Serangan pada rumah Fatimah

Sebuah peristiwa penting dan kontroversial dalam sejarah Islam Syiah

Serangan terhadap rumah Fatimah adalah sebuah peristiwa yang merujuk pada serangan terhadap rumah putri Nabi Islam Muhammad, Fatimah.[1] Serangan tersebut dilaporkan terjadi tidak lama setelah kematian Muhammad pada 11 Hijriah (632 M) dan diinisiasi oleh penerus Muhammad, yakni Abu Bakar dan dipimpin oleh Umar bin Khattab, tangan kanannya Abu Bakar.[2][3][1] Tujuan dari serangan ini adalah untuk menahan suaminya Fatimah, yaitu Ali bin Abi Thalib, yang menolak untuk mengakui pemerintahan Abu Bakar.[2][3][1] Diduga cedera yang dialami Fatimah yang diakibatkan oleh serangan itu menyebabkan Fatimah keguguran dan meninggal pada usia mudanya, enam bulan setelah Muhammad meninggal dunia.[2][3]

Serangan pada rumah Fatimah
The door of Fatimah's House
Pintu dari rumah Fatimah
Nama asli حادثة كسر الضلع
Tanggal632 M
LokasiMadinah, Kekhalifahan Rasyidin
(sekarang Arab Saudi)
SasaranMemperoleh bai'at dari Ali
TewasFatimah az-Zahra, Muhsin bin Ali

Dalam sejumlah hadits yang diakui shahih oleh Islam Sunni, sebelumnya, sehari setelah kematian Muhammad, Fatimah meminta kepada Abu Bakar agar diberikan Madinah, Khaibar dan Fadak yang merupakan daerah-daerah orang kafir yang ditaklukkan oleh Muhammad dan pasukannya, yang ketika Muhammad masih hidup, penduduk kafir di sana diwajibkan membayar separuh hasil panen mereka kepada Muhammad seorang.[4] Namun permintaan Fatimah ini ditolak oleh Abu Bakar dikarenakan dirinya mengklaim mendengar perkataan Muhammad bahwa beliau tidak meninggalkan warisan, dan harta yang ditinggalkannya adalah untuk ummat Muslim. Mendapat penolakan tersebut Fatimah pun murka dan tidak lagi berbicara dengan Abu Bakar hingga akhir hayatnya.[5]

Tidak lama berselang kejadian tersebut, suami Fatimah, Ali yang juga merupakan sepupu Muhammad, ditemani dengan paman Muhammad, Al-Abbas, datang pula menemui Abu Bakar untuk meminta jatah harta warisan untuk diri mereka. Namun mendapat penolakan dari Abu Bakar, Al-Abbas pun menyebut bahwa Abu Bakar adalah seorang pendosa, pengkhianat, dan pembohong.[6] Umar pun pada akhirnya memberikan Madinah untuk kedua relatif Muhammad tersebut, Ali pun berhasil mengalahkan Al-Abbas, dan mengambil Madinah untuk dirinya. Sedangkan untuk Khaibar dan Fadak, Umar tetap menahannya dengan mengklaim bahwa keduanya merupakan peninggalan Muhammad untuk ummat.[7]

Masih belum puas, Fatimah pun berceramah di Masjid Nabawi, dengan isi ceramahnya memprotes kekhalifahan Abu Bakar, dengan menganggapnya tidak sah, dan mengkritisi umat muslim yang dianggapnya telah kembali melakukan kebiasaan-kebiasaan mereka di zaman Jahiliyah.[8] Fatimah menganggap suaminya, Ali sebagai Khalifah dan penerus Muhammad yang sah,[1] dengan merujuk pada pernyataan Muhammad di Ghadir Khumm.[9]

