Akal

Revisi sejak 13 Juli 2013 08.37 oleh Addbot (bicara | kontrib) (Bot: Migrasi 1 pranala interwiki, karena telah disediakan oleh Wikidata pada item d:q450)

Akal adalah suatu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikan, formal maupun informal, dari manusia pemiliknya. Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah.[1]

Ilustrasi seseorang sedang menggunakan akalnya untuk berpikir

Namun, karena kemampuan manusia dalam menyerap pengalaman dan pendidikan tidak sama. Maka tidak ada kemampuan akal antar manusia yang betul-betul sama. [1]

Akal berasal dari bahasa Arab 'aql yang secara bahasa berarti pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. [2] Pengertian lain dari akal adalah daya pikir (untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat cara memahami lingkungan, atau merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan. Dengan akal, dapat melihat diri sendiri dalam hubungannya dengan lingkungan sekeliling, juga dapat mengembangkan konsepsi-konsepsi mengenai watak dan keadaan diri kita sendiri, serta melakukan tindakan berjaga-jaga terhadap rasa ketidakpastian yang esensial hidup ini.[3]

Akal juga bisa berarti jalan atau cara melakukan sesuatu, daya upaya, dan ikhtiar.[2] Akal juga mempunyai konotasi negatif sebagai alat untuk melakukan tipu daya, muslihat, kecerdikan, kelicikan.[4]

Akal fikiran tidak hanya digunakan untuk sekedar makan, tidur, dan berkembang biak, tetapi akal juga mengajukan beberapa pertanyaan dasar tentang asal-usul, alam dan masa yang akan datang.[3] Kemampuan berfikir mengantarkan pada suatu kesadaran tentang betapa tidak kekal dan betapa tidak pastinya kehidupan ini. [3]

Freud membagi manusia menjadi tiga wilayah pokok, antara lain:

1. id, yang mempersamakan id dengan instink atau naluri[3]
2. ego, yang merupakan akal fikiran[3]
3. super ego, yakni adat kebiasaan sosial dan kaidah moral[3]


Sesuai kebutuhan mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar, dipercayakan kepada instink, maka diberikan pada akal (ego) peran yang strategis dalam perencanaan bentuk pemuasan terhadap instink (id) sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh kenyataan yang rasional serta tuntutan adat kebiasaan sosial dan kepercayaan (super ego).[3]

Kant mengatakan bahwa apa yang kita katakan rasional itu adalah suatu pemikiran yang masuk akal tetapi menggunakan ukuran hukum alam.[5] Dengan kata lain, rasional adalah kebenaran akal yang diukur dengan hukum alam, menurut Kant.[5]

Contoh
Pesawat terbang yang beratnya ratusan ton, kok bisa terbang?

Jawabannya adalah Ya, dengan alasan karena pesawat itu telah dirancang sesuai dengan hukum alam. Itu rasional.[5] Lain halnya dengan cerita Nabi Musa yang melemparkan tongkatnya ke tanah, lantas tongkat itu menjadi ular, segera saja Anda mengatakan bahwa itu tidak rasional karena menurut hukum alam adalah tidak mungkin tongkat dapat berubah menjadi ular.[5]

Kesimpulan

1. Sesuatu yang rasional ialah sesuatu yang mengikuti atau sesuai dengan hukum alam[5]
2. Yang tidak rasional ialah yang tidak sesuai dengan hukum alam[5]
3. Kebenaran akal diukur dengan hukum alam. Artinya, akal hanya sebatas hukum alam[5]
4. Akal meresfek pikiran sehingga dapat mengukur logika dan pencentus id,[5]

Kebenaran Logis

Kebenaran Logis dibagi menjadi dua, yakni :

1. Logis-rasional (seperti yang dijelaskan di atas)[5]
2. Logis-supra-rasional[5]
ialah pemikiran akal yang kebenarannya hanya mengandalkan argumen, tidak diukur dengan hukum alam. Bila argumennya masuk akal maka ia benar, sekalipun melawan hukum alam karena diukur dari logika yang ada di dalam susunan argumennya.[5]

Kesimpulan

a. Yang logis adalah yang masuk akal. [5]
b. Yang logis itu mencakup yang rasional dan yang supra-rasional. [5]
c. Yang rasional ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum alam.[5]
d. Yang supra-rasional ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum alam.[5]
e. Istilah logis dapat dipakai dalam pengertian rasional atau dalam pengertian supra-rasional.[5]





Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Indeks. Jakarta 2008
  2. ^ a b Akal oleh Musa al-Kadzim
  3. ^ a b c d e f g Jose, Francisco Moreno. Agama dan Akal Fikiran. Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1994
  4. ^ Kamus Besar Bahasa Indonesia: Akal
  5. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu. Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. 2006