Cetbang
Cetbang (juga dikenal sebagai bedil, warastra, atau meriam coak) merupakan senjata jenis meriam yang diproduksi dan digunakan pada masa kerajaan Majapahit (1293–1527 M) dan kerajaan-kerajaan di Nusantara setelahnya. Ada 2 jenis utama dari cetbang: Cetbang bergaya timur yang bentuknya mirip meriam Cina dan diisi dari depan, dan cetbang bergaya barat yang berbentuk mirip meriam Turki dan Portugis, diisi dari belakang.[1]
Etimologi
Kata "cetbang" tidak ditemukan dalam bahasa Jawa kuno, ia kemungkinan berasal dari kata Cina chongtong (銃筒), yang juga mempengaruhi kata Korea 총통 (chongtong).[1] Istilah "meriam coak" berasal dari bahasa Betawi yang berarti meriam terbuka/terkuak, merujuk pada bagian belakangnya.[2] Ia juga bisa secara sederhana disebut sebagai coak.[3]
Cetbang dalam bahasa Jawa kuno disebut sebagai bedil.[1][4][5] Ia juga disebut sebagai warastra, yang bersinonim dengan bedil.[6] Warastra adalah kata Jawa kuno, ia berarti panah sakti, panah ampuh, panah dahsyat, atau panah unggul.[7]
Deskripsi
Ada 2 jenis utama cetbang:
Cetbang bergaya timur
Pendahulunya dibawa oleh pasukan Mongol-Cina ke Jawa, sehingga bentuknya mirip meriam dan meriam tangan Cina. Cetbang bergaya timur kebanyakan dibuat dari bahan perunggu dan merupakan meriam isian depan. Ia menembakkan proyektil berupa panah, namun peluru bulat dan proyektil co-viative[catatan 1] juga dapat digunakan. Panah ini dapat berujung pejal tanpa peledak, maupun disertai bahan peledak dan pembakar di belakang ujungnya. Di bagian dekat belakang, terdapat kamar atau bilik bakar, yang merujuk kepada bagian yang menggelembung dekat belakang meriam, dimana mesiu ditempatkan. Cetbang ini dipasang pada dudukan tetap, ataupun sebagai meriam tangan yang diletakkan di ujung galah. Ada bagian mirip tabung di bagian belakang meriam. Pada cetbang jenis meriam tangan, tabung ini digunakan sebagai tempat untuk menancapkan galah.[1] Cetbang pelontar panah pastilah berguna dalam pertempuran laut terutama sebagai senjata yang digunakan untuk melawan kapal (dipasang di bawah perisai meriam haluan atau apilan), dan juga dalam pengepungan (siege), karena kemampuan proyektilnya untuk diisi peledak dan bahan pembakar.[1]
Cetbang bergaya barat
Cetbang bergaya barat berasal dari meriam prangi Turki yang datang ke Nusantara setelah tahun 1460. Sama seperti prangi, cetbang ini merupakan meriam putar isian belakang yang terbuat dari perunggu maupun besi, menembakan peluru tunggal berbentuk bulat maupun peluru sebar (peluru kecil berjumlah banyak). Untuk mencapai kecepatan penembakan yang tinggi, dapat digunakan 5 kamar pengisian peluru secara bergantian.[1]
Untuk cetbang jenis meriam putar isian belakang, yang terkecil mungkin memiliki panjang sekitar 60 cm, dan yang terbesar sekitar 2,2 m. Kaliber mereka berkisar antara 22 mm sampai 70 mm.[1] Mereka adalah meriam yang ringan dan mudah dipindahkan, sebagian besar dari mereka dapat dibawa dan ditembak oleh satu orang,[8] namun penggunaannya tidak seperti bazooka karena daya tolak balik yang terlalu tinggi dapat mematahkan tulang manusia.[1] Meriam ini dipasang di garpu putar (disebut cagak), bagian bawahnya dipasang ke lubang atau soket di kota mara kapal atau tembok benteng.[9] Sebuah "kemudi" atau lebih tepatnya popor dari kayu dimasukkan ke lubang bagian belakang meriam dengan rotan, untuk memungkinkannya diarahkan dan dibidik.[8]