Tidak lama berselang, pada sejumlah riwayat dari Islam Syi'ah, Umar yang merupakan tangan kanan dari Abu Bakar pun menggeruduk rumah Fatimah dan Ali, yang dalam prosesnya menyebabkan Fatimah keguguran dan meninggal beberapa bulan setelahnya. Riwayat penggerudukan ini namun ditolak oleh pihak Sunni.[10][1] Di satu sisi, para sejarawan Syi'ah menyebutkan bahwa sejumlah sumber Sunni mendukung kebenaran penggerudukan tersebut,[11] dan menunjukkan bahwa informasi yang sensitif telah disensor oleh para ulama Sunni yang khawatir akan citra dari sahabat-sahabat Muhammad.[12] Di sisi lain, adalah hal yang tidak terbayangkan bagi pihak Sunni bahwa sahabat-sahabat Muhammad melakukan tindak kekerasan terhadap keluarga Muhammad.[10] Sebagai gantinya, pihak Islam Sunni mengklaim bahwa Fatimah wafat dikarenakan kesedihan akan kematian Muhammad dan anaknya yang sedang dalam kandungan meninggal karena sebab alami.[13][1][10]

Latar belakang

Saqifah

Tidak lama setelah kematian Muhammad pada tahun 11 Hijriah atau 632 Masehi, kaum Anshar (muslim Madinah) mengadakan pertemuan di Saqifah (literlit: perkarangan) dari klan Sa'idah.[14] Menurut Madelung, ketidak hadiran kaum Muhajirun (muslim pendatang dari Makkah) menunjukkan bahwa tujuan dari pertemuan ini adalah untuk membangun kembali kontrol oleh kaum Anshar atas kota mereka Madinah, di bawah keyakinan bahwa orang-orang Muhajirun akan hampir pasti kembali ke Makkah setelah Makkah ditaklukkan.[15][16]

Abu Bakar dan Umar, mengetahui akan adanya pertemuan itu, bersegera mendatanginya. Setelah konfrontasi yang panas,[16] di mana pimpinan Anshar besar kemungkinan dihajar oleh Umar, orang-orang yang berkumpul di Saqifah pun setuju kalau Abu Bakar adalah pimpinan terbaru dari komunitas Muslim.[17]

Oposisi terhadap Saqifah

Peristiwa Saqifah tidak mengikut sertakan keluarga Muhammad yang sedang bersiap-siap menguburkannya, dan sebagian besar Muhajirun.[18][19][20] Untuk memprotes naiknya Abu Bakar sebagai Khalifah, sumber-sumber sepakat bahwa Banu Hashim (klannya Muhammad) dan beberapa dari sahabatnya berkumpul di rumah Fatimah.[21][18] Di antara mereka adalah paman Muhammad, Al-Abbas dan sahabatnya, Zubair.[22][23] Para pemrotes, termasuk Fatimah, menganggap bahwa suaminya, yakni Ali adalah penerus yang sah atas Muhammad,[3][1] merujuk pada pernyataan Muhammad di Ghadir Khumm.[9] Ali dipercaya telah menjelaskan penentangannya terhadap Abu Bakar.[24][25]

Ancaman terhadap Ali

Setelah pertemuan di Saqifah, Abu Bakar dilaporkan memerintahkan tangan kanannya, yakni Umar, untuk mengamankan bai'at dari Ali.[26][25] Umar lalu memimpin sejumlah massa menuju rumah Ali, dan mengancam akan membakar rumahnya kalau Ali dan pengikutnya tidak berbai'at kepada Abu Bakar.[25][3][27][28] Sejarawan Sunni, Ath-Thabari menuliskan bahwa Umar berteriak, "Demi Allah, antara kau keluar untuk berbai'at (kepada Abu Bakar), atau rumah ini aku bakar."[29][30] Kejadian tersebut dengan cepat menjadi konflik dan, pada khususnya, Zubair dilucuti dan dibawa pergi.[31][32] Ath-Thabari menulis bahwa Zubair keluar dari rumahnya dengan pedangnya terhunus akan tetapi lalu tersandung pada sesuatu dan kemudian diserang.[33] Massa pun mundur setelah Fatimah memohon-mohon kepada mereka.[34][25]

