Wikipedia:Bak pasir
J. Mario Belougi
Jasriel Mario Belougi (lahir Mei 1975) adalah seorang aktivis dan akademisi Indonesia asal Sulawesi Utara.
Prof. (H.C.) J. Mario Belougi | |
---|---|
Berkas:Zinedine Zidane & J. Mario Belougi.jpg | |
Lahir | 5 Mei 1975 Manado, Sulawesi Utara |
Pendidikan | Grassroots Political Studies (GPS) |
Almamater | National University of East Timor (B.A) Universidade da Paz (M.A) |
Pekerjaan | Diplomat |
Grup parlemen | Nonparlemen |
Suami/istri |
Dorcas L. Coloay (alhm) |
Anak | 3 |
Tanda tangan | |
Catatan perjalanan
J. Mario Belougi menjalani kehidupan awal di pinggiran Kota Manado, Sulawesi Utara. Pada tahun 1980, Belougi pindah ke Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, di sini awal mula Belougi mengenal kehidupan jalanan dan berafiliasi dengan komunitas arus bawah, Ia melakoni aktivitasnya sebagai pengamen jalanan sejak tahun 1990-an. Setamat SMA tahun 1994 Belougi mendaftar di fakultas pertanian Universitas Hasanuddin namun ia tidak dapat melanjutkan pendidikan di universitas tersebut karena faktor biaya, untuk dapat menyambung hidup Belougi kembali melakoni aktivitasnya sebagai pengamen jalanan. Kehidupan jalan yang keras kemudian membawa Belougi ke dunia aktivisme dan bertemu dengan tokoh-tokoh aktivis dan intelektual publik seperti Zohra Andi Baso, Abdul Nasser dan George Aditjondro. Sejak awal Belougi menunjukkan sikap kontra terhadap oligarki, ia berkali-kali ditahan oleh pihak berwajib atas penolakannya terhadap segala bentuk diskriminasi dan intimidasi terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Pada tahun 1995, George Aditjondro merekomendasi Belougi untuk bergabung dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat di Palu, Sulawesi Tengah, di sini Belougi banyak terlibat diskusi bersama Studi Politik Akar Rumput (Grassroots Political Studies) untuk mengawal pembangunan demokrasi dan politik di daerah tertinggal, bersama lembaga tersebut Belougi mengawali gerakan akar rumput di pedalaman Indonesia untuk menolak dogmatisme pemerintah yang mengurung kebebasan dan merampas hak-hak dasar rakyat dalam demokrasi dan politik.
Setelah situasi politik mulai bergejolak tahun 1996, Belougi menghimpun elemen-elemen pergerakan di berbagai daerah untuk bergerak progresif bersama Koalisi Akar Rumput dan menyalurkan aspirasi politiknya bersama Partai Uni Demokrasi Indonesia yang diketuai oleh tokoh pergerakan Dr. Sri Bintang Pamungkas.
Pada masa kampanye Pemilu 1997, untuk kesekian kalinya Belougi ditahan oleh pihak berwajib atas sikap kritisnya terhadap kejahatan politik yang sarat rekayasa dan membohongi rakyat, hal ini terkait sikap pemerintah yang tidak mengakui keberadaan Partai Uni Demokrasi Indonesia sebagai partai politik di Indonesia, menganulir kepemimpinan Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum Partai Demokrasi Indonesia serta mengacaukan kepengurusan DPP Partai Persatuan Pembangunan. Isu kejahatan politik yang dilancarkan Belougi terhadap pemerintah berdampak dengan tingginya angka golput pada Pemilu 1997 serta menjadi salah satu pemicu lahirnya pergolakan di berbagai daerah hingga berakhirnya rezim otoriter di Indonesia tahun 1998.
Pada masa pemerintahan Presiden B. J. Habibie, Belougi melakukan aktivisme di pedalaman daerah konflik Timor Timur, Belougi banyak menyoroti masalah sosial, demokrasi dan hak asasi manusia, Ia dikabarkan menjadi korban dalam serangan Pembantaian Gereja Katolik Liquica tahun 1999. Belougi disinyalir memiliki rekaman data kejahatan politik dan kemanusiaan di Timor Timur yang bakal dipertaruhkan pegiat hak asasi manusia di Mahkamah Pidana Internasional. Kantor berita Australian Associated Press (AAP) dan BBC London menyebut peristiwa Liquica menelan korban jiwa 200 orang lebih dari Umat Katolik, serta keterkaitan nama aktivis Indonesia J. Mario Belougi adalah bagian dari skenario politik untuk memuluskan langkah B. J. Habibie meraih Nobel Perdamaian namun tidak terwujud.
Pasca lepasnya Timor Timur dari NKRI, Belougi melanjutkan aktivitasnya di pedalaman Indonesia. Pada Februari 2000, Belougi menggulirkan gagasan perawatan pulau-pulau terluar dalam kampanye kedaulatan lingkungan dari kejahatan kemanusiaan, kegiatan ini mengambil titik nol di Pulau Benggala, Aceh sebagai Pilot Project, dan melibatkan anak-anak muda Aceh yang putus sekolah sebagai fasilitator. Sosok Belougi menjadi kontroversi setelah beredarnya rekaman Belougi terlibat pembicaraan serius bersama pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Hasan Tiro di suatu tempat yang tidak diketahui. GAM disinyalir berlindung dibalik kegiatan tersebut untuk memasok logistik ke daerah pelosok, hal ini membuat aktivitas Belougi di Aceh terhenti pada Februari 2001.
Sosok Belougi kembali menjadi sorotan publik setelah namanya dikaitkan sebagai otak pelaku Insiden Pengibaran Bendera Filipina di Pulau Miangas tahun 2005, hal ini sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang mengabaikan kedaulatan lingkungan, demokrasi dan hak asasi manusia yang berdampak pada kesenjangan sosial dan ekonomi rakyat di pulau-pulau terluar, insiden tersebut mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia dengan membangun infrastruktur dan fasilitas umum seperti bandara dan pelabuhan, serta memberi status kewarganegaraan (WNI) untuk pemenuhan hak-hak warga di pulau terluar.
Kehidupan pribadi
J. Mario Belougi menikah dan memiliki dua putri; Wanda Belougi (2002) dan Melani Belougi (2004) serta seorang putra; Ayyas Belougi (2012).