Sastra Islam
Sastra Islam adalah sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan atau ajaran Islam; memuji dan mengangkat tokoh-tokoh Islam; mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam; mengkritik pemahaman Islam yang dianggap tidak sesuai dengan semangat asli Islam awal, atau paling tidak, sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam (Goenawan Mohammad: 2010).
Menurut Abdurrahman Wahid, sastra Islam merupakan bagian dari peradaban Islam yang dapat dilihat dari dua sisi pertama yaitu orang yang condong melihatnya secara legalitas formal dimana sastra Islam harus selalu bersandar pada al Qur’an dan Hadits sedangkan yang kedua orang yang condong melihat sastra Islam dari pengalaman religiusitas (keberagamaan) seorang muslim yang tidak bersifat formal legislatif, artinya sastra Islam tak harus bersumber dari al Qur’an dan Hadits (formal) dan bersifat adoptif terhadap pengaruh-pengaruh lain terutama dimensi sosiologis dan psikologis sastrawan muslim yang tercermin dari karyanya yang menggambarkan pengalaman keberagamaannya[1].
Pendapat lain menyebutkan, Kesusastraan Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa, cipta, dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan ummat manusia. Seni Islam adalah seni karena Allah untuk umat manusia (l'art par die et l'art pour humanite) yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari ajaran wahyu Ilahi dan fitrah insani. Seperti disebutkan dalam Manifes Kebudayaan dan Kesenian Islam 13 Desember 1963 di Jakarta, yang dideklarasikan untuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963 para seniman, budayawan muslim beserta para ulama yang dimotori Djamaludin Malik[2].
Terdapat juga pandangan yang mengatakan, sejarah sastra Islam dan sastra Islami sendiri tak lepas dari perkembangan sastra Arab sebab bahasa Arab merupakan bahasa suci Islam dan Alquran. Bahasa Arab dalam bentuk klasiknya atau bentuk Qurani mampu memenuhi kebutuhan religius, sastra, artistik, dan bentuk formal lainnya. Sastra Arab atau Al-Adab Al-Arabi tampil dalam beragam bentuk prosa, fiksi, drama, dan puisi[3].
Sastra Arab sendiri memasuki babak baru sejak agama Islam diturunkan di Jazirah Arab yang ajarannya disampaikan melalui Alquran. Kitab suci umat Islam itu telah memberi pengaruh yang amat besar dan signifikan terhadap bahasa Arab. Bahkan, Alquran tak hanya memberi pengaruh terhadap sastra Arab, tapi juga terhadap kebudayaan secara keseluruhan.Bahasa yang digunakan dalam Alquran disebut bahasa Arab klasik. Hingga kini, bahasa Arab klasik masih sangat dikagumi dan dihormati. Alquran merupakan firman Allah SWT yang sangat luar biasa. Terdiri atas 114 surat dan 6.666 ayat, Alquran berisi tentang perintah, larangan, kisah, dan cerita perumpamaan itu begitu memberi pengaruh yang besar bagi perkembangan sastra Arab.Sebagian orang menyebut Alquran sebagai karya sastra terbesar[4].
Sastra Islam di Indonesia
Dalam literatur sastra di Indonesia, sastra keagamaan, khususnya Islam, meski tidak diakui secara universal, tampaknya telah menjadi genre tersendiri. Menurut A. Teeuw, dalam sejarah sastra di Indonesia, religiusitas merupakan tema universal yang menjadi tema sastra dari Hamzah Fansuri hingga Sutardji. Selain keduanya, tema ini pun juga menjadi tema pavorit (an sich) bagi Sunan Bonang, Yasadipura II, Ranggawarsita III, Raja Ali Haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Sanusi Pane, HAMKA, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Achdiat Karta Mihardja, Bachrum Rangkuti, AA. Navis, Jamil Suherman, Kuntowijoyo, Danarto, dan Abdul Hadi WM[5].
