Suku Simalungun

salah satu kelompok etnik Batak
Revisi sejak 2 Maret 2022 03.05 oleh TeraMods (bicara | kontrib) (Perbaikan penulisan Surat Batak)

Suku Simalungun (surat Batak: ᯙᯫᯕᯟᯮᯝᯉᯮ᯳) atau lazim juga disebut Batak Simalungun (Simalungun: ᯅᯖᯃ᯳ ᯙᯫᯕᯟᯮᯝᯉᯮ᯳) adalah salah satu suku bangsa atau kelompok etnik yang mendiami wilayah Sumatra Utara; meliputi Kabupaten Simalungun, sebagian Kabupaten Serdang Bedagai, sebagian Kabupaten Deli Serdang, dan sebagian Kabupaten Karo serta juga dapat ditemukan di Kota Pematangsiantar & Kota Tebing Tinggi. Nama suku ini dijadikan sebagai nama salah satu Kabupaten di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Simalungun. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku ini berasal dari daerah India Selatan tetapi ini hal yang sedang diperdebatkan. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun.

Halak Simalungun
ᯅᯖᯃ᯳ ᯙᯫᯕᯟᯮᯝᯉᯮ᯳
Berkas:Bungaran saragih.jpg
Berkas:Bill saragih.jpg
Daerah dengan populasi signifikan
(Sumatra Utara, Kabupaten Simalungun, Kota Pematangsiantar, Kabupaten Serdang Bedagai) 640,382jiwa
Bahasa
Bahasa Simalungun (asli). Bahasa Indonesia
Agama
Kristen Protestan 54,9% Islam 39,3% Katolik 5% dan Animisme 0,8%.[1]
Kelompok etnik terkait
suku Batak Toba, suku Karo

Orang Batak menyebut suku ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka.

Orang Simalungun tinggal di tanah 'Batak Timur' berbatasan dengan tanah Batak Toba di selatan dan barat, dan Batak Karo di utara. Simalungun dianggap memiliki lebih banyak kesamaan dengan Karo daripada tetangga Toba, kedua kelompok telah bermigrasi dari Toba dan Pakpak untuk berpartisipasi dalam perdagangan.

Bahasa Simalungun masih dituturkan oleh banyak orang Simalungun, selain bahasa Indonesia.

Kehidupan masyarakat Simalungun

 
Peta pembagian kecamatan Kabupaten Simalungun ke dalam Simalungun Atas dan Simalungun Bawah.[2][3]

Sistem mata pencaharian orang Simalungun yaitu bercocok tanam dengan padi dan jagung, karena padi adalah makanan pokok sehari-hari dan jagung adalah makanan tambahan jika hasil padi tidak mencukupi. Jual-beli diadakan dengan barter, bahasa yang dipakai adalah bahasa dialek. "Marga" memegang peranan penting dalam soal adat Simalungun. Jika dibandingkan dengan keadaan Simalungun dengan suku Batak yang lainnya sudah jauh berbeda.

Sistem Politik

Pada masa sebelum Belanda masuk ke Simalungun, suku ini terbagi ke dalam 7 daerah yang terdiri dari 4 Kerajaan dan 3 Partuanan.[4]

Kerajaan tersebut adalah:

  1. Siantar (menandatangani surat tunduk pada belanda tanggal 23 Oktober 1889, SK No.25)
  2. Panei (Januari 1904, SK No.6)
  3. Dolok Silou
  4. Tanoh Djawa (8 Juni 1891, SK No.21)

Sedangkan Partuanan (dipimpin oleh seseorang yang bergelar "tuan") tersebut terdiri atas:

  1. Raya (Januari 1904, SK No.6)
  2. Purba
  3. Silimakuta

Kerajaan-kerajaan tersebut memerintah secara swaparaja. Setelah Belanda datang maka ketiga Partuanan tersebut dijadikan sebagai Kerajaan yang berdiri sendiri secara sah dan dipersatukan dalam Onderafdeeling Simalungun.

