Sudwikatmono

Revisi sejak 1 April 2024 20.30 oleh Gaung Tebono (bicara | kontrib) (clean up)

Sudwikatmono (28 Desember 1934 – 8 Januari 2011) adalah pengusaha Indonesia. Sudwikatmono merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan M Ng. Rawi Prawirodihardjo dan Sugiem yang merupakan paman dan bibi dari Presiden Soeharto.[1]

Sudwikatmono
Informasi pribadi
Lahir(1934-12-28)28 Desember 1934
Belanda Wuryantoro, Wonogiri, Hindia Belanda
Meninggal8 Januari 2011(2011-01-08) (umur 76)
Rumah Sakit Mount Elizabeth, Jalan Orchard, Wilayah Tengah,  Singapura
KebangsaanIndonesia
Suami/istriSri Sulastri
AnakMartina Sudwikatmono
Miana Sudwikatmono
Tri Hanurita Sudwikatmono
Agus Lasmono Sudwikatmono
Orang tuaRawi Prawirodihardjo dan Sugiem
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Semasa hidupnya, Ia merupakan Komisaris Utama di beberapa perusahaan, seperti PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk., PT Indofood Sukses Makmur Tbk., PT Bogasari Flour Mills, dan PT Indika Entertainment.[2] Ia menikah dengan Sulastri, dan dikaruniai anak bernama Martina, Miana, Tri Hanurita, dan Agus Lasmono. Sudwikatmono meninggal di Singapura setelah menjalani perawatan selama tiga bulan di Rumah Sakit Mount Elizabeth.[3]

Riwayat Hidup

Pria yang akrab dipanggil Pak Dwi ini memiliki hubungan erat dengan Presiden Soeharto sebagai seorang sepupu. Sepupu itu terjadi karena ayah Soeharto, Kertosudiro memiliki saudara wanita yang menikahi ayah Dwi, Rawi Prawirodiharjo. Setelah Kertosudiro bercerai, Soeharto kemudian dititipkan pada istri ayah Dwi, Sugiem - bibinya sendiri - dan mereka ditempatkan dalam rumah yang sama.

Sejak kecil, Dwi sudah hidup bersama calon orang nomor 1 di Indonesia itu, bahkan sampai mengira Soeharto adalah saudaranya sendiri karena orangtuanya berkata bahwa Soeharto adalah anaknya. Namun, Dwi tidak terlalu dekat dengan Soeharto karena kepribadian Soeharto yang cenderung pendiam dan kaku serta perbedaan usia mereka yang cukup jauh. Tumbuh besar, Dwi hampir saja masuk ke Universitas Gadjah Mada Yogyakarta untuk belajar ekonomi, tetapi ia tidak memiliki dana memadai.

Pindah ke Jakarta

Pada tahun 1958 Dwi pindah ke Jakarta hanya dengan modal Rp 50. Setiba di Jakarta Dwi mendapat pekerjaan di salah satu kantor ALRI. Lalu, Dwi pada 1960 pindah ke PN Jaya Bhakti yang bergerak di bidang perdagangan dan ekspor-impor, dan Dwi ditempatkan dalam posisi yang menangani bisnis tersebut. Di tengah pergolakan politik pada 1960-an, Soeharto yang pada saat itu menjadi Pangkostrad berusaha memberitahu berbagai informasi kepada Dwi agar ia bisa berhati-hati.

Riwayat Karir

Pada tahun 1967, Dwi dipertemukan oleh Soeharto dengan seorang pengusaha rekannya, Liem Sioe Liong (Sudono Salim). Soeharto menyatakan ia ingin Dwi membantu bisnis teman lamanya itu karena pada saat itu Liem belum menjadi WNI. Liem sebenarnya sudah dihubungkan dengan seorang saudara Pak Harto lain bernama Ibnu Widojo, tetapi Liem merasa keduanya tidak cocok sehingga menghentikan kerjasama mereka. Dalam itulah, Dwi mengawali karirnya di dunia bisnis. Petualangannya di dunia bisnis pertama kali adalah, selain diminta bekerjasama dengan Liem dengan gaji Rp 1 juta/bulan, Dwi juga diberi 10% saham PT Hanurata yang dimiliki oleh sejumlah yayasan di bawah Soeharto. Dwi dimaksudkan sebagai penghubung Liem (dan kemudian kelompok bisnisnya) dengan pemerintah, dan juga kemudian ia berperan sebagai pengatur konflik di bisnis Liem. Bersama Ibrahim Risjad dan Djuhar Sutanto, terciptalah kongsi keempatnya yang diberi nama Gang of Four pada 1968. Bisnis pertama mereka adalah CV Waringin Kentjana, dimana Dwi mendapat 5% saham di sini. CV (kemudian menjadi PT) Waringin kemudian mendirikan beberapa usaha, seperti Bogasari dan Indocement.[4] Dwi kemudian menjadi eksekutif di sejumlah perusahaan PT Waringin (selanjutnya menjadi Salim Group), hingga akhir 1990-an.

