Kerusuhan Poso

konflik sektarian dan agama di Poso

Lua error in Modul:Location_map at line 437: Tidak ada nilai yang diberikan untuk garis bujur. Kerusuhan Poso (bahasa Inggris: Poso riots) atau konflik komunal Poso (bahasa Inggris: Poso communal conflict), adalah sebutan bagi serangkaian kerusuhan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, Indonesia. Peristiwa ini melibatkan kelompok Muslim dan Kristen. Kerusuhan ini dibagi menjadi tiga bagian. Kerusuhan Poso I yang berlangsung pada bulan Desember 1998, Poso II yang berlangsung pada bulan April 2000, dan Poso III yang berlangsung pada bulan Mei hingga Juni 2000).

Pada tanggal 20 Desember 2001, Deklarasi Malino ditandatangani antara kedua belah pihak yang bertikai di Malino, Sulawesi Selatan, dan diinisiasi oleh Jusuf Kalla. Kesepakatan ini sekaligus mengurangi kekerasan frontal secara bertahap, dan angka kriminal mulai menurun dalan beberapa tahun sesudahnya.

Latar belakang

Sulawesi Tengah adalah sebuah provinsi pegunungan yang terletak di antara wilayah selatan dan utara yang kaya dari pulau Sulawesi. Poso adalah salah satu dari delapan kabupaten —kabupaten lain baru berdiri setelah tahun 2002— di provinsi ini. Ibu kota kabupaten Poso (kota Poso) terletak di teluk, enam jam perjalanan sebelah tenggara dari ibu kota provinsi Palu. Kabupaten Poso memiliki populasi mayoritas Muslim di kota dan desa-desa pesisir, dan mayoritas masyarakat adat Protestan di dataran tinggi. Selain penduduk Muslim asli, ada banyak pendatang dari Sulawesi Selatan, yang dikenal sebagai suku Bugis, dan juga dari daerah Gorontalo di utara. Ada juga tradisi panjang pedagang Arab menetap di wilayah tersebut, dan keturunan mereka memainkan peran penting dalam lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan Islam. Kabupaten ini juga merupakan sasaran program transmigrasi pemerintah, yang membawa warga dari daerah padat penduduk, seperti pulau-pulau yang didominasi Muslim seperti Jawa dan Lombok, dan juga pulau Hindu Bali. Komunitas Muslim terdiri dari masyarakat adat, transmigran resmi, dan migran ekonomi dari berbagai etnis. Banyak migran yang telah menetap di kabupaten ini selama beberapa dekade. Pada akhir 1990-an, penduduk Muslim mencapai mayoritas di kabupaten Poso dengan angka di atas 60 persen. Kelompok etno-linguistik yang meliputi Pamona, Mori, Napu, Besoa dan Bada mendiami pedalaman dataran tinggi kabupaten. Banyak dari kelompok suku ini, dulunya berbentuk kerajaan dan memiliki sejarah perang antar suku. Kegiatan misionaris Belanda dimulai pada pergantian abad ke-20. Kota Tentena merupakan pusat ekonomi dan spiritual untuk penduduk Protestan Poso, dan merupakan pusat Gereja Kristen Sulawesi Tengah, atau Sinode. Kota kecil ini terletak di sebelah utara Danau Poso di kecamatan Pamona Utara, salah satu dari beberapa kecamatan dengan mayoritas etnis Pamona. Meskipun konflik awalnya berpusat pada ketegangan antara pendatang Bugis Muslim dan etnis Protestan Pamona, banyak kelompok lain yang ditarik melalui ikatan etnis, budaya, atau ekonomi mereka.[1][2]

Pihak yang terlibat

Islam

Milisi yang datang dari luar Poso dan Palu yang sudah berada di Poso pada akhir tahun 2001 meliputi:

Milisi dan organisasi lokal yang berpihak pada Muslim meliputi:

Kristen

Berbeda dengan milisi Islam, milisi Kristen sedikit sulit untuk diidentifikasi. Salah satu di antara beberapa kelompok milisi yang berhasil diidentifikasi adalah Brigade Manguni. Milisi ini berpusat di Manado, Sulawesi Utara dengan jumlah personel sekitar 700 orang. Dalam kerusuhan Poso, pasukan ini diduga berbasis di daerah Sepe dan Silanca, Lage. Brigade Manguni memiliki divisi di masing-masing daerah yang membawahi cabang satuan.

