Kaisar Xianfeng (Hanzi: 咸丰, 17 Juli 1831-22 Agustus 1861) adalah kaisar Manchu ke-9 dan kaisar ke-7 dari Dinasti Qing sejak bangsa minoritas itu menguasai Tiongkok. Ia memerintah dari tahun 1850 hingga 1861. Pemerintahannya adalah masa kemunduran bagi Tiongkok karena ketidakberdayaannya menghadapi rongrongan bangsa-bangsa asing dan korupsi yang merajarela di berbagai tingkat pemerintahan. Xianfeng meninggal dalam keadaan yang sangat menyedihkan di vila kekaisaran di Chengde, Hebei setelah kabur dari ibukota ketika bangsa barat menyerang Beijing.

Kaisar Xianfeng
Kaisar Qing di Cina ke-9
Berkuasa29 Maret 1850 – 16 Juli 1861
(11 tahun, 109 hari)
PendahuluKaisar Daoguang
PenerusKaisar Tongzhi
Pemakaman
PasanganPermaisuri Xiao De Xian
Permaisuri Xiao Zhen Xian
Permaisuri Xiao Qin Xian
KeturunanZaichun, Kaisar Tongzhi
Puteri Rongan
Nama lengkap
Mandarin: Aixin-Jueluo Yizhu 愛新覺羅奕詝
Manchu: Aisin-Gioro I Ju
Nama periode
Nama anumerta
Kaisar Xiétiān Yìyùn Zhízhōng Chuímó Màodé Zhènwǔ Shèngxiào Yuāngōng Duānrén Kuānmǐn Zhuāngjiǎn Xiǎn
(協天翊運執中垂謨懋德振武聖孝淵恭端仁寬敏莊儉顯皇帝)
Nama kuil
Qing Wenzong
清文宗
WangsaKeluarga Aisin-Gioro
AyahKaisar Daoguang
IbuPermaisuri Xiao Quan Cheng
Kaisar Xianfeng

Kehidupan awal

Xianfeng terlahir dengan nama Aisin Gioro Yizhu (爱新觉罗奕詝) di Istana Musim Panas Lama/ Taman Yuanming, 8 km di barat laut tembok kota Beijing. Ia adalah putra ke-4 Kaisar Daoguang dan Selir Quan (suku Manchu bermarga Niuhuru). Selir Quan sendiri diangkat menjadi permaisuri pada 1834 dan lebih dikenal dengan gelar anumerta Permaisuri Xiaoquan Cheng.

Yizhu memiliki intelektual yang baik dan melebihi saudara-saudaranya. Suatu ketika ayahnya hendak mengujinya dan adiknya, Yixin, untuk memilih mana yang lebih tepat dijadikan penerus tahta. Yixin menjawab semua pertanyaan mengenai masalah kenegaraan yang diajukan ayahnya dengan fasih. Sebelum tiba giliran Yizhu, gurunya, Du Shoutian yang menyadari bahwa dalam masalah politik ia kalah dibanding adiknya, menyarankan agar menjawab secukupnya saja bila ditanya mengenai masalah itu. Baru ketika ayahnya menyinggung masalah kesehatannya yang mulai menurun, ia harus menangis untuk menunjukan simpati. Yizhu melakukan apa yang dikatakan gurunya sehingga Daoguang sangat terkesan dengan sikapnya yang berbakti pada orang tua. Maka Daoguang pun menetapkannya sebagai putra mahkota.

Pemerintahan

Yizhu naik tahta pada tahun 1850 dengan gelar Xianfeng, saat itu usianya baru 19 tahun. Berbeda dengan pendahulunya, Kaisar Yongzheng, yang membunuh dan memenjarakan saudara-saudaranya yang menjadi saingannya ketika memperebutkan gelar putra mahkota, Xianfeng justru mengangkat adiknya, Yixin, yang juga pernah bersaing dengannya, sebagai pejabat prefektur dan menganugerahinya gelar Pangeran Gong. Ia juga tidak seperti ayahnya yang cenderung menjaga jarak dengan orang Han, beberapa pejabat Han seperti Zeng Guofan diberi jabatan penting dalam pemerintahannya.

Setahun setelah naik tahta, Xianfeng, memilih wanita-wanita cantik dari seluruh penjuru negeri untuk mengisi istana belakangnya. Ia sangat tergila-gila pada seorang gadis bernama Lan’er/ Selir Yi, putri seorang pejabat Manchu bermarga Yehenara, yang pintar menari dan menyanyi. Gadis inilah yang kelak menjadi Ibusuri Cixi, si wanita gila kuasa yang menjerumuskan Tiongkok dalam bencana. Selain Selir Yi, Xianfeng juga sangat menyayangi empat orang selirnya dari etnis Han yang dikenal sebagai ‘empat gadis musim semi’.