Boikot terhadap Ali

Abu Bakar tampaknya kemudian melakukan boikot terhadap Ali, dan secara lebih luas, terhadap Banu Hashim agar mereka meninggalkan dukungan mereka terhadap Ali.[35][36] Sebagai hasil, sejumlah orang yang ternama berhenti berbicara dengan Ali, yang mana ini menurut pengakuan putri Abu Bakar, Aisyah.[35] Sejarawan barat, Hazleton menemukan bahwa Ali beribadah sendirian bahkan ketika di dalam masjid.[36] Jafri menambahkan bahwa orang-orang yang awalnya mendukung Ali perlahan-lahan berbalik arah dan berbai'at kepada Abu Bakar.[37] Tampaknya hanya istrinya, yakni Fatimah dan empat anak-anaknya yang tersisa tetap berada pada sisinya Ali, menurut Hazleton.[38]

Reputasi Umar

Umar terkenal akan watak keras dan misogoni-nya.[39] "Sifat kerasnya Umar" dikutip oleh Aisyah sebagai alasan kenapa Umar tidak diikut sertakan dalam rekonsiliasi antara Ali dan Abu Bakar.[40] Aisyah juga menolak lamaran Umar terhadap adik Aisyah, Ummu Khultsum, dengan Aisyah berkata: "Kau orang yang kasar. Apa jadinya dengan Ummu Khultsum apabila dia tidak menuruti kemauanmu dan kau memukulinya? Kau akan mengambil alih posisi Abu Bakar yang mana tidak cocok untukmu."[41]

Serangan terhadap rumah Fatimah

Meskipun dipercayai bahwa Ali berbai'at kepada Abu Bakar setelah meninggalnya Fatimah,[31][37] masih belum jelas apa yang terjadi setelah pertengkaran di rumah Fatimah tersebut.[31][37][26][3] Sumber-sumber Syi'ah menuding bahwa Fatimah mengalami cedera dan keguguran ketika serangan ke rumahnya yang dipimpin oleh Umar.[42] Khususnya, ditenggarai bahwa anak Fatimah yang gugur itu adalah Muhsin,[42][3][1] yang mana namanya dipilih sendiri oleh Nabi Muhammad sebelum kematiannya, menurut Abbas.[10] Klaim-klaim tersebut secara umum ditolak oleh pihak Sunni.[10] Khususnya, sumber-sumber Sunni menekankan bahwa Muhsin meninggal dalam kandungan karena sebab alami.[43][44][3]

Sumber-sumber Sunni

Menurut Abbas, sejumlah sumber Sunni yang diterima baik menyebutkan tentang serangan yang dilakukan Umar dan cederanya Fatimah.[10] Dalam waktu yang bersamaan, Khetia meyakini bahwa terdapat beberapa contoh kejadian di mana informasi sensitif disensor oleh para penulis Sunni, seperti Abu Ubayd al-Salam yang khawatir akan citra dari sahabat-sahabat Muhammad.[12]

Ath-Thabari, al-Baladzuri, dan Al-Jawhari, ketiganya ikut memasukkan sejumlah catatan dari konflik pasca peristiwa Saqifah tersebut ke dalam kitab-kitab sejarah mereka,[45] meskpun Soufi mengatakan bahwa, riwayat-riwayat mereka, kecuali satu, tidak memiliki sanad atau rantai penyampaian yang sampai pada waktu konflik tersebut.[46] Di antaranya, al-Jawhari memasukkan cerita di mana Umar dan anak buahnya awalnya mengancam akan membakar rumah Fatimah. Kemudian mereka memasuki rumah Fatimah meski Fatimah memohon mereka agar tidak melakukannya, dan memaksa Ali dan pendukungnya keluar dari rumah.[47] Ath-Thabari hanya menyebutkan tentang ancaman yang dilontarkan Umar, sedangkan al-Baladhuri menyatakan bahwa Ali dan para pendukungnya menyerah dan berbai'at kepada Abu Bakar segera setelah ancaman Umar.[45] Sebaliknya, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim yang merupakan koleksi hadits dengan derajat tertinggi bagi penganut aliran Sunni menyatakan bahwa Ali berbai'at kepada Abu Bakar hanya setelah Fatima meninggal, menurut Soufi.[48]