Seiring waktu, pada 1970-an Dwi juga merintis bisnisnya sendiri. Dwi sendiri awalnya banyak didekati karena koneksinya dengan presiden (pada saat itu, anak-anak Soeharto masih belum matang untuk berbisnis). Misalnya, pada tahun 1982 Ia diberi kontrak di Sumatera Utara untuk membangun pabrik petrokimia. Selain itu, pada dekade 1970-an Dwi juga sempat mendirikan perusahaan dengan nama PT. Wijaya Kusuma di Kalimantan yang bergerak dalam pengolahan kayu.[5] Namun, bisnis Dwi yang utama ada pada dua grup: Subentra dan Dwi Golden Graha.

Subentra pertama kali didirikan pada 1981 dengan Benny Suherman Putra, diambil dari nama keduanya (Sudwikatmono-Benny Suherman Putra) yang belakangan lebih dikenal sebagai pendiri jaringan bioskop Cineplex 21 Group. Bisnis Subentra sendiri beranak-pinak dengan cepat di berbagai bidang seperti kimia dengan Asahimas Subentra Chemical (dengan Rodamas) dan PT Subentra Multi Petrokimia Indonesia,[6][7] keuangan dengan Bank Subentra, PT Altamitra Subentra, PT Armada Subentra, PT Multindo Finance, PT Pakersa Sejati dan PT Arkasa Pacific Leasing (kemudian menjadi Subentra Finance) dan di properti membangun Blok M Plaza secara patungan dengan Pakuwon Jati.[8]

Bisnis Perfilman

Namun, bisnis Subentra yang terutama adalah dalam bidang perfilman. Sebenarnya, yang memulai bisnis film adalah Benny dengan impor film Mandarinnya (umumnya film Hong Kong) dibawah PT Suptan Film. Kemudian, kongsi ini diperluas dengan Subentra memiliki 5 perusahaan pengimpor film di daerah: PT Ciptamas Subentra Film, PT Dwi Subentra, PT Jabar Subentra dan PT Kharisma Subentra. Perlahan-lahan, Subentra bisa menguasai bisnis film karena setelah sebelumnya mendominasi impor film Mandarin, kemudian anak usaha Subentra lain, PT Subentra Nusantara justru menguasai peredaran film India,[9] dan pada 1991 Subentra juga mendapat hak eksklusif impor film Barat (dari AS). Ditambah dengan adanya Asosiasi Importir Film yang banyak dikendalikan oleh Subentra, akibatnya hampir seluruh impor film dikendalikan oleh Subentra sehingga banyak bioskop independen tutup.[10]

Cineplex 21

Pada 21 Agustus 1987, dibawah PT. Subentra Nusantara, Subentra meluncurkan bioskop modern bernama Cinema 21, yang sering dipanggil Cineplex (dibaca sinepleks). Angka 21 diambil dari angka keramat bagi masyarakat Jawa (ada juga yang mengatakan diambil dari nomor jalan MH Thamrin di lokasi Studio 21 pertama dibangun, tetapi ada juga yang mengatakan merupakan akronim dari Su-Dwi-kat-Mono),[11] dan perusahaan ini kemudian menjadi salah satu pengelola bioskop terbesar Indonesia (bahkan sampai sekarang).[10] Di daerah-daerah lain, perusahaan-perusahaan anak Subentra lainnya, seperti PT Batam Subentra, PT Sanggar Subentra, PT Pasundan Subentra, dan PT Nusantara Indah Subentra-lah yang mengelola bisnis dengan brand 21.[12] Bisnis film ini diperkuat misalnya dengan pendirian PT Subentra Studio Film yang memproses film[13] dan perusahaan importir lain bernama PT Camila Internusa Film, PT Satrya Perkasa Esthetika Film dan PT Nusantara Sejahtera Raya. Praktis, dengan perusahaan dari hulu ke hilir yang banyak tersebut, perusahaan perfilman Subentra (kemudian dikenal dengan nama 21 Group) berhasil memonopoli perfilman di Indonesia secara vertikal.[14][15] Oleh karena itu, Sudwikatmono kemudian dikenal sebagai "raja sinepleks" nasional.