Xianfeng mewarisi negara yang sudah dalam keadaan bobrok. Tiongkok saat itu bukan saja menghadapi tantangan dari bangsa-bangsa asing, namun juga dari dalam negerinya sendiri dimana korupsi sudah seperti hal yang lumrah, keterpurukan moral karena perdagangan opium yang tidak terkendali, ketidakadilan terjadi dimana-mana sehingga meletus berbagai pemberontakan anti-pemerintah. Beberapa usaha telah dilakukan unuk mengatasi krisis, seperti memecat pejabat-pejabat korup kesayangan ayahnya, seperti Mu Zhang’a dan Qiying, namun semuanya tidak memberi dampak yang signifikan karena Xianfeng sendiri bukanlah orang yang tegas dan berwibawa, ia lebih suka menghabiskan waktunya dengan para selirnya, menonton opera, dan minum-minum sampai mabuk, selain itu ia juga seorang pecandu opium.

Pada masa pemerintahannya di dalam negeri meletus Pemberontakan Taiping, Pemberontakan Nian, dan beberapa pemberontakan Muslim di wilayah barat daya. Xianfeng tidak dapat berbuat banyak menghadapi tekanan-tekanan bangsa asing. Pada jamannya pula, ditandatangani dua perjanjian tidak adil yang sangat mempermalukan bangsa Tionghoa, yaitu Perjanjian Tianjin (1858) dan Konvensi Beijing (1860). Posisi Tiongkok terpuruk menjadi negara semi-kolonial.

Tahun-tahun penghinaan

Pada masa itu kaum imperialis barat sedang gencar-gencarnya melakukan ekspansi di wilayah Asia termasuk Tiongkok. Mereka memanfaatkan situasi dalam negeri Tiongkok yang sedang mengalami kemunduran untuk menancapkan kekuasaan mereka. Beberapa tahun sebelum Xianfeng bertahta Tiongkok telah menerima kekalahan yang memalukan dalam Perang Candu. Sejak itu bangsa-bangsa asing semakin berani menekan Tiongkok. Perang Candu II meletus pada tahun 1856, dipicu oleh Inggris yang tidak terima dengan penyitaan Kapal Arrow mereka dan Prancis yang meminta pertanggungjawaban atas insiden yang menyebabkan terbunuhnya misionaris mereka.

Tiongkok kewalahan menghadapi serbuan itu karena di dalam negeri sendiri masih sibuk menumpas pemberontakan Taiping dan faktor teknologi militer yang jauh tertinggal dengan musuh. Xianfeng mengutus Yixin untuk melakukan negosiasi dengan bangsa barat, namun tidak memberi hasil yang memuaskan. Pasukan Tiongkok mengalami kekalahan besar dari Inggris-Prancis dalam Pertempuran Benteng Taku pada September 1860. Musuh terus maju dan ibukota Beijing terancam jatuh. Dalam situasi kritis itu, Xianfeng melakukan tindakan pengecut yang sangat memalukan, ia melarikan diri bersama keluarganya ke vila musim panas Rehe di Chengde, Provinsi Hebei membiarkan prajurit dan rakyatnya bagaikan anak ayam kehilangan induk. Tak lama setelahnya Beijing jatuh, pasukan sekutu menjarah kota, membunuhi rakyat dan membakar Taman Yuanming.

Kematian

Xianfeng tidak berani kembali ke Beijing, ia menghabiskan hari-hari terakhirnya di Chengde dengan minum-minum dan opium sebagai pelampiasan atas rasa frustasinya sehingga kesehatannya dari hari ke hari semakin memburuk. Sadar ajalnya makin dekat, Xianfeng memanggil para pejabatnya ke tempat pembaringannya. Ia memberi kuasa pada delapan menteri senior untuk menjadi wali bagi putranya yang masih kecil, Zaichun, agar membantunya menjalankan pemerintahan. Ia juga menulis sepucuk surat rahasia pada permaisurinya, Ci'an, yang isinya sebuah peringatan agar ia berhati-hati terhadap Selir Yi yang ambisius dan bermaksud mendominasi pemerintahan.

Xianfeng akhirnya menghembuskan napas terakhir pada 22 Agustus 1861 di vila musim panas kekaisaran. Ia adalah kaisar kedua yang menjemput ajal di sana setelah kakeknya, Kaisar Jiaqing. Jenazahnya dikebumikan di Mausoleum Ding (定陵), kompleks pemakaman timur Qing di Zunhua, Hebei. Sepeninggalnya, apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi, Selir Yi, yang telah menjadi Ibusuri Cixi, menyingkirkan kedelapan wali kaisar dan mendominasi pemerintahan. Ci’an mati secara misterius tahun 1881, diduga karena diracun oleh Cixi.

Kaisar Xianfeng dalam budaya populer

Aktor Hongkong, Tony Leung (Liang Jiahui) pernah berperan sebagai Xianfeng dalam dua film yaitu Burning of The Imperial Palace (火烧圆明园 - 1983) dan Lover of The Last Empress (慈禧秘密生活 - 1995)

Lihat pula

Referensi

  • Cheng Qinhua, Tales of the Forbidden City, Bejing: Foreign Languages Press, 1997.
Kaisar Xianfeng
Lahir: 17 Juli 1831 Meninggal: 22 Agustus 1861
Didahului oleh:
Kaisar Daoguang
Kaisar Cina
1850–1861
Diteruskan oleh:
Kaisar Tongzhi