A.P.T. Pranoto
Aji Pangeran Tumenggung Pranoto atau biasa disingkat A.P.T. Pranoto (14 Februari 1906 – 19 Juni 1976), adalah Gubernur Kalimantan Timur yang pertama dan menjabat dari tahun 1957 hingga 1961. Semasa Perang Kemerdekaan, Pranoto bertindak sebagai kepala kepolisian Kesultanan Kutai. Meski demikian, dia bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.[1]
A.P.T. Pranoto | |
---|---|
Gubernur Kalimantan Timur ke-1 | |
Masa jabatan 9 Januari 1957 – 1961 | |
Presiden | Soekarno |
Pendahulu Jabatan baru | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Aji Addin 14 Februari 1906 Tenggarong, Hindia Belanda |
Meninggal | 19 Juni 1976 Jakarta, Indonesia | (umur 70)
Partai politik | PIR-Hazairin Nahdhatul Ulama |
Orang tua | Aji Muhammad Alimuddin (ayah) |
Profesi | Politisi |
Sunting kotak info • L • B |
Pranoto kemudian menjabat sebagai Residen Kalimantan Timur pada tahun 1956, sebelum menjadi gubernur pada tahun berikutnya. Dia juga anggota Partai Persatuan Indonesia Raya (PIR) Hazairin, lalu beralih menjadi anggota Partai Nahdhatul Ulama (NU) setelah PIR dibubarkan.[2] Masa jabatannya berakhir ketika dia ditahan pada tahun 1961 atas tuduhan korupsi. Pranoto ditahan di Balikpapan, lalu dipindahkan ke Jakarta, di mana kelak dia meninggal dunia pada tahun 1976 akibat kondisi penjara yang buruk.[3]
Awal kehidupan
Pranoto lahir di Tenggarong pada tanggal 14 September 1906 dengan nama Aji Addin. Dia merupakan putra ketujuh dari Sultan Aji Muhammad Alimuddin dan saudara tiri dari Aji Muhammad Parikesit, sultan Kutai yang terakhir.[1][4] Pranoto menempuh studi di OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) di Makassar dan setelah lulus, bekerja sebagai juru tulis pemerintah kesultanan di Tenggarong. Kemudian, Pranoto menjadi kepala distrik di Kota Bangun dan Sangasanga dari tahun 1927 hingga 1929. Dia diangkat menjadi Tumenggung (perdana menteri) pada tahun 1935.[2][4]
Kehidupan di Masa Revolusi
Pada masa Revolusi Nasional, Pranoto menjabat sebagai kepala kepolisian Kesultanan Kutai. Namun, akibat simpatinya terhadap kemerdekaan Indonesia, dia tidak pernah menindak tegas para pejuang dan dengan sengaja menutup mata terhadap aksi-aksi mereka. Bahkan, saat utusan Barisan Sadewa mendatanginya pada tahun 1946, Pranoto menegaskan sendiri bahwa kesultanan bersedia untuk mendukung mereka.[1][2]
Meski demikian, Pranoto tidak pernah menentang Belanda secara terang-terangan. Bahkan, dia masih menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Pada tanggal 27 Agustus 1947, dia diangkat menjadi kesatria Orde Oranye-Nassau.[5] Pranoto pun hadir dalam acara peresmian Ereveld Balikpapan pada tanggal 30 November 1948.[6] Pada tahun 1949, dia menjadi anggota delegasi dari Kalimantan Timur, bersama dengan Aji Raden Afloes, Aji Pangeran Sosronegoro, dan Aji Raden Djokoprawiro, yang pergi ke Batavia untuk membahas mengenai Negara Kalimantan Timur dengan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg)[7]
Selain itu, Pranoto juga melanjutkan studinya di Fakultas Indologi Universitas Leiden pada bulan Oktober 1947 selama sepuluh bulan. Pranoto berangkat dari Makassar ke Belanda dan tinggal di Huize Koetei di Wassenaar, sebuah rumah yang dibeli oleh pemerintah Belanda dengan bantuan kesultanan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal keluarga kesultanan dan pelajar dari Kalimantan Timur di Belanda.[8] Setelah menyelesaikan studinya, dia kembali ke Kalimantan dan tiba di Balikpapan pada tanggal 10 Agustus 1948.[9]
Karir politik
Menaiki tangga birokrasi