Sementara itu, PT Dwi Golden Graha didirikan pada September 1984 dan memiliki struktur bisnis, kepemilikan dan manajemen yang berbeda dengan Subentra Grup [16]. Diperkirakan pada 1994 Dwi Golden, yang merupakan patungan Dwi dengan Bambang Sutrisno memiliki 40 perusahaan.[17] Bisnis Dwi di sini terutama adalah supermarket dan ritel dengan nama Golden Truly yang cukup populer pada dekade 1980-1990an, bank bernama Bank Surya (sejak 1987), PT Golden Dragon yang berperan dalam manufaktur sabun dan beberapa perusahaan lainnya seperti dalam bidang properti.[18][19] Selain itu, Dwi juga memiliki banyak usaha lain yang tidak tergabung dalam dua induk, misalnya tambang batu bara di Bengkulu,[20] saham di SCTV (penyiaran), Tri Polyta Indonesia (petrokimia), Tasik Madu Group (perkapalan), Djajanti (kehutanan), Grup Astenia (kimia), dan masih banyak lagi. Dwi juga memegang banyak posisi penting di berbagai perusahaan dan memiliki saham mayoritas maupun minoritas di perusahaan-perusahaan lain.[4][21][22]

Krisis Ekonomi 1997

Pasca krisis ekonomi 1997-1998, berbagai kerajaan bisnis Sudwikatmono itu goyang diterjang hutang yang besar. Bank Surya dan Subentra miliknya ditutup pada 1998, dan pada 1999 Dwi terjerat hutang ke BPPN senilai Rp 1,84 T.[23][24] Dalam krisis itu, Dwi juga terlibat persengketaan dengan partnernya, seperti dengan Henry Pribadi dan Bambang Sutrisno. Khusus Bambang, bahkan Dwi menyatakan bahwa ialah yang merusak kerjasama bisnis mereka, terutama Bank Surya (sialnya, justru Bambang kabur ke Singapura dan kini tak tentu rimbanya).[25][26] Dwi pun juga mendapat masalah karena ia mulai disingkirkan atau mengundurkan diri dari banyak posisi. Untuk mengatasi permasalahan utang, Dwi kemudian menyerahkan banyak asetnya ke BPPN, dan melakukan restrukturisasi dengan menutup banyak usahanya yang tidak menguntungkan, atau juga menjual sahamnya kepada pihak lain. Ini termasuk bisnis utamanya di bidang perfilman dan bioskop yang dilepas pada bekas partnernya di Subentra, Benny Suherman pada 1999.[11] Pada 2004, BPPN menyatakan bahwa Dwi sudah berhasil melunasi hutangnya.[27] Sejak krisis itu, Dwi tidak pernah terlalu terlihat lagi mengelola bisnis secara langsung, atau memiliki kerajaan bisnis seperti dulu. Bisa dikatakan, kemudian anak-anaknyalah yang mengelola bisnisnya dan membangun bisnisnya masing-masing, yaitu:

  • Martina Sudwikatmono, mengelola waralaba sejumlah restoran seperti Planet Hollywood, Fabrice World Music Bar's, Lawry's dan Tomy Roma's. Selain itu, ia juga mengelola tempat pelelangan, sejumlah perusahaan keuangan dan PT J&M Incorporation International Investments.[4][28][29] Bisnis ini dibantu awalnya secara permodalan oleh Dwi ketika didirikan di tahun 1990-an, dan kemudian dua anaknya yang lain, Miana dan Tri Hanurita juga bergabung dalam bisnis saudarinya.
  • Agus Lasmono Sudwikatmono, dianggap sebagai "penerus" bisnis ayahnya sesungguhnya karena ialah yang paling sukses. Dengan wadah Indika Group, Agus awalnya merintis bisnis di bidang hiburan, seperti rumah produksi sinetron dan film dengan nama Indika Pictures dan Indika Entertainment, radio dengan nama Indika FM dan beberapa perusahaan lainnya sejak 1996. Pada 2004, perusahaan ini masuk ke industri batubara dengan mengakuisisi PT Kideco Jaya Agung dengan harga senilai US$ 150 juta.[30] Selain itu, Indika sempat terjun ke bisnis petrokimia dengan membeli Petrokimia Nusantara Interindo, tetapi dijual kembali setelah dimiliki secara singkat. Lalu, bisnis Indika diperkuat dengan restrukturisasi bisnis Dwi (dan saudari-saudarinya) yang diserahkan sebagai anak usaha Indika, menjadikannya induk baru dari kerajaan bisnis Dwi.[31] Misalnya, sebelum akhirnya dilepas pada 2005 ke keluarga Sariaatmadja, saham Dwi di induk SCTV, PT Surya Citra Media Tbk sudah berada di tangan anak perusahaan Indika bernama PT Indika Multimedia.[32] Indika terus berkembang misalnya dengan mengakuisisi Petrosea pada 2009,[33] dan dengan bisnis batubara dan pertambangannya, perusahaan ini telah menjadi perusahaan yang cukup besar di Indonesia.

Referensi

  1. ^ Hidayat, Nur. Setiadharma, M.B. Amin, Nazir dan Bakarudin.,Sudwikatmono Disiplin, Tanggung Jawab dan Rendah Hati: Kenang-kenangan Memperinganti 100 Hari Wafatnya Almarhum Bapak H. Sudwikatmono .Jakarta: Milestone Publsiher.
  2. ^ Sudwikatmono Tuntaskan Kewajiban Demi Ketenangan. detikFinance, 8 Januari 2011. Diakes pada 9 Januari 2001.
  3. ^ Asdhiana, I Made (2011-01-08). "Sudwikatmono Telah Berpulang". Kompas.com. Kompas. Diakses tanggal 2011-01-09. 
  4. ^ Lompat ke: a b c Liem Sioe Liong's Salim Group
  5. ^ Sudwikatmono: sebuah perjalanan di antara sahabat
  6. ^ Informasi, Masalah 203-208
  7. ^ Warta ekonomi: mingguan berita ekonomi & bisnis, Volume 9,Masalah 46-52
  8. ^ Sudwikatmono: sebuah perjalanan di antara sahabat
  9. ^ Tempo, Volume 31,Masalah 19-24
  10. ^ Lompat ke: a b Cerita Monopoli di Balik Sukses Bisnis Grup 21 Cineplex
  11. ^ Lompat ke: a b Artikel:"Selamat Jalan Pak Dwi" di detik.com
  12. ^ Kisah sukses Sudwikatmono: dari Wuryantoro ke Sineplek
  13. ^ Informasi, Masalah 203-208
  14. ^ Cerita Monopoli di Balik Sukses Bisnis Grup 21 Cineplex
  15. ^ Indonesian Cinema after the New Order: Going Mainstream
  16. ^ Informasi, Volume 13,Masalah 151-154
  17. ^ Kisah sukses Sudwikatmono: dari Wuryantoro ke Sineplek
  18. ^ Sudwikatmono: sebuah perjalanan di antara sahabat
  19. ^ Informasi, Volume 13,Masalah 151-154
  20. ^ Indonesia Reports, Masalah 36-46
  21. ^ Sudwikatmono: Sepupu daripada Soeharto, Mitra Bisnis Sudono Salim
  22. ^ World Forests, Society and Environment
  23. ^ Warta ekonomi: mingguan berita ekonomi & bisnis, Volume 15,Masalah 18-26
  24. ^ A Country in Despair: Indonesia Between 1997 and 2000
  25. ^ Dunia EKUIN dan PERBANKAN, Volume 11,Masalah 17-18
  26. ^ Eksekutif, Masalah 235-239
  27. ^ Dunia EKUIN dan PERBANKAN, Volume 17,Masalah 3-4
  28. ^ Para superkaya Indonesia: sebuah dokumentasi gaya hidup
  29. ^ Harta Habibie
  30. ^ Indonesian Commercial Newsletter, Volume 29,Masalah 387-394
  31. ^ Informasi & peluang bisnis SWA sembada, Volume 20,Masalah 17-21
  32. ^ Eddy Sariaatmadja, Obama dan Harta Rp 18,2 T
  33. ^ Petrominer: Petroleum, Mining & Energy, Volume 36,Masalah 1-6