Cetbang dipasang sebagai meriam tetap, meriam putar, atau dipasang pada pedati meriam. Cetbang ukuran kecil dapat dengan mudah dipasang di kapal kecil yang disebut penjajap (Portugis: pangajaua atau pangajava) dan juga lancaran. Meriam ini dipergunakan sebagai senjata anti personil, bukan anti kapal. Pada zaman ini, bahkan sampai abad ke-17, prajurit laut Nusantara bertempur di panggung di kapal yang biasa disebut balai (lihat gambar kapal di bawah). Ditembakan pada kumpulan prajurit dengan peluru scattershot (peluru sebar atau peluru gotri, dapat berupa grapeshot, case shot, atau paku dan batu), cetbang sangat efektif untuk pertempuran jenis ini.[6][10]
Sejarah
Masa Majapahit (1300-an sampai 1478)
Teknologi senjata bubuk mesiu diperkirakan masuk ke Majapahit pada saat invasi tentara Kubilai Khan dari Tiongkok di bawah pimpinan Ike Mese yang bekerjasama dengan Raden Wijaya saat menggulingkan Jayakatwang pada tahun 1293. Saat itu, tentara Mongol menggunakan senjata yang disebut 炮 (Pào) ketika menyerang pasukan Daha.[11][12][13] Senjata ini ditafsirkan berbeda oleh peneliti, ia mungkin merupakan manjanik yang melempar bom petir, senjata api, meriam, atau roket. Tidak menutup kemungkinan bahwa senjata bubuk mesiu yang dibawa pasukan Mongol-Cina berjumlah lebih dari 1 jenis.[1]
Stamford Raffles menulis dalam bukunya The History of Java bahwa pada tahun 1247 saka (1325 M), meriam telah banyak digunakan di Jawa terutama oleh Majapahit. Tercatat bahwa kerajaan-kerajaan kecil di Jawa yang meminta perlindungan pada Majapahit harus menyerahkan meriam mereka kepada Majapahit.[14][15] Majapahit di bawah Mahapatih (perdana menteri) Gajah Mada (bertugas tahun 1331–1359) memanfaatkan teknologi senjata bubuk mesiu yang diperoleh dari dinasti Yuan untuk digunakan dalam armada laut.[16] Salah satu catatan paling awal tentang adanya meriam dan penembak artileri di Jawa adalah dari tahun 1346.[17]
Kerajaan tetangga Majapahit, Sunda, dicatat menggunakan bedil selama pertempuran Bubat tahun 1357. Kidung Sunda pupuh 2 bait 87–95 menyebutkan bahwa orang Sunda memiliki juru-modya ning bedil besar ing Bahitra (pembidik / operator meriam besar pada kapal-kapal) di sungai dekat alun-alun Bubat. Pasukan Majapahit yang berada di dekat sungai itu tidak beruntung: Mayat-mayat mereka hampir tidak bisa disebut mayat, mereka cacat, tercabik-cabik dengan cara yang paling mengerikan, lengan dan kepala terlempar. Bola meriam dikatakan dilepaskan seperti hujan, yang memaksa pasukan Majapahit mundur di bagian pertama pertempuran.[18]
Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) mengunjungi Jawa pada 1413 dan membuat catatan tentang adat setempat. Bukunya, Yingyai Shenlan, menjelaskan bahwa meriam ditembakan dalam upacara pernikahan Jawa ketika sang suami mengawal istri barunya ke rumah perkawinan bersamaan dengan suara gong, drum, dan petasan.[6]
Karena dekatnya hubungan maritim Nusantara dengan wilayah India barat, setelah tahun 1460 jenis senjata bubuk mesiu baru masuk ke Nusantara melalui perantara orang Arab. Senjata ini sepertinya adalah meriam dan bedil tradisi Turki Usmani, misalnya prangi, yang merupakan meriam putar isian belakang.[1]
Munculnya Islam (1478–1600)
Menurut catatan Portugis yang datang ke Malaka pada abad ke-16, telah terdapat perkampungan besar dari pedagang Jawa yang diketuai oleh seorang kepala kampung. Orang-orang Jawa di Malaka juga membuat meriam sendiri secara swadaya, dimana meriam pada saat itu sama bergunanya dengan layar pada kapal dagang.[19]
