Kekaisaran Mali

kerajaan di Afrika Barat

Kekaisaran Mali atau Kekaisaran Manding atau Manden Kurufa adalah negara Mandika di Afrika Barat abad pertengahan dari tahun 1235 sampai tahun 1610. Kekaisaran ini didirikan oleh Sundiata Keita dan termasyhur untuk kekayaan penguasanya, terutama Mansa Musa I. Kekaisaran Mali memiliki banyak pengaruh budaya mendalam di Afrika Barat dengan penyebaran bahasa, hukum, dan juga adat istiadat di sepanjang sungai Niger.

Kekaisaran Mali

Manden Kurufa
1235–1610-an
Kekuasaan Kekaisaran Mali tahun 1350
Kekuasaan Kekaisaran Mali tahun 1350
StatusKekaisaran
Ibu kotaNiani; nantinya Ka-ba
Bahasa yang umum digunakanMandinkan
Agama
Pemujaan nenek moyang dan Islam
PemerintahanMonarki Konstitusional
Mansa (kaisar) 
• 1235-1255
Mari Djata I (pertama)
• kira-kira 17 tahun
Mahmud IV (terakhir)
LegislatifGbara
Sejarah 
• Didirikan
1235
• Ibukota dipindah dari Niani ke Kangaba
1559
• Runtuhnya negara dan terbagi antara anak-anak kaisar
1610-an
Luas
1380[1]1.100.000 km2 (420.000 sq mi)
Populasi
• 1380[1]
20000000
Mata uangEmas
(Garam, tembaga dan cypraea juga umum digunakan)
Didahului oleh
Digantikan oleh
ksrKekaisaran
Ghana
ksrKekaisaran
Bamana
ksrKekaisaran
Songhai
Simbol Negara: Elang
Binatang suci:Elang dan beberapa hewan lain bergantung dari setiap klan yang memerintah (singa, babi hutan, dll)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Manden

Kekaisaran Mali berkembang di daerah yang dikatakan oleh penduduknya sebagai Manden.[2] Manden, dinamai untuk penduduknya Mandinka (Manden’ka dengan “ka” berarti orang),[3] yang terdiri dari Guinea utara dan Mali selatan modern. Kekaisaran ini didirikan sebagai federasi Mandinka yang disebut Manden Kurufa (atau Federasi Manden), tetapi federasi ini menjadi kekaisaran yang menguasai jutaan penduduk dari hampir semua grup etnis di Afrika Barat.

Etimologi

Asal usul penamaan kekaisaran Mali masih diperdebatkan dalam lingkaran ilmiah di seluruh dunia. Sementara nama “Mali” masih diperdebatkan, proses bagaimana Mali memasuki leksikon regional masih tidak. Seperti yang disebutkan awalnya, Mandinka pada abad pertengahan merujuk kepada rumah etnis mereka sebagai “Manden”.

Diantara banyak grup etnis yang berbeda yang mengelilingi Manden adalah grup penutur Pulaar di Macina, Tekrur dan Fouta Djallon. Di Pulaar, Mandinka dari Manden menjadi Malinke dari Mali.[4] Sementara orang Mandinka umumnya merujukan tanah dan ibukota provinsi mereka sebagai Manden, subyek semi-nomadik Fulan yang terdapat di sebelah barat wilayah tengah negara (Tekrur), selatan (Fouta Djallon) dan perbatasan timur (Macina) mempopulerkan nama Mali untuk kerajaan ini dan kekaisaran nantinya pada abad pertengahan.

Mali pra-imperial

Kerajaan Mandinka di Mali atau Manden telah eksis beberapa abad sebelum unifikasi Sundiata sebagai negara kecil di selatan kekaisaran Soninké di Wagadou, lebih diketahui sebagai kekaisaran Ghana.[5] Wilayah ini terdiri dari pegunungan, sabana, dan hutan yang menyediakan perlindungan dan sumber daya ideal bagi populasi pemburu.[6] Penduduk yang tidak hidup di pegunungan membentuk negara-kota kecil seperti Toron, Ka-Ba dan Niani. Dinasti Keita dari hampir setiap kaisar Mali melacak punggung garis silsilahnya ke Bilal,[7] muezzin nabi Islam, Muhammad. Selama abad pertengahan, terdapat praktek umum penguasa Kekristenan dan Muslim untuk mengikat garis darah mereka kembali ke figur yang sangat penting dalam sejarah. Sementara garis silsilah dinasti Keita meragukan, masing-masing pencatat kejadian menyediakan daftar penguasa Keita dari Lawalo (menurut dugaan salah satu dari tujuh anak Bilal yang menetap di Mali) sampai Maghan Kon Fatta (ayah Sundiata Keita).

