Perwara adalah asisten pribadi perempuan di istana, yang bertugas mengiring seorang sentana putri atau bangsawati.[1] Menurut sejarah, perwara di Eropa adalah bangsawati yang lebih rendah derajat keningratannya daripada bangsawati yang diiringnya. Sekalipun menerima atau tidak menerima imbalan jasa, seorang perwara lebih dipandang sebagai sekretaris, istanawan, atau sahabiyat majikannya ketimbang sebagai pelayan.

Putri Tatyana Aleksandrovna Yusupova, salah seorang perwara di istana Kekaisaran Rusia

Di berbagai belahan dunia, para perwara, yang kerap disebut wanita keraton, pada praktiknya adalah pelayan atau biti-biti, bukan bangsawati, tetapi tugasnya kurang lebih sama dengan perwara, yaitu menjadi pengiring dan sekretaris majikannya. Di lingkungan istana, tempat poligami diamalkan, dayang-dayang secara resmi disiapkan untuk diajak raja naik ke ranjang, dan dapat saja menjadi garwa, permaisuri, gendak, atau selir raja.

Istilah perwara kerap dijadikan sebutan generik tanpa membedakan pangkat, gelar, maupun fungsi resminya, sering pula hanya sekadar sebutan kehormatan. Seorang sentana putri mungkin saja leluasa dan mungkin pula tidak leluasa memilih perwara, dan sekalipun leluasa, perempuan-perempuan yang layak dijadikan perwara biasanya tidak lepas dari pengaruh raja, orang tuanya, suaminya, atau menteri-menteri (seperti pada peristiwa Kemelut Bilik Peraduan).

Sejarah

Di Eropa, perkembangan jabatan perwara berkaitan erat dengan perkembangan majelis istana. Pada abad ke-9, sastrawan Hinkmar memaparkan seluk-beluk rumah tangga istana Kaisar Karel Gundul dari wangsa Karling di dalam risalah De Ordine Palatii yang ia tulis tahun 882. Ia menyebutkan bahwa selain menjalankan titah raja, para pegawai istana juga menjalankan titah permaisuri. Para permaisuri kulawangsa Merowing diduga sudah memiliki pelayan-pelayan pribadi, dan dapat dipastikan bahwa para permaisuri kulawangsa Karling pada abad ke-9 diiring serombongan pengawal dari kalangan bangsawan demi menunjukkan kemuliaan derajatnya, dan beberapa pegawai istana disebut sebagai pegawai permaisuri, alih-alih sebagai pegawai raja.[2]

Dapat dipastikan bahwa pada akhir abad ke-12, para Permaisuri Prancis sudah memiliki badan pengurus rumah tangga sendiri, dan para bangsawati disebutkan sebagai para perwara.[2] Meskipun demikian, badan pengurus rumah tangga permaisuri pada Abad Pertengahan biasanya beranggotakan segelintir orang saja, dan jumlah perwara yang sesungguhnya, bukan istri-istri bangsawan yang kebetulan sedang menemani suami bertugas di istana, sangat sedikit. Pada tahun 1286, Permaisuri Prancis hanya dilayani lima orang perwara, dan baru pada tahun 1316 badan pengurus rumah tangga permaisuri dipisahkan dari badan pengurus rumah tangga anak-anak raja.[2]

Peran para perwara di Eropa berubah drastis pada masa Renaisans, ketika tata krama baru kehidupan di lingkungan istana, yang juga memberikan peran penting kepada kaum perempuan, dikembangkan sebagai citra kekuasaan di istana-istana Italia. Tata krama baru ini menyebar dari Italia ke Burgundia, dan dari Burgundia menyebar ke Prancis dan semua istana di Eropa.[2] Majelis istana Kadipaten Burgundia adalah majelis istana yang paling rumit tata kramanya di Eropa pada abad ke-15, yang ditiru Prancis ketika majelis istana Prancis diperluas pada akhir abad ke-15, dan memperkenalkan jabatan-jabatan baru untuk laki-laki maupun perempuan sebagai tanggapan terhadap nilai-nilai luhur baru yang tercetus pada zaman Renaisans.[2]

Dari segelitir Femmes yang sudah berkeluarga dan Filles yang masih gadis, yang pada Abad Pertengahan berasal dari kalangan berderajat relatif rendah, jumlah perwara Prancis meningkat pesat, ditata ke dalam suatu hierarki yang maju dengan beberapa jabatan, serta diserahi peran berbobot dan bersifat publik untuk dijalankan di dalam lingkungan istana Prancis yang bertata krama baru pada permulaan abad ke-16.[2] Istana-istana lain di Eropa mengikuti jejak Prancis, sehingga sepanjang abad ke-16, terjadi peningkatan pemekaran majelis-majelis istana Eropa, tata kramanya pun semakin muluk, dan pada permulaan zaman modern, terjadi peningkatan jumlah jabatan, keanggotaan, maupun visibilitas pegawai istana perempuan.[2]

Meskipun demikian, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, kebanyakan istana Eropa mulai mengurangi jumlah pegawainya, sering kali lantaran keadaan ekonomi dan politik mutakhir ketika itu membuat citra istana menjadi kian dipertanyakan.

Tugas

Tugas perwara berbeda-beda dari satu istana ke istana lain, tetapi fungsi-fungsi yang secara historis dijalankan oleh perwara mencakup luwes dalam beretiket, berbahasa asing, menari, menunggang kuda, memainkan alat musik, dan melukis; memastikan majikannya mengetahui segala kejadian dan mengenal semua orang penting di istana; menangani urusan tempat tinggal dan lemari pakaian majikannya; menjalankan tugas-tugas kesekretarisan; mengawasi para pelayan, anggaran, dan belanja; membacakan surat-surat kepada majikannya, dan menulis surat-surat mewakili majikannya; serta mengirim pesan rahasia apabila diperintahkan.[1]

Perwara menurut istana

Austria

Pada kurun waktu Abad Pertengahan Akhir, manakala majelis istana kaisar tidak lagi berpindah-pindah tempat, badan pengurus rumah tangga permaisuri kaisar, maupun badan pengurus rumah tangga para garwa pangeran di Jerman, mulai mengembangkan suatu tatanan yang kurang luwes dan lebih ketat, lengkap dengan seperangkat jabatan kepegawaian istana.

Tatanan majelis istana Kadipaten Burgundia dan tatanan majelis istana Kerajaan Spanyol memengaruhi tatanan majelis istana Kekaisaran Austria pada abad ke-16, manakala Burgundia Tanah Rendah, Spanyol, dan Austria dipersatukan melalui pertalian nasab kulawangsa Habsburg.[3][halaman dibutuhkan] Pada permulaan dan pertengahan abad ke-16, para istanawati yang melayani bangsawati-bangsawati Habsburg di Negeri Tanah Rendah dan Austria terdiri atas satu orang Hofmeesteres (kepala istana perempuan) atau Dame d'honneur yang berkhidmat selaku perwara utama; satu orang Hofdame atau Mere de Filles yang berpangkat lebih rendah satu tingkat di bawah Hofmeesteres dan berkhidmat selaku wakil Hofmeesteres sekaligus membawahi para Eredames (dayang-dayang kehormatan) yang juga dikenal dengan sebutan Demoiselle d'honneur atau Fille d'honneur dalam bahasa Prancis, dan Junckfrauen dalam bahasa Jerman Austria; dan yang terakhir adalah para Kamenisters (pramugraha).[4] Meskipun demikian, semasa Putri Maria de Austria menjadi Permaisuri Romawi Suci pada pertengahan abad ke-16, badan pengurus rumah tangga permaisuri diatur berdasarkan tatanan majelis istana Spanyol. Sesudah Maria de Austria meninggalkan Austria, tidak ada badan pengurus rumah tangga permaisuri sampai dasarwarsa 1610-an.[5] Itulah sebabnya tatanan majelis istana Austria mengandung unsur-unsur adat-istiadat istana Burgundia maupun adat-istiadat istana Prancis.

Pada tahun 1619, serangkaian tatanan pada akhirnya dibentuk bagi majelis istana kaisar di Austria. Tatanan inilah yang menjadi ciri khas tatanan majelis istana Austria-Habsburg yang dilanggengkan sejak saat itu.[5] Jenjang tertinggi bagi istanawati adalah Obersthofmeisterin (kepala istana perempuan urusan busana). Pangkat ini hanya setingkat di bawah permaisuri kaisar, dan penyandangnya bertanggung jawab atas semua pegawai istana perempuan.[5] Jenjang kedua ditempati para Aya, yakni para emban anak-anak kaisar sekaligus kepala badan pengurus rumah tangga anak-anak kaisar.[5] Jenjang ketiga ditempati Fräuleinhofmeisterin, istanawati yang menggantikan Obersthofmeisterin bilamana diperlukan, tetapi sehari-hari bertanggung jawab atas para istanawati yang belum berkeluarga, baik tingkah laku maupun pelayanan mereka.[5] Istanawati ningrat selebihnya terdiri atas Hoffräulein (dayang-dayang), yakni anak-anak dara bangsawan yang biasanya bekerja di istana untuk sementara waktu sampai melepas masa gadis.[5] Adakalanya Hoffräulein diangkat menjadi Kammerfräulein (dayang-dayang bilik peraduan).[5] Tatanan majelis istana Austria menjadi pola acuan bagi tatanan majelis istana para pangeran kepala daerah di Jerman.[5] Tatanan majelis istana Jerman pada gilirannya menjadi pola acuan bagi tatanan majelis istana Denmark dan Swedia di Skandinavia pada permulaan zaman modern.[6][halaman dibutuhkan]

Belgia

Kerajaan Belgia berdiri pada tahun 1830. Sesudah kerajaan didirikan, dibentuklah majelis istana, dan diangkatlah para perwara untuk mengiring Putri Louise d'Orléans ketika dijadikan Permaisuri Belgia yang pertama pada tahun 1832. Jabatan-jabatan pegawai perempuan di dalam badan pengurus rumah tangga permaisuri dibentuk mengikuti tatanan majelis istana Prancis, terdiri atas seorang Dame d'honneur yang membawahi Première femme de chambre, ditambah beberapa orang perwara bergelar Dame du Palais yang membawahi Femme de chambre.[7]

Menurut sejarahnya, para perwara dipilih langsung oleh permaisuri dari kalangan putri-putri keluarga ningrat Belgia yang beragama Katolik. Fungsi-fungsi utama di istana dijalankan oleh putri-putri bangsawan yang lebih tinggi derajat keningratannya, mengingat mereka akan sering berkontak dengan para sentana putri . Begitu putri-putri Raja Belgia genap berumur 18 tahun, seorang perwara akan ditugaskan mendampinginya. Putri Clementine diserahi seorang Dame oleh ayahnya sebagai lambang pengakuan sang ayah akan kedewasaan putrinya. Bilamana permaisuri menggelar acara jamuan ramah-tamah, para bangsawati bertugas menyambut tamu dan membantu sang empunya hajatan untuk membuat para undangan tidak jenuh bercengkerama.

Kamboja

Di Kamboja, perwara adalah dayang berpangkat tinggi yang bertugas melayani makan minum raja, mengipasi dan mengurut badan raja, dan adakalanya memuaskan berahi raja. Lazimnya perempuan-perempuan tersebut meniti karier di istana mulai dari jenjang biti-biti sampai akhirnya menjadi perwara, selir, bahkan permaisuri. Srey Snom (bahasa Khmer: ស្រីស្នំ) adalah sebutan untuk perwara dalam bahasa Kamboja.

Kemungkinan besar enam dayang kesayangan Raja Sri Swasti berasal dari jenjang penari istana yang beranggotakan anak-anak gadis rakyat jelata. Raja Sisowat diketahui memperselir hampir semua penari istana. Penari kahyangan, Apsara, adalah salah satunya. Praktik memperselir penari istana bermula pada zaman kegemilangan Kerajaan Kmer.