Kelompok lain yang terorganisir oleh warga Kristen di Poso adalah Angkatan Muda Sintuwu Maroso (ANSIMAR). Kelompok ini pada umumnya terdiri dari para kaum muda terpelajar di kota Poso. Para anggota ANSIMAR sebagian besar terdiri dari warga kelurahan Lombogia, Poso Kota. Rumah-rumah mereka dibakar massa pada kerusuhan Poso kedua bulan April tahun 2000, sehingga sebagian besar dari mereka terpaksa mengungsi ke Tentena.

Saat kerusuhan Poso ketiga pada bulan Mei 2000, muncul milisi dengan nama Laskar Kristus. Kelompok ini disebut-sebut terdiri dari tiga kelompok, yaitu pasukan Macan, pasukan Kelelawar, dan pasukan kipas (sisiru).

Pengungsi internal

Dengan gelombang kekerasan yang terus-menerus terjadi, masyarakat melarikan diri ke daerah-daerah dengan mayoritas agama yang mereka anut: Muslim pergi ke Palu, Ampana, Parigi, hingga Sulawesi Selatan, sementara Kristen melarikan diri ke Tentena dan Napu di wilayah pegunungan, atau Manado di Sulawesi Utara. Pada bulan Januari 2002, setelah Deklarasi Malino ditandatangani, angka dari kantor pemerintah untuk mengkoordinasikan respon kemanusiaan dalam konflik memperkirakan jumlah total 86.000 pengungsi di Sulawesi Tengah. Gereja Kristen Sulawesi Tengah memperkirakan 42.000 pengungsi di basis daerah Kristen di kabupaten lainnya.[3][4]

Setelah Deklarasi Malino, ada beberapa kemajuan tentatif. Pada akhir Februari, 10.000 pengungsi telah kembali ke rumah, sebagian besar ke kota Poso, kecamatan Poso Pesisir, Lage, dan Tojo.[5] Pada bulan Maret 2002, Human Rights Watch menemukan bahwa banyak keluarga yang dengan ragu mengirimkan anggota keluarga laki-laki untuk kembali dan membersihkan reruntuhan dengan membangun rumah sementara, sambil menunggu untuk melihat jika situasi tetap stabil. Beberapa juga menunggu akhir tahun sekolah. Sejak itu jumlah pengungsi mulai menurun, dan perlahan-lahan, berkurang. Kantor Kesejahteraan Bangsa dan Politik Kabupaten Poso melaporkan bahwa pada pertengahan Juli 2002, 43.308 orang telah kembali ke rumah, sekitar 40 persen dari perkiraan 110.227 pengungsi.[6]

Ada dua pengecualian penting untuk tren positif ini. Kekerasan baru sering membuat warga yang trauma untuk kembali melarikan diri ke daerah yang aman. Misalnya, bentrokan pada bulan Agustus 2002 memaksa sekitar 1.200 orang untuk mencari perlindungan di Tentena. Upaya pemerintah atau individu untuk membangun kembali telah terhambat oleh putaran baru kekerasan di seluruh krisis. Beberapa orang mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka telah melihat rumah mereka hancur lebih dari sekali, dan barak yang dibangun oleh pemerintah kabupaten dan TNI pada tahun 2000 sering menjadi sasaran dalam serangan. Warga Kristen di Tentena juga tidak punya rencana untuk membongkar tempat penampungan mereka yang susah payah dibangun, jika mereka membutuhkan tempat perlindungan di masa depan.[7]

Pengecualian penting lainnya berkaitan dengan pengungsi yang termasuk minoritas di daerah asalnya. Pengungsi Muslim dari Tentena mengatakan kepada Human Rights Watch di Palu bahwa mereka tidak memiliki rencana untuk pulang ke rumah, meskipun sisa-sisa dari dua puluh empat orang Muslim tidak pernah meninggalkan dan melaporkan situasi aman.