Menurut Sukron Kamil, di Indonesia, sastra Islam dikenal dengan banyak sebutan. Diantaranya: (1) sastra sufistik, yaitu sastra yang mementingkan pembersihan hati (tazkiyah an-nafs) dengan berakhlak baik agar bisa dekat sedekat mungkin dengan Allah. (2) Sastra suluk, yaitu karya sastra yang menggambarkan perjalanan spiritual seorang sufi mencapai taraf di mana hubungan jiwanya telah dekat dengan Tuhan, yaitu musyâhadah, penyaksian terhadap keesaan Allah. (3) Sastra transendental, yaitu sastra yang membahas Tuhan Yang Transenden. Dan (4) sastra profetik, yaitu sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip kenabian/wahyu.[5]
Periodisasi Sastra Islam di Nusantara
Menurut Abdul Hadi WM[6], Sastra Islam di Indonesia tidak bisa lepas dari perkembangan sastra Melayu. Sedangkan perkembangan sastra Melayu Islam sejak awal kemunculannya hingga akhir zaman klasiknya dapat dibagi menjadi empat periodisasi: (1) Zaman Awal, pada abad ke-14 – 15 M; (2) Zaman Peralihan, dari akhir abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16 M; (3) Zaman Klasik, dari akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-18 M; (4) Zaman Akhir, dari pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-20 M.
Sastra Islam Nusantara Zaman Awal
Zaman Awal ditandai dengan munculnya terjemahan dan saduran karya-karya Arab dan Persia ke dalam bahasa Melayu. Babakan ini bersamaan dengan munculnya dua kerajaan Islam awal yaitu Samudra Pasai (1270-1516 M) dan Malaka (1400-1511 M). Karya-karya saduran dan terjemahan itu pada umumnya ditulis untuk kepentingan pengajaran dan penyebaran agama. Terutama epos Arab Persia seperti Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiya; kisah-kisah para nabi (Qisas al-Anbiya‘), termasuk Nabi Muhammad s.a.w., dan cerita berbingkai seperti Hikayat Bayan Budiman dan Hikayat Seribu Satu Malam. Pada masa ini, puisi beberapa penyair seperti Ma‘arri, Umar Khayyam, ‘Attar, Sa‘di, dan Rumi juga telah muncul terjemahannya dalam bahasa Melayu.
Sastra Islam Nusantara Zaman Peralihan
Zaman Peralihan berlangsung bersamaan dengan masa akhir kejayaan Malaka dan munculnya kesultanan Aceh Darussalam (1516-1700 M). Zaman ini ditandai dengan usaha Melayunisasi hikayat-hikayat Arab dan Persia, pengislaman kisah-kisah warisan zaman Hindu, dan penulisan epos lokal serta historiografi. Syair-syair tasawuf, agiografi sufi, dan alegori-alegori mistik mulai ditulis pada zaman ini. Di antara alegori mistik terkenal ialah Hikayat Burung Pingai, yang merupakan versi Melayu dari Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karangan penyair sufi Persia Farid al-Din al-‘Attar (w. 1220 M).
Sastra Islam Nusantara Zaman Akhir
Zaman Klasik sastra Melayu berlangsung dari akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-18 M. Periode ini ditandai dengan kesadaran pengarang Melayu untuk membubuhkan nama diri dalam karangan yang ditulisnya. Syair-syair tasawuf dan karya bercorak sufistik lain kian banyak dilahirkan dalam periode ini, begitu juga epos, karya sejarah, dan roman yang lebih orisinal. Keorisinalan karya penulis Melayu pada periode ini tampak terutama dalam syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri yang indah dan begitu mendalam isinya.