Provinsi Kangaba

Selama puncak kekuasaan Wagadou, tanah Manden menjadi salah satu provinsinya.[8] Negara-kota Manden di Ka-ba (Kangaba modern) menjadi ibukota dan nama provinsi ini. Selama awal abad ke-11, raja Mandinka diketahui sebagai faama menguasai Manden dari Ka-ba dalam nama Ghana.[9]

Dua belas kerajaan

Kekuasaan Wagadou terhadap Manden terhalang akibat perang selama 14 tahun melawan Almoravid, ekstraksi Muslim yang kebanyakan Berber dari Afrika Utara. Jendral Almoravid, Abu Bekr ditangkap dan dibakar di ibukota Wagadou, Kumbi Saleh tahun 1076 dan mengakhiri dominasinya terhadap wilayah ini.[10] Namun, Almoravid tidak dapat menangani wilayah ini, dan dengan cepat direbut oleh Soninké yang sedang melemah. Provinsi Kangaba yang bebas dari pengaruh Soninké dan Berber, menyerpih menjadi dua belas kerajaan dengan maghan (berarti pangeran) atau faama sendiri.[11] Manden terbagi setengah dengan teritori Dodougou di timur laut dan teritori Kri di barat daya.[12]Kerajaan kecil Niani adalah satu dari beberapa wilayah Kri di Manden.

Penguasa Kaniaga

Kira-kira pada tahun 1140, kerajaan Sosso di Kaniaga, bekas vassal (negara yang berdaulat dibawah negara) Wagadou, mulai menguasai wilayah penguasa lamanya. Pada tahun 1180, Sosso bahkan telah menaklukan Wagadou memaksa Soninké membayar upeti. Pada tahun 1203, raja Sosso, Soumaoro dari klan Kanté berkuasa dan dilaporkan meneror Manden dengan mencuri wanita dan harta benda baik dari Dodougou dan Kri.[13]

Pangeran Singa

Selama bangkitnya Kaniaga, Sundiata dari klan Keita lahir sekitar tahun 1217 SM. Ia adalah anak dari faama Niani, Nare Fa (juga diketahui sebagai Maghan Kon Fatta yang berarti pangeran tampan). Ibu Sundiata adalah istri kedua Maghan Kon Fatta, Sogolon Kédjou.[7] Ia adalah orang bungkuk dari negeri Do, selatan Mali. Anak dari pernikahannya menerima nama pertama ibunya (Sogolon) dan nama keluarga ayahnya (Djata). Dengan gabungan bahasa yang dituturkan dengan cepat di Mandinka, namanya membentuk Sondjata atau Sundjata.[7] Versi Anglisisasi nama ini, Sundiata, juga populer.

Maghan Sundiata diramalkan akan menjadi penakluk besar. Orangtuanya takut karena pangeran tidak memiliki permulaan yang menjanjikan. Maghan Sundiata, menurut tradisi lisan, tidak dapat berjalan sampai ia berusia tujuh tahun.[11] Namun, ketika Sundiata dapat menggunakan kakinya, ia menjadi kuat dan sangat dihormati. Hal ini tidak muncul sebelum ayahnya meninggal. Meskipun faama Niani berharap untuk menghormati ramalan dan memahkotai Sundiata, anak dari istri pertamanya Sassouma Bérété dimahkotai. Segera anak Sassouma Dankaran Touman mengambil alih tahta, ia dan ibunya memaksa Sundiata yang kepopulerannya meningkat dibuang bersama dengan ibunya dan dua saudara kandung perempuannya. Sebelum Dankaran Touman dan ibunya dapat menikmati kekuatan mereka yang tidak terhalangi, Raja Soumaoro mencapai Niani dan memaksa Dankaran meninggalkan Kissidougou.[7]

Setelah bertahun-tahun dalam pembuangan, pertama di pengadilan Wagadou dan lalu di Mema, Sundiata dicari oleh delegasi Niani dan diminta untuk mengalahkan Sosso dan membebaskan kerajaan Manden selamanya.

