Aksara Lontara
Netralitas artikel ini dipertanyakan. |
Aksara Lontara juga dikenal sebagai Aksara Lontara Beru yang umum dipakai saat ini adalah salah satu aksara tradisional Makassar yang berkembang di Sulawesi Selatan, Indonesia. Aksara Lontara ini turunan dari Lontara Mangkasara Jangang-jangang yang pertama kali digunakan di Kerajaan Gowa oleh Syahbandar Daeng Pamatte pada 1538 untuk menulis berbagai keperluan dilingkup istana.
Lontara ᨒᨚᨈᨑ | |
---|---|
Jenis aksara | |
Bahasa | Makassar |
Periode | Abad 19 hingga sekarang |
Aksara terkait | |
Silsilah | Lontara Jangang-jangang
|
Pengkodean Unicode | |
U+1A00–U+1A1F | |
Namun dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang mendapat pengaruh dari Kerajaan Gowa Tallo (Makassar) seperti Mandar, Bugis, Bima, Sumbawa dan Ende. Kelima wilayah ini mendapat pengaruh besar oleh Makassar seperti penaklukan Dompu, Bima, Sumbawa, Kengkelu/Tambora oleh Sultan Gowa, Sultan Alauddin pada 3 Juli 1626 di Pulau Sumbawa dan Ende (penaklukan Ende, Solor dan Sandao/Flores) oleh Raja Tallo Karaeng Tunipasuru 1540-1543.
Sejarah
Aksara Lontara telah digunakan sebelum Makassar mendapat pengaruh Islam yang signifikan sekitar abad 16 M. Berdasarkan fakta bahwa Aksara Lontara menggunakan dasar sistem abugida Indik ketimbang huruf Arab yang menjadi lumrah di Sulawesi Selatan di kemudian harinya.[1] Aksara ini berakar pada aksara Brahmi dari India selatan, kemungkinan dibawa ke Sulawesi melalui perantara aksara Kawi atau aksara turunan Kawi lainnya.[2][3][4] Kesamaan grafis aksara-aksara Sumatra Selatan seperti aksara Rejang dengan aksara Lontara membuat beberapa ahli mengusulkan keterkaitan antara kedua aksara tersebut.[5] Teori serupa juga dijabarkan oleh Christopher Miller yang berpendapat bahwa aksara Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, dan Filipina berkembang secara paralel dari pengaruh purwarupa aksara Gujarat, India.[6]
Lontara di Sulawesi Selatan pertama kali berkembang di wilayah Bugis yaitu kawasan Cenrana-Walannae sekitar tahun 1400 M. Aksara ini mungkin telah menyebar ke bagian lain Sulawesi Selatan, tetapi kemungkinan perkembangan aksara yang independen tidak dapat diabaikan. Yang jelas adalah bahwa catatan tertulis lontara yang paling awal yang ada buktinya adalah silsilah keluarga.[7]
Pada saat kertas tersedia di Sulawesi Selatan pada awal abad ke-17, aksara lontara yang sebelumnya harus ditulis lurus, bersudut dan kaku pada daun lontar, kini dapat ditulis lebih cepat dan lebih bervariasi dengan menggunakan tinta pada kertas. R.A. Kern (1939:580-3) menuliskan bahwa aksara lontara termodifikasi yang memiliki bentuk lengkung yang ditemukan tertulis pada kertas tampaknya tidak ditemukan dalam naskah Bugis yang tertulis pada daun lontar yang ia teliti.[8]
Melalui upaya ahli linguistik Belanda, B.F. Matthes, mesin cetak Lontara Bugis, yang dirancang dan dibuat di Rotterdam pada pertengahan abad ke-19, digunakan sejak saat itu untuk pencetakan di Makassar, Sulawesi Selatan dan Amsterdam. Mereka juga dijadikan model pengajaran aksara Lontara Bugis di sekolah-sekolah, awalnya di Makasar dan sekitarnya, kemudian secara bertahap di daerah lain di Sulawesi Selatan. Proses standardisasi ini jelas mempengaruhi tulisan tangan di kemudian hari. Ketika model standar Lontara Bugis ini telah muncul, variasi yang ada sebelumnya perlahan-lahan menghilang.[9] Dan pada akhir abad ke-19, penggunaan aksara Makassar (atau aksara Jangang-Jangang) telah sepenuhnya digantikan oleh aksara Lontara Bugis, yang kadang-kadang disebut oleh para juru tulis bahasa Makassar sebagai "Lontara Baru".[10]
