Fakih Usman
Kyai Haji Fakih Usman (juga ditulis Faqih Usman; 2 Maret 1904 – 3 Oktober 1968) adalah aktivis Islam di Indonesia dan politikus dari Partai Masyumi. Ia menjadi Menteri Agama dalam dua kali masa jabatan: pertama, dengan Kabinet Halim saat Republik Indonesia menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat, dan kedua sebagai Menteri Agama dengan Kabinet Wilopo. Saat masih muda Fakih dikritik karena kaitannya dengan organisasi Islam Muhammadiyah, tetapi kini dikenang oleh organisasi tersebut. Sebuah jalan di Gresik dinamakan untuk Fakih.
Fakih Usman | |
---|---|
Menteri Agama Republik Indonesia 6 | |
Masa jabatan 3 April 1952 – 30 Juli 1953 | |
Presiden | Soekarno |
Informasi pribadi | |
Lahir | 2 Maret 1904 Gresik, Hindia Belanda |
Meninggal | 3 Oktober 1968 Indonesia |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | Masyumi |
Pekerjaan | Anggota Dewan Muhammadiyah |
Sunting kotak info • L • B |
Fakih dibesarkan di Gresik, Hindia Belanda. Ia belajar tentang Islam dari ayahnya dan di sejumlah pesantren hingga tahun 1920-an. Pada tahun 1925 ia bergabung dengan Muhammadiyah dan menjadi ketua untuk cabang Surabaya pada tahun 1938; ia juga ikut serta dalam kancah politik setempat. Ketika sejumlah organisasi Islam bekerja sama pada tahun 1940 untuk mendirikan Majilis Islam Ala Indonesia, Fakih menjadi bendahara. Selama pendudukan Jepang dan Revolusi Nasional Indonesia, Fakih terus bergerak dalam bidang tersebut. Sekaligus menjalani dua periode sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, Fakih menjadi lebih berpengaruh di Muhammadiyah. Ia berjasa sebagai wakil ketua di bawah beberapa pemimpin sebelum dijadikan Ketua Umum Muhammadiyah pada akhir tahun 1968, beberapa hari sebelum ia meninggal.
Kehidupan awal
Fakih dilahirkan di Gresik, Jawa Timur, Hindia Belanda, pada 2 Maret 1904. Ayahnya, Usman Iskandar, bekerja sebagai pedagang kayu, sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang merupakan keturunan ulama.[1] Pasangan itu, yang hidupnya pas-pasan, mempunyai empat anak lain. Karena mereka tidak berasal dari kaum priyayi, anak-anak tersebut tidak bisa mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda.[2][3] Fakih belajar Islam dari waktu kecil; ia banyak diajari ayahnya.[3] Ketika ia berusia sepuluh tahun ia mulai belajar di sebuah pesantren di Gresik. Setelah lulus pada tahun 1918, ia belajar di beberapa pesantren di luar kota Gresik, termasuk di Bungah.[1]
Bekerja di Muhammadiyah
Fakih mengikuti ayahnya menggeluti bidang perdagangan; pada saat yang sama ia juga belajar bahasa dan Islam secara mandiri.[2] Ketika organisasi Islam modernis Muhammadiyah masuk ke Gresik pada tahun 1922, Fakih menjadi salah satu anggota pertamanya. Oleh karena sangat aktif dengan Muhammadiyah Gresik, dalam waktu tiga tahun ia menjadi pemimpinnya; saat Fakih memimpin kelompok itu, Muhammadiyah Gresik diakui secara resmi sebagai cabang Muhammadiyah.[4] Melalui kerjanya dengan cabang Gresik, Fakih menjadi lebih dikenal dalam kalangan Muhammadiyah dan dipindahkan ke cabang Surabaya. Ia juga aktif dalam politik, dan pada tahun 1929 ia dipilih sebagai anggota dewan kota Surabaya.[5] Sementara, Fakih terus berdagang alat pembangunan; ia juga mempunyai perusahaan pembuatan kapal.[3]
Selama periode 1932 sampai 1936 Fakih menjadi anggota dewan daerah Muhammadiyah, sekaligus menjadi redaktur majalah Muhammadiyah Bintang Islam dan Ketua Majelis Tarjih.[4] Dengan semakin aktifnya, Fakih mulai bolak-balik dari Surabaya ke Gresik dengan mobil pribadinya, sebuah barang mewah yang jarang dipunyai orang pribumi pada saat itu; di Surabaya ia mengurus kepentingan Muhammadiyah, sementara di Gresik ia mengurus usahanya. Dalam waktu luangnya Fakih belajar bahasa Belanda dan mendalami ilmu Islam dengan mempelajari pemikiran Muhammad Abduh.[5]