Pertempuran Kirina

Setelah kembali dengan angkatan bersenjata gabungan Mema, Wagadou, dan semua negara-kota Mandinka yang melawan, Maghan Sundiata memimpin revolusi melawan kerajaan Kaniaga sekitar tahun 1234. Pasukan gabungan Manden utara dan selatan menaklukan angkatan bersenjata Sosso dalam pertempuran Kirina (nantinya diketahui sebagai Krina) kira-kira tahun 1235.[11] Kemenangan ini membuat jatuhnya kerajaan Kaniaga dan bangkitnya kekaisaran Mali. Setelah kemenangan, raja Soumaoro hilang, dan Mandinka memasuki kota terakhir Sosso. Maghan Sundiata mendeklarasikan “faama dari semua faama” dan menerika gelar “mansa”, yang secara kasar diterjemahkan sebagai kaisar. Pada usia 18 tahun, ia menerima kekuasaan terhadap seluruh duabelas kerajaan pada persekutuan yang diketahui sebagai Manden Kurufa. Ia dimahkotai dengan nama Mari Djata dan menjadi kaisar Mandinka pertama.[11]

Organisasi

Manden Kurufa yang didirikan oleh Mari Djata I terduru daru “tiga negara bebas yang bersekutu" di Mali, Mema dan Wagadou ditambah Dua Belas Pintu Mali.[7] Penting untuk diingat bahwa Mali, merujuk pada negara-kota di Niani.

Dua Belas Pintu Mali adalah koalisi yang ditaklukan atau teritori sekutu, kebanyakan di Manden, dengan sumpah setia kepada Sundiata dan keturunannya. Mereka menikamkan tombak mereka ke dalam tanah terlebih dahulu di depan takhta Sundiata, dan tiap dua belas raja melepaskan kerajaannya kepada dinasti Keita.[7] Dengan kembali kepada penyerahan mereka, mereka menjadi “farbas”, kombinasi huruf Mandinka, "farin" dan "ba" (farin besar).[14] Farin adalah istilah umum untuk komando utara pada saat itu. Farbas tersebut akan menguasai kerajaan lama mereka dalam nama mansa dengan kebanyakan kekuasaan yang mereka pegang lebih memilih bergabung dengan Manden Kurufa.

Dewan Besar

Dewan Besar atau Gbara akan menjadi tubuh musyawarah Mandinka sampai runtuhnya Manden Kurufa tahun 1645. Pada pertempuan pertamanya, di Kouroukan Fouga (Divisi Dunia), terdapat 29 delegasi klan diketuai oleh belen-tigui (tuan upacara). Inkarnasi terakhir Gbara, menurut tradisi Guinea utara yang ada, memegang 32 posisi diduduki oleh 28 klan.[15]

Reformasi sosial, ekonomi dan pemerintahan

Kouroukan Fouga juga melakukan reformasi sosial dan politik dengan larangan terhadap penyiksaan tahanan dan budak, memasukan wanita kedalam pemerintahan dan menempatkan sistem olok-olok antara klan yang dengan jelasm enyatakan siapa yang menyatakan tentang apa pada siapa. Sundiata juga membagi tanah diantara orang meyakinkan semua memiliki tempat di kekaisaran dan memperbaiki nilai tukar untuk produk.

Mari Djata I

Kekuasaan Mansa Mari Djata melihat penaklukan dan penggabungan beberapa kunci lokal di kekaisaran Mali. Ketika kampanye selesai, kekaisarannya terbentang 1.000 mil dari timur ke barat dengan perbatasan itu menjadi tikungan Senegal dan Sungai Niger.[16] Setelah menyatukan Manden, ia menambah ladang emas Wangara yang membuat perbatasan selatan. Kota komersal utara Oualata dan Audaghost juga ditaklukan dan menjadi bagian dari perbatasan utara negara baru. Wagadou dan Mema menjadi sekutu junior pada kerajaan dan bagian dari inti imperial. Wilayah Bambougou, Jalo (Fouta Djallon), dan Kaabu dimasukan kedalam Mali oleh Fakoli Koroma,[11] Fran Kamara, dan Tiramakhan Traore,[17] berturut-turut.

Mali Imperial

 
Masjid Djenné.

Terdapat 21 mansas kekaisaran Mali yang diketahui setelah Mari Djata I dan sekitar dua atau tiga lebih yang akan dijelaskan. Nama pemimpin tersebut muncul dalam sejarah melalui djelis dan keturunan modern dinasti Keita di Kangaba. Hal yang memisahkan pemimpin tersebut dari pendiri, lain dari peran sejarah dalam mendirikan negara, adalah transformasi Manden Kurufa mereka menjadi kekaisaran Manden. Bukan konteks untuk menguasai subyek Manding yang disatukan oleh kemenangan Mari Djata I, mansa tersebut akan menaklukan dan menggabungkan Peuhl, Wolof, Serer, Bamana, Songhai, Tuareg, dan bangsa lain yang tidak terhitung kedalam kekaisaran yang besar.

Garis keturunan Djata 1250-1275

Tiga penerus pertama Mari Djata semuanya mengklaim dengan hak darah atau sesuatu yang dekat dengannya. Pada periode 25 tahun terlihat pendapatan luar biasa untuk mansa dan awal persaingan internal sengit yang hampir mengakhiri kekaisaran.