Setidaknya terdapat empat aksara yang terdokumentasi pernah digunakan di wilayah Sulawesi Selatan, secara kronologis aksara-aksara tersebut adalah aksara Lontara, Makassar (atau aksara Jangang-Jangang), Arab, dan Latin. Dalam perkembangannya, keempat aksara ini kerap digunakan bersamaan tergantung dari konteks penulisan sehingga lazim ditemukan suatu naskah yang menggunakan lebih dari satu aksara, termasuk naskah beraksara Lontara yang sering ditemukan bercampur dengan Arab Melayu.[11]
Media
Aksara Lontara kebanyakan ditemukan dalam bentuk buku dengan kertas yang diimpor dari Eropa. Teks umum ditulis dengan tinta lokal menggunakan rusuk daun palem atau kallang (kalam) yang terbuat dari batangan buluh.[12] Terdapat pula beberapa naskah beraksara Lontara yang ditemukan dalam bentuk unik menyerupai pita rekaman: selembar daun lontar yang panjang dan tipis digulungkan pada dua buah poros kayu sebagaimana halnya pita rekaman pada kaset. Teks kemudian dibaca dengan menggulung lembar tipis tersebut dari kiri ke kanan. Namun demikian, media ini hanya ditemukan pada beberapa contoh saja; sastra beraksara Lontara lebih lazim ditemukan pada media kertas.[13] Selain kertas, aksara Lontara juga dapat ditemukan pada benda-benda tertentu sebagai bagian dari seni terapan, misal pada cap[14] dan kerajinan perak.[15]
Memasuki pertengahan abad 19 M, berkembang teknologi cetak aksara Lontara yang diprakarsai oleh B. F. Matthes. Matthes dikomisikan oleh Lembaga Penginjilan Belanda untuk mempelajari bahasa-bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan dengan tujuan menghasilkan kamus, materi tata bahasa, dan terjemahan Injil yang layak bagi bahasa-bahasa tersebut. Matthes tiba di Makassar pada tahun 1848 M dan tinggal di sana selama sepuluh tahun. Bekerja sama dengan percetakan Tetterode di Rotterdam, sebuah font cetak untuk aksara Lontara yang Matthes anggap cukup memuaskan selesai diproduksi pada tahun 1856, dengan beberapa suntingan selama beberapa tahun ke depannya. Sejak itu, bacaan sastra Makassar dan Bugis, dengan font Lontara yang digubah Matthes, dapat dicetak massal dan menjadi lumrah beredar di khalayak umum. Langgam cetak ini kemudian menjadi model pengajaran standar di sekolah-sekolah dasar masa itu, bermula dari sekolah-sekolah di daerah Makassar yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Akibat tersebarnya langgam standar tersebut, gaya tulis aksara Lontara yang awalnya memiliki beberapa macam variasi lama kelamaan menjadi lebih seragam.[16]
Penulisan
Aksara Lontara secara tradisional tidak memiliki diakritik untuk mematikan aksara atau cara lain untuk menuliskan suku kata tertutup meskipun bahasa Bugis dan Makassar yang kerap menggunakan aksara Lontara memiliki banyak kata dengan suku kata tertutup. Semisal, bunyi nasal akhir /-ŋ/ dan glotal /ʔ/ yang lumrah dalam bahasa Bugis sama sekali tidak ditulis dalam ejaan aksara Lontara, sehingga kata seperti sara (kesedihan), sara' (menguasai), dan sarang (sarang) semuanya akan ditulis sebagai sara ᨔᨑ dalam aksara Lontara. Dalam bahasa Makassar, tulisan ᨅᨅ dapat merujuk pada enam kemungkinan kata: baba, baba', ba'ba, ba'ba', bamba, dan bambang.[17]
Mengingat bahwa penulisan aksara Lontara tradisional juga tidak mengenal spasi antar kata atau pemenggalan teks yang konsisten, naskah beraksara Lontara kerap memiliki banyak kerancuan kata yang seringkali hanya dapat dibedakan melalui konteks. Pembaca teks Lontara memerlukan pemahaman awal yang memadai mengenai bahasa dan isi naskah yang bersangkutan untuk dapat membaca teksnya dengan lancar.[18][19] Kerancuan ini dapat dianalogikan dengan penggunaan huruf Arab gundul; pembaca yang bahasa ibunya memakai huruf Arab secara intuitif paham akan vokal mana yang pantas digunakan dalam konteks kalimat yang bersangkutan, sehingga penanda vokal tidak diperlukan dalam teks standar sehari-hari.