Bahasa & Aksara

Bahasa Simalungun / Sahap Simalungun
Sahap Simalungun
 
Dituturkan diKabupaten Simalungun, Kabupaten Serdang Bedagai, Kota Pematangsiantar, Kota Tebingtinggi
Wilayah( Sumatera Utara, Indonesia )
Penutur
1juta
Kode bahasa
ISO 639-3
  Portal Bahasa
L • B • PW   
       

Suku Simalungun menggunakan Bahasa Simalungun (bahasa simalungun: hata/sahap Simalungun) sebagai bahasa Ibu. Derasnya pengaruh dari suku-suku di sekitarnya mengakibatkan beberapa bagian Suku Simalungun menggunakan bahasa Melayu, Karo, Batak, dan sebagainya. Penggunaan Bahasa Batak Toba sebagian besar disebabkan penggunaan bahasa ini sebagai bahasa pengantar oleh penginjil RMG yang menyebarkan agama Kristen pada Suku ini.

Aksara yang digunakan Suku Simalungun disebut aksara Surat Sisapuluhsiah.[5][6][7]

Kepercayaan

Bila diselidiki lebih dalam suku Batak Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantra-mantra dari "Datu" (dukun) disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada Tiga Dewa yang disebut Naibata, yaitu Naibata di atas (dilambangkan dengan warna Putih), Naibata di tengah (dilambangkan dengan warna Merah), dan Naibata di bawah (dilambangkan dengan warna Hitam). 3 warna yang mewakili Dewa-Dewa tersebut (Putih, Merah dan Hitam) mendominasi berbagai ornamen ( Pinar ) suku Simalungun dari pakaian sampai hiasan rumahnya.

Orang Simalungun percaya bahwa manusia dikirim ke dunia oleh naibata dan dilengkapi dengan Sinumbah yang dapat juga menetap di dalam berbagai benda, seperti alat-alat dapur dan sebagainya, sehingga benda-benda tersebut harus disembah. Orang Simalungun menyebut roh orang mati sebagai Simagot. Baik Sinumbah maupun Simagot harus diberikan korban-korban pujaan sehingga mereka akan memperoleh berbagai keuntungan dari kedua sesembahan tersebut.[8]

 
Patung Sang Budha menunggang Gajah koleksi Museum Simalungun, yang menunjukkan pengaruh ajaran Budha pada Masyarakat Simalungun.

Ajaran Hindu dan Budha juga pernah memengaruhi kehidupan di Simalungun, hal ini terbukti dengan peninggalan berbagai patung dan arca yang ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang menggambarkan makna Trimurti (Hindu) dan Sang Buddha yang menunggangi Gajah (Budha).

Saat ini, mayoritas suku Simalungun memeluk ajaran Kristen Protestan 54,9%, pemeluk agama Islam cukup signifikan dengan jumlah 39,3%, Katolik 5% dan Animisme 0,8%.

Wilayah Signifikan Simalungun

Kabupaten Simalungun terletak di dataran tinggi Simalungun Atas dan Dataran rendah Simalungun Bawah. Kota yang terkenal di wilayah ini adalah Saribudolog, Haranggaol, Tigaras, Tigarunggu, PamatangRaya dan Parapat. Parapat merupakan salah satu kawasan di Sumatera Utara yang sangat terkenal dengan wisata dengan panorama danau Toba yang indah serta rumah persinggahan presiden Soekarno saat masa penjajahan Belanda ada di Parapat. Mayoritas suku Simalungun bermukim di daerah Simalungun Atas, tepatnya di daerah DOLOG SINGGALANG dan DOLOK SIPISOPISO. Banyak keunikan-keunikan terdapat pada masyarakat Simalungun, baik dari geografis, alam, maupun bentuk masakan. Masakan Simalungun, salah satu yang unik adalah Dayok Nabinatur. Dayok Nabinatur merupakan makanan khas adat suku Simalungun. Dayok adalah ayam dan nabinatur adalah yang diatur atau secara teratur. Dayok Nabinatur ini disajikan pada saat pesta budaya, seperti pesta pernikahan, pesta memasuki rumah baru, dan pesta tahunan yang dinamakan Rondang Bintang.