Ouali I

Setelah kematian Mari Djata tahun 1255, adat menentukan bahwa anak lelakinya naik tahta yang mengasumsikan dia ketuaan. Namun, Yérélinkon adalah penerus kecil kematian ayahnya.[18] Manding Bory, setengah saudara kandung Mari Djata dan kankoro-sigui (vizier), sudah sebaiknya dinobatkan menurut Kouroukan Fouga. Anak laki-laki Mari Djata menguasai tahta dan dimahkotai sebagai Mansa Ouali (juga diucapkan “Wali”).

Mansa Ouali menjadi kaisar yang baik dengan menambah kekuasaan kekaisaran Mali, termasuk provinsi Bati dan Casa di Gambia. Ia juga menguasai provinsi Bambuk dan Bondou yang memproduksi emas. Provinsi utama Konkodougou didirikan. Kerajaan Songhai di Gao juga ditaklukan untuk pertama kalinya dalam periode ini. [10]

Selain penaklukan militer, Ouali juga melakukan reformasi agrikultur terhadap kekaisaran dengan mempekerjakan pasukan menjadi petani di provinsi Gambia yang baru direbut. Tepat sebelum kematiannya tahun 1270, Ouali melaksanakan haji ke Mekkah untuk menguatkan hubungan dengan pedagang Afrika Utara dan Muslim. [10]

Putra Jendral

Sebagai kebijakan menguasai dan memberi penghargaan jenderalnya, Mari Djata mengadopsi anak lelaki mereka. [11] Anak-anak tersebut diangkat di pengadilan mansa dan menjadi Keita ketika mencapai kedewasaan. Karena melihat tahta sebagai hak mereka, dua anak Mari Djata yang diadopsi saling berperang antara satu dengan yang lainnya yang menghancurkan apa yang dibangun oleh dua mansa pertama. Anak pertama yang menguasai tahta adalah Mansa Ouati (juga disebut “Wati) tahun 1270.[19] Ia berkuasa selama empat tahun menghabiskan dengan boros dan berkuasa dengan kejam menurut djeli. Dengan kematiannya tahun 1274, anak adopsi lainnya menguasai tahta.[19] Mansa Khalifa diingat sebagai penguasa yang lebih buruk dari Ouati. Ia memerintah sama buruknya dan dilaporkan menembakan panah ke orang yang lewat dari atap istananya. Ia dibunuh, kemungkinan atas perintah Gbara, dan digantikan oleh Manding Bory tahun 1275.[20]

Pengadilan Mansa 1275-1300

Setelah kekacauan ketika Ouali dan Khalifa berkuasa, beberapa pengadilan resmi dengan hubungan deat dengan Mari Djata berkuasa. Mereka mulai mengembalikan keanggunan kekaisaran untuk zaman keemasan penguasanya.

Abubakari I

Manding Bory dimahkotai dengan nama Mansa Abubakari (penyelewengan Manding dari nama Muslim, Abu Bakr).[11] Ibu Mansa Abubakari adalah Namandjé,[11] istri ketiga Maghan Kon Fatta. Sebelum menjadi mansa, Abubakari menjadi salah satu jendral saudara lelakinya dan nantinya menjadi kankoro-sigui saudara laki-lakinya. Sedikit yang diketahui mengenai kekuasaan Abubakari I, tetapi ia berhasil menghentikan berkurangnya kekayaan Mali.

Sakoura

Pada tahun 1285, seorang budak pengadilan dibebaskan oleh Mari Djata yang juga telah menjabat sebagai seorang jenderal yang merebut takhta Mali.[10] Kekuasaan Mansa Sakoura (juga diucapkan Sakura) bermanfaat meskipun terdapat gonjang-ganjing politik. Ia menambah penaklukan pertama Mali sejak kekuasaan Ouali termasuk provinsi Tekrour dan Diara, bekas provinsi Wagadou. Penaklukannya tidak berhenti pada batas Wagadou saja. Ia berkampanye ke Senegal dan menguasai provinsi Wolof milik Dyolof dan lalu pergi ke timur untuk menguasai wilayah Takedda yang merupakan produsen tembaga. Ia juga menaklukan Macina dan menyerang Gao untuk menekan pemberontakan pertama melawan Mali.[10] Mansa Sakoura lebih dari hanya seorang prajurit belaka. Ia melaksanakan haji dan membuka negosiasi perdagangan langsung dengan Tripoli dan Moroko.[10]

Mansa Sakoura dibunuh ketika kembali dari Mekkah di atau sekitar Djibouti sekarang oleh pasukan Danakil yang mencoba merampoknya.[21] Pembantu kaisar membawa tubuhnya kembali melalu wilayah Ouaddai dan ke Kanem, tempat salah satu utusan kekaisaran yang dikirim ke Mali dengan berita kematian Sakoura. Ketika tubuhnya tiba di Niani, ia dimakamkan secara agung meskipun ia memiliki akar budak.[21]