Pada 21 September 1937, Muhammadiyah, organisasi Islam konservatif Nahdatul Ulama (NU), kooperasi pedagang Sarekat Islam, dan sejumlah organisasi Islami lain – yang sudah lama bermusuhan – bergabung untuk membentuk sebuah payung organisasi bernama Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), yang berpusat di Surabaya.[6] Fakih menjadi bendahara organisasi tersebut.[7] Pada tahun 1938 Fakih menjadi ketua cabang Muhammadiyah Surabaya, menggantikan Mas Mansoer.[5] Pada tahun 1940 ia mengundurkan diri dari jabatan ketua cabang Muhammadiyah Surabaya dan anggota dewan kota untuk menjadi pemimpin sekretariat MIAI.[7]
Masyumi
Setelah Jepang menduduki Hindia Belanda pada awal tahun 1942, pada 9 Maret 1942 Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan ketua Koninklijk Nederlands-Indische Leger Jenderal Hein ter Poorten menyerah.[8] Penguasa Jepang melarang semua jenis organisasi, sehingga MIAI terpaksa dibubarkan pada bulan Mei. MIAI terbentuk lagi pada 5 September 1942 dan, pada akhir tahun 1943, diberi nama Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia, atau Masyumi.[9] Sewaktu menjabat di dewan Masyumi,[10] Fakih menjadi anggota Syu Sangi In, dewan penasihat Jepang, di Surabaya; ia memegang jabatan ini hingga tahun 1945.[11]
Setelah serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus 1945,[12] pihak Jepang mulai mengundurkan diri. Setelah itu Fakih mulai membuka hubungan kerja dengan pihak pemerintah Republik.[13] Dari tanggal 7 hingga 8 November 1945 Fakih bergabung dengan Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta, yang membawa hasil Masyumi dijadikan partai politik yang mewakili kepentingan Islam. Biarpun ia kembali ke Gresik setelah pertemuan tersebut, karena adanya Pertempuran Surabaya ia dan keluarganya mengungsi ke Malang.[14]
Di Malang, Fakih bergabung dengan Masjkur dan Zainul Arifin untuk membentuk kelompok revolusi yang dibentuk dari kelompok Sabilillah dan Hizbullah, yang pernah dilatih Jepang; Fakih sendiri menjadi wakil pemimpin satuan tersebut. Setelah Agresi Militer Belanda II diluncurkan pada bulan Desember 1948, Fakih dan keluarganya melarikan diri ke Surakarta; di kota itu Fakih menjadi aktif dengan Muhammadiyah lagi. Ia menjadi salah satu wakil ketua, di bawah Bagus Hadikusumo, dan harus pulang pergi kerja antara Surakarta dan Yogyakarta.[10]
Menteri Agama
Pada akhir tahun 1949 pemerintah Indonesia dan Belanda mengadakan Konferensi Meja Bundar, yang berbuah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949.[15] Ini menjadi salah satu penyebab dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), yang terdiri dari enam belas negara bagian. Pada 21 Januari 1950 Fakih menggantikan Masjkur sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Halim, mewakili Republik Indonesia; pada saat itu, republik terdiri dari Yogyakarta, Banten, dan sebagian besar Sumatera.[16] Bekerja sama dengan Menteri Agama RIS Wahid Hasyim, Fakih mulai menetapkan kurikulum pelajaran agama standar di sekolah umum dan memodernisasi pendidikan di sekolah berbasis agama.[17] Sementara, mereka juga bekerja untuk menyatukan kedua kementerian agama. Pada 17 Agustus 1950 RIS dan anggotanya menjadi satu republik, dengan Hasyim sebagai menteri agama.[18]
Di bawah Hasyim, Fakih bertugas sebagai pemimpin bagian pendidikan agama. Sementara, masing-masing anggota Masyumi berselisih pandang atas tujuan partai;[19] NU beranggapan bahwa Masyumi sudah terlalu mengutamakan politik, sehingga dasarnya dalam Islam diabaikan. Saat Kabinet Natsir mulai runtuh dan Fakih diajukan Masyumi sebagai calon Menteri Agama – sebuah tindakan yang kontroversial karena belum ada orang NU sebagai calon menteri – NU mengundurkan diri dari Masyumi, mulai 5 April 1952.[20] Fakih dipilih dengan mayoritas lima suara, sementara kandidat lainnya, Usman Raliby, mendapatkan empat.[21]