Ath-Thabari dan al-Masudi keduanya mencatatkan bahwa Abu Bakar menyesali kejadian pasca Saqifah pada sakit yang berujung pada kematiannya.[49] Khususnya, ath-Thabari menulis bahwa Abu Bakar berharap kalau dirinya "tidak membuka rumah Fatimah karena alasan apapun, meskipun mereka menguncinya sebagai bentuk pembangkangan."[45] Ini tampaknya telah menjadi informasi yang sensitif yang disensor oleh penulis Sunni, Abu Ubayd dalam Kitab al-Amwal nya.[12] Penyesalan Abu Bakar juga dikutip oleh ulama Syi'ah, al-Ya'qubi.[50] Madelung merasa belum pasti mengenai adanya penggunaan kekerasan. Namun tetap, dia mengatakan bahwa terdapat bukti (di dalam sumber-sumber Sunni) bahwa rumah Fatimah digeledah. Menurut Madelung, Ali kemudian berulang kali berkata bahwa dia akan melawan (Abu Bakar) bila saja terdapat empat puluh orang bersamanya pada waktu itu.[31][51] Mu'awiyah yang menjadi Khalifah pada tahun (661-680 M) diketahui menyinggung penyergapan yang melibatkan kekerasan terhadap Ali di dalam surat kepadanya sebelum pertempuran Siffin.[52]

Kitab Sulaym bin Qays

Terdapat kemungkinan bahwa catatan terawal dan terdetail dari pihak Syi'ah mengenai serangan yang dilakukan Umar terdapat pada Buku Sulaym bin Qays.[53] Sulaym sendiri adalah sahabat dekat Ali,[54] yang kerap kali ditolak oleh pihak Sunni.[55] Di lain pihak, ketika ditanya mengenai hal itu, Imam ke-5 Syi'ah, Muhammad al-Baqir, dikatakan telah mengakui kebenaran dari kitab tersebut.[54] Namun begitu, tidak terdapat kesepakatan bersama di antara pakar teologi Syi'ah mengenai reliabilitas keseluruhan buku itu.[56][55] Setelah menganalisa buku tersebut, Modarresi berpandangan bahwa teks tersebut telah dijaga keasliannya dan berasal dari sebelum tahun 138 Hijriah, walaupun beberapa bagiannya kemungkinan lebih baru, seperti prediksi buku itu mengenai bendera hitam yang akan datang dari Timur sebelum tumbangnya Umayyah.[57]

Banyak riwayat mengenai peristiwa pasca-Saqifah di dalam Kitab Sulaym bin Qays yang serupa dengan sumber-sumber sejarah (Sunni),[58] akan tetapi kitab ini juga mengandung detail-detail eksplisit mengenai dugaan serangan yang dilakukan Umar yang sudah tidak sabar terhadap rumah Fatimah setelah beberapa kali percobaan gagalnya menundukkan Ali.[39] Riwayat tersebut disampaikan di bawah otoritas Salman, yang merupakan sahabat dekat dari Muhammad dan Ali. Di ujung dari percecokan tersebut, menurut riwayat ini, penolakan Fatimah terhadap masuknya massa ke dalam ke rumahnya, membangkitkan amarah Umar yang tidak menghiraukan permohonan Fatimah, yang kemudian membakar pintunya dengan api, lalu mendobrak masuk ke dalam rumah. Atas perlawanan Fatimah. riwayat teserbut mendeskripsikan bahwa Umar secara fisik menyerang Fatimah dengan pedang terhunus. Massa pun dengan cepat menaklukkan Ali dan menyeretnya pergi, memukul Fatimah lagi di saat dirinya berusaha mencegah hal itu terjadi. Riwayat tersebut menyatakan bahwa luka yang diterima Fatimah ketika serangan tersebut masih ada dengannya ketika dirinya meninggal tidak lama setelahnya.[59]

Kitab al-Kafi

Kitab al-Kafi adalah salah satu koleksi utama dari hadits Islam Syi'ah 12 Imam, yang dikumpulkan oleh al-Kulayni. Kitab ini berisi sebuah riwayatyang berasal dari Imam ke-7, Musa al-Kazim, yang mendeskripsikan Fatimah sebagai syahidah. Hadits ini disampaikan atas otoritas saudara dari al-Kazim dengan nama Ali bin Ja'far al-Sadiq, yang dianggap sebagai perawi yang terpercaya dan menyampaikan banyak hadits dan seorang Syi'ah arus utama. Oleh karenanya, riwayat ini dipandang sebagai dapat dipercaya keakuratannya dan otentik di kalangan ulama-ulama Syi'ah 12 Imam.[60]

