Joan Maetsuycker (Amsterdam, 14 Oktober 1606 - Batavia, 24 Januari 1678) adalah Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke 12. Ia memerintah antara tahun 16531678.

Joan Maetsuyker
Potret Joan Maetsuyker
Gubernur-Jenderal Hindia Belanda ke-12
Masa jabatan
1653–1678
Informasi pribadi
Lahir(1606-10-14)14 Oktober 1606
Amsterdam, Republik Belanda
Meninggal24 Januari 1678(1678-01-24) (umur 71)
Batavia, Hindia Belanda
KebangsaanBelanda
PekerjaanGubernur Kolonial
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Kehidupan awal

Berbeda dengan banyak Gubernur-Jenderal lainnya, Maetsuycker diperkirakan beragama Katolik. Maetsuyker lulus dari sekolah hukum di Leuven dan menjadi pengacara di The Hague, kemudian meneruskan kariernya di Amsterdam.

Karier di pemerintahan

Pada tahun 1635, Maetsuyker ditugaskan di Hindia Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1636 dengan menumpang kapal Prins Willem dia meninggalkan Amsterdam dan mendarat pada tanggal 26 September 1636 di Batavia dan menjabat sebagai kepala urusan rumah tangga di Dewan Keadilan (Raad van Justitie) di kota itu. Pada tahun yang sama juga Maetsuyker menjadi presiden komite yatim piatu, kemudian pada tahun 1637 menjabat presiden dari akademi hukum kelautan. Karier Maetsuyker terus menanjak, pada tahun 1640 dia menjadi ketua dewan keadilan dan juga ketua dari urusan pengawasan dan kependudukan bangsa Cina.

Tanggal 13 Agustus 1641, dia diangkat menjadi konsul kehormatan untuk Hindia Belanda. Saat menjabat posisi ini, dia diajak oleh Gubernur Jenderal van Diemen untuk membuat suatu ketetapan hukum dan peraturan untuk penduduk Batavia. Peraturan dan hukum yang ditetapkan ini dikenal dengan istilah Bataviasche Statuten, dan mulai berlaku pada tanggal 5 Juli 1642. Peraturan ini sendiri berlaku hingga pendudukan Inggris di Indonesia pada tahun 1811, dan juga masih dipakai setelah masa English Interregnum hingga tahun 1828.

Tidak lama kemudian tepatnya pada tanggal 10 Agustus 1642, dia memimpin ekspedisi ke Ceylon yang saat itu merupakan pusat perdagangan Portugis di Asia Selatan. Tujuan dari ekspedisi ini adalah membahas mengenai perbatasan antara wilayah VOC di Ceylon dengan Portugis di sana, termasuk aset-aset di dalamnya. Tahun 1646 hingga tahun 1650, Maetsuyker menjadi Gubernur di Ceylon. Tahun 1650, dia kembali ke Hindia Belanda untuk menjabat sebagai Ketua Dewan Hindia dan juga sebagai Direktur Jenderal VOC.

Menjadi Gubernur Jenderal

 
Lukisan Andries Beeckman. Kastil Batavia berlatar belakang Pasar Ikan

Di masa kepemimpinannya, Maetsuyker memiliki ambisi untuk memperluas wilayah VOC di Indonesia, apalagi dia mempunyai dua orang bawahan yang sangat setia, bisa dipercaya dan juga tangguh yaitu Rijkloff van Goens dan Cornelis Speelman.

Langkah pertama yang diambil oleh Maetsuyker adalah mengincar Kerajaan Goa di Sulawesi yang selama ini selalu menolak kerjasama dagang dengan VOC tetapi berhubungan dengan Portugis, yang notabene juga merupakan pesaing berat VOC di Indonesia. Untuk memantapkan langkah tersebut, mula-mula adalah mengkondisikan kepulauan Maluku betul-betul 100% dikuasai oleh VOC. Karena itu VOC melakukan pengusiran kepada penduduk di Ambon dan juga pemusnahan tanaman cengkeh di Hoamoal, peristiwa ini dilakukan pada tahun 1656. Setahun kemudian VOC melakukan hal yang sama di Pulau Buru, penduduk di pulau itu diusir.