Berkat simpatinya terhadap kemerdekaan Indonesia, Pranoto dapat menaiki tangga birokrasi dengan mudah. Dia diangkat sebagai Bupati yang diperbantukan kepada Gubernur Kalimantan pada tanggal 26 Agustus 1952.[1][4] Dia kemudian bergabung dan menjadi pengurus Partai PIR (Persatuan Indonesia Raya) di Kalimantan Timur, memberi dukungan terhadap Aji Raden Djokoprawiro yang saat itu menjadi anggota DPR mewakili partai tersebut dan juga sesama bangsawan Kutai. Saat terjadi perpecahan di tubuh PIR, Pranoto bergabung dengan fraksi Hazairin.[10]
Melalui bantuan dari Djokoprawiro dan Hazairin dan kedudukannya sebagai pejabat senior dalam jajaran pamong praja, dia ditunjuk menjadi Residen Kalimantan Timur pada tahun 1954 oleh Gubernur Kalimantan, R.T.A. Milono, yang juga seorang anggota PIR.[11][12] Pengangkatan tersebut ditentang oleh banyak pihak. Semua partai politik kecuali PIR menolak pengangkatan tersebut. A. Soelaiman, seorang pimpinan PNI di Samarinda, menganggap Pranoto tidak cakap dalam mengurus wilayah Kutai dan meragukan kapasitasnya sebagai residen. Sikap Pranoto yang dipandang pro-swapraja dan menganaktirikan Bulungan dan Berau juga menjadi faktor lain ketidakpopulerannya.[11] Meski demikian, karirnya tidak surut. Dia kemudian ditunjuk sebagai pelaksana tugas (Plt) Gubernur Kalimantan Timur yang pertama pada tanggal 9 Januari 1957 dan baru secara resmi dilantik menjadi gubernur pada tahun 1959.[1][2]
Karir sebagai Gubernur
Akibat afiliasinya terhadap kelompok pro-swapraja, Pranoto sudah ditentang sejak awal masa jabatannya. Menjelang kedatangannya dari Banjarmasin ke Balikpapan pada tanggal 18 Januari 1957, tersebar desas-desus bahwa Pranoto akan diculik oleh sekelompok orang. Sekalipun tidak terjadi, selama perjalanan dari Balikpapan ke Samarinda, rombongan Pranoto mendapat beberapa sambutan yang tidak ramah, seperti sebuah poster yang bertuliskan "kami tidak setuju dengan gubernur eks-NICA".[13]
Selain itu, Pranoto juga harus menghadapi isu penyelundupan kopra. Menurut laporan dari pemerintah daerah, selama bulan Juni hingga Juli 1958, kurang lebih 10.000 ton kopra diselundupkan dari Kalimantan Timur ke Tawau. Perdagangan gelap ini memerlukan setidaknya 500 kapal untuk menjalankan operasinya dan membuat pemerintah pusat mengalami kerugian sebesar Rp 4 juta. Pranoto, yang sejak lama menentang praktik ini, berupaya untuk menindak tegas dengan meminta bantuan tambahan kapal patroli dari pemerintah pusat.[14][15] Pranoto juga dihadapkan dengan kasus korupsi oleh Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) yang menyebabkan kerugian besar bagi negara, di mana dia berjanji akan melakukan penyelidikan.[16]
Masa pemerintahannya juga diwarnai beberapa kemajuan. Untuk memajukan perekonomian daerah, Pranoto berhasil memperoleh izin untuk menetapkan Tarakan sebagai pelabuhan terbuka. Selain itu, dia juga berhasil meneken perjanjian dagang dengan Polandia untuk ekspor kopra dengan imbalan bantuan pinjaman materiil untuk pembangunan pabrik dan empat buah kapal dagang, masing-masing berkapasitas 600 ton. Pranoto juga mengadakan perjanjian konsesi ekstraksi minyak dengan Amerika Serikat.[14] Dia juga berjasa dalam mendirikan sebuah balai wartawan dan memberi nama pada sebuah surat kabar, Wisma Berita.[4]
Persaingan kekuasaan
Kedudukan Pranoto sebagai Gubernur sangat menguntungkan golongan bangsawan Kutai. Dia mengangkat Aji Raden Padmo, sesama bangsawan dan anggota PIR, sebagai Bupati Kabupaten Kutai yang pertama pada tanggal 20 Januari 1960. Pada hari yang sama, Pranoto juga mengangkat beberapa kepala daerah yang hampir semua berasal dari kalangan bangsawan, seperti Aji Raden Sayid Mohammad sebagai Wali Kota Balikpapan, Aji Raden Muhammad Ajub sebagai Bupati Berau, dan Andi Tjatjo gelar Datuk Wihardja sebagai Bupati Bulungan. Hanya Kapten Soedjono A.J. selaku Wali Kota Samarinda yang bukan berasal dari golongan bangsawan.[17] Setelah pembubaran PIR-Hazairin pada masa Demokrasi Terpimpin, Pranoto bergabung dengan Partai NU (Nahdhatul Ulama).[2] Selain itu, sebagai Gubernur, Pranoto juga menjabat sebagai pengurus daerah Front Nasional di Kalimantan Timur pada tahun 1961.[18]
