Tari Topeng Lengger
Tari Topeng Lengger merupakan salah satu kesenian tari asal kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah, Indonesia, yang hingga kini terus dilestarikan oleh generasi muda, bahkan dipentaskan setiap akhir pekan di desa-desa. Meskipun memiliki beberapa kesamaan dengan tari Lengger yang dikenal berasal dari Banyumas, namun Tari Topeng Lengger Wonosobo memiliki beberapa ciri khas dasar yang membuatnya unik. Bahkan pada bulan Oktober 2020, Tari Topeng Lengger telah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Tari Topeng Lengger dibawakan oleh dua penari berpasangan, laki-laki yang memakai topeng dan penari perempuan dengan atribut sampur atau selendang, mahkota, dan rompi. Di Wonosobo sendiri ada dua desa/dusun yang dikenal terus melestarikan kesenian Tari Topeng Lengger, yaitu dusun Giyanti atau Njanti desa Kadipaten Selomerto dan Sijambu (Jambusari) Kertek.
Ambiguitas
suntingPerbedaan mendasar dengan Lengger Lanang (Banyumasan) ialah penari Topeng Lengger yang berjenis kelamin wanita dan berpakaian lebih tertutup atau menggunakan sejenis rompi. Perbedaan lainnya adalah pada Gendhing pengiring tarian, Tembang, serta penggunaan topeng yang memiliki kesesuaian dengan nama tarian dan tembangnya. Menurut salah satu peneliti yang juga menerbitkan dua buku tentang Tari Topeng Lengger, Agus Wuryanto, ada lebih dari 60 tembang, topeng, dan gendhing pengiring yang mungkin sampai saat ini belum semuanya terdokumentasikan. Beberapa satu tembang yang dikenal luas hingga di berbagai daerah adalah Babadana, Sulasih Sulandana, Sontoloyo, Sarindoro, Angger Denok, Gondang keli, dan Melik-melik
Sejarah
suntingSejarah tari Topeng Lengger Wonosobo diyakini secara turun temurun oleh warga Njanti dan umumnya warga Wonosobo tidak lepas dari sebuah mitos yang terjadi pada sekitar abad ke-15 atau era penyebaran islam di masa Sunan Kalijaga. Kisah yang dituturkan oleh sesepuh dusun Njanti adalah sebagai berikut:
Di suatu sore ketika para warga dan pemuda berkerumun, Sunan Kalijaga mengajak salah satu muridnya (perempuan) menari dengan mengenakan topeng. Para muda-mudi dan remaja di sekitar kemudian tertarik menonton tarian dari dua orang yang diiringi irama gamelan itu. Mereka turut menari bersama dengan riang mengikuti irama musik dan tembang yang mengalun. Syair dalam tembang itu agak berbeda dengan yang biasa mereka dendangkan, namun cukup menarik, syarat dengan pesan spiritual yang disamarkan. Namun penonton tidak tahu bahwa salah satu penarinya ialah sang Sunan, hingga akhirnya tarian dihentikan dan topeng yang dikenakannya dibuka menjelang waktu Magrib tiba. Seketika melihat wajah sang Wali, para penonton kemudian terkejut lalu menyimak pesan yang dituturkannya.
Salah satu pesannya ialah “Elingo Ngger, yen sesuk kowe bakale mati” (Ingatlah nak (anak laki-laki) bahwa suatu saat kamu akan mati. Frasa ‘Elingo Ngger’ itu kemudian banyak dipercayai menjadi awal dari istilah Lengger. Namun, ada juga yang meyakini bahwa usai pentas tari itu, Sunan Kalijogo mengajak para pemuda ke Langgar untuk belajar menunaikan ibadah Salat (Maghrib). Meskipun di awal ajakan itu, sang Sunan tidak menjelaskan secara gamblang, yakni hanya mengajari mereka bersuci (wudu) dan bersujud sebagai wujud beristirahat usai lelah menari bersama. Kebiasaan itu lalu membentuk para pemuda dan remaja mengikuti ibadah sang Sunan hingga tarian topeng itu masyhur di seluruh tanah Jawa. Namun ada juga masyarakat yang meyakini kata Lengger berasal dari ujaran Leng dan Jengger, yang artinya kurang lebih adalah Penari yang tampak seperti perempuan namun ternyata laki-laki (ber-jengger seperti ayam jago). Ada pula keyakinan kata Lengger berasal dari Le dan Geger (Nggeger-i) artinya seorang anak laki-laki yang membuat gempar karena mampu menari layaknya perempuan.