Garis silsilah Kolonkan 1300-1312

Gbara memilih Ko Mamadi sebagai mansa selanjutnya tahun 1300. Ia adalah mansa pertama dari garis penguasa baru yang secara langsung menurun dari saudara perempuan Mari Djata, Kolonkan.[11] Namun, melihat bagaimana pemimpin tersebut membagi darah Maghan Kon Fatta, mereka dianggap sebagai Keita sah. Bahkan Sakoura, dengan sejarah menjadi budak dalam keluarga Djata, dianggap sebagai seorang Keita; sehingga garis Bilal masih perlu dipatahkan.

Selama garis silsilah Kolonkan, karakteristik zaman keemasan Mali mulai muncul. Dengan menangani pembangunan Sakoura dan Abubakari I, mansa Kolonkan mengarahkan Mali dengan selamat ke puncak kejayaannya.

Ekonomi

Kekaisaran Mali tumbuh subur karena perdagangan diatas segalanya. Kekaisaran ini memiliki tiga tambang emas besar di perbatasannya, tidak seperti kekaisaran Ghana, yang hanya merupakan tempat transit emas. Kekaisaran ini memberi pajak pada setiap ons emas atau garam yang memasuki perbatasannya. Pada awal abad ke-14, Mali adalah sumber dari hampir setengah emas Dunia Lama yang diekspor dari emas di Bambuk, Boure dan Galam.[10] Tidak terdapat mata uang standar, tetapi beberapa bentuk penting untuk wilayah ini.

Emas
 
Mansa Musa digambarkan memegang gumpal emas.

Gumpal emas merupakan kepemilikan eksklusif mansa, dan ilegal untuk dijual dalam perbatasannya. Semua emas segera diberikan ke perbendaharaan kekaisaran dengan kembali nilai setara debu emas. Debu emas telah ditimbang dan dikantongi untuk penggunaan sejak kekuasaan kekaisaran Ghana. Mali meminjam praktek untuk membendung inflasi bahan, karena hal ini penting terhadap region. Pengukuran emas yang paling umum adalah ambigu mithqal (4.5 gram emas).[11] Istilah ini digunakan dengan dipertukarkan dengan dinar, walaupun masih belum jelas jika mata uang koin digunakan di kekaisaran ini. Debu emas digunakan di seluruh kekaisaran, tetapi tidak dihargai dengan seimbang di semua wilayah.

Garam
 
Tuareg merupakan dan masih menjadi bagian dari perdagangan garam di Sahara.

Satuan besar pertukaran selanjutnya di kekaisaran Mali adalah garam. Garam dipotong menjadi kepingan dan dihabiskan untuk sumber daya yang dekat dengan keseimbangan kemampuan pembelian di kekaisaran.[11] Sementara garam sebaik emas di utara, garam lebih baik lagi di selatan. Orang dari selatan berdagang garam untuk makanan mereka, tetapi garam sangat langka.[22] Wilayah utara pada sisi lain tidak kekurangan garam. Setiap tahun, pedagang memasuki Mali melalui Oualata dengan unta membawa garam untuk dijual di Niani. Menurut sejarawan, pada periode ini, unta pengangkut garam dapat dihargai sebesar 10 dinar di sebelah utara dan 20 sampai 40 di sebelah selatan.[11]

Tembaga

Tembaga juga merupakan komoditas berharga di kekaisaran Mali. Perunggu, yang diperdagangkan dalam batang, ditambang dari Takedda di utara dan diperdagangkan di selatan untuk emas. Sumber kontemporer mengklaim 60 batang perunggu telah diperdagangkan untuk 100 dinar.[11]

Militer

Jumlah dan frekuensi penaklukan pada akhir abad ke-13 dan selama abad ke-14 menandai mansa Kolonkan diwarisi dan atau mengembangkan militer. Dengan tidak adanya mansa khusus yang pernah dihargai dengan pengaturan mesin perang Manding, militer tidak dapat berkembang sampai bagian-bagian legendaris yang dinyatakan oleh rakyatnya tanpa pendapatan mantap dan pemerintahan stabil. Dengan strategis, kekaisaran Mali mengalami hal itu dari tahun 1275 sampai mansa Kolonkan pertama tahun 1300.