Dalam menulis karya-karya mereka, penulis-penulis Melayu pada umumnya bertolak dari dua wawasan estetika yang popular di dunia Islam. Pertama, wawasan estetika yang diasaskan para filosof dan teoritikus peripatetik (mashsha‘iya) seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Abdul Qahir al-Jurjani, yang memandang sastra sebagai karya imaginatif (mutakhayyil). Keimaginatifan sebuah karya bisa tercapai jika pengarang menggunakan bahasa figuratif (majaz) seintensif dan semaksimal mungkin. Wawasan estetik ini merupakan sintesa pandangan Plato dan Aristoteles. Kedua, wawasan estetika yang diasaskan para sufi seperti Imam al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, ‘Attar, Rumi, dan Jami. Bagi mereka karya sastra adalah representasi simbolik dari gagasan dan pengalaman keruhanian.
Sastra Islam Nusantara Zaman Klasik
Zaman Akhir membentang dari awal abad ke-18 hingga akhir abad ke-19 M. Pada periode ini karya-karya keislaman ditulis di berbagai pusat kebudayaan Islam baru seperti Palembang, Banjarmasin, Pattani, Johor, Riau, Kelantan, dan tempat-tempat lain di kepulauan Melayu. Sekalipun sejak akhir abad ke-18 kerajaan-kerajaan Islam ini sudah jatuh ke tangan penguasa kolonial seperti Belanda dan Inggris, namun kegiatan penulisan sastra Islam masih terus berlanjut hingga awal abad ke-20 M. Tidak banyak pembaruan dilakukan pada zaman ini. Namun zaman ini melahirkan penulis-penulis kitab keagamaan dan historiografi terkemuka seperti Abdul Samad al-Falimbangi, Arsyad al-Banjari, Kimas Fakhrudin, Sultan Badruddin, Nawawi al- Bantani, Raja Ali Haji, dan lain-lain.
Sastra Melayu dan Hikayat
Menurut Abdul Hadi WM[7], dalam sastra Melayu semua karya berbentuk prosa pada umumnya disebut hikayat, dari kata-kata Arab yang arti literalnya ialah kisah atau cerita. Berdasarkan pokok pembahasan dan corak penyajiannya, keseluruhan hikayat Melayu lazim dibagi ke dalam sepuluh jenis:
1. Hikayat Para Nabi, biasa disebut Surat Anbiya‘. Mengisahkan kehidupan para nabi sebelum Nabi Muhammad, termasuk Nabi Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Musa, Ayub, Yusuf, Daud, Sulaiman, Isa Almasih, dan lain sebagainya. Yang paling populer ialah Hikayat Nabi Musa, Hikayat Nabi Sulaiman, Hikayat Yusuf dan Zuleikha, dan Isa Almasih.
2. Kisah-kisah yang berhubungan dengan kehidupan Nabi Muhammad. Termasuk Hikayat Kejadian Nur Muhammad, Hikayat Nabi Mikraj, Hikayat Seribu Satu Masalah, Hikayat Nabi dan Iblis, Hikayat Nabi dan Orang Miskin, Hikayat Nabi Mengajar Ali, dan lain sebagainya.
3. Kisah Sahabat dan Kerabat Nabi. Menceritakan kehidupan dan perjuangan sahabat-sahabat Nabi Muhammad seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Hikayat Raja Handak, Hikayat Salman al-Farisi, Hikayat Hasan dan Husein, dan lain sebagainya.
4. Hikayat Para Wali Sufi. Misalnya Hikayat Rabi‘ah al-Adawiyah, Hikayat Ibrahim Adham, Hikayat Bayazid Bhistami, Hikayat Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Hikayat Syekh Saman, Hikayat Syamsi Tabriz, dan lain-lain.
5. Hikayat Pahlawan atau epos. Misalnya yang paling populer dan dijumpai dalam berbagai versi ialah Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah, dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiya.