Namun begitu, kadang konteks sekalipun tidak memadai untuk mengungkap cara baca kalimat yang rujukannya tidak diketahui oleh pembaca. Sebagai ilustrasi, Cummings dan Jukes memberikan contoh berbahasa Makassar berikut untuk mengilustrasikan bagaimana penulisan Lontara dapat menghasilkan arti yang berbeda tergantung dari cara pembaca memenggal dan mengisi bagian yang rancu:
Aksara Lontara (Bahasa Makassar) | Kemungkinan Cara Baca | |
---|---|---|
Latin | Arti | |
ᨕᨅᨙᨈᨕᨗ[20] | a'bétai | ia menang (intransitif) |
ambétai | ia mengalahkan ... (transitif) | |
ᨊᨀᨑᨙᨕᨗᨄᨙᨄᨙᨅᨒᨉᨈᨚᨀ[21] | nakanréi pépé' balla' datoka | api melahap sebuah klenteng |
nakanréi pépé' balanda tokka' | api melahap sang Belanda botak |
Tanpa mengetahui maksud atau kejadian nyata yang mungkin dirujuk oleh penulis, maka pembacaan yang "benar" dari kalimat di atas tidak mungkin ditentukan sendiri oleh pembaca umum. Pembaca paling mahir sekalipun kerap perlu berhenti sejenak untuk mengintepretasikan apa yang ia baca.[17] Karena seringkali tidak memiliki informasi krusial dalam menuliskan bahasa yang bersangkutan, beberapa penulis seperti Noorduyn menjuluki aksara Lontara sebagai "aksara defektif."[22]
Bentuk
Aksara dasar
Aksara dasar (ina’ sure’ ᨕᨗᨊᨔᨘᨑᨛ dalam bahasa Bugis, anrong lontara’ ᨕᨑᨚᨒᨚᨈᨑ dalam bahasa Makassar) dalam aksara Lontara merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/. Terdapat 23 aksara dasar dalam aksara Lontara, sebagaimana berikut:[23]
ka | ga | nga | ngka |
---|---|---|---|
ᨀ | ᨁ | ᨂ | ᨃ |
pa | ba | ma | mpa |
ᨄ | ᨅ | ᨆ | ᨇ |
ta | da | na | nra |
ᨈ | ᨉ | ᨊ | ᨋ |
ca | ja | nya | nca |
ᨌ | ᨍ | ᨎ | ᨏ |
ya | ra | la | wa |
ᨐ | ᨑ | ᨒ | ᨓ |
sa | a | ha | |
ᨔ | ᨕ | ᨖ |
Terdapat empat aksara yang merepresentasikan suku kata pra-nasal, yakni ngka ᨃ, mpa ᨇ, nra ᨋ, dan nca ᨏ. Keempat aksara ini tidak pernah digunakan dalam materi berbahasa Makassar dan merupakan salah satu ciri khas tulisan Bugis. Namun, dalam praktik penulisan tradisional Bugis-pun, keempat aksara ini seringkali tidak dipakai dengan konsisten, bahkan oleh juru tulis profesional.[24]
Diakritik
Diakritik (ana’ sure’ ᨕᨊᨔᨘᨑᨛ dalam bahasa Bugis, ana’ lontara’ ᨕᨊᨒᨚᨈᨑ dalam bahasa Makassar) adalah tanda yang melekat pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama yang bersangkutan. Terdapat 5 diakritik dalam aksara Lontara, sebagaimana berikut:[23]
-i | -u | -é[1] | -o | -e[2] | |
---|---|---|---|---|---|
Nama Bugis | tetti’ riase’ | tetti’ riawa | kecce’ riolo | kecce’ rimunri | kecce’ riase’ |
Nama Makassar | ana’ i rate | ana’ i rawa | ana’ ri olo | ana’ ri boko | (anca’) |
na | ni | nu | né | no | ne (nang) |
ᨊ | ᨊᨗ | ᨊᨘ | ᨊᨙ | ᨊᨚ | ᨊᨛ |
Catatan
|
Bahasa Makassar tidak memiliki bunyi pepet (e sebagaimana dalam kata "empat", /ə/ dalam representasi IPA), sehingga diakritik kecce’ riase’ Bugis tidak diperlukan dalam penulisan bahasa Makassar. Namun begitu, juru tulis Makassar kadang memanfaatkan ulang diakritik ini untuk menandakan bunyi nasal akhir /-ŋ/ dalam teks berbahasa Makassar dan dikenal dengan nama anca’.[25]
Tanda baca
Teks tradisional Lontara ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua) dan tidak banyak menggunakan tanda baca. Aksara Lontara diketahui hanya memiliki dua tanda baca asli: pallawa (atau passimbang dalam bahasa Makassar) dan tanda pengakhir bagian. Pallawa berfungsi seperti titik atau koma dalam huruf Latin dengan membagi teks ke dalam penggalan yang mirip (namun tidak sama) dengan bait atau kalimat. Tanda baca ini dapat ditemukan dalam semua naskah beraksara Lontara. Tanda pengakhir bagian digunakan untuk membelah teks ke dalam satuan yang menyerupai bab, tetapi penggunaannnya hanya teratestasi dalam lembar contoh aksara Bugis yang diproduksi Percetakan Nasional Prancis (Imprimerie Nationale) pada akhir 1800-an.[23][26]
pallawa/
passimbang |
akhir bagian |
---|---|
᨞ | ᨟ |