Kamil al-Ziyarat

Kamil al-Ziyarat disusun oleh al-Qummi, seorang tradisionis ternama Syi'ah 12 Imam. Kitabnya berisi hadits yang berasal dari Imam ke-6, Ja'far al-Sadiq, di mana Nabi diinformasikan ketika sedang Isra Mi'raj, akan kematian keluarganya di tangan umat Muslim. Untuk putrinya, Fatima, laporannya menyebut bahwa kegugurannya dan kematiannya disebabkan atas cedera yang diakibatkan oleh serangan ke rumahnya.[61] Riwayat ini dilaporkan atas otoritas Hammad bin Utsman, seorang sahabat yang terkenal dari al-Sadiq dan seorang Syi'ah arus utama. Sebagai hasilnya, riwayat ini lagi-lagi dipandang sebagai otentik di kalangan hadits-hadits Syi'ah 12 Imam.[62]

Hadits ini juga kemungkinan berisi referensi paling awal mengenai kegugurannya Fatimah yang diakibatkan serangan yang dilakukan Umar.[63] Selain kitab ini, berbagai sumber lainnya juga mencatatkan mengenai anak kelima Fatimah, bernama Muhsin,[43] meskipun sebagian besar sumber Sunni kukuh mengatakan dia mati saat sudah lahir, namun ketika masih bayi.[3][64]

Kitab al-Irshad

Kitab ini disusun oleh al-Mufid, seorang ahli teologi Syi'ah 12 Imam. Di dalamnya, al-Mufid hanya menyebut mengenai keyakinan Syi'ah mengenai kematian Muhsin di kandungan tanpa menyinggung Umar ataupun memasukkan daftar tradisi-tradisi yang mendukung keyakinan ini. Mengingat bahwa al-Mufid menulis kejadian di dalam kitab yang lain, Khetia mencurigai bahwa al-Mufid menahan diri dari topik-topik kontroversial yang dapat mengakibatkan Kitab al-Irshad nya tidak dapat diakses oleh sebagian besar umat Syiah 12 Imam tanpa memprovokasi kemarahan pihak Sunni.[65]

Dala'il al-Imama

Di dalamnya Dala'il al-Imama nya, Ibnu Rustam (abad 4 H atau 11 M) mengikut sertakan riwayat dari Ja'far al-Sadiq atas otoritas Abu Basir, seorang perawi banyak merawikan hadits dan seorang sahabat dekat dari Imam ke-6. Sisa dari rantai perawinya juga termasuk tradisionis-tradisionis ternama Syi'ah, dan hadits ini oleh karenanya dianggap sebagai terpercaya. Konten dari hadits-nya sangat mirip dengan riwayat yang ditemukan di Kitab Sulaym bin Qays, kecuali ditambahkan bahwa Fatimah kehilangan Muhsin karena dipukul oleh klien dari Umar, bernama Qunfudh, ketimbang Umar sendiri.[2]

Kematian Fatimah

Fatimah meninggal dunia pada tahun ke-11 Hijriah atau 632 Masehi, yakni enam bulan setelah kematian Muhammad.[3][66] Pada saat itu umurnya sekitar 18 tahun menurut sumber Syi'ah atau 27 tahun menurut sumber Sunni. Pihak Sunni berpandangan kalau Fatimah meninggalkan karena kesedihan akan kematian Muhammad.[13][67] Akan tetapi, Islam Syi'ah, meyakini bahwa cederanya Fatimah yang diakibatkan serangan oleh Umar menyebabkan kegugurannya dan kematiannya tidak lama setelahnya.[3][67][10]