Fakih dijadikan Menteri Agama dalam Kabinet Wilopo. Ia dilantik pada 3 April 1952; setelah itu, ia dan keluarga berpindah ke ibu kota Indonesia di Jakarta. Setiba di sana, Fakih mulai program reformasi dalam Kementerian Agama,[22] termasuk meresmikan tujuan kementerian: untuk menyediakan guru agama, mempromosikan hubungan antar-agama yang baik, dan menentukan tanggal hari raya. Ia juga berusaha untuk meninjau ulang struktur kementerian. Ini termasuk meresmikan hierarki kepemimpinan dan membentuk cabang di tingkat provinsi dan daerah. Kementerian juga melanjutkan peningkatan mutu pendidikan agama[23] dan mengurus ribuan haji yang berangkat dari Indonesia ke Mekkah setiap tahun.[24] Kabinet Wilopo bubar pada 30 Juli 1953,[22] setelah adanya masalah imigrasi dan sengketa tanah di Medan. Fakih diganti Masjkur.[25]
Pekerjaan lanjutan
Setelah menjabat sebagai Menteri Agama, Fakih terus bekerja dengan kementerian dan Muhammadiyah, sehingga menjabat sebagai Wakil Ketua I Muhammadiyah di bawah Ahmad Rasyid Sutan Mansur;[3][25] pada tahun 1956 ia menjadi salah satu dari tiga anggota Muhammadiyah yang menyampaikan pandangan mereka mengenai masyarakat Islam sejati, yang mengutamkan pendidikan sosial.[26] Namun, Fakih lebih aktif dengan Masyumi. Setelah Pemilihan Konstituante pada tahun 1955, Fakih dijadikan anggota Konstituante, yang dimaksud untuk membentuk Undang-Undang Dasar baru. Namun, Konstituante tidak bisa mencapai kesepakatan, sehingga dibubarkan oleh Presiden Soekarno dalam Dekret Presiden 5 Juli 1959.[27] Pada tahun 1959 pula Fakih mendirikan majalah Pandji Masjarakat dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah, Joesoef Poear Abdullah, dan Ahmad Joesoef.[3]
Soekarno membubarkan Masyumi pada 17 Agustus 1960, setelah pemimpin Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara terlibat dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI);[28] Fakih sendiri pernah ikut dalam negosiasi dengan pemerintah revolusioner, bekerja sama dengan Mohammad Roem.[3] Bubarnya Masyumi membuat Fakih lebih mengutamakan Muhammadiyah, sehingga menjadi Wakil Ketua II di bawah Muhammad Yunus Anis.[28]
Dalam sebuah acara pendidikan kepemimpinan yang diadakan selama bulan Ramadan 1961, Fakih mulai membentuk suatu identitas kelembagaan melalui pidatonya "Apakah Muhammadiyah Itu?", yang menggambarkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang berdasarkan dakwah, yang mengutamakan isu duniawi, dan hendak bekerja sama dengan pemerintah untuk menentukan masa depan yang lebih baik untuk kaum Muslim.[29] Konsep ini dirumuskan selama tahun 1962, sehingga "Kepribadian Muhammadiyah" menetapkan bahwa organisasi tersebut harus menuju masyarakat Islam sejati sekaligus melawan politik sayap kiri.[30] Ini diikuti oleh penataan kembali hierarki Muhammadiyah, sehingga Kepribadian Muhammadiyah ini lebih mudah diwujudkan.[31]
Dari tahun 1962 hingga 1965 Fakih menjadi Wakil Ketua I Muhammadiyah di bawah Ahmad Badawi, sekaligus menjadi penasihat untuk para pemimpin agama muda. Setelah gagalnya Gerakan 30 September, yang diikuti pembantaian ribuan orang komunis dan Soekarno digantikan oleh Soeharto sebagai presiden, Fakih dan beberapa anggota Muhammadiyah lainnya meminta izin untuk membentuk kembali Masyumi; namun, izin ini tidak diberikan.[32][3]
Dalam periode kedua Ahmad Badawi, Fakih bertugas sebagai penasihat dan bertanggung jawab atas pengelolaan organisasi. Karena ia semakin sakit-sakitan, ketika ia terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah pada Kongres Muhammadiyah Ke-37 pada tahun 1968, Fakih langsung mulai mencari penggantinya.[32] Pada 2 Oktober ia mengadakan pertemuan Dewan Muhammadiyah di rumahnya. Dalam pertemuan tersebut ia menggarisbesari rencananya untuk tiga tahun ke depan. Fakih juga menentukan Rasjidi dan Abdul Rozak Fachruddin sebagai pemimpin sementara saat Fakih pergi ke luar negeri untuk perawatan. Namun, meninggal pada hari berikutnya, hanya beberapa hari setelah dipilih. Ia digantikan Abdul Rozak Fachruddin pada hari yang sama;[a][33] Fachruddin dipilih secara aklamasi dari calon-calon lain, dan menjadi ketua umum selama 24 tahun.[34]
Warisan