Menguatnya kedudukan bangsawan tidak disukai oleh golongan pejuang yang antifeodal dan terpusat di Balikpapan dan Samarinda. Mereka terlibat dalam persaingan politik dengan para bangsawan. Sebagian besar dari para pejuang di Samarinda tergabung dalam PNI, sedang di Balikpapan didominasi oleh Murba. Untuk menandingi Pranoto, PNI menunjuk Inche Abdul Muis, yang juga seorang anggota partai, sebagai Kepala Daerah Kalimantan Timur. Penunjukkan ini dipermudah dengan dominasi PNI di DPRD Provinsi Kalimantan Timur. PNI menggunakan UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang mewajibkan Gubernur bekerja sama dengan seorang Kepala Daerah dalam menjalankan pemerintahan, sebagai dasar hukum untuk penunjukkan ini.[1][19]
Pemenjaraan dan kematian
Selain golongan pejuang, Pranoto juga tidak disukai oleh pihak militer, terutama Pangdam IX/Mulawarman, Brigjen Soehario Padmodiwirio yang antifeodal dan dekat dengan golongan kiri. Jenderal Abdul Haris Nasution juga memandang negatif Pranoto, menganggapnya "menyeleweng" sejak dia hendak mengangkat Pangdam sebelumnya, Kolonel Hartojo, menjadi seorang pangeran. Izin yang diberikan oleh Pranoto kepada Bupati Bulungan saat itu, Andi Tjatjo, untuk bebas bepergian ke Tawau juga menambah rasa curiga Soehario padanya.[20] Soehario juga menganggap Pranoto bertanggung jawab atas nasib malang para transmigran dari Jawa Tengah di Petung, yang alih-alih mengerjakan lahan pertanian, terpaksa mengerjakan proyek pemasangan pipa minyak BPM dari Tanjung ke Balikpapan dan diterlantarkan begitu saja sehingga sebagian besar terpaksa mengemis di Balikpapan.[21]
Atas tuntutan DPRD Kalimantan Timur, pada tahun 1961, Pranoto ditahan oleh pihak kepolisian atas tuduhan tindak korupsi penggelapan uang negara sebesar Rp 13 juta. Kasusnya ditangani oleh Kejaksaan Agung dan Pranoto menjalani persidangan di Jakarta.[22] Untuk menggantikan Pranoto, Soehario mengusulkan Abdoel Moeis Hassan, salah seorang calon yang diusung PNI, kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Ipik Gandamana.[23] Dia kemudian ditahan di markas Kodam Mulawarman di Balikpapan, sebelum dipindahkan ke RTM (Rumah Tahanan Militer) di Jakarta. Pranoto akhirnya meninggal pada tanggal 19 Juni 1976 sebagai tahanan akibat kondisi penjara yang buruk.[3] Adapun sumber lain menyebutkan bahwa Pranoto meninggal di kediaman anaknya di Samarinda.[4]
Meskipun tuduhan tersebut terbukti benar, namun menurut Harun Nafsi, yang sebenarnya dilakukan Pranoto adalah membagi-bagikan uang tersebut kepada kawan-kawan dan sekutunya yang benar-benar memerlukan uang. Hal ini sudah menjadi kebiasaannya sejak masih menjadi pejabat kesultanan, sehingga dapat disimpulkan bahwa Pranoto tidak pernah memperkaya diri melalui uang tersebut.[3]
Kehidupan pribadi
Pranoto menikah dengan seorang wanita bernama Aji Maisarah gelar Aji Raden Puspo Kusumo. Pasangan tersebut dikaruniai 17 anak. Di kalangan masyarakat, Pranoto dikenal sebagai pribadi yang ramah dan kooperatif. Menurut putrinya, Aji Juwita Kirana, dia selalu mengulurkan tangannya untuk memberi bimbingan kepada siapa pun, termasuk keluarganya. Selain itu, Pranoto juga selalu berusaha untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri.[4] Setelah kematiannya, istri Pranoto hidup menderita dan harus menyewa sebuah rumah di Samarinda.[1][24]
Warisan
Nama Pranoto diabadikan sebagai nama bandar udara internasional di Samarinda, Bandar Udara Internasional APT Pranoto yang dibuka pada tanggal 24 Mei 2018. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah jalan utama di Kecamatan Samarinda Seberang.