Dipercayai secara luas bahwa Fatimah tidak pernah berekonsiliasi dengan Abu Bakar dan Umar.[40][68][69][70][71] Terdapat sejumlah laporan bahwa Abu Bakar dan Umar berusaha mengunjungi Fatimah ketika hari-hari terakhir Fatimah untuk meminta maaf, yang mungkin dianggap menunjukkan kebersalahannya mereka, menurut Madelung.[40] Sebagaimana dicatatkan oleh al-Imama wa al-Siyasa,[72] Fatimah mengingatkan Abu Bakar dan Umar mengenai kata-kata Muhammad, "Fatimah adalah bagian dariku, dan siapa saja membangkitkan amarahnya sama saja telah membangkitkan amarahku."[73][72] Fatimah yang dalam kondisinya yang berujung kematian, kemudian berkata kepada keduanya bahwa mereka benar-benar telah membangkitkan amarahnya dan dirinya akan segera membawa komplainnya kepada Allah dan utusannya, Muhammad.[74][75] Madelung mengusulkan bahwa implikasi dari kemarahan Fatimah memotivasi dikarangnya cerita-cerita mengenai rekonsiliasi Fatimah dengan Abu Bakar dan Umar.[40]

Mengikuti keinginan Fatimah, Ali kemudian menguburkan Fatimah secara diam-diam pada malam hari.[76][1] Menurut ath-Thabari, Fatimah meminta supaya Abu Bakar dilarang untuk mendatangi pemakaman dirinya,[73][71][77] dan permintaan ini dipenuhi oleh Ali.[68] Tempat dikuburnya Fatimah masih belum dipastikan lokasi tepatnya hingga saat ini.[78][79][3][76]

Reaksi Ali

Dipercayai secara luas bahwa Ali berbai'at kepada Abu Bakar setelah kematian Fatimah.[19][69] Ali disebut telah menarik klaimnya bahwa dirinya kalifah yang sah, demi tujuan persatuan umat Islam ketika telah jelas bahwa umat Muslim tidak secara luas mendukung niatnya.[80][81][82] Secara khusus, Ali dikatakan telah menolak proposal untuk secara paksa mengejar kekhalifahan,[81] termasuk tawaran dari Abu Sufyan.[83] Beberapa saat setelahnya, mengacu pada kekhalifahan Abu Bakar, sebuah syair mulai beredar di kalangan Bani Hasyim yang diakhiri dengan, "Sungguh kita telah benar-benar diperdaya."[84] Ali melarang penyair untuk membacanya, menambahkan bahwa kesejahteraan Islam lebih dia cintai ketimbang apa pun.[85]

Sangat berbeda dengan ketika Muhammad masih hidup,[86][71] Ali tidak aktif secara publik di masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman.[87] Perubahan sikap Ali ini dianggap sebagai bentuk bagaimana Ali tidak mengakui kepemimpinan ketiga Khalifah tersebut.[86] Ketika Ali dilaporkan menyarankan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar dalam masalah pemerintahan dan keagamaan,[87][88] saling ketidak-percayaan dan permusuhan antara Ali dengan Abu Bakar dan Umar terekam dengan baik.[68][89][90] Salah satu contoh dari perbedaan pandangan mereka dapat dilihat secara jelas ketika proses pemilihan dewan di tahun 644 di mana Ali menolak untuk mengikuti keputusan kedua Khalifah pertama tersebut.[71][86]

Argumen umum dari pihak Sunni adalah bahwa Ali tidak mungkin untuk melanjutkan hubungannya dengan Umar apabila Umar pernah melakukan serangan ke rumahnya.[91] Tanggapan tipikal dari pihak Syi'ah adalah bahwa Ali telah menyerah dari haknya dan menahan diri demi kebaikan Islam.[92]

