Lanskap kultur Provinsi Bali
Lanskap kultur Provinsi Bali merupakan sebuah lanskap yang berada di Provinsi Bali, yang terdiri dari pedesaan dan sawah bertingkat Jatiluwih dengan sistem subak, pura, dan candi yang berada di sana. Lanskap kultur Provinsi Bali adalah entitas yang unik yang terlaksana dari Filsafat Bali yang unik, Tri Hita Karana. Pada dasarnya, filosofi ini menegaskan bahwa kebahagiaan, kemakmuran, dan kedamaian hanya dapat tercapai jika Tuhan, Manusia, dan Alam hidup dalam Harmoni. Aturan filosofi ini merupakan contoh hubungan harmonis luar biasa antara supranatural (Tuhan), manusia, dan alam. Beberapa Pura yang menjadi ciri khas pemandangan dan upacara yang dilakukan di sana merupakan wujud keinginan masyarakat Bali untuk mencari hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Sosio-organisasi keagamaan yang bertanggung jawab menjaga lanskap, termasuk organisasi irigasi Subak, adalah wahana untuk menjaga hubungan yang baik di antara umat manusia. Sementara itu, bagaimana membangun Bali, seperti memilih lokasi kuil dan desainnya, membangun fasilitas irigasi, dan membuat teras-teras sawah, menunjukkan komitmen untuk menjaga hubungan harmonis dengan lingkungan.
Situs Warisan Dunia UNESCO | |
---|---|
Kriteria | Budaya: ii, iii, v, vi |
Nomor identifikasi | 1194 |
Pengukuhan | 2012 (ke-36) |
Pada Tahun 2012, lanskap kultur Provinsi Bali ditetapkan menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO. Lokasinya mencakup Pura Ulun Danau Batur dan Danau Batur, Danau Buyan dan Tamblingan, daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, kawasan Catur Angga Batukaru dan situs Pura Taman Ayun dengan luasan total mencapai 20,974.70 hektare.
Deskripsi
Bali adalah bagian dari kepulauan Indonesia, terletak di antara delapan dan sembilan derajat selatan khatulistiwa. Mencakup area seluas 563,300 hektare termasuk tiga pulau lepas pantai. Pulau tersebut telah lama dicirikan di dunia sebagai "surga" terakhir di Bumi, yang penduduknya memiliki bakat seni yang luar biasa dan meluangkan cukup banyak waktu dan materi untuk upacara-upacara adat demi dewa-dewi Hindu yang mereka puja. Oleh karena itu, hubungan antara aspek berwujud dan tidak berwujud merupakan aspek utama dari warisan dan budaya Bali.
Kombinasi antara iklim tropis, hujan dan tanah vulkanis subur membuat Bali tempat yang ideal untuk budidaya tanaman; termasuk tumbuhnya padi, kelapa, cengkeh dan kopi. Kegiatan pertanian ini mempunyai pengaruh yang besar pada lanskap Bali, terutama dalam penciptaan sawah berundak-undak. Selama seribu tahun terakhir, masyarakat Bali melakukan modifikasi demi menyesuaikan lahan pertanian dengan kondisi pulau mereka, dengan membuat terasering di lereng bukit dan menggali kanal untuk mengairi lahan, sehingga memungkinkan mereka untuk menanam padi.
Sistem irigasi yang rumit telah dibuat untuk memanfaatkan air semaksimal mungkin. Dalam wujud rasa syukur terhadap air, yang memungkinkan kegiatan pertanian, masyarakat Bali membuat persembahan di mata air. Sistem irigasi ini juga memungkinkan koordinasi yang dikenal sebagai "subak". Organisasi tersebut adalah sebuah organisasi demokratis di mana para petani ladang yang diberi makan oleh sumber air yang sama, bertemu secara teratur untuk mengkoordinasikan penanaman, untuk mengontrol distribusi air irigasi dan untuk merencanakan pembangunan dan pemeliharaan kanal dan bendungan, serta mengatur upacara persembahan dan perayaan di Pura Subak.
Perbandingan
Sebuah penelitian telah dilakukan untuk mencari kemungkinan pembanding Pandangan Budaya Provinsi Bali. Dalam kepulauan Indonesia, hampir tidak ditemukan sebuah lanskap kultur yang sebanding. Meskipun beberapa petak sawah ada di Sumatera dan Sulawesi, tidak ada yang rumit dibandingkan dengan organisasi irigasi Subak di Bali. Sawah teras Sumatra dan Sulawesi tidak memiliki kuil khusus atau ritual yang mencirikan pandangan kebudayaan Provinsi Bali. Selanjutnya, pembentukan teras sawah Sumatra dan Sulawesi adalah pertimbangan yang lebih teknis, sementara lanskap di Bali diciptakan sebagai manifestasi dari filsafat Tri Hita Karana.
Di luar Indonesia, Teras Sawah Cordillera di Luzon, Filipina, dapat dibandingkan dengan sawah teras dari Subak Jatiluwih di Tabanan dan pula dinyatakan sebagai Situs Warisan Dunia pada tahun 1995. Selain itu, Teras Sawah Banaue di Filipina juga dapat disamakan dengan yang ada di Jatiluwih. Sistem irigasi Banaue didukung oleh organisasi tradisional, teknik pertanian, ritual dan sistem kepercayaan. Namun, ritual dan sistem kepercayaan serta organisasi di balik sistem tersebut adalah sangat berbeda. Ritual Ifugao dan sistem kepercayaan Hindu tidak memiliki persamaan sama sekali, sementara ritual di Bali dan sistem kepercayaannya telah sangat dipengaruhi oleh Hinduisme. Hal ini dapat dilihat dalam terjadinya candi kecil di teras sawah Jatiluwih yang didedikasikan untuk Sri, dewi padi. Selanjutnya, struktur sistem irigasi Jatiluwih (subak) memiliki akar dari Tri Hita Karana, esensi dari kosmologi Bali. Oleh karena itu, sawah Jatiluwih merupakan fenomena unik yang sangat berbeda dengan yang lain dibandingkan Ifugao atau sistem teras padi di dunia.
Galeri
-
Pura Taman Ayun
-
Terasering Jatiluwih
-
Pura Tirta Empul
-
Danau Buyan
-
Pura Ulun Danu Batur
-
Terasering Tegallalang
Lihat pula
Pranala luar
- (Indonesia) Bali Heritage Cultural
- (Indonesia) Wisata Budaya dan Sejarah di Bali
- (Indonesia) Tempat Wisata di Bali
- (Indonesia) Pemandangan Ubud
- (Indonesia) Subak diakui sebagai Situs Warisan Dunia
- (Indonesia) Pengakuan Subak Sebagai Warisan Dunia
- (Inggris) Cultural Landscape of Bali Province: the Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy