Asas non-pengenyahan atau non-penghengkangan adalah asas larangan suatu negara untuk menolak atau mengusir pengungsi ke negara asalnya atau ke suatu wilayah dimana pengungsi tersebut akan berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengancam serta membahayakan kehidupan maupun kebebasannya karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu, atau karena opini politiknya.[1][2][3]

Konvensi Status Pengungsi 1951

Asas non-pengenyahan yang berasal dari bahasa Prancis refouler yang artinya mengembalikan atau mengirim balik[3] tercantum dalam Pasal 33 ayat 1 hasil Konvensi pada 1951 mengenai Status Pengungsi. Berdasarkan hasil konvensi internasional tersebut, seseorang dengan kapasitas sebagai pengungsi mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan atas hak-hak dasarnya sebagai manusia.[2] Tindakan suatu negara menolak pengungsi atau bahkan memulangkan kembali mereka secara paksa merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip hukum internasional, serta merupakan bentuk pengingkaran terhadap komitmen masyarakat internasional dalam memberikan kontribusi terhadap penyelesaian masalah terkait pengungsi.[3] Pengecualian asas non-pengenyahan hanya dapat diterapkan dalam penjabaran yang sempit, yakni apabila keberadaan pengungsi tersebut mengancam keamanan nasional dan menjadi gangguan terhadap ketertiban umum, atau apabila pengungsi tersebut telah mendapat putusan pengadilan atas kejahatan serius yang dilakukannya serta tidak ada kemungkinan untuk mengajukan banding sehingga untuk selanjutnya masih merupakan ancaman bagi masyarakat negara dimana ia mencari suaka. Namun penerapan pengecualian asas non-pengenyahan seperti yang tercantum dalam Pasal 33 ayat 2 konvensi tahun 1951 itu tidak dapat diberlakukan apabila aktivitas pemindahan pengungsi dilakukan dengan cara penganiayaan dan penghukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Pelarangan penyiksaan dan perlakuan buruk juga terdapat dalam Pasal 7 Hukum Internasional tahun 1966 mengenai Hak Sipil dan Politik serta hukum hak asasi regional, dan Pasal 3 Konvensi PBB tahun 1984 mengenai Anti Penyiksaan, yang merupakan bentuk kelanjutan dan dukungan atas hasil Konvensi 1951 dan asas non-pengenyahan.[2]

Asas non-pengenyahan dibangun atas dasar ketidakberpihakan dan anti-diskriminasi. Beberapa ahli hukum internasional menerima asas non-pengenyahan sebagai prinsip yang dapat dikategorikan ke dalam ius cogens yang berarti asas tersebut termasuk salah satu norma dasar di dalam hukum internasional. Norma dasar hukum internasional menurut Konvensi Wina 1969 ialah suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional sebagai suatu norma yang tidak boleh dilanggar dan hanya bisa diubah oleh norma dasar hukum internasional baru yang sama sifatnya. Ius cogens atau jus cogens dari bahasa Latin yang berarti hukum yang memaksa, atau disebut juga dengan peremptory norm. Asas non-pengenyahan sebagai peremptory norm atau jus cogens memberikan implikasi bahwa asas tersebut harus dihormati dalam segala keadaan dan tidak dapat diubah. Hak dan prinsip fundamental ini diadakan untuk kepentingan semua orang tanpa memandang apakah suatu negara sudah menjadi pihak yang menandatangani Konvensi 1951 atau belum. Sehingga dalam perkembangannya, asas non-pengenyahan berubah menjadi prinsip yang tidak yang bisa direservasi dan berlaku di negara-negara lain di seluruh dunia.[2] Oleh sebab itu, asas non-refoulement tetap diterapkan di suatu negara tempat pengungsi mencari suaka, meskipun negara tersebut bukan negara penandatangan konvensi.[1]

Penerapan di Indonesia

Meskipun bukan/belum menjadi pihak penandatangan konvensi, negara Indonesia telah konsisten mempraktikkan prinsip tersebut sejak menghadapi eksodus pengungsi Vietnam. Penerapan asas non-refoulement di Indonesia tertuang dalam Surat Dirjen Imigrasi Nomer F-IL.01.10-1297 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM (Kakanwil Depkum HAM) RI serta Kepala Kantor Imigrasi di seluruh Indonesia yang memberikan pedoman mengenai penanganan orang asing yang menyatakan diri sebagai pencari suaka atau pengungsi. Namun bagi Indonesia, keamanan tidak hanya sebatas konteks keamanan internal, tetapi juga dalam arti sistem keamanan pangan, kesehatan, keuangan dan perdagangan. Adanya unsur ancaman terhadap keamanan negara yang merupakan faktor pengecuali diterapkannya non-refoulement, dalam arti sempit dapat bersifat terencana maupun bersifat residual. Ancaman terencana dapat berupa subversi atau pemberontakan dalam negeri, dapat juga berupa infiltrasi, sabotase, atau invasi. Sedangkan ancaman residual yakni berbagai keadaan dalam masyarakat yang merupakan kerawanan ekonomi, sosial dan politik yang apabila tidak ditangani secara tuntas, pada waktunya akan memicu kerusuhan yang dapat dipergunakan oleh unsur-unsur subversi atau pemberontak untuk melancarkan kepentingannya.[1]

Referensi