Penghargaan
- Kesatria Orde Oranye-Nassau dengan Pedang (1947)[5]
Referensi
- ^ a b c d e f g GM, Fel (2018-05-25). "Gubernur APT Pranoto, Akhir Pilu Sang Pendukung Kemerdekaan". Kaltim Kece. Diakses tanggal 21 Februari 2024.
- ^ a b c d e Magenda 2010, hlm. 149.
- ^ a b c Magenda 2010, hlm. 93-94.
- ^ a b c d e f Khaidir, Muh. (2007-03-11). "APT Pranoto, Gubernur Kaltim yang Terlupakan". Tribun Kaltim. Diakses tanggal 21 Februari 2024.
- ^ a b "Koninklijke Onderscheidingen". Het Dagblad. 1947-08-30. Diakses tanggal 21 Februari 2024.
- ^ "Ereveld Balikpapan". Nieuwe Courant. 1948-12-01. Diakses tanggal 21 Februari 2024.
- ^ "Korte Berichten". De Locomotief. 1949-06-20. Diakses tanggal 21 Februari 2024.
- ^ "Indonesische princen op college". Het Dagblad. 1947-10-23. Diakses tanggal 21 Februari 2024.
- ^ "Landsgrote van Koetei teruggekeerd". Het Dagblad. 1948-08-10. Diakses tanggal 21 Februari 2024.
- ^ Magenda 2010, hlm. 74.
- ^ a b Soelaiman, A. (1954-09-10). "Heboh Sekitar Pengangkatan Residen Kalimantan Timur Adji Pangeran Temenggung Pranoto". Indonesia Raya. Diakses tanggal 30 Maret 2024.
- ^ Magenda 2010, hlm. 72,74.
- ^ "Plan voor ontvoering van gouverneur?". Java Bode. 1957-01-23. Diakses tanggal 22 Februari 2024.
- ^ a b "Tarakan wordt vrijhaven: Poolse en Amerikaanse hulp voor provincie Oost-Borneo". Het Nieuwsblad voor Sumatra. 1957-10-03. Diakses tanggal 22 Februari 2024.
- ^ "Koprasmokkel". ANP Indonesische Documentatie Dienst. 13 (33): 548. 16 Agustus 1958.
- ^ "Oliekwestie van B.P.M." Java Bode. 1957-10-14. Diakses tanggal 22 Februari 2024.
- ^ Magenda 2010, hlm. 77.
- ^ Deppen 1961, hlm. 412.
- ^ Magenda 2010, hlm. 81.
- ^ Kecik 2009, hlm. 178.
- ^ Kecik 2009, hlm. 188-189.
- ^ Kecik 2009, hlm. 177.
- ^ Kecik 2009, hlm. 181.
- ^ Magenda 2010, hlm. 94.
Daftar Pustaka
- Deppen (1961). Almanak Lembaga-Lembaga Negara dan Kepartaian. Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia.
- Kecik, Hario (2009). Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-719-9.
- Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Singapura: Equinox Publishing. ISBN 978-602-8397-21-6.
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Jabatan baru Pemekaran dari Provinsi Kalimantan
Lihat: Daftar Gubernur Kalimantan |
Gubernur Kalimantan Timur 1957–1961 |
Diteruskan oleh: Prodjosoemarto (pj.) Abdoel Moeis Hassan |