Paling ringan yaitu kurang dari Rp. 200 juta[3].
  • Tingkat kesalahan hukuman yang dijatuhkan dampak, dan keuntungan bagi pelaku korupsi, tiga jenis kesalahan yaitu:
  1. Kesalahan tinggi, Dampak tinggi dan Keuntungan Terdakwa Tinggi
  2. Kesalahan sedang, Dampak sedang dan Keuntungan terdakwa sedang
  3. Kesalahan rendah, Dampak rendah dan Keuntungan Terdakwa rendah[3].
  • Pidana Hukuman berdasarkan Perma 1/2020 yaitu:
  1. Penjara Seumur Hidup atau penjara 16 tahun hingga 20 tahun: terdakwa korupsi Rp. 100 miliar lebih, kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi
  2. Penjara 13 tahun hingga 16 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 100 miliar lebih, kesalahan sedang dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang
  3. Penjara 10 tahun-13 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar, kesalahan ringan, dampak ringan dan keuntungan ringan terdakwa ringan
  4. Penjara 13 tahun hingga 16 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar lebih, kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi
  5. Penjara 10 tahun-13 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 25 miliar-Rp 100 miliar, kesalahan sedang, dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang
  6. Penjara 8-10 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp. 1 miliar-Rp 25 miliar, kesalahan ringan, dampak ringan, dan keuntungan terdakwa ringan[3][22][23].

Dampak negatif

Tindakan korupsi merupakan tindakan yang sangat merugikan Negara, Korupsi mengakibatkan melambatnya pertumbuhan Ekonomi Negara, menurunnya inventasi, meningkatnya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan, Korupsi juga dapat merugikan tingkat kebahagiaan masyarakat di suatu Negara[24].

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

Ekonomi

 
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.

Seseorang pelaku korupsi di Indonesia juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktik korupsi di Indonesia, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), tetapi lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachusetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara Afrika Sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Saiful Mujani). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari Barclays Center pada masa depan.

Kesejahteraan umum negara

Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, tetapi merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

Bentuk-bentuk penyalahgunaan

Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti menjanjikan dan memberikan Hadiah, penyogokan, pemerasan, campuran tangan kepentingan, dan penipuan[25].

Penyogokan: penyogok dan penerima sogokan

Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan[25][26].

Negara-negara yang paling sering memberikan sogokan pada umumnya tidak sama dengan negara-negara yang paling sering menerima sogokan[25].

Duabelas negara yang paling minim korupsinya, menurut survey persepsi (anggapan tentang korupsi oleh rakyat) oleh Transparansi Internasional pada tahun 2001 adalah sebagai berikut:

Menurut survei persepsi korupsi, tigabelas negara yang paling korup adalah:

Namun, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)[25].

Sumbangan kampanye dan "uang haram"

Di arena politik, sangat tidahlah sulit untuk membuktikan korupsi, tetapi tidak lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip ketidak benaran menyangkut politisi[28][29].

Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.

Tuduhan korupsi sebagai alat politik

Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Tiongkok, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.

Mengukur korupsi

Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan.[30][31]

Lihat pula

Referensi

Khusus
Umum
  1. ^ a b https://acch.kpk.go.id/images/spak/files/games/07-Buku-kunci-jawaban-Arisan.pdf
  2. ^ https://jdihn.go.id/files/4/2001uu020.pdf
  3. ^ a b c d e f https://indonesiabaik.id/infografis/jerat-hukuman-baru-bagi-koruptor
  4. ^ http://www.ti.or.id Transparency International
  5. ^ https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/45350/uu-no-31-tahun-1999
  6. ^ https://media.neliti.com/media/publications/220789-peran-hakim-dalam-penerapan-pasal-2-unda.pdf
  7. ^ a b c d e https://lsc.bphn.go.id/uploads/919381_leaflet_6.pdf
  8. ^ http://spi-blu.uinjkt.ac.id/?p=348
  9. ^ https://www.bphn.go.id/data/documents/bidang_pidana_suap.pdf
  10. ^ https://www.kppu.go.id/docs/Artikel/Seminar%20PBJ.pdf
  11. ^ http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/viewFile/144/82
  12. ^ https://www.kppu.go.id/docs/Artikel/Seminar%20PBJ.pdf
  13. ^ https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/234
  14. ^ https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/TIPIKOR_0.pdf
  15. ^ https://text-id.123dok.com/document/oy81xwjwz-kondisi-yang-mendukung-munculnya-korupsi.html
  16. ^ https://pengayaan.com/8-kondisi-yang-mendukung-munculnya-korupsi-kolusi-dan-nepotisme/
  17. ^ https://bdkbandung.kemenag.go.id/tatarpasundan/jurnal/index.php/tp/article/viewFile/84/115
  18. ^ https://www.viva.co.id/berita/nasional/1223994-kpk-ungkap-184-anggota-dprd-terjerat-korupsi
  19. ^ https://wow.tribunnews.com/2018/09/05/analis-politik-lipi-sebut-6-faktor-dprd-korupsi-massal-gaji-kecil-hingga-keterbukaan-masyarakat
  20. ^ https://fin.co.id/read/6173/faizal-assegaf-sentil-gus-baha-tidak-berakhlak-dan-tak-beradab
  21. ^ a b c https://www.kejari-jakbar.go.id/index.php/arsip/berita/item/557-mk-putuskan-pasal-2-dan-3-uu-tipikor-harus-ada-kerugian-negara#:~:text=%22Setiap%20orang%20yang%20secara%20melawan,20%20tahun%20dan%20denda%20paling
  22. ^ https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/76/pdf
  23. ^ https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/76/pdf
  24. ^ https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/ekonomi-bisnis/infografis/kerugian-negara-akibat-korupsi-di-indonesia
  25. ^ a b c d e https://katadata.co.id/safrezi/berita/6200ce92c52fb/daftar-25-negara-korupsi-terbesar-di-dunia-tahun-2021
  26. ^ a b https://www.idxchannel.com/economics/siapa-saja-negara-yang-tak-pernah-korupsi-simak-di-sini-yuk#:~:text=Selandia%20Baru%20merupakan%20negara%20pertama,pertama%20dengan%20jumlah%20skor%2088.&text=Selandia%20Baru%20konsisten%20berada%20di,korupsi%20selama%209%20tahun%20terakhir.
  27. ^ https://nasional.tempo.co/read/1501686/5-buron-kasus-korupsi-ada-yang-kabur-selama-28-tahun
  28. ^ https://www.bawaslu.go.id/id/press-release/masa-tenang-pengawas-pemilu-tangkap-tangan-25-kasus-politik-uang
  29. ^ https://bawaslu.go.id/sites/default/files/press_release/Rilis%20Dugaan%20Politik%20Uang.pdf
  30. ^ https://www.kompas.com/skola/read/2021/11/22/090000269/dampak-korupsi-dan-hukumannya?page=all
  31. ^ https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/viewFile/234/pdf

Pranala luar