Kekuatan

Kekaisaran Mali memiliki angkatan bersenjata profesional untuk menjaga perbatasannya. Seluruh negara dimobilisasikan dengan tiap suku diharuskan menyediakan kuota umur prajurit laki-laki.[11] Sejarawan kontemporer kini selama puncak dan mundurnya kekaisaran Mali mencatat angkatan bersenjata Mali memiliki jumlah 100.000 dengan 10.000 dari jumlah tersebut dijadikan kavaleri.[11] Dengan bantuan suku di sungai, angkatan bersenjata ini dapat didistribusikan di seluruh kerajaan dalam peringatan pendek.[23]

Divisi

Pasukan terbagi menjadi angkatan bersenjata utara dan selatan. Angkatan bersenjata utara, dibawah komando farin (komandan utara) berpatroli di kota perbatasan Soura.[11] Angkatan bersenjata selatan, dibawah komando Sankar (sebutan untuk penguasa di dekat sungai Sankarani),[11] dikomandokan dari kota Zouma. Farin-Soura dan Sankar-Zouma keduanya ditunjuk oleh mansa dan dipertanggung-jawabkan hanya kepadanya

Infantri
Berkas:Malian Archer.jpg
Terracotta Djenné mengambarkan pemanah dari kekaisaran Mali.

Seorang infantri, yang bersenjata (panah, tombak, dan lain-lain), disebut sofa.[7] Sofa diatur kedalam satuan suku dibawah kepemimpinan perwira yang disebut kelé-kun-tigui atau "kepala suku perang".

Kelé-kun-tigui dapat berada di pos yang sama atau berbeda dari kun-tigui (kepala suku). Kun-Tigui menguasai penuh seluruh suku dan bertanggung jawab untuk mengisi kuota pasukan yang harus dimasukan sukunya untuk pertahanan Mali. Tanggung jawab ini merupakan tugas menunjuk atau menjadi kelé-kun-tigui suku. Meskipun mereka berkuasa terhadap pasukan infantri suku mereka sendiri, kelé-kun-tigui lebih sering bertempur dengan kuda.

Dibawah kelé-kun-tigui adalah dua perwira. Perwira paling junior adalah kelé-kulu-kun-tigui yang mengkomando pasukan infantri terkecil yang disebut kelé-kulu yang berarti "tumpukan perang" yang didalamnya terdapat sepuluh sampai dua puluh orang. Pasukan sepuluh kelé-kulus (100 sampai 200 infantri" disebut kelé-bolo berarti "senjata perang". Perwira yang bertugas terhadap pasukan ini disebut kelé-bolo-kun-tigui.[24]

Kavaleri
Berkas:Mali Equestrian.jpg
Figur Terracotta Equestria Djenné yang ditemukan di wilayah kekaisaran Mali.

Pasukan kavaleri disebut Mandekalu yang melayani sama setara jika elemen tentara tidak lebih penting. Seperti sekarang, kuda mahal dan hanya bangsawan yang membawa kuda kedalam pertempuran. Pasukan kavaleri Mandinka terdiri dari 50 pasukan berkuda yang disebut seré yang dikomandokan oleh kelé-kun-tigui. Kélé-Kun-Tigui, seperti namanya, adalah pasukan profesional dan memiliki peringkat tertinggi atas lapangan dari Farin atau Sankar.

Perlengkapan

Sofa umumnya dipersenjatai dengan perisai besar yang dibuat dari kayu atau kulit binatang dan tombak yang disebut tamba. Pemanah membentuk bagian besar sofa. Tiga pemanah mendukung satu penombak merupakan rasio di Kaabu dan Gambia pada pertengahan abad ke-16. Pemanah Mandinka, yang dilengkapi dengan dua tabung panah dan perisai, menggunakan panah berujung besi yang berduri dan biasanya beracun. Mereka juga menggunakan panah berapi untuk peperangan. Sementara tombak dan panah merupakan dukungan utama sofa, pedang dan tombak manufaktur lokal dan asing merupakan persenjataan pilihan Mandekalu. Senjata umum prajurit Mandekalu lainnya adalah lembing beracun yang digunakan dalam pertempuran. Pasukan berkuda kekaisaran Mali juga menggunakan baju baja untuk pertahanan dan perisai yang mirip dengan perisai sofa.

