Hasan Mutawakkil 'Alallah

Revisi sejak 10 Februari 2016 08.53 oleh Rio bahtiar (bicara | kontrib) (merubah wording ketua dan pengasuh)

KH. Moh. Hasan Mutawakkil 'Alallah, S.H., M.M. lahir di Genggong, 15 April 1959 (umur 65) adalah seorang pengusaha, tokoh pendakwah sekaligus kholifah ke empat dari pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur dan ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama' (PWNU Jawa Timur). Ia lahir dari keluarga Pesantren pasangan KH. Hasan Saifourridzall dan Nyai Hj. Himami Hafshawaty.

Hasan Mutawakkil 'Alallah
Berkas:Hasan Mutawakkil 'Alallah.jpg
[[Kholifah Pesantren Zainul Hasan Genggong]] 4
Mulai menjabat
13 Juni 1991
Sebelum
Pendahulu
KH. Hasan Saifourridzall
Pengganti
Petahana
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir15 April 1959 (umur 65)
Indonesia Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia
Kebangsaan Indonesia
AlmamaterUniversitas Islam Indonesia
Universitas Al-Azhar
PekerjaanUlama
Pengusaha
ProfesiPengasuh dan Ketua Yayasan Pesantren Zainul Hasan Genggong
Ketua Yayasan Hafshawaty
Ketua(Tanfidziyah) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur
Presiden Komisaris TV9 Nusantara[1]
Situs webwww.pzhgenggong.or.id
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Biografi

Hasan Mutawakil menyelesaikan pendidikan dasar di Genggong. Kemudian sempat melanjutkan pesantren di Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Namun di pesantren yang diasuh KH Imam itu, tidak lama hanya sembilan bulan saja. Atas saran kedua orang tuanya itu, ia kemudian melanjutkan pendidikan menengah pada Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di Pondok Pesantren Lirboyo dari tahun 1979-1981. Saat di Lirboyo, Kediri, ia sangat terkesan pada KH Marzuki, KH Mahrus Ali dalam prinsip-prinsip perjuangannya. Saat di Lirboyo, ia sudah menyenangi pelajaran Nahwu, Sharaf, Balaghah (ilmu alat), Ilmu Fiqh, Tafsir dan Hadits. Selepas itu, ia sempat menempuh pendidikan pada Fakultas Syari’ah di Universitas Tribakti, Kediri sampai tingkat III. Lulus dari tingkat III (sarjana muda), KH Mutawakil rupa-rupanya punya keinginan untuk mencari pengalaman, apalagi sejak kecil ia hanya menimba pendidikan pesantren. Sehingga ketika dewasa ia ingin menimba pendidikan kampus. Pilihannya pada waktu itu akhirnya jatuh pada Kota Pelajar yakni Yogyakarta. Sesampai di Jogja, ia kemudian menempuh ujian masuk persamaan di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta dan diterima. Namun di UII ia tidak bertahan lama, di tengah kuliahnya ia mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo (Mesir). Setelah menempuh ujian beasiswa ternyata, ia lulus untuk dapat menempuh pendidikan di Universitas terpopuler di belahan negara Timur Tengah itu. Sebenarnya saat menempuh kuliah di Universitas Al-Azhar Kairo, ia sudah mulai senang menggemari pelajaran. Menurutnya pelajaran yang di Kairo ada beberapa pengembangan aktualisasi,masalah dan pengembangan pandangan yang menurut berbagai persepektif. Selain itu ada kelebihan dari pengajarnya dan adanya praktek langsung di lapangan baik dengan berbahasa Arab maupun Inggris. Saat menempuh kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir pada tahun 1983, ia berkesempatan untuk mencari pengalaman study tour ke Frankrut (Jerman)[2] , Polandia, Belgia dan Belanda. Saat itu, ia mengambil inisiatif untuk study banding dengan biaya sendiri. Karena pada waktu itu, KH Mutawakil tidak mempunyai biaya yang cukup, ia kemudian mencari tambahan dana dengan bekerja apa saja, termasuk menjadi pelayan restoran di beberapa negara yang ia kunjungi. Dari studi banding itu, ia mendapat pengalaman berharga. ”Saya melihat hubungan antara hubungan kerja antara buruh dan majikan, ternyata ahlak Islam ternyata ada di Barat. Di tengah keasyikannya menuntut ilmu ternyata ia dijemput pulang oleh sang ayahanda, yakni KH. Saifourridzal pada tahun 1985. Setelah dijemput pulang, ia langsung mengajar di Pesantren Zainul Hasan. Tak berapa lama setelah ia pulang, ibunda dan ayandanya pulang ke haribaan Allah SWT.

Gelar dan kehormatan

Sri Raja Niti Nata Kusuma

Pada peringatan hari lahir (harlah) Majelis Ta’lim Al-Ahadi ke-64 digelar di halaman Pesantren Zainul Hasan Genggong, Ahad (10/1) siang bertepatan dengan 30 Rabiul Awal 1437 hijriah. 23 raja dan sultan yang berasal dari berbagai penjuru Nusantara yang tergabung dalam Asosiasi Kerajaan dan Kesultanan Indonesia (AKKI) didepan para jamaah Majelis Ta’lim Al-Ahadi. Para raja dan sultan memberikan sejumlah penghormatan dan penghargaan kepada para pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong. Secara bergantian, penghargaan berupa cendera mata, tali asih dan tali hati itu disematkan kepada KH Moh Hasan Mutawakkil Alallah, KH Moh Hasan Saiful Islam, dan Nyai Hj Diana Susilowaty.

Penyematan penghargaan tersebut dilakukan bersamaan dengan penganugerahan gelar kebangsawanan kepada tiga pengasuh Pesantren Zainul Hasan tersebut. Penobatan dipandu oleh Ketua AKKI Yang Mulia Lulu Gede Parma[3]

Referensi

  • Umar,Arief. dkk. (1989). Pesantren Zainul Hasan Genggong; 150 tahun menebar ilmu di jalan Allah, Yayasan Pendidikan Pesantren Zainul Hasan Genggong. Probolinggo
  • Yaqin, Ainul. dkk. (2005). Kiai Hasan Saifourridzall, Probolinggo: Genggong press

Pranala luar

  1. ^ Tof, Kompas (Senin, 1 Februari 2010). "TV9 Diresmikan Mendiknas". TANASZAHA Online. Diakses tanggal 2016-01-13. 
  2. ^ Amril, Amarullah (Rabu, 11 Agustus 2010). "Air Mata Kiai NU Saat Ramadan di Frankfurt". VIVA.CO.ID. Diakses tanggal 2016-01-13. 
  3. ^ Akbar, Syamsul (Senin, 10 Januari 2016). "K.H. HASAN MUTAWAKKIL ALALLAH DIANUGERAHI GELAR SRI RAJA NITI NATA KUSUMA". TANASZAHA Online. Diakses tanggal 2016-01-13.