6. Hikayat Para Bangsawan. Misalnya Hikayat Johar Manik, Hikayat Syamsul Anwar, Hikayat Kamaruz Zaman, Hikayat Sultan Bustaman, Hikayat Siti Hasanah, Hikayat Siti Zubaidah Berperang dengan Pendekar Cina, Hikayat Syekh Mardan dan lain sebagainya. Hikayat jenis ini paling banyak dijumpai dalam sastra Melayu. Yang diceritakan biasanya adalah petualangan, percintaan, dan perjuangan tokoh membela negeri atau martabat keluarga. Jadi termasuk ke dalam jenis roman.
7. Perumpamaan atau Alegori Sufi. Pada umumnya alegori sufi digubah berdasarkan roman yang popular, tetapi disajikan secara simbolik sebagai kisah perjalanan kerohanian. Yang terkenal di antaranya ialah Hikayat Syekh Mardan, Hikayat Inderaputra, Hikayat Burung Pingai, dan lain-lain.
8. Cerita Berbingkai. Sebagian besar kisah berbingkai dalam sastra Melayu merupakan saduran dari cerita berbingkai Arab dan Persia. Yang terkenal selain Kisah Seribu Satu Malam adalah Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Maharaja Ali, Hikayat Bachtiar, Hikayat Khalilah dan Dimnah, dan lain-lain. Di antara cerita terbingkai ini termasuk fabel, yaitu Hikayat Bayan Budiman dan Hikayat Khalilah dan Dimnah. Sebelum hadirnya versi Arab Persia, telah hadir versi India dalam sastra Jawa dengan judul Tantri Kamandaka, yang merupakan saduran dari Panchatantra. Fabel asli Melayu yang terkenal ialah Kisah Pelanduk Jenaka.
9. Kisah Jenaka. Yang terkenal Hikayat Abu Nuwas dan Hikayat Nasrudin Affandi. Kisah Jenaka asli Melayu yang terkenal di antaranya ialah Hikayat Pak Belalang.
10.Karya bercorak sejarah atau historiografi. Karya semacam ini sering pula disebut salasilah. Khazanahnya tergolong banyak dalam sastra Melayu. Yang terkenal ialah Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Aceh, dan lain-lain.
Perdebatan Seputar Sastra Islam
AA Navis merupakan salah seorang sastrawan yang menolak sastra Islam, dan menyebutnya sebagai hal yang utopis untuk saat ini. Diikuti oleh pendapat Edy A. Effendi[8] membuat kesimpulan agar sastra Islam ditolak karena tidak ada estetika yang diusungnya. Demikian pula halnya dengan pendapat Chavchay Syaifullah[9], juga Aguk Irawan MN dalam tulisannya: Merumuskan Kembali Konsep Sastra Islami[10].
Kebalikan dari itu, Abdul Hadi WM[11] menyebut bahwa pandangan dan anggapan yang meragukan nisbah Islam dengan sastra dan kesangsian bahwa sastra Islam dengan tema, corak pengucapan, wawasan estetik serta pandangan dunia tersendiri, pada umumnya timbul untuk menafikan sumbangan Islam terhadap kebudayaan dan peradaban umat manusia. Sebagian anggapan berkembang karena semata kurangnya perhatian dari umat Islam dewasa ini terhadap sastra dan tiadanya apresiasi. Ditambahkannya, sastra Islam itu ada, bahkan eksis. Sastra Hindu saja ada, maka tidak masuk akal kalau sastra Islam dinafikan.
Liga Sastrawan Muslim se-Dunia
Organisasi ini dikenal juga dengan nama International League of Islamic Literature, atau dalam bahasa Arab menjadi Rabithah al-Adab al-Islami al-'Alamiyyah, adalah wadah sastrawan muslim yang berada di seantero dunia[12].
Tujuan Liga
Beberapa tujuan didirikan lembaga ini adalah: untuk mengeksiskan kritik sastra Islami, formulasi teori sastra Islam, penulisan kembali sejarah Islam, membangun metodologi Islam dalam seni sastra modern, perhatian pada sastra anak, dan publikasi karya anggota, termasuk dalam hal ini penerjemahan karya ke bahasa Arab dan diedarkan di dunia Arab, bahkan di dunia.