Kanada

Ada pula beberapa orang perwara Kanada yang diangkat menjadi pegawai Rumah Tangga Istana Kerajaan Kanada. Para perwara Kanada biasanya diangkat untuk membantu Kepala Negara Kerajaan Kanada selama menjalankan tugas-tugas resminya di Kanada dan selama beranjangkarya di negara itu. Lima orang perwara Kanada dianugerahi pangkat Letnan Tarekat Kerajaan Victoria.[8]

Tiongkok

 
Dayang-dayang kulawangsa Tang di dalam Gambar Karawitan Istana

Kulawangsa Han

Perwara di Tiongkok disebut wanita keraton. Semuanya secara resmi, jika tidak bisa dikatakan pada praktiknya selalu, merupakan penghuni keputren, apa pun tugas dan kewajibannya, dan berpeluang diangkat secara resmi oleh kaisar menjadi selir, garwa, bahkan permaisuri.[9]

Keputren kulawangsa Han (tahun 202 Pramasehi sampai tahun 220 Masehi) dikabarkan dihuni ribuan 'wanita keraton', meskipun tidak ada angka pastinya.[9]

Kulawangsa Song

Setidaknya pada zaman kulawangsa Song (tahun 960–1279), para wanita keraton dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu golongan istri kaisar (para garwa dan selir kaisar), golongan putri kaisar (para putri dan saudara perempuan kaisar), serta golongan pegawai dan jenang perempuan yang melaksanakan bermacam-macam tugas dan berpeluang menjadi selir atau garwa.[10]

Perempuan-perempuan dari keluarga terpandang berpeluang terpilih menjadi permaisuri, garwa, atau selir begitu masuk istana, tetapi kaisar dapat pula mengangkat pegawai istana perempuan ke jenjang yang sama, karena secara resmi mereka semua adalah warga keputren.[10]

Para pegawai dan jenang perempuan biasanya diambil dari keluarga baik-baik, kemudian ditatar untuk menjalankan tugasnya.[10]

Kulawangsa Ming

Para wanita keraton pada zaman kulawangsa Ming (tahun 1368–1644) juga dibedakan menjadi tiga golongan yang kurang lebih sama dengan penggolongan pada zaman kulawangsa Song.[11] Meskipun demikian, para pegawai dan jenang perempuan pada zaman kulawangsa Ming digolong-golongkan ke dalam enam lembaga pemerintahan yang disebut Enam Jawatan, yaitu Jawatan Umum, Jawatan Kriya, Jawatan Upacara, Jawatan Papan, Jawatan Sandang, dan Jawatan Pangan.[12] Semua lembaga tersebut dipantau oleh Jawatan Pengawasan Pegawai yang dikepalai seorang pegawai perempuan.[13]

Para karyawati di istana kaisar digolongkan menjadi pegawai tetap dan pegawai tidak tetap.[14] Golongan pegawai tetap terdiri atas pegawai-pegawai perempuan berkepandaian baca tulis lagi terdidik yang berkhidmat di dalam Enam Jawatan, serta para inang penyusu yang merawat para ahli waris kaisar atau kanak-kanak lain di istana.[14] Perempuan-perempuan ini mendapatkan kekayaan yang besar dan terpandang di tengah masyarakat jika melaksanakan tugasnya dengan baik.[15] Golongan wanita keraton musiman atau tidak tetap terdiri atas para bidan, para tabib perempuan, dan para karyawati berperikatan kerja (biasanya perempuan-perempuan berkhidmat sebagai pelayan para garwa kaisar, para seniwati penghibur, para penatar keterampilan jahit-menjahit, atau para penandu).[16] Perempuan-perempuan ini direkrut untuk dipekerjakan di istana apabila jasa atau keahliannya dibutuhkan dan dibebastugaskan pada akhir masa bakti yang sudah ditetapkan sebelumnya.[17]