De Barros dan Faria e Sousa menyebutkan bahwa saat jatuhnya kesultanan Malaka (1511), Albuquerque merebut 3.000 dari 8.000 artileri. Di antaranya, 2.000 terbuat dari kuningan dan sisanya dari besi, dalam gaya meriam berço Portugis. Semua artileri memiliki pedati meriam yang tepat yang tidak dapat disaingi bahkan oleh Portugal.[20][21][22] Meriam yang ditemukan berasal dari berbagai jenis: esmeril (meriam putar 1/4 sampai 1/2 pon,[23] mungkin merujuk pada cetbang atau lantaka), falconet (meriam putar cor perunggu yang lebih besar dari esmeril, 1 sampai 2 pon,[23] mungkin merujuk pada lela), saker berukuran sedang (meriam panjang atau culverin diantara 6–10 pon),[24][25] dan bombard (meriam yang pendek, gemuk, dan berat).[26] Orang Melayu juga memiliki 1 buah meriam besar yang cantik, dikirim oleh raja Kalikut.[26][27] Banyaknya artileri di Malaka berasal dari berbagai sumber di kepulauan Nusantara: Pahang, Jawa, Brunei, Minangkabau, dan Aceh.[20][28][29]
Perlu dicatat bahwa, meskipun memiliki banyak artileri dan senjata api, senjata kesultanan Malaka umumnya dan sebagian besarnya dibeli dari orang Jawa dan Gujarat, di mana orang Jawa dan Gujarat bertugas sebagai operator senjata. Pada awal abad ke-16, sebelum kedatangan Portugis, orang Melayu adalah orang-orang tanpa senjata bubuk mesiu. Sejarah Melayu menyebutkan bahwa pada tahun 1509 mereka tidak mengerti "mengapa peluru membunuh", menunjukkan ketidakbiasaan mereka menggunakan senjata api dalam pertempuran, jika tidak dalam upacara.[30] Sebagaimana dicatat Sejarah Melayu:
Setelah datang ke Melaka, maka bertemu, ditembaknya dengan meriam. Maka segala orang Melaka pun hairan, terkejut mendengar bunyi meriam itu. Katanya, "Bunyi apa ini, seperti guruh ini?". Maka meriam itu pun datanglah mengenai orang Melaka, ada yang putus lehernya, ada yang putus tangannya, ada yang panggal pahanya. Maka bertambahlah hairannya orang Melaka melihat fi'il bedil itu. Katanya: "Apa namanya senjata yang bulat itu maka dengan tajamnya maka ia membunuh?" [31]
Buku Asia Portuguesa oleh Manuel de Faria y Sousa mencatat kisah serupa, walaupun tidak se-spektakuler yang digambarkan dalam Sejarah Melayu.[32]
Meriam cetbang Majapahit tetap digunakan dan dilakukan improvisasi pada zaman Kesultanan Demak, terutama pada invasi Kerajaan Demak ke Malaka (1513). Bahan baku besi untuk pembuatan meriam jawa tersebut diimpor dari daerah Khurasan di Persia utara, terkenal dengan sebutan wesi kurasani.[33] Saat Portugis datang ke wilayah Nusantara, mereka menyebutnya sebagai berço (dibaca: berso), istlah yang juga digunakan untuk menyebut meriam putar isian belakang (breech-loading swivel gun) buatan manapun, sedangkan orang Spanyol menyebutnya sebagai Verso.[10]
Masa kolonial (1600–1945)
Ketika Belanda merebut benteng Somba Opu orang Makassar (1669), mereka merebut 33 meriam perunggu besar dan kecil, 11 meriam besi cor, 145 base (meriam putar isian belakang) dan 83 tabung pengisiannya, 60 senapan lontak, 23 senapan sundut, 127 laras senapan lontak, dan 8483 peluru.[25]
Meriam putar isian belakang perunggu yang disebut ba'dili,[34][35] dibawa oleh pelaut Makassar dalam pelayaran mencari teripang ke Australia. Matthew Flinders mencatat penggunaan meriam kecil di atas perahu Makassar di Northern Territory pada tahun 1803.[36] Vosmaer (1839) menulis bahwa para nelayan Makassar kadang-kadang membawa meriam kecil mereka ke darat untuk membentengi kubu pertahanan yang mereka bangun di dekat kampung pengolahan mereka untuk mempertahankan diri melawan orang Aborigin yang bermusuhan.[37] Dyer (sekitar tahun 1930) mencatat penggunaan meriam oleh orang Makassar, khususnya meriam isian belakang dari bahan perunggu dengan kaliber 2 inci (50,8 mm).[38][3]
Amerika bertempur melawan suku Moro yang dilengkapi dengan meriam putar isian belakang di Filipina pada tahun 1904.[8] Meriam-meriam ini biasanya disebut sebagai lantaka atau lantaka isian belakang.[39]
Cetbang yang masih ada
Saat ini beberapa meriam cetbang tersimpan di:
- Museum Bali, Denpasar, Bali. Meriam Bali kategori cetbang ini terdapat di pelataran Museum Bali.