Sumber kontemporer kadang juga mengikutsertakan ekivalen aksara Lontara untuk tanda baca Latin seperti koma, titik dua, titik koma, tanda seru, dan tanda tanya. Namun tanda-tanda bacaan tersebut merupakan rekaan kontemporer yang tidak pernah ditemukan dalam naskah tradisional.[23]
Diakritik pemati tambahan
Aksara Lontara Bugis-Makassar secara tradisional tidak memiliki diakritik pemati (virama) atau penanda sejenis yang mematikan vokal aksara dasar, sehingga lumrah ditemukan kata-kata yang tidak sepenuhnya dieja mengikuti pelafalan kata yang bersangkutan. Tidak adanya diakritik pemati asli merupakan salah satu alasan utama banyaknya kerancuan dalam teks Lontara standar. Namun begitu, varian aksara Lontara yang digunakan untuk menulis bahasa Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores diketahui memiliki diakritik pemati asli yang telah digunakan dalam tradisi tulis Bima-Ende sejak masa pra-kemerdekaan.[27][28] Diakritik pemati Bima-Ende ini tidak diserap balik ke dalam penulisan Bugis-Makassar sehingga Lontara standar Bugis-Makassar tetap tidak memiliki diakritik pemati hingga masa modern.[28]
Lontara Bugis-Makassar baru bereksperimen dengan rekaan diakritik pemati pada abad 21 M, umumnya sebagai upaya untuk memudahkan pengajaran aksara Lontara dalam kurikulum muatan lokal dan untuk memudahkan penulisan tepat bahasa Indonesia serta istilah asing. Pada tahun 2003, penulis Djirong Basang tercatat menyarankan tiga diakritik baru untuk aksara Lontara: diakritik pemati (virama), hentian glottal, dan nasal.[23] Sejak itu, Anshuman Pandey mencatat adanya tiga macam alternatif virama yang pernah diusulkan dalam sejumlah publikasi mengenai Lontara Bugis-Makassar hingga tahun 2016.[27] Namun begitu, tidak semua pihak menyetujui usulan penambahan diakritik pemati dalam aksara Lontara. Pakar sastra Bugis seperti Nurhayati Rahman menilai bahwa perombakan ortografi seperti menambah diakritik pemati untuk bahasa Bugis-Makassar merupakan usaha yang lebih menunjukkan adanya rasa inferioritas dengan 'memaksakan' aksara Lontara untuk mengikuti norma penulisan huruf Latin. Hal ini juga dikhawatirkan malah menjauhkan generasi baru dari praktek penulisan dalam naskah dan warisan sastra riil.[29]
Hingga 2018, usulan diakritik tambahan tidak memiliki status resmi maupun konsensus umum sehingga bentuk diakritik antar pihak bisa jadi kontradiktif.[27][30][31] Satu hal yang pasti ialah diakritik pemati tidak pernah muncul dalam konteks penggunaan tradisional dan naskah historis nyata Bugis-Makassar.[18]
Virama Bima/Ende[27] |
Rekaan Modern Bugis/Makassar | |||||
---|---|---|---|---|---|---|
Virama Alt.1[27] |
Virama Alt.3[27] |
Virama Alt.2[23] |
Hentian Glottal[23] |
Nasal[23] | ||
n | na' | nang | ||||
Sandi
Aksara Lontara memiliki versi sandi bernama Lontara Bilang-bilang yang kadang digunakan dalam sastra Bugis untuk fungsi spesifik penulisan basa to bakke, semacam teka-teki permainan kata, serta élong maliung bettuanna, puisi dengan makna tersembunyi yang memanfaatkan basa to bakke. Dalam sandi ini, tiap aksara dasar dalam Lontara standar digantikan dengan bentuk-bentuk yang diturunkan dari abjad dan angka Arab. Diakritik tidak diubah dan digunakan sebagaimana dalam Lontara standar, tetapi menempel pada aksara dasar yang bentuknya telah disandikan. Sandi ini merupakan adaptasi dari sandi abjad Arab yang tercatat pernah digunakan di wilayah Pakistan-Afghanistan. Prinsip dasar dari sandi ini adalah pengalihan atau subtitusi huruf Arab menjadi stilisasi angka dari nilai masing-masing huruf berdasarkan sistem bilangan abjad Arab. Dalam versi Lontara Bilang-bilang, beberapa huruf untuk bunyi Arab yang tidak digunakan dalam bahasa Bugis dihilangkan, sementara huruf-huruf untuk bunyi yang muncul dalam bahasa Melayu dan Bugis ditambahkan melaui prinsip subtitusi yang sama.[28][33]
Lihat pula
Rujukan
- ^ Macknight 2016, hlm. 55.