Mansa Gao

Ko Mamadi dimahkotai sebagai Mansa Gao dan berkuasa atas kekaisaran yang berhasil tanpa adanya krisis. Anaknya, Mansa Mohammed ibn Gao, naik tahta lima tahun kemudian dan meneruskan stabilitas Kolonkan.[11]

Abubakari II

Penguasa Kolonkan terakhir, Bata Manding Bory, dimahkotai sebagai Mansa Abubakari II pada tahun 1310.[11] Ia meneruskan gaya kekuasaan non-militan yang mengkarakterisasikan Gao dan Mohammed ibn Gao, tetapi tertarik dengan laut di sebelah barat kekaisaran. Menurut catatan yang diberi oleh Mansa Musa I, yang selama era kekuasaan Abubakari II menjadi kankoro-sigui mansa, Mali mengirim dua ekspedisi ke samudra Atlantik. Mansa Abubakari II meninggalkan Musa sebagai wali raja kekaisaran, menunjukan stabilitas yang mengagumkan selama periode ini di Mali, dan berangkat dengan ekspedisi kedua yang memerintahkan 4.000 pirogue dilengkapi dengan dayung dan layar tahun 1311.[25] Baik kaisar ataupun kapal tidak pernah kembali ke Mali. Sejarawan dan ilmuwan modern ragu-ragu mengenai keberhasilan pelayaran, tetapi catatan mengenai hal tersebut ada di catatan tertulis Afrika Utara dan catatan lisan djeli Mali.

Garis silsilah Laye 1312-1389

Abdikasi Abubakari II tahun 1312, satu-satunya yang tercatat dalam sejarah, menandai dimulainya garis silsilah baru yang berasal dari Faga Laye.[11] Faga Laye adalah putra dari Abubakari I. Tidak seperti ayahnya, Faga Laye tidak pernah mengambil tahta Mali. Namun, garis ini akan menghasilkan tujuh mansa yang berkuasa selama puncak kekuasaan Mali dan menuju awal dari kemundurannya.

Pemerintahan

Kekaisaran Mali mencapai luasnya yang terbesar dibawah mansa Laye. Selama periode ini, Mali terdiri dari hampir seluruh wilayah antara Gurun Sahara dan hutan pantai. Kekaisaran ini terbentang dari Samudera Atlantik sampai Niamey modern di Niger. Pada tahun 1350, kekaisaran ini memiliki luas kira-kira 439.400 kilometer persegi. Kekaisaran ini juga mencapai populasi terbesarnya selama periode Laye dengan menguasai 400 kota,[26] dan desa dari berbagai region dan etnis. Ulama pada era itu mengklaim perlu tidak kurang dari satu tahun untuk melintasi kekaisaran dari barat ke timur. Selama periode ini, hanya kekaisaran Mongolia yang wilayahnya lebih besar.

Peningkatan dramatis besar kekaisaran meminta giliran dari organisasi Manden Kurufa tiga negara bagian dengan dua belas tanah jajahan. Model ini ialah sisa oleh waktu haji Mansa Munsa ke Mesir. Menurut al'Umari, yang mewawanarai seorang Berber yang telah hidup di Niani selama 35 tahun, terdapat empat belas provinsi (kerajaan jajahan). Pada catatan al-'Umari, ia hanya mencatat tiga belas provinsi berikut.[27]

  • Gana (provinsi ini merujuk pada sisa Kekaisaran Ghana)
  • Zagun atau Zafun (nama lain dari Diafunu)[28]
  • Tirakka atau Turanka (Antara Gana dan Tadmekka)[29]
  • Tekrur (Pada cataract ketiga sungai Senegal, sebelah utara Dyolof)
  • Sanagana (dinamai dari suku yang hidup di wilayah ini sebelah utara sungai Senegal)
  • Bambuck atau Bambughu (wilayah penambangan emas)
  • Zargatabana
  • Darmura atau Babitra Darmura
  • Zaga (di Niger)
  • Kabora atau Kabura (juga di Niger)
  • Baraquri atau Baraghuri
  • Gao atau Kawkaw (provinsi yang dihuni oleh Songhai)
  • Mali atau Manden (ibukota provinsi yang merupakan asal nama kekaisaran)

Musa I

 
Masjid Sankore.

Penguasa pertama dari Laye adalah Kankan Musa, juga disebut sebagai Kango Musa. Setelah setahun lewat tanpa kabar mengenai Abubakari II, ia dimahkotai sebagai Mansa Foamed Musa. Mansa Musa adalah salah satu orang Muslim pertama yang sungguh-sungguh taat untuk menuntun Kekaisaran Mali. Ia mencoba untuk membuat agama Islam sebagai kepercayaan kaum ningrat,[10] tetapi tetap membiarkan tradisi kerajaan yang tidak memaksa populasinya. Ia juga melaksanakan perayaan Id pada akhir Ramadan. Ia dapat membaca dan menulis aksara Arab dan tertarik pada kota Timbuktu, yang digabung olehnya dengan damai tahun 1324. Melalui salah satu wanita kerajaan pengadilannya, Munsa mengubah Sankore dari madrasah tidak resmi menjadi universitas Islam. Penelitian Islam tumbuh subur sesudah itu. Pada tahun yang sama, jendral Mandinka yang diketahui sebagai Sagmandir mengakhiri pemberontakan di Gao.[10]