Pada tahun 1930-an, orang-orang Muslim konservatif tidak setuju dengan kegiatan Fakih, sehingga ia diberi julukan "Londho silit ireng" ("Orang Belanda berpantat hitam").[5] Orang-orang itu juga melempari rumahnya dengan batu.[5] Namun, dalam Muhammadiyah ia sampai sekarang dikenang dengan baik. Ia dianggap telah menentukan "Kepribadian Muhammadiyah", identitas kelembagaan Muhammadiyah.[3] Untuk menghormati Fakih, Muhammadiyah beranggapan bahwa periodenya sebagai ketua berlangsung selama tiga tahun, biarpun Fakih sudah meninggal setelah beberapa hari.[35] Didin Syafruddin, seorang dosen di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, menulis bahwa Fakih beranggapan bahwa pendidikan sangat penting, sehingga lima dari tujuh anaknya bergelar doktor.[36] Syafruddin juga menulis bahwa reformasi Fakih sebagai Menteri Agama terbatas karena terbatasnya daya sumber manusia.[1] Jalan tempat rumah Fakih sewaktu kecil sekarang diberi nama Jalan Fakih Usman.[1]
Keterangan
- ^ Kebijakan Muhammadiyah menentukan bahwa, sebelum seorang ketua umum yang sudah meninggal dikebumikan, harus ada penggantinya (Djurdi 2010, hlm. 182).
Referensi
- ^ a b c d Syafruddin 1998, hlm. 118.
- ^ a b Syafruddin 1998, hlm. 119.
- ^ a b c d e f g h Muhammadiyah, KH Faqih Usman.
- ^ a b Syafruddin 1998, hlm. 122.
- ^ a b c d e Syafruddin 1998, hlm. 123.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 125.
- ^ a b Syafruddin 1998, hlm. 126.
- ^ Adi 2011, hlm. 18–24.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 128.
- ^ a b Syafruddin 1998, hlm. 132.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 129.
- ^ Adi 2011, hlm. 32.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 130.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 131.
- ^ Imran 1980, hlm. 83.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 133.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 134–136.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 138.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 139.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 140.
- ^ Djurdi 2010, hlm. 146.
- ^ a b Syafruddin 1998, hlm. 141.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 142–144.
- ^ Djurdi 2010, hlm. 144.
- ^ a b Syafruddin 1998, hlm. 145.
- ^ Basya 2009, A Century of Muhammadiyah.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 146.
- ^ a b Syafruddin 1998, hlm. 148.
- ^ Djurdi 2010, hlm. 169.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 149.
- ^ Djurdi 2010, hlm. 182.
- ^ a b Syafruddin 1998, hlm. 150.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 151.
- ^ Mohammad 2006, hlm. 100.
- ^ Djurdi 2010, hlm. 271.
- ^ Syafruddin 1998, hlm. 117.
Bacaan lanjutan
- Adi, A. Kresna (2011). Soedirman: Bapak Tentara Indonesia. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo. ISBN 978-602-95337-1-2.
- Basya, M. Hilaly (26 November 2009). "A Century of Muhammadiyah and Modern Indonesia". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 July 2012. Diakses tanggal 15 July 2012.
- Djurdi, Syarifuddin (2010). 1 Abad Muhammadiyah. Jakarta: Kompas. ISBN 978-979-709-498-0.
- Imran, Amrin (1980). Panglima Besar Jenderal Soedirman. Jakarta: Mutiara. OCLC 220643587.
- "KH Faqih Usman". Muhammadiyah. Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 July 2012. Diakses tanggal 15 July 2012.
- Mohammad, Herry (2006). Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh abad 20. Jakarta: Gema Insani. ISBN 978-979-560-219-4.
- Syafruddin, Didin (1998). "K.H. Fakih Usman: Pengembangan Pendidikan Agama" (PDF). Dalam Azra, Azyumardi; Umam, Saiful. Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosio-Politik. Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, Center for Study of Islam and Society, dan Kementerian Agama Republik Indonesia. ISBN 978-979-95248-3-6.
Jabatan pemerintahan | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Wahid Hasyim |
Menteri Agama Indonesia 1953-1955 |
Diteruskan oleh: Masjkur |
Didahului oleh: K.H. Ahmad Badawi |
Ketua Umum Muhammadiyah 1968 — 1971 |
Diteruskan oleh: K.H. A.R. Fachruddin |