Setelah posisi VOC di kepulauan Maluku dapat diperkuat, maka VOC memasang pos di Manado untuk mengawasi lalulintas dagang antara Spanyol di kepulauan Filipina dengan Tidore. Sementara itu pada tahun yang sama VOC membuat perjanjian damai dengan Kerajaan Banten.


Perang Gowa

Maetsuyker kembali ke ambisinya semula yaitu mengontrol Gowa. Tindakan awal yang dilakukannya adalah menghancurkan kekuatan pantai Gowa yang saat itu dilindungi oleh kapal-kapal Portugis. Serangan dilakukan pada bulan Agustus 1660. VOC akhirnya berhasil meluluhlantakan kapal-kapal Portugis di pelabuhan Makassar. Akibat dari kekalahan ini, raja Gowa saat itu Sultan Hasanuddin dipaksa menerima perjanjian damai dengan VOC.

Melihat bahwa Gowa sudah lemah karena angkatan perangnya dikalahkan oleh VOC, pemimpin kerajaan Bone (yang saat itu merupakan jajahan dari kerajaan Gowa) Arung Palakka memberontak kepada Hasanuddin dan memusatkan kekuatannya di Butung. VOC melihat pemberontakan Bone kepada Gowa merupakan celah yang bisa dimanfaatkan untuk menguasai Gowa secara keseluruhan. Karena itu pada tahun 1663, VOC mengajak Arung Palakka dan pengikutnya untuk pergi ke Batavia. Di Batavia, Arung Palakka dijanjikan bahwa Bone akan berdaulat sepenuhnya jika mau membantu VOC menghancurkan Makassar.

Kesepakatan antara Arung Palakka dan Maetsuyker akhirnya disetujui. Pada tahun 1666, dibawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman dibantu dengan tentara Bugis pimpinan Arung Palaka dan juga tentara Ambon pimpinan dari Kapten Jonker, menyerang Makassar. Tahun 1667, armada Speelman berhasil mendarat di Butung dan menghancurkan tentara Gowa di sana. Dari Butung, Speelman tidak mengarahkan armadanya ke Makassar tetapi langsung menuju Tidore (yang saat itu sudah tidak dilindungi oleh Spanyol) untuk memaksa perjanjian damai dengan VOC. Akibat tekanan yang diberikan oleh VOC Tidore bersedia menerima perjanjian tersebut,dan akhirnya Ternate dan Tidore sepenuhnya berada dalam kekuasaan VOC.

Kondisi tersebut diatas sangat menguntungkan VOC karena praktis Gowa tidak akan mendapat bantuan dari manapun, apalagi setelah sebelumnya pos Portugis di Larantuka dihancurkan oleh armada VOC dan akhirnya memaksa Portugis hengkang ke Lifau. Setelah mendarat di Butung, Arung Palakka kembali ke Bone dan mengobarkan revolusi melawan Gowa kepada rakyatnya. Dan pada tahun 1668 Gowa berhasil dikalahkan oleh koalisi VOC dan Bone. Dan pada tanggal 18 November 1668, dilakukan perjanjian antara Sultan Hasanuddin dengan VOC yang dikenal dengan Perjanjian Bongaya. Isi dari perjanjian tersebut adalah Kerajaan Gowa sepenuhnya berada di bawah kontrol VOC, dan pengaruh Raja Gowa adalah hanya sekitar kota Makassar dan tidak berhak mengontrol wilayah di luar kota.

Perjanjian ini membuat Hasanuddin berang, karena dianggap sangat merugikan kerajaannya. Akhirnya pada awal tahun 1669, dengan kekuatan terakhirnya Gowa melawan tentara VOC. Perlawanan hebat ini berakhir setelah Speelman mendapat bantuan dari Batavia dan berhasil menerobos Benteng terkuat Gowa saat itu, Somba Opu pada tanggal 22 Juni 1669. Akibat dari kekalahan ini, Sultan Hasanuddin akhirnya mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan meninggal dunia pada tanggal 12 Juni 1670. Dengan meninggalnya Sultan Hasanuddin, berakhirlah Perang Gowa, dan sejak saat itu Makassar dikuasai oleh VOC. Kemudian sesuai dengan janjinya, VOC pada tahun 1672 mengangkat Arung Palakka sebagai Raja Bone.