Pendiri Kota Pematangsiantar adalah seorang putra Simalungun yaitu Tuan Sangnawaluh Damanik . Motto Kota Pematangsiantar 'Sapangambei Manoktok Hitei' diambil dari Bahasa Simalungun yang memiliki arti "bergotong royong demi tujuan mulia".

Suku Simalungun di Serdang Bedagai atau disebut juga Batak Timur, Akar budaya suku Batak Timur ini adalah budaya Simalungun yang banyak dipengaruhi oleh budaya Melayu Serdang yang Islami. Kekerabatan penduduk suku Batak Timur ini masih dapat dimanfaatkan dengan suku Simalungun di Kabupaten Simalungun . Di wilayah Kabupaten Serdang Bedagai dulu berdiri dua kerajaan besar yaitu Kesultanan Serdang dan Kerajaan Padang Bedagai. Kedua Kerajaan ini didirikan oleh keturunan Batak Simalungun . Namun, corak budaya kedua kerajaan ini adalah budaya Melayu yang disebabkan raja yang memerintah sudah memeluk agama Islam dan menghapus budaya Simalungun dalam pemerintahannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebenarnya penduduk di Kabupaten Serdang Bedagai adalah berdarah Batak Simalungun yang berbudaya Melayu dan mayoritas Islam. Suku Simalungun Jahei ini banyak mendiami daerah hulu, seperti:

Pendirian Kerajaan Padang oleh Tuanku Dasalak Saragih.

Wilayah Kabupaten Dairi pada umumnya subur dengan kemakmuran masyarakatnya melalui perkebunan kopinya yang berkualitas. Sebagian Kabupaten Dairi yang banyak dihuni etnis Simalungun:

Marga

Harungguan Bolon

 
Rumah Bolon Raja Purba di Pamatang Purba

.80

Terdapat empat marga asli suku Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR,[9] yaitu:

Keempat marga ini merupakan hasil dari “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara 4 raja besar untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan (marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).

Keempat raja itu adalah:[10]

Raja Nagur bermarga Damanik

Damanik berarti Simada Manik (pemilik manik), dalam bahasa Simalungun, Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat, berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas).

Raja Banua Sobou bermarga Saragih

Saragih dalam bahasa Simalungun berarti Simada Ragih, yang mana Ragih berarti atur, susun, tata, sehingga simada ragih berarti Pemilik aturan atau pengatur, penyusun atau pemegang undang-undang.

Raja Banua Purba bermarga Purba

Purba menurut bahasa berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Purwa yang berarti timur, gelagat masa datang, pegatur, pemegang Undang-undang, tenungan pengetahuan, cendekiawan/sarjana.

Raja Saniang Naga bermarga Sinaga

Sinaga berarti Simada Naga, dimana Naga dalam mitologi dewa dikenal sebagai penyebab Gempa dan Tanah Longsor.

Marga-marga perbauran

Perbauran suku asli Simalungun dengan suku-suku di sekitarnya di Pulau Samosir, Silalahi, Karo, dan Pakpak menimbulkan marga-marga baru.

Selain itu ada juga marga-marga lain yang bukan marga Asli Simalungun tetapi kadang merasakan dirinya sebagai bagian dari suku Simalungun, seperti Lingga, Manurung, Silalahi dan Sitanggang.

Perkerabatan Simalungun

Orang Simalungun tidak terlalu mementingkan soal silsilah karena penentu partuturan (perkerabatan) di Simalungun adalah hasusuran (tempat asal nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat). Hal ini bisa dilihat saat orang Simalungun bertemu, bukan langsung bertanya “aha marga ni ham?” (apa marga anda) tetapi “hunja do hasusuran ni ham (dari mana asal usul anda)?"