Selama kulawangsa Ming berkuasa, kerap terjadi pergerakan di antara industri pelayanan istana dan penghuni keputren berpangkat rendah.[18] Meskipun kaisar-kaisar kerap mengangkat pelayan-pelayan perempuan menjadi garwa berpangkat rendah, hanya segelintir perempuan yang mampu mendaki jenjang kepangkatan garwa kaisar atau menjadi tokoh yang cukup kondang.[19]

Seiring bergulirnya waktu, kondisi hidup dan kondisi kerja wanita keraton mulai memburuk.[20] Para karyawati rendahan di istana kaisar sering kali diupah kecil dan tidak mampu membeli makanan, sehingga terpaksa mencari penghasilan tambahan dengan menjual sulamannya ke luar istana melalui para sida-sida.[21] Secara keseluruhan, kondisi hidup dan hukuman atas perilaku yang tidak patut kian lama kian memburuk sampai-sampai pernah ada upaya pembunuhan Kaisar Jiajing oleh sekelompok pelayan perempuan.[22] Pada tahun 1542, beberapa orang pelayan perempuan, dipimpin Yang Jinying, mengendap-endap ke dalam bilik peraduan kaisar, dan berusaha mencekik leher kaisar yang sedang pulas tertidur dengan tali pengikat tirai.[23] Upaya pembunuhan ini pada akhirnya gagal, dan semua perempuan yang terlibat dihukum mati, meskipun pemberontakan disertai tindak kekerasan yang dilakukan oleh perempuan-perempuan pelayan semacam ini sebelumnya tidak pernah terjadi pada zaman kulawangsa Ming.[23]

Akibat warkat-warkat propaganda berisi fitnah yang ditulis dan disebarluaskan oleh para pegawai dan sastrawan Konghucu pria, kekuasaan para pegawai perempuan berpangkat tinggi juga turut melemah pada zaman kulawangsa Ming.[24] Para pegawai lelaki terkemuka ini mulai merendahkan kebijakan pengaryaan perempuan terpelajar sebagai pegawai pemerintah dan pemegang jabatan-jabatan kenegaraan dalam menanggapi pengaruh kaum wanita keraton terhadap negara pada masa lampau.[25] Langkah tersebut mengakibatkan peran-peran yang dipegang perempuan lambat laun dialihkan kepada para sida-sida, yang berlanjut sampai berakhirnya zaman kulawangsa Ming.[26]

Kulawangsa Qing

Tatanan wanita keraton nyaris tidak mengalami perubahan pada zaman Kulawangsa Qing (tahun 1644–1912), manakala muncul suatu golongan wanita keraton berstatus garwa dan selir, yang sebelumnya tidak memegang jabatan lain. Meskipun demikian, semua dayang dapat dinaikkan statusnya menjadi selir atau garwa oleh kaisar.[27] Pada zaman kulawangsa Qing, wanita keraton dipilih dari antara anak-anak gadis keluarga pembesar panji Mancu, yang didaftarkan untuk diperiksa sebelum diizinkan berumah tangga.[27] Demikian pula dayang-dayang diambil dari kalangan pejabat rendahan dan kalangan panji rendahan sebelum diizinkan berumah tangga.[28] Jika terpilih, dayang-dayang ditatar menjadi asisten pribadi para garwa kaisar, menjadi pegawai perempuan di bidang upacara atau di bidang-bidang lain, dan juga siap sedia dijadikan garwa atau selir oleh kaisar.[28] Di bawah jenjang dayang-dayang adalah pada biti-biti, yang dipilih dengan cara yang sama dari antara anak-anak gadis prajurit.[28]

Denmark

Majelis istana Denmar pada permulaan zaman modern diatur mengikuti tatanan majelis istana Jerman, yang terinspirasi dari tatanan majelis istana Austria, sejak abad ke-16.[6] Pangkat tertinggi istanawati yang berkhidmat kepada seorang sentana putri adalah Hofmesterinde (kepala istana perempuan) atau, sejak tahun 1694/1698, Overhofmesterinde (ketua istana perempuan), sejajar dengan kepala istana perempuan urusan busana, biasanya dijabat seorang janda sepuh, yang menyelia semua perwara lain.[29][halaman dibutuhkan] Istanawati selebihnya adalah Kammerfrøken (dayang kehormatan senior), disusul sekelompok Hofdame (perwara) dan Hoffrøken (dayang kehormatan).[29] Di bawah mereka masih ada pelayan-pelayan perempuan bukan ningrat yang tidak berpangkat perwara, misalnya pelayan bilik peraduan.

Hierarki semacam inilah yang dipakai sejak abad ke-16 sampai dengan kemangkatan Raja Christian IX pada tahun 1906.[29] Pada abad ke-20, kebanyakan gelar tersebut tidak lagi dipakai, dan semua perwara di istana Kerajaan Denmark sekarang ini hanya disebut Hofdame (perwara).

Prancis

 
Marie Louise menak Savoya-Karinyano, garwa Pangeran Lamballe, perwara utama Marie Antoinette, Permaisuri Prancis

Perwara terkenal

Berikut ini adalah daftar perwara kenamaan di negaranya masing-masing.

Austria

Kanada

Denmark

Inggris dan Skotlandia

Prancis

Jerman

Tiongkok

Usmani

Polandia

Rusia

Swedia

Muangthai

Dalam fiksi

Baca juga

Kutipan

  1. ^ a b "Lady-in-waiting | Definition, History, & Facts | Britannica". www.britannica.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-06-25. 
  2. ^ a b c d e f g Kolk 2009.
  3. ^ Duindam
  4. ^ Kerkhoff
  5. ^ a b c d e f g h Akkerman & Houben 2013
  6. ^ a b Persson 1999
  7. ^ Almanach royal officiel de Belgique, pour l'an 1841
  8. ^ a b McCreery, Christopher (2008). On Her Majesty's Service: Royal Honours and Recognition in Canada . Dundurn. hlm. 133. ISBN 978-1-5500-2742-6. 
  9. ^ a b Ebrey
  10. ^ a b c Chung, hlm. 960–1126
  11. ^ Hsieh, Bao Hua (1999). "From Charwoman to Empress Dowager: Serving-Women in the Ming Palace". Ming Studies. 42 (42): 26–80. doi:10.1179/014703799788763371. PMID 22026040. 
  12. ^ Hsieh, Bao Hua (2014). "Ming Palace Serving-Women". Concubinage and Servitude in Late Imperial China. London: Lexington Books. hlm. 179–208. 
  13. ^ Hsieh. Concubinage and Servitude. hlm. 184. 
  14. ^ a b Hsieh. Concubinage and Servitude. hlm. 180. 
  15. ^ Hsieh. Concubinage and Servitude. hlm. 181. 
  16. ^ Cass, Victoria B (1986). "Female Healers in the Ming and the Lodge of Ritual and Ceremony". Journal of the American Oriental Society. 106 (1): 233–245. doi:10.2307/602374. JSTOR 602374. 
  17. ^ Cass. Female Healers. hlm. 236. 
  18. ^ Hsieh. "From Charwoman to Empress Dowager". Ming Studies: 45. 
  19. ^ Hsieh. "From Charwoman to Empress Dowager". Ming Studies: 46. 
  20. ^ Hsieh. Concubinage and Servitude. hlm. 187. 
  21. ^ Hsieh. "From Charwoman to Empress Dowager". Ming Studies: 127. 
  22. ^ Lee, Lily Xiao Hong (2016). Biographical Dictionary of Chinese Women, Jilid II: Tang Through Ming 618–1644. Hoboken: Taylor and Francis. hlm. 543. 
  23. ^ a b Lee. Biographical Dictionary. hlm. 543. 
  24. ^ Hinsch, Bret (2016). Women in Imperial China. London: Rowman & Littlefield. hlm. 147–174. 
  25. ^ Hinsch. Women in Imperial China. hlm. 148. 
  26. ^ Hsieh. "From Charwoman to Empress Dowager". Ming Studies: 125. 
  27. ^ a b Walthall
  28. ^ a b c Hsieh Bao Hua
  29. ^ a b c Kjølsen 2010