Pencapaian pemahkotaan Mansa Musa adalah peziarahan terkenalnya ke Mekkah, yang dimulai pada tahun 1324 dan ia kembali pada tahun 1326. Catatan mengenai berapa banyak orang dan berapa banyak emas yang ia gunakan bervariasi. Semuanya setuju bahwa grup penjaga mansa terdiri dari pasukan yang sangat besar (mansa menyimpan pasukan penjaga sebanyak 500 orang),[30] dan ia memberikan sangat banyak sedekah dan membawa sangat banyak barang yang dihargai emas di Mesir dan timur dekat yang menurun harganya selama dua belas tahun.[31] Ketika ia melewati Kairo, sejarawan al-Maqurizi mencatat "anggota orang yang menemani mansa membeli budak wanita Turki dan Ethiopia, garmen dan wanita penyanyi, sehingga harga emas dinar turun enam dirham."

Musa sangat pemurah sehingga ia kehabisan uang dan terpaksa melelang agar dapat kembali ke rumah. Haji Musa, dan terutama emasnya, menarik perhatian dunia Islam dan Kekristenan, oleh sebab itu, Nama Mali dan Timbuktu muncul pada peta dunia abad ke-14.

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ Turchin, Peter and Jonathan M. Adams and Thomas D. Hall: "East-West Orientation of Historical Empires and Modern States", page 222. Journal of World-Systems Research, Vol. XII, No. II, 2006
  2. ^ Kelahiran kekaisaran Manden, diterjemahkan dari bahasa Perancis
  3. ^ Perkenalan Manden
  4. ^ The Epic of Sundjata Humanities Department, Central Oregon Community College
  5. ^ Wagadou atau Kekaisaran Ghana Diterjemahkan dari bahasa Perancis. Soninkara.org
  6. ^ Sejarah Afrika diterjemahkan dari bahasa Perancis
  7. ^ a b c d e f g Niane, D.T: "Sundiata: An Epic of Old Mali". Longman, 1995
  8. ^ The Wangara, an Old Soninke Diaspora in West Africa? A. W. Massing
  9. ^ Heusch, Luc de: "The Symbolic Mechanisms of Sacred Kingship: Rediscovering Frazer". The Journal of the Royal Anthropological Institute, 1997
  10. ^ a b c d e f g h i Stride, G.T & C. Ifeka: "Peoples and Empires of West Africa: West Africa in History 1000-1800". Nelson, 1971
  11. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Niane, D.T.: "Recherches sur l’Empire du Mali au Moyen âge". Presence Africaine. Paris, 1975
  12. ^ Mengenai Manden, diterjemahkan dari bahasa Perancis
  13. ^ African Empires to 1500 CE
  14. ^ Person, Yves: "SAMORI: UNE REVOLUTION DYULA". Nimes, impr. Barnier, 1968
  15. ^ The Charter of Kurukan Fuga
  16. ^ Mali: Geografi dan Sejarah
  17. ^ Sejarah Guinea-Bissau
  18. ^ Piagam Kurukan Fuga
  19. ^ a b Levitzion, N: "The Thirteenth- and Fourteenth-Century Kings of Mali". The Journal of African History, Vol. 4, No. 3. Cambridge University Press, 1963
  20. ^ Senegal: History and Geography, diterjemahkan dari bahasa Perancis.
  21. ^ a b The Empire of Mali (Mandigo Empire), diterjemahkan dari bahasa Perancis
  22. ^ Sejarah Afrika: Perdagangan
  23. ^ The army and armaments in Mali, diterjemahkan dari bahasa Perancis
  24. ^ Sejarah Mali, diterjemahkan dari bahasa Perancis
  25. ^ Joan Baxter, "Africa's 'greatest explorer.'" BBC. 13 Desember 2000.
  26. ^ Wealth: Africa and Europe
  27. ^ Blanchard, page 1119
  28. ^ Stiansen & Guyer, page 88
  29. ^ Blanchard, page 1119
  30. ^ Bernadette D. Bennett. WEST AFRICAN KINGDOMS
  31. ^ Universitas Boston, Kingdom of Mali

Daftar pustaka

  • Blanchard, Ian (2001). Mining, Metallurgy and Minting in the Middle Ages Vol. 3. Continuing Afro-European Supremacy, 1250-1450. Stuttgart: Franz Steiner Verlag. hlm. 550 Pages. ISBN 3-51508-704-4. 
  • Stiansen, Endre & Jane I. Guyer (1999). Credit, Currencies and Culture: African Financial Institutions in Historical Perspective. Stockholm: Nordiska Afrikainstitutet. hlm. 174 Pages. ISBN 9-17106-442-7. 

Pranala luar