Prinsip-prinsip Liga
Beberapa prinsip yang ada dalam Liga ini adalah: 1. Sastra Islam sebagai ekspresi manusia, kehidupan dan semesta dalam perspektif Islam 2. Sastra Islam sebagai pertanggungjawaban kepada Allah 3. Sastra Islam sebagai alat untuk membangun warga dan masyarakat yang baik 4. Sastra Islam sebagai literatur seluruh kaum muslimin dan sebagai refleksi dari keunikan ras dan bahasa 5. Sastra Islam menghadirkan konsep Islam yang kaaffah (integral) tentang manusia, kehidupan, dan semesta 6. Sastra Islam me-rejects seluruh penyimpangan dalam teori sastra, doktrin, kesalahan sastra Arab, dan kritik sastra 7. Menggunakan Bahasa Arab standard atau yang disebut dengan "bahasa Fushah", bukan bahasa 'Am atau "pasar" 8. Sastrawan muslim memiliki komitmen pada penegakan Islam dalam dirinya.
Keanggotaan
Keanggotaan Liga ada tiga, yaitu: 1. Honorary Member (Anggota Kehormatan) Mensupport Liga secara moral atau finansial, memiliki kartu anggota, dan diundang pada pertemuan Majelis Umum
2. Active Member (Anggota Aktif) Minimal 18 tahun, mempublikasikan karya sendiri dalam sastra, setuju pada prinsip dan tujuan liga, mengirimkan formulir aplikasi pendaftaran dengan rekomendasi dari 2 anggota liga atau individu tertentu yang punya reputasi baik, dapat kartu anggota, membayar anggaran keanggota yang ditentukan oleh cabang
3. Supporting Member (Anggota Supporter) Bukan anggota aktif, tertarik pada sastra Islam, mendapatkan dua rekomendasi untuk bergabung, dan membayar biaya anggota.
Struktur Kepengurusan
1. Hai'ah al-'Ammah (General Assembly, Dewan Umum, Majelis Syuro) 2. Majelis al-Umana' (terdiri dari pimpinan Liga di tiap negara dan deputinya) 3. Presiden dan Deputi-Deputi (dipilih oleh Majelis Umana) 4. Kantor. Dua induk: Riyadh (untuk negara Yordan, Yaman, dll) dan India (untuk Bangladesh, Pakistan, dll). Indonesia sendiri saat ini diasuh oleh Dr. Khalid Hasan Hendawi (ketua Liga di Qatar) dan nanti akan masuk dibawah kantor Riyadh 5. Komite-Komite Spesialis, terdiri dari komite:
- - Komite Puisi
- - Komite Cerita, Drama dan Biografi Sastra
- - Komite Sastra Anak
- - Komite Kritik Sastra
- - Komite Riset dan Filologi
- - Komite Terjemah
Catatan Kaki
- ^ Majalah Horison, 7/1984
- ^ http://fordisastra.com/modules.php?name=News&file=article&sid=567
- ^ Heri Ruslan: Sastra dalam Peradaban Islam. Artikel Islam Digest, 9 Oktober 2011
- ^ ibid
- ^ a b Sukron Kamil: Corak Baru Genre Sastra Islam Indonesia Mutakhir, Republika, 4 Mei 2010.
- ^ Prof Abdul Hadi WM, Artikel: Sastra Islam Melayu Indonesia, 2008
- ^ ibid
- ^ Media Indonesia, 3 Juli 2005
- ^ Media Indonesia, 10 Juli 2005
- ^ Republika, 23 November 2003
- ^ Abdul Hadi WM. Makalah: Islam, Puitika Al Quran dan Sastra, 2003
- ^ Yanuardi Syukur, Catatan Pertemuan Organisasi, 2009.