Rujukan

  • Akkerman, Nadine; Houben, Birgit, ed. (2013), The Politics of Female Households: Ladies-In-Waiting Across Early Modern Europe, Leiden: Brill [perlu rujukan lengkap]
  • Almanach de Gotha: annuaire généalogique, diplomatique et statistique, 1859  [perlu rujukan lengkap]
  • "Ladies-in-Waiting and Equerries", The Official website of the British Monarchy, diarsipkan dari versi asli tanggal 3 February 2016 
  • Chung, Priscilla Ching, Palace Women in the Northern Sung, hlm. 960–1126  [perlu rujukan lengkap]
  •   Chisholm, Hugh, ed. (1911), "Honourable", Encyclopædia Britannica, 13 (edisi ke-11), Cambridge University Press, hlm. 662–663 
  • Cruz, Anne J.; Stampino, Maria Galli, Early Modern Habsburg Women: Transnational Contexts, Cultural Conflicts, dynastic continuities  [perlu rujukan lengkap]
  • Ebrey, Patricia Buckley, Women and the Family in Chinese History  [perlu rujukan lengkap]
  • Duindam, Jeroen Frans Jozef, Vienna and Versailles: The Courts of Europe's Dynastic Rivals, 1550–1780  [perlu rujukan lengkap]
  • Kolk, Caroline zum (June 2009), "The Household of the Queen of France in the Sixteenth Century", The Court Historian, 14 (1)  [perlu rujukan lengkap]
  • Hsieh Bao Hua, Concubinage and Servitude in Late Imperial China  [perlu rujukan lengkap]
  • Gosman, Martin; Macdonald, Alasdair James; Vanderjagt, Arie Johan, Princes and Princely Culture: 1450–1650  [perlu rujukan lengkap]
  • Hamer, Dianne (2011), Sophie: biografie van Sophie van Würtemberg (1818–1877)  – op basis van brieven en dagboken [perlu rujukan lengkap]
  • Kägler, Britta, Frauen am Münchener Hof (1651–1756)  [perlu rujukan lengkap]
  • Kerkhoff, Jacqueline, Maria van Hongarije en haar hof 1505–1558: tot plichtsbetrachting uitverkoren  [perlu rujukan lengkap]
  • Lebra, Takie Sugiyama, Above the Clouds: Status Culture of the Modern Japanese Nobility  [perlu rujukan lengkap]
  • Lillehoj, Elizabeth, Art and Palace Politics in Early Modern Japan, 1580s–1680s  [perlu rujukan lengkap]
  • Mansel, Philip, The Eagle in Splendour: Inside the Court of Napoleon  [perlu rujukan lengkap]
  • Nagel, Susan (2008), Marie-Therese, Child of Terror: The Fate of Marie Antoinette's Daughter , NY: Bloomsbury: Macmillan, ISBN 978-1-59691-057-7 
  • Persson, Fabian (1999), Servants of Fortune. The Swedish Court between 1598 and 1721, Lund: Wallin & Dalholm, ISBN 91-628-3340-5 
  • Hauge, Yngvar; Egeberg, Nini (1960), Bogstad, 1773–1995, H. Aschehoug 
  • Walthall, Anne, Servants of the Dynasty: Palace Women in World History  [perlu rujukan lengkap]
  • Kjølsen, Klaus (2010), Det Kongelige Danske Hof 1660–2000  [perlu rujukan lengkap]
  • Rowley, G. G., An Imperial Concubine's Tale: Scandal, Shipwreck, and Salvation in Seventeenth-Century Japan  [perlu rujukan lengkap]
  • Rundquist, Angela (1989), Blått blod och liljevita händer: en etnologisk studie av aristokratiska kvinnor 1850–1900, Carlsson, Diss. Stockholm: Univ., Stockholm [perlu rujukan lengkap]
  • Seward, Desmond (2004), Eugénie. An empress and her empire, Stroud: Sutton, cop., ISBN 0-7509-2979-0 
  • Zedlitz-Trützschler, Robert (1924), Twelve Years at the Imperial German Court [perlu rujukan lengkap]

Pranala luar

Perwara