Hal ini dipertegas oleh pepatah Simalungun “Sin Raya, sini Purba, sin Dolog, sini Panei. Na ija pe lang na mubah, asal ma marholong ni atei” (dari Raya, Purba, Dolog, Panei. Yang manapun tak berarti, asal penuh kasih).

Sebagian sumber menuliskan bahwa hal tersebut disebabkan karena seluruh marga raja-raja Simalungun itu diikat oleh persekutuan adat yang erat oleh karena konsep perkawinan antara raja dengan “puang bolon” (permaisuri) yang adalah puteri raja tetangganya. Seperti raja Tanoh Djawa dengan puang bolon dari Kerajaan Siantar (Damanik), raja Siantar yang puang bolonnya dari Partuanan Silappuyang, Raja Panei dari Putri Raja Siantar, Raja Silau dari Putri Raja Raya, Raja Purba dari Putri Raja Siantar dan Silimakuta dari Putri Raja Raya atau Tongging.

Adapun Perkerabatan dalam masyarakat Simalungun disebut sebagai partuturan. Partuturan ini menetukan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan (pardihadihaon), dan dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut:[11]

  • Tutur Manorus / Langsung
Perkerabatan yang langsung terkait dengan diri sendiri.
  • Tutur Holmouan / Kelompok
Melalui tutur Holmouan ini bisa terlihat bagaimana berjalannya adat Simalungun
  • Tutur Natipak / Kehormatan
Tutur Natipak digunakan sebagai pengganti nama dari orang yang diajak berbicara sebagai tanda hormat.

Pakaian Adat

 
Kain Adat Simalungun disebut Hiou. Penutup kepala lelaki disebut Gotong, penutup kepala wanita disebut Bulang, sedangkan yang kain yang disandang ataupun kain samping disebut Suri-suri.

Sama seperti suku-suku lain di sekitarnya, pakaian adat Suku Simalungun tidak terlepas dari penggunaan kain Hiou (disebut Uis di Suku Karo dan disebut Ulos di Suku Batak Toba). kain khas pada suku simalungun yang disebut Hiou dengan berbagai ornamennya.

[12]

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Simalungun
  2. ^ Laporan Daerah Tingkat II Simalungun, tahun 1963, P. Siantar, 1963, hlm. 2. Dimuat dalam: R.W. Liddle, Suku Simalungun: An Ethnic Group in Search of Representation, dalam Indonesia, Vol. 3, (Apr., 1967), hlm. 1-28.
  3. ^ Cornell South East Asia Program: William R. Liddle, Suku Simalungun: An Ethnic Group in Search of Representation.
  4. ^ J.P. Siboro (ed), 60 tahun Indjil Kristus di Simalungun, Pimpinan Pusat GKPS, P. Siantar, 1963, hlm. 7.
  5. ^ 80 Tahun Djariaman Damanik, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 335-336.
  6. ^ J.R. Hutauruk, Kemandirian Gereja, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993, hlm.164.
  7. ^ F. Marodjahan Purba, Undang-undang ni Surat Simalungun, Kalangan Sendiri, Pamatang Raya, 1974, hlm.1-58.
  8. ^ De Resident der Oostkust op Sumatra, Nota van toelichting betreffende de Simeloengoensche landschappen Siantar, Panei, Tanah Djawa en Raja, Medan, 13 Mei 1909, hal.3-4 dalam Apulman Saragih, Gema Sinalsal, Skripsi STT Jakarta, 1979, hlm.12.
  9. ^ The Simalungun Protestant Church in Indonesia, a brief history, Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 1983, hlm. 6
  10. ^ Pdt Juandaha Raya P Dasuha, STh, SIB(Perekat Identitas Sosial Budaya Simalungun) 22 Oktober 2006
  11. ^ Jaumbang Garingging, Palar Girsang, Adat Simalungun, Medan, 1975
  12. ^ Biranul Anas / Jonny Purba, Busana Tradisional Batak, Taman Mini Indonesia Indah