Kisah tentang ajakan beribadah itu sampai saat ini dituturkan turun-temurun di keluarga para seniman di Wonosobo yang kini masih menyimpan peninggalan topeng maupun catatan tembang pengiring tari Topeng Lengger. Bahkan di dusun Giyanti, seluruh warganya sangat dekat dengan kesenian Topeng Lengger, mulai dari terjaganya keberadaan Sanggar, penari, wiyaga, hingga pembuat topeng yang masih berkarya. Dusun yang hidup dari hasil pertanian itu juga menggelar pesta panen bertajuk ‘Nyadran Tenong’ setahun sekali hingga saat ini. Sebagai puncak acara pada hari Jumat Kliwon tiap awal bulan Sura atau Muharam, ditampilkan tari Lengger Punjen, bagian dari tari Topeng Lengger yang diyakini sebagai seni yang diwariskan sejak era Sunan Kalijaga.
Periodisasi Lengger Lanang hingga Lengger Putri
sunting1960
suntingDi Wonosobo juga ada era Lengger Lanang yang berkembang di masyarakat sejak1960 hingga 1979. Dikisahkan mantan penari Lengger Lanang kelahiran dusun Giyanti, Ngadidjo (68 Tahun), pentas lengger lanang terakhir di Wonosobo yang dipentaskan kabupaten ialah pada 1979. Setelah era itu, berganti menjadi pentas Lengger Putri yang mayoritas penarinya merupakan asuhan dari Ki Hadi Suwarno (Almarhum) yang mengasuh Sanggar Rukun Putri Budaya di dusun Giyanti (lahir 1939, meninggal dunia 1995).
1979
suntingPenari Topeng Lengger Puteri generasi pertama diantaranya ialah Sukarsih, Sri Ningsih, Sulasih, dan Narsih yang masyhur pada era 1979-1989. Mereka kemudian banyak disebut dengan monomim ‘Lengger’ sebagai sebutan atas gelar yang disandang penari yang sudah menerima job pentas. Generasi ke-2 penari Topeng Lengger ialah Sri Winarti (Wiwin) yang mulai belajar Lengger sejak usia 8 tahun di 1988 dan hingga kini masih aktif mengajar dan melatih para penari lengger muda serta kerap menjadi penyanyi (Sinden) pelantun tembang yang mengiringi gendhing dan tari Topeng Lengger. sementara itu, Dwi Pranyoto meneruskan kiprah kakeknya Hadi Suwarno memimpin Sanggar hingga saat ini.
1990
suntingWiwin dan Dwi mengawali pentas mereka ketika masih belia dan di tahun 1990, mereka menari berpasangan mewakili Pemkab Wonosobo tampil di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Di mata masyarakat, citra penari lengger (tahun1980 hingga 1990an) cukup berbeda dengan saat ini, mengingat banyak yang mengira Tari Topeng Lengger putri mirip dengan tari Tayub. Namun menurut Dwi, ciri khas maupun karakter tari Topeng Lengger justeru berkebalikan. Yakni dengan busana yang cenderung tertutup (rompi) serta digunakannya topeng untuk membatasi pandangan maupun kedekatan antara dua penari maupun dengan penonton. Bahkan pasangan penari topeng lengger atau pe-Ngibing harus dari grup kesenian yang terlatih dengan baik, bukan dari penonton.