- ^ Macknight 2016, hlm. 57.
- ^ Tol 1996, hlm. 214.
- ^ Jukes 2014, hlm. 2.
- ^ Noorduyn 1993, hlm. 567–568.
- ^ Miller, Christopher (2010). "A Gujarati origin for scripts of Sumatra, Sulawesi and the Philippines". Annual Meeting of the Berkeley Linguistics Society. 36 (1).
- ^ Druce, Stephen C. (2009). "The lands west of the lakes, A history of the Ajattappareng kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE". KITLV Press Leiden: 63.
- ^ Druce, Stephen C. (2009). "The lands west of the lakes, A history of the Ajattappareng kingdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE". KITLV Press Leiden: 57–58.
- ^ J. Noorduyn (1993). Variation in the Bugis/Makasarese script In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Manuscripts of Indonesia 149,no:3. KITLV. hlm. 535.
- ^ Jukes 2019, hlm. 49.
- ^ Tol 1996, hlm. 213–214.
- ^ Macknight 2016, hlm. 61.
- ^ Tol 1996, hlm. 217–219.
- ^ Gallop, Annabel Teh (2019). Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia (dalam bahasa Inggris). Singapore: NUS Press. ISBN 9813250860.
- ^ Macknight 2016, hlm. 63–65.
- ^ Noorduyn 1993, hlm. 537, 543–544.
- ^ a b Jukes 2014, hlm. 6.
- ^ a b Tol 1996, hlm. 216–217.
- ^ Jukes 2014, hlm. 8.
- ^ Jukes 2014, hlm. 9.
- ^ Cummings, William (2002). Making Blood White: historical transformations in early modern Makassar. Honolulu: University of Hawai'i Press. ISBN 9780824825133.
- ^ Noorduyn 1993, hlm. 533.
- ^ a b c d e f g h Everson, Michael (05-10-2003). "Revised final proposal for encoding the Lontara (Buginese) script in the UCS" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (N2633R).
- ^ Noorduyn 1993, hlm. 544–549.
- ^ Noorduyn 1993, hlm. 549.
- ^ Kai, Daniel (2003-08-13). "Introduction to the Bugis Script" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (L2/03-254).
- ^ a b c d e f Pandey, Anshuman (2016-04-28). "Proposal to encode VIRAMA signs for Buginese" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (L2/16-075).
- ^ a b c Miller, Christopher (2011-03-11). "Indonesian and Philippine Scripts and extensions not yet encoded or proposed for encoding in Unicode". UC Berkeley Script Encoding Initiative.
- ^ Rahman, Nurhayati (2012). Suara-suara dalam Lokalitas. La Galigo Press. hlm. 124. ISBN 9799911559.
- ^ Ahmad, Abd. Aziz (2018). Prosiding Seminar Nasional Lembaga Penelitian Universitas Negeri Makassar: Pengembangan tanda baca aksara Lontara. hlm. 40-53. ISBN 978-602-5554-71-1.
- ^ Jukes 2014, hlm. 7–8.
- ^ Matthes, B F (1883). Eenige proeven van Boegineesche en Makassaarsche Poëzie. Martinus Nijhoff.
- ^ Tol, Roger (1992). "Fish food on a tree branch; Hidden meanings in Bugis poetry". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Leiden. 148 (1): 82-102. doi:10.1163/22134379-90003169.
Pranala luar
- Hikayat Amir Hamzah berbahasa Makassar koleksi British Library no. Add MS 12347
- Kumpulan puisi Tolo' Bugis koleksi British Library no. Add MS 12346
- Patturiolong Galesong Diarsipkan 2021-01-20 di Wayback Machine. koleksi Hasin Daeng Jarung dari desa Boddia, Galesong. Didigitalisasi sebagai bagian dari Endagered Archive Program oleh British Library, proyek no. EAP365