Umar tewas dibunuh pada tahun terakhir kekhalifahannya,[93][94] yang mana kekhalifahannya dilanjutkan oleh Utsman yang dalam pemerintahannya, meningkatkan usaha penyeragaman teks Al-Qur'an melihat banyaknya perbedaan pembacaan ataupun isi dari Al-Qur'an dari kalangan umat muslim yang satu dengan yang lainnya, Utsman pun mengumpulkan 4 orang untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an dan dikoleksi menjadi satu kitab lalu membakar mushaf-mushaf yang tidak sesuai dengan yang ia kumpulkan.[95] Ini mendapat penentangan keras dari kalangan sejumlah sahabat Muhammad, seperti Ibnu Mas'ud yang yakin bahwa versi ayat-ayat Qur'an yang dipegangnya adalah sesuai seperti yang disampaikan Muhammad kepadanya.[96] Utsman tewas dibunuh ketika pemberontakan yang dilancarkan oleh rakyatnya.[97][98] Yang mana kekhalifahannya dilanjutkan oleh Ali yang mana ditolak mentah-mentah oleh putri Abu Bakar dan istri favorit Muhammad, Aisyah, yang kemudian melancarkan Perang Jamal. Kubu Aisyah kalah pada perang tersebut dan Aisyah pun dikembalikan ke tempat tinggalnya. Sepupu dari Utsman, Muawiyah kemudian melancarkan Perang yang dikenal sebagai Perang Siffin terhadap Ali, yang berujung pada arbitrase kebuntuan. Ali tewas beberapa saat setelahnya dibunuh oleh Ibnu Muljam yang dianggap melakukannya untuk membalaskan dendam dari pertempuran Nahrawan.[99][100]