- Metropolitan Museum of Art, New York, Amerika Serikat. Meriam yang tersimpan disana diperkirakan berasal dari abad ke-15, terbuat dari perunggu dan berdimensi panjang 37,4375 inci (95,1 cm).[40]
- Museum Luis de Camoes di Makau mempunyai cetbang yang sangat berornamen. Tahun pembuatannya tidak diketahui.
- Museum Talaga Manggung, Majalengka, Jawa Barat. Berbagai cetbang masih terawat dengan baik. Adanya ritual mandi pusaka, termasuk cetbang, menjadikan cetbang sangat terawat.[41]
- Beberapa cetbang dapat ditemukan pada Museum Anthropologi Nasional Filipina di Manila.
- Museum Fatahillah memiliki meriam coak yang dilabeli sebagai "Meriam Cirebon", Pada dudukan tetap yang berornamentasi. Ukuran pajangannya adalah PxLxT 234x76x79 cm.[42]
- Beberapa contoh dan bagian-bagian cetbang dapat ditemukan di Rijksmuseum, Belanda, dilabeli sebagai lilla (meriam lela).
- Sebuah cetbang ditemukan di sungai Beruas, Perak, pada 1986. Sekarang ditampilkan di museum Beruas.[43]
Berbagai meriam cetbang juga ada di:
- Pantai Dundee, Northern Territory, Australia pada 2 Januari 2010, dikenal sebagai "Dundee Beach swivel gun". Dari hasil riset oleh Department of Arts & Museum, Northern Territory Government disimpulkan bahwa meriam putar yang ditemukan terbuat dari perunggu diperkirakan berasal dari tahun 1750, sebelum datangnya penjelajah Inggris James Cook.[44] Setelah dibandingkan dengan meriam kecil lain dari Eropa maupun Asia, meriam kecil tersebut lebih mendekati model meriam kecil dari Asia Tenggara (meriam Ternate, meriam Makassar, meriam Bali), dan kemungkinan besar itu berasal dari Makassar. Tidak ada dalam komposisi kimianya, gaya, atau bentuknya yang cocok dengan meriam putar isian belakang Portugis.[3]
- Dusun Bissorang, Kabupaten Kepualauan Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Terdapat peninggalan meriam kuno berjenis cetbang yang diperkirakan berasal dari zaman Majapahit. Meriam ini dalam kondisi yang cukup baik dan dirawat oleh warga setempat. Warga setempat menyebut cetbang ini ba'dili atau Papporo Bissorang.[34][35]
- Desa Lubuk Mas di kecamatan Rawas Ulu, Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan, Indonesia. Merupakan peninggalan era Mataram Islam (1587–1755) yang ada di Sumatera Selatan.[45]
- Cetbang beroda empat dapat ditemukan di Istana Panembahan Matan, Mulia Kerta, Kalimantan Barat.[46]
- Dua meriam dapat ditemukan di desa Elpa Putih, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah. Diperkirakan berasal dari kerajaan-kerajaan Islam Jawa abad 16–17.[47]
- Dua buah meriam bernama Ki Santomo dan Nyi Santoni dapat ditemukan di Keraton Kasepuhan (di Cirebon). Mereka dilabeli sebagai "Meriam dari Mongolia".[48] Ada keraguan mengenai tempat asal dari meriam tersebut, karena bentuknya mirip naga Cina.[1]
Galeri
-
Meriam kuno jenis cetbang yang ditemukan di Pulau Selayar (Foto: Sharben Sukatanya—Selayar)
-
Cetbang yang tersimpan di pelataran Museum Bali. Panjang: 1833 mm, kaliber: 43 mm, panjang ekor: 315 mm, bagian terlebar: 190 mm (pada cincin pangkal).
-
Bedil naga yang ditemukan di Great Barrier Reef. Berasal dari Indonesia dan diproduksi antara tahun 1630 dan 1680. Meriam ini menunjukkan bahwa kapal-kapal Asia mengunjungi garis pantai Australia timur sebelum pelayaran James Cook.
-
Meriam keramat perunggu di Jawa, dengan blok pengisian terpasang, sekitar 1866. Wanita-wanita Melayu datang berbicara dengan makhluk halus penunggu meriam ini, dan berdoa meminta anak.
-
"Lilla" isian belakang, Rijksmuseum, sekitar tahun 1750–1850. Panjang 180,5 cm, lebar 21,5 cm, kaliber: 4,5 cm, berat: 120,8 kg.