Pemberontakan Trunojoyo

Pada tahun 1671, pemimpin pulau Madura yaitu Trunojoyo memberontak terhadap kekuasaan Mataram di pulau itu. Pemberontakan dimenangkan oleh Trunojoyo dan menguasai pulau ini dari pengaruh Mataram. Mataram sendiri tidak begitu serius menanggapi, karena pada tahun-tahun tersebut Gunung Merapi meletus dan dilanjutkan dengan wabah kelaparan pada tahun 1674.

Mengetahui bahwa Mataram terkena musibah dan tidak menganggap serius terhadap kekuatan Trunojoyo. Maka pada tahun 1675 Trunojoyo dibantu dengan tentara Makassar yang mengungsi dari Sulawesi mulai menyerang pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa. Trunojoyo dengan memanfaatkan sentimen keagamaan berhasil mengambil simpati penduduk di pesisir utara Jawa. Hingga akhir tahun Trunojoyo berhasil mengambil alih Surabaya, Jepara hingga Cirebon dari tangan Mataram.

Mengetahui situasi yang tidak menguntungkan, Raja Mataram Amangkurat I mengutus anaknya Pangeran Puger untuk bertemu dengan Maetsuyker dengan tujuan meminta bantuan VOC menumpas Trunojoyo. Permintaan ini segera dimanfaatkan oleh Maetsuyker untuk memperluas pengaruhnya di Pulau Jawa. Maetsuyker segera memenuhi permintaan itu, kemudian dia mengirimkan Cornelis Speelman untuk menaklukan tentara Trunojoyo di Cirebon dan Jepara.

Keberhasilan VOC memaksa pasukan Trunojoyo meninggalkan Cirebon dan Jepara membuat Amangkurat I harus menandatangani perjanjian antara VOC dengan Mataram. Perjanjian dibuat pada tanggal 25 Februari 1677 dengan isi VOC berhak mendirikan pelabuhan dimana saja di wilayah Mataram, Mataram dilarang melakukan hubungan dengan Aceh, Arab atau bangsa lain untuk mendarat di Mataram, seluruh biaya yang timbul akibat peperangan dengan Trunojoyo ditanggung sepenuhnya oleh Mataram.

Setelah Mataram bersedia menandatangani perjanjian tersebut, pada bulan Mei 1677, Speelman menyerang Surabaya dan dapat memukul mundur pasukan Trunojoyo. Trunojoyo sendiri langsung bergerak ke ibukota Mataram, Plered untuk membunuh Amangkurat dan keluarganya, ternyata mereka sudah pada mengungsi. Akhirnya Trunojoyo membawa seluruh harta peninggalan Amangkurat I dan bergerak mundur hingga Kediri. Semetnara di pengasingan pada bulan Juli Amangkurat I meninggal dunia dan digantikan Amangkurat II (bukan Pangeran Puger tetapi anak dari selir sesuai permintaan VOC) yang tetap meminta VOC membunuh Trunojoyo. Karena Mataram sudah tidak memiliki harta lagi, akhirnya mereka menyerahkan Semarang kepada VOC dan sebagian daerah dudukannya di Priangan dan keuntungan dari perdagangannya hingga hutang terlunasi.

VOC dan Arung Palakka menyerang tentara Trunojoyo di Kediri pada tahun 1678 dan pada tahun 1679 Trunojoyo tertangkap dan dihukum mati.

Jasa-Jasa

Jasa-jasa Maetsuyker kepada pemerintah Belanda antara lain:

Lihat pula

Jabatan pemerintahan
Didahului oleh:
Carel Reyniersz
Gubernur-Jenderal Hindia Belanda
1653-1678
Diteruskan oleh:
Rijkloff van Goens