Beberapa pengungsi diberi akses ke tanah di daerah baru mereka, seperti daerah Nunu di Palu, dan mampu mendukung diri mereka sendiri melalui kegiatan pertanian. Pengungsi Kristen di Tentena membangun perumahan yang luas dan banyak menemukan pekerjaan di pasar kota, yang baik secara ekonomi karena perjalanan ke pasar lain dibatasi. Di daerah dengan tanah atau pekerjaan yang langka, kondisi justru jauh lebih buruk.

Sebuah LSM lokal melaporkan pada Agustus 2002 bahwa kebutuhan dasar pengungsi tidak terpenuhi, seperti kurangnya nutrisi dan gizi pada anak, serta diare yang meluas, penyakit kulit, dan tetanus dari luka tembakan.[8] Dalam sebuah penilaian kesehatan mental oleh pemerintah pada tahun 2001, mengindikasikan bahwa lebih dari 55 persen dari mereka yang mengungsi menderita masalah psikologis, sedangkan masalah kesehatan utama adalah malaria, gangguan pernafasan, masalah lambung-usus, dan penyakit kulit.[9][a]

Lihat juga

Catatan kaki

  1. ^ Prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Pengungsian Internal menyatakan bahwa pemerintah memiliki "tugas dan tanggung jawab utama untuk menetapkan kondisi, serta menyediakan sarana yang memungkinkan pengungsi untuk kembali secara sukarela, dengan aman dan bermartabat, ke rumah mereka... atau bermukim kembali secara sukarela di bagian lain negara itu".[10]

Referensi

  1. ^ Human Rights Watch 2002, hlm. 8.
  2. ^ Aragon, Lorraine (Juni 2002). "Waiting for peace in Poso". Diakses tanggal 16 Maret 2017. 
  3. ^ "Estimates of the government Implementation Coordination Unit (Satkorlak)". Januari 2002. 
  4. ^ "Crisis Center of the Central Sulawesi Christian Church". Desember 2001. 
  5. ^ "Police Head to Poso to Help Disarm Factions". The Jakarta Post. 25 Februari 2002. 
  6. ^ "Forkom Gantikan Pokja Malino di Poso". Kompas. 4 Agustus 2002. 
  7. ^ "Konflik Poso Akan Diserahkan ke Wapres". Nuansa Pos. 6 Juli 2002. 
  8. ^ "Kondisi Pengungsi di Kamp Kec. Lage, Kec. Pamona Utara, Pamona Timur, Poso Pesisir, Pamona Selatan, dan Lore Utara, Kabupaten Poso". LPS-HAM. Agustus 2002. 
  9. ^ "Background information on the IDP situation in Indonesia". Norwegian Refugee Council. 28 Agustus 2002. 
  10. ^ "UN Guiding Principles on Internal Displacement, U.N. Doc. E/CN.4/1998/53/Add.2 (1998)". Perserikatan Bangsa-Bangsa. 1998. 

Daftar pustaka

Aditjondro, George Junus (2004). Kerusuhan Poso dan Morowali, Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya. Palu: Yayasan Tanah Merdeka. 
Braithwaite, John; Braithwaite, Valerie; Cookson, Michael; Dunn, Leah (2010). Anomie and Violence: Non-truth and Reconciliation in Indonesian Peacebuilding. Canberra: ANU E Press. ISBN 192-1666-23-4. 
McRae, Dave (2013). A Few Poorly Organized Men: Interreligious Violence in Poso, Indonesia. Jakarta: BRILL. ISBN 900-4251-72-3. 
Nordholt, Henk Schulte (2007). Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia. Leiden: KITLV Press. ISBN 906-7182-83-4. 
van Klinken, Geert Arend (2007). Communal Violence and Democratization in Indonesia: Small Town Wars. Jakarta: Routledge. ISBN 113-4115-33-4. 

Bacaan lebih lanjut