-
Meriam coak yang dijuluki "Meriam Cirebon" dari Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah).
-
Dua meriam di Keraton Kasepuhan, berlabel "Meriam dari Mongolia". Kepala naganya lebih mirip dengan naga Cina (long) daripada naga Jawa.
Catatan
- ^ Salah satu jenis peluru sebar—saat ditembak mengeluarkan semburan api, serpihan dan butiran peluru, dan bisa juga panah. Ciri-ciri proyektil ini adalah pelurunya tidak menutupi keseluruhan lubang laras. Needham, Joseph (1986). Science and Civilisation in China, Volume 5: Chemistry and Chemical Technology, Part 7, Military Technology: The Gunpowder Epic. Cambridge: Cambridge University Press. Hal. 9 dan 220.
Senjata serupa
- Chongtong, meriam Korea yang diadaptasi dari meriam dinasti Yuan dan Ming
- Bo-hiya, panah api Jepang
- Huochong, meriam tangan Cina
- Bedil tombak, meriam tangan Nusantara
Lihat juga
- Lantaka, meriam putar yang digunakan secara umum di Malaysia, Indonesia, dan Filipina pada abad ke-16 dan abad selanjutnya.
- Lela, versi lebih besar dari lantaka
- Meriam kecil miniatur, meriam yang digunakan sebagai alat tukar
- Arquebus Jawa, senapan kuno yang juga disebut "bedil"
- Meriam kecil
- Jong Jawa
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k Averoes, Muhammad (2020). Antara Cerita dan Sejarah: Meriam Cetbang Majapahit. Jurnal Sejarah, 3(2), 89 - 100.
- ^ Museum Nasional (1985). Meriam-Meriam Kuno di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- ^ a b c Clark, Paul (2013). Dundee Beach Swivel Gun: Provenance Report. Northern Territory Government Department of Arts and Museums.
- ^ "Mengejar Jejak Majapahit di Tanadoang Selayar - Semua Halaman - National Geographic". nationalgeographic.grid.id. Diakses tanggal 2020-03-22.
- ^ Arthomoro (14 November 2019). "Mengenal Cetbang / Meriam Kerajaan Majapahit dari Jenis , Tipe dan Fungsinya". kompilasitutorial.com. Diakses tanggal 2020-03-22.
- ^ a b c Manguin, Pierre-Yves (1976). "L'Artillerie legere nousantarienne: A propos de six canons conserves dans des collections portugaises". Arts Asiatiques. 32: 233–268.
- ^ Mardiwarsito, L. (1992). Kamus Indonesia-Jawa Kuno. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- ^ a b c Ooi, Keat Gin (2004). Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor. ABC-CLIO. ISBN 9781576077702.
- ^ "Cannons of the Malay Archipelago". www.acant.org.au. Diakses tanggal 2020-01-25.
- ^ a b Wade, Geoff. (2012). Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-981-4311-96-0
- ^ Schlegel, Gustaaf (1902). "On the Invention and Use of Fire-Arms and Gunpowder in China, Prior to the Arrival of European". T'oung Pao. 3: 1–11.
- ^ Lombard, Denys (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. 208.
- ^ Reid, Anthony (2011). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II: Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Hal. 255.
- ^ Raffles, Thomas Stamford (1830). The History of Java. London: John Murray, Albemarle Street.
- ^ Yusof, Hasanuddin (September 2019). "Kedah Cannons Kept in Wat Phra Mahathat Woramahawihan, Nakhon Si Thammarat". Jurnal Arkeologi Malaysia. 32: 59–75.
- ^ Pramono, Djoko (2005). Budaya Bahari. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9789792213768.
- ^ Beauvoir, Ludovic (1870). A Voyage Round the World, Volume 2. J. Murray. hlm. 91.
- ^ Berg, C. C., 1927, Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen, BKI LXXXIII : 1-161.
- ^ Furnivall, J. S. (2010). Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge University Press. Halaman 9: "when Portuguese first came to Malacca they noticed a large colony of Javanese merchants under its own headman; the Javanese even founded their own cannon, which then, and for long after, were as necessary to merchant ships as sails."
- ^ a b Partington, J. R. (1999). A History of Greek Fire and Gunpowder (dalam bahasa Inggris). JHU Press. ISBN 978-0-8018-5954-0.
- ^ Crawfurd, John (1856). A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries. Bradbury and Evans.
- ^ Birch, Walter de Gray (1875). The Commentaries of the Great Afonso Dalboquerque, Second Viceroy of India, translated from the Portuguese edition of 1774 volume 3. London: The Hakluyt society.
