Fatwa Oran

Revisi sejak 18 Maret 2016 18.38 oleh HaEr48 (bicara | kontrib) (Isi fatwa: jelaskan maskud)

Fatwa Oran adalah nama untuk sebuah fatwa (pendapat dalam hukum Islam) yang diberikan di tahun 1504 (910 H) untuk para Muslim di wilayah Takhta Kastilia (sekarang bagian dari Spanyol) sebagai tanggapan atas krisis di kalangan umat Islam setelah mereka dipaksa untuk berpindah ke agama Katolik sejak kebijakan pemaksaan agama sejak 1500–1502.[1] Fatwa ini memberikan kelonggaran bagi mereka yang terpaksa untuk berpura-pura mengikuti agama Katolik dan melanggar larangan-larangan dalam agama Islam.[2] Menurut fatwa ini, hal tersebut dibolehkan dalam keadaan terpaksa dan terancam hidupnya dan selama mereka masih menentang dalam hati.[2]

Fatwa Oran ini diberikan dalam konteks pemaksaan agama Katolik terhadap umat Islam di Spanyol. Lukisan menunjukkan pembaptisan massal umat Islam di Granada oleh Kardinal Cisneros.

Fatwa ini beredar luas di kalangan Muslim dan para Morisco (sebutan untuk penduduk Muslim yang berpindah ke Katolik, beserta keturunan mereka) di Spanyol, dan salah satu terjemahan dalam tulisan aljamiado ditemukan bertanggal 1564, 60  tahun setelah fatwa ini diberikan.[3] Fatwa ini dianggap sebagai "dokumen agama utama" untuk mempelajari praktek agama Islam setelah Spanyol jatuh ke tangan Katolik di abad ke 15 sampai pada pengusiran Morisco (1609–1614).[1][4] Mufti atau penulis dari fatwa ini adalah Ahmad ibn Abi Jum'ah, seorang ulama Afrika Utara di bidang hukum Islam bermahzab Maliki.[5] Fatwa ini dinamakan "Fatwa Oran" oleh sejarawan modern, karena nama kota Oran atau Wahran (sekarang di Aljazair) muncul di teks ini sebagai akhiran (nisbah) "Al-Wahrani" di nama sang Mufti.[6]

Isi fatwa

Pembukaan dari fatwa ini menunjukan simpati sang Mufti untuk umat Islam di Spanyol, yang teguh pada agamanya walaupun hal tersebut besar risikonya dan menyebabkan penderitaan bagi mereka. Sang Mufti menyerukan agar mereka tetap mengikuti Islam dan mengajarkannya kepada anak-anak mereka saat mereka telah dewasa.[1]

Fatwa ini menegaskan kewajiban untuk salat, sekalipun hanya dengan gerakan gerakan kecil, zakat walaupun dengan bertindak dermawan kepada pengemis, dan bersuci, walaupun dengan cara "menyemplung kedalam lautan". Fatwa ini berpendapat bahwa tidak apa meninggalkan salat lima waktu ketika terpaksa, dan menggantinya di malam hari ketika sendirian. Fatwa ini juga menerangkan dibolehkannya tayammum ketika wudhu tidak bisa dilakukan.[7]

Fatwa ini juga membolehkan berpura-pura mengikuti ritual Katolik ketika terpaksa, asal menentang perbuatan tersebut di dalam hati. Ketika dipaksa bersujud kepada sesembahan orang Katolik, umat Islam harus dalam hati mereka berniat melakukan salat kepada Allah, walaupun tidak menghadap Kiblat.[7] Fatwa ini juga mengizinkan mengutuk Nabi Muhammad atau menerima Yesus sebagai anak Tuhan ketika dipaksa. Namun ketika dipaksa melakukan hal ini, sang Mufti menganjurkan menggunakan siasat untuk menghindari perbuatan tersebut, misalnya dengan salah mengucapkan nama "Muhammad" ketika dipaksa mengutuknya.[8]

Menurut fatwa ini, mengkonsumsi khamar, babi dan hal-hal lain yang biasanya terlarang, agar tidak dicurigai semagai Muslim, asalkan bukan untuk kesenangan pribadi dan menolaknya dalam hati.[9] Menikahi wanita Katolik dibolehkan (sebagai Ahli Kitab).[8] Menikahkan wanita Muslim dengan lelaki Katolik sebisa mungkin dihindari, kecuali ketika benar-benar dibawah paksaan.[8]

Sang mufti juga mengajak para Muslim untuk mengiriminya surat ketika ada masalah lain yang menyulitkan mereka, agar ia bisa terus memberikan pendapatnya. Fatwa ini tidak menuliskan nama penerimanya. Penerimanya hanya disebut secara umum dengan sebutan "al-ghuraba" (mereka yang jauh) tapi dekat kepada Allah".[1]

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b c d Harvey 2005, hlm. 60.
  2. ^ a b Stewart 2007, hlm. 266: "It is particularly intriguing in that it grants comprehensive dispensation to Muslims living under the Inquisition to dissimulate – to conform outwardly to Christianity in their daily lives, performing acts that are expressly forbidden in Islamic law, if necessary, just as long as they do this with the internal knowledge that these acts are ordinarily forbidden and without relinquishing their internal conviction."
  3. ^ Harvey 2005, hlm. 64.
  4. ^ Stewart 2007, hlm. 266.
  5. ^ Stewart 2007, hlm. 296.
  6. ^ Stewart 2007, hlm. 273.
  7. ^ a b Harvey 2005, hlm. 61.
  8. ^ a b c Harvey 2005, hlm. 62.
  9. ^ Harvey 2005, hlm. 61–62.

Daftar pustaka