Referensi

Catatan Kaki

  1. ^ a b c d e f g h i Fedele 2018.
  2. ^ a b c d Khetia 2013, hlm. 77.
  3. ^ a b c d e f g h i j k l Buehler 2014, hlm. 186.
  4. ^ "Sahih al-Bukhari 3092, 3093 - One-fifth of Booty to the Cause of Allah (Khumus) - كتاب فرض الخمس - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2022-07-06. 
  5. ^ "Sahih al-Bukhari 3092, 3093 - One-fifth of Booty to the Cause of Allah (Khumus) - كتاب فرض الخمس - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2022-07-06. 
  6. ^ "Sahih Muslim 1757c - The Book of Jihad and Expeditions - كتاب الجهاد والسير - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2022-07-06. 
  7. ^ "Sahih Muslim 1759c - The Book of Jihad and Expeditions - كتاب الجهاد والسير - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2022-07-06. 
  8. ^ Khetia 2013, hlm. 50, 52.
  9. ^ a b Amir-Moezzi 2022.
  10. ^ a b c d e f g Abbas 2021, hlm. 98.
  11. ^ Abbas 2021, hlm. 97-8.
  12. ^ a b c Khetia 2013, hlm. 39.
  13. ^ a b Veccia Vaglieri 2022a.
  14. ^ Walker 2014, hlm. 3.
  15. ^ Madelung 1997, hlm. 31.
  16. ^ a b Abbas 2021, hlm. 92.
  17. ^ Madelung 1997, hlm. 31-2.
  18. ^ a b Madelung 1997, hlm. 32.
  19. ^ a b Walker 2014, hlm. 3-4.
  20. ^ Momen 1985, hlm. 18.
  21. ^ Khetia 2013, hlm. 31-2.
  22. ^ Khetia 2013, hlm. 31, 32.
  23. ^ Abbas 2021, hlm. 95.
  24. ^ Mavani 2013, hlm. 116.
  25. ^ a b c d Jafri 1979, hlm. 40.
  26. ^ a b Abbas 2021, hlm. 97.
  27. ^ Qutbuddin 2006, hlm. 249.
  28. ^ Cortese & Calderini 2006, hlm. 8.
  29. ^ Al-Tabari 1990, hlm. 186-7.
  30. ^ El-Hibri 2010, hlm. 44.
  31. ^ a b c d Madelung 1997, hlm. 43.
  32. ^ Jafri 1979, hlm. 41.
  33. ^ Al-Tabari 1990, hlm. 187.
  34. ^ Khetia 2013, hlm. 34.
  35. ^ a b Madelung 1997, hlm. 43-4.
  36. ^ a b Hazleton 2009, hlm. 73.
  37. ^ a b c Jafri 1979, hlm. 40-1.
  38. ^ Hazleton 2009, hlm. 71.
  39. ^ a b Khetia 2013, hlm. 67.
  40. ^ a b c d Madelung 1997, hlm. 52.
  41. ^ Muhammad ibn Jarir al-Tabari. Tarikh al-Rusul wa'l-Muluk. Translated by Smith, G. R. (1994). Volume 14: The Conquest of Iran, pp. 101-102. Albany: State University of New York Press.
  42. ^ a b Khetia 2013, hlm. 78.
  43. ^ a b Khetia 2013, hlm. 73.
  44. ^ Glassé 2001.
  45. ^ a b c Soufi 1997, hlm. 84.
  46. ^ Soufi 1997, hlm. 85.
  47. ^ Soufi 1997, hlm. 84-5.
  48. ^ Soufi 1997, hlm. 86.
  49. ^ Khetia 2013, hlm. 38.
  50. ^ Soufi 1997, hlm. 88.
  51. ^ Abbas 2021, hlm. 100.
  52. ^ Hazleton 2009, hlm. 217.
  53. ^ Khetia 2013, hlm. 60.
  54. ^ a b Khetia 2013, hlm. 61.
  55. ^ a b Kohlberg 2009, hlm. 532-3.
  56. ^ Khetia 2013, hlm. 62.
  57. ^ Khetia 2013, hlm. 62-3.
  58. ^ Khetia 2013, hlm. 66-7.
  59. ^ Khetia 2013, hlm. 67-8.
  60. ^ Khetia 2013, hlm. 70.
  61. ^ Khetia 2013, hlm. 71.
  62. ^ Khetia 2013, hlm. 72.
  63. ^ Khetia 2013, hlm. 72-3.
  64. ^ Glassé 2001a.
  65. ^ Khetia 2013, hlm. 75-6.
  66. ^ Abbas 2021, hlm. 104.
  67. ^ a b Fedele 2018, hlm. 56.
  68. ^ a b c Aslan 2011, hlm. 122.
  69. ^ a b Anthony 2013, hlm. 31.
  70. ^ Jafri 1979, hlm. 47.
  71. ^ a b c d Mavani 2013, hlm. 117.
  72. ^ a b Khetia 2013, hlm. 35-6.
  73. ^ a b Abbas 2021, hlm. 103.
  74. ^ Abbas 2021, hlm. 102.
  75. ^ Khetia 2013, hlm. 25-6.
  76. ^ a b Khetia 2013, hlm. 82.
  77. ^ Kassam & Blomfield 2015, hlm. 212.
  78. ^ Abbas 2021, hlm. 103-4.
  79. ^ Klemm 2005, hlm. 184-5.
  80. ^ Madelung 1997, hlm. 141.
  81. ^ a b Jafri 1979, hlm. 44.
  82. ^ Momen 1985, hlm. 19, 20.
  83. ^ Veccia Vaglieri 2022b.
  84. ^ Madelung 1997, hlm. 37, 38.
  85. ^ Madelung 1997, hlm. 37-8.
  86. ^ a b c Anthony 2013.
  87. ^ a b Nasr & Afsaruddin 2021.
  88. ^ Poonawala 2011.
  89. ^ Madelung 1997, hlm. 42, 52–54, 213-4.
  90. ^ Abbas 2021, hlm. 94.
  91. ^ Abbas 2021, hlm. 99.
  92. ^ Abbas 2021, hlm. 99, 100.
  93. ^ Haykal, 1944. Chapter "Death of Umar".
  94. ^ "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-10-22. Diakses tanggal 2012-12-01. 
  95. ^ "Sahih al-Bukhari 4987 - Virtues of the Qur'an - كتاب فضائل القرآن - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2022-07-06. 
  96. ^ "Search Results - Search Results - Keep the Musahif that are with you, and conceal them (page 1) - Sunnah.com - Sayings and Teachings of Prophet Muhammad (صلى الله عليه و سلم)". sunnah.com. Diakses tanggal 2022-07-06. 
  97. ^ [R. Stephen Humphreys (transl.), The History of al-Tabari: Volume XV. The Crisis of the Early Caliphate, (New York: State University of New York Press, 1990), pp. 250-251.]
  98. ^ Wilferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), p. 135.
  99. ^ Veccia Vaglieri 1960
  100. ^ Wellhausen 1901, hlm. 18.

Sumber