- ^ a b Manucy, Albert C. (1949). Artillery Through the Ages: A Short Illustrated History of the Cannon, Emphasizing Types Used in America. U.S. Department of the Interior Washington. hlm. 34.
- ^ Lettera di Giovanni Da Empoli, with introduction and notes by A. Bausani, Rome, 1970, page 138.
- ^ a b Tarling, Nicholas (1992). The Cambridge History of Southeast Asia: Volume 1, From Early Times to C.1800. Cambridge University Press. ISBN 9780521355056.
- ^ a b Charney, Michael (2004). Southeast Asian Warfare, 1300-1900. BRILL. ISBN 9789047406921.
- ^ Crawfurd, John (1856). A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries. Bradbury and Evans.
- ^ Ismail, Norain B. T. (2012). Peperangan dalam Historiografi Johor: Kajian Terhadap Tuhfat Al-Nafis. Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya.
- ^ Ayob, Yusman (1995). Senjata dan Alat Tradisional. Selangor: Penerbit Prisma Sdn Bhd.
- ^ Charney, Michael (2012). Iberians and Southeast Asians at War: the Violent First Encounter at Melaka in 1511 and After. Di Waffen Wissen Wandel: Anpassung und Lernen in transkulturellen Erstkonflikten. Hamburger Edition.
- ^ Kheng, Cheah Boon (1998). Sejarah Melayu The Malay Annals MS RAFFLES No. 18 Edisi Rumi Baru/New Romanised Edition. Academic Art & Printing Services Sdn. Bhd.
- ^ Koek, E. (1886). "Portuguese History of Malacca". Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society. 17: 117–149.
- ^ Anonymous (2020). "Cetbang, Teknologi Senjata Api Andalan Majapahit". 1001 Indonesia. Diakses tanggal 22 March 2020.
- ^ a b "Ditemukan, Meriam Kuno Peninggalan Majapahit di Selayar". www.kabarkami.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-08-06. Diakses tanggal 2017-01-17.
- ^ a b Amiruddin, Andi Muhammad Ali (2017). Surga kecil Bonea Timur. Makassar: Pusaka Almaida. hlm. 15. ISBN 9786026253385.
- ^ Flinders, Matthew (1814). A Voyage to Terra Australis. London: G & W Nichol.
- ^ Vosmaer, J. N. (1839). "Korte beschrijving van het Zuid- Oostelijk schiereiland van Celebes, in het bijzonder van de Vosmaers-Baai of van Kendari". Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kusten en Wetenschapen. 17: 63–184.
- ^ Dyer, A. J. (1930). Unarmed Combat: An Australian Missionary Adventure. Edgar Bragg & Sons Pty. Ltd., printers 4-6 Baker Street Sydney.
- ^ "National Museum of the Philippines, Part III (Museum of the Filipino People)". Wandering Bakya (dalam bahasa Inggris). 2014-08-15. Diakses tanggal 2020-06-18.
- ^ "Cannon | Indonesia (Java) | Majapahit period (1296–1520) | The Met". The Metropolitan Museum of Art, i.e. The Met Museum. Diakses tanggal 2017-01-17.
- ^ "Museum Talaga Manggung-Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat". www.disparbud.jabarprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-23. Diakses tanggal 2018-06-30.
- ^ "Museum Sejarah Jakarta". Rumah Belajar. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-09. Diakses tanggal 9 February 2019.
- ^ Amran, A. Zahid (2018-09-22). "Kerajaan Melayu dulu dah guna senjata api berkualiti tinggi setaraf senjata buatan Jerman | SOSCILI" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-03-23.
- ^ La Canna, Xavier (22 May 2014). "Old cannon found in NT dates to 1750s". Australian Broadcasting Corporation.
- ^ Sukandar Rawas (2017-10-22), Meriam kuno lubuk mas, diakses tanggal 2018-05-27
- ^ Rodee, Ab (11 August 2017). "Meriam Melayu". Picbear. Diakses tanggal 16 July 2018.[pranala nonaktif permanen]
- ^ Handoko, Wuri (July 2006). "Meriam Nusantara dari Negeri Elpa Putih, Tinjauan Awal atas Tipe, Fungsi, dan Daerah Asal". Kapata Arkeologi. 2: 68–87.
- ^ "Palace Kasepuhan-Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat". www.disparbud.jabarprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-10-05. Diakses tanggal 2020-09-01.