Pelestarian
suntingSelain Wiwin dan Dwi Pranyoto, para pelestari Topeng Lengger di antaranya adalah para seniman senior hingga seniman muda yang mengikuti pelatihan di sanggar maupun mereka yang mengawali dengan belajar otodidak. Salah satu agenda besar yang banyak diikuti para calon penari Topeng Lengger adalah Wisuda Lengger tahunan di dusun Njanti. Agenda itu dirancang dengan menarik sekaligus menjadi agenda peringatan hari jadi Kabupaten Wonosobo.
Saat ini, Topeng Lengger semakin dikenal dengan digelarnya pentas kolosal 2.000 Lengger di alun-alun Wonosobo pada peringatan hari jadi 2018 dan 2019. Melibatkan siswa sekolah, desa, sanggar, hingga para guru seni se-Wonosobo. Kini Tari Topeng Lengger makin diminati dan diajarkan di sekolah hingga sanggar. Didukung media sosial yang menyiarkan berbagai pentas tiap akhir pekan bahkan hampir tiap hari bisa ditemui di desa-desa dengan jadwal yang bisa dipantau di media sosial (Instagram dan grup Whatsapp). Penari Topeng Lengger kini memiliki popularitas melebihi seniman panggung dan menjadi selebriti Instagram (Selebgram) dengan basis penggemar berjumlah puluhan hingga ratusan ribu orang.
Makna Mendalam Lirik Tembang dan Pesan Keagamaan
suntingDituturkan penulis buku Tari Topeng Lenggeran Wonosobo, Agus Wuryanto, secara signifikan, Topeng Lengger Wonosobo berbeda kesejarahannya dengan Lengger Lanang Banyumasan. Pesan keagamaan dalam lirik lagu pengiring tari Topeng Lengger juga cukup kental, salah satunya pada tembang Sontoloyo yang mengisahkan masuknya Islam pada era Prabu Bra Wijaya 5 dan mengakhiri era kerajaan Hindu-Buda. Seperti dikisahkan Ki Hadi Suwarno kepada penerusnya tentang asal usul tembang Sontoloyo.
“Prabu Brawijaya (mungkin Brawijaya V) di masa itu sudah tua tapi masih memegang tampok kepemimpinan sebagai raja yang segera digantikan puteranya sehingga muncul sebuah ungkapan angon bebek ilang loro. Yakni kehilangan dua ajaran agama ketika datang ajaran islam disebarkan oleh para Wali. Di Topeng Lengger, banyak tarian yang erat dengan dakwah Islam. Contohnya Gondangkeli itu salah satu syairnya mengatakan ‘Sandangane diganti putih mergane wis ora mulih’. Ada juga lirik tentang ‘Kereto jowo roda papat rupa manungso’ yakni tentang keranda. Kemudian, di Menyan Putih: eling-eling siro manungso temenono nggonmu ngaji mumpung durung katekanan moloekat juru pati. Kalau lengger-lengger lawas, ada banyak syair seperti: Lempung gunung lemah abang, ada juga petikan ‘Miring ngetan Salo Nabi Semelah’ (Shallu ala Nabi dan Bismillah),” cerita dari Dwi Pranyoto berdasarkan penuturan almarhum Kakeknya.
"Mulut orang Jawa pada era itu yang diyakini belum fasih berbahasa Arab, kemudian menyederhanakan pengucapan seperti La elo elo ya elo La yang bisa jadi berhubungan dengan pengucapan kalimat syahadat La Illa ha Illa-llah. Ada pula kata Semelah atau Besamelah masih banyak diucapkan para sesepuh di Wonosobo kerap menggantikan ucapan Bismillah (hirrahmanirrahim).
Referensi
suntingBuku:
Tari Topeng Lenggeran Wonosobo, Agus Wuryanto; 2019,
Parikan topeng lengger Wonosobo; Agus Wuryanto; 2019,
https://ojs.badanbahasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/undas/article/download/2390/1183