Suku Buton
Suku Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat di temui dengan Jumlah yang Signifikan di Luar Sulawesi Tenggara Seperti di Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat.
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Sulawesi Tenggara: 650.000 | |
Bahasa | |
Buton, dan Indonesia. | |
Agama | |
Islam | |
Kelompok etnik terkait | |
Tolaki, Muna |
Seperti suku-suku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku pelaut. Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok Nusantara dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Secara umum, orang Buton adalah masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Daerah-daerah itu kini telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara diantaranya Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan, Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Muna Barat.
Selain merupakan masyarakat pelaut, masyarakat Buton juga sejak zaman dulu sudah mengenal pertanian. Komoditas yang ditanam antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Orang Buton terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan Buton, diantaranya Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di dunia, Istana Malige yang merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata uang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan banyak lagi.
Penduduk Buton yang pertama dan asal usulnya dapat diketahui dengan mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya, yang dikenal dalam sejarah wolio dengan nama Kesatuannya “Mia Pata Mianan” yang artinya “empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan empat pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati dan Siuamanajo. Dan dengan berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di Wolio, keempat orang tersebut konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia) pulau Liya Melayu, di mana tibanya di Buton dapat diperkirakan berksiar akhir abad ke XIII atau setidaknya pada awal abad ke XIV. Perkiraan tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya.
Dalam Riwayat H. J. Van Den Berg, ia menuliskan antara lain:
Dalam tahun 1275 bertolaklah satu tentara kertanagara dari pelabuhan Tuban. Tentara itu mendarat di daerah muara sungai Jambi dan: rebut daerah itu, yang lalu dijadikan daerah takluk bagi kerajaan Singosari. Dalam waktu 10 tahun saja, jajahan kerajaan Jawa itu telah dapat diluaskan sampai kedaerah hulu sungai jambi. Didirikanlah kembali kerjaan Melayu lama didaerah itu, tetapi sebagai negara bagian pada kerajaan Singosari. Raja Melayu dijadikan Raja takluk kepada Baginda Kertanagara. Kerajaan Melyu menjadi penting kedudukannya, sehingga dalam abad ke 14 seluruh Sumatera kerapkali disebut juga melayu.
Suatu kumpulan karya, yang di dapat orang di daerah jambi, atas perintah Kertanagara diangkut ke melayu dalam tahun 1286. Maksud kertanagara telah jelas, yaitu mendirikan satu kerajaan Jawa di Sumatera tengah, yang akan menjadi pusat kebudayaan Jawa dipulau itu. Kerajaan Jawa yang di Sumatera itu merupakan suatu bahaya yang besar sekali bagi Sriwijaya. Akan tetapi Sriwijaya terlalu lemah untuk mencegah maksud Kertanagara itu.
Kekuasaan Sriwijaya telah runtuh pada segenap pihak. Dibagian Utara Semenanjung Malaka. Sebagian dari daerah Sriwijaya telah direbut kerajaan Siam yang baru saja berdiri. Di Aceh pun telah mulai pula timbul kerajaan baru, umpamanya kerajaan Perlak dan Samudra. Kerajaan baru itu telah menjadi kerajaan islam (yang pertama di Indonesia). Perhubungannya dengan Sriwijaya hampir tidak ada lagi. Kerajaan Pahang pun yang terletak di Semenanjung Malaka, rupanya telah menjadi daerah takluk juga pada kerajaan Singosari Sunda, yang telah sejak lama mengakui kekuasaan tertinggi dari Sriwijaya, rupanya terlepas pula dalam zaman itu dan telah menjadi bagian kerjaan Kertanagara.
Sipanjonga dan teman-temannya serta pengikut-pengikutnya, sebagai seroang raja di negerinya, yang termasuk di dalam kerjaan Sriwijaya, mengetahui kedudukan Sriwijaya sudah demikian lemahnya, mengambil kesempatan meninggalkan kerjaannya mencari daerah lain untuk tempat tinggalnya dan uintuk dapat menetap sebagai seorang raja yang berkuasa dan tibalah mereka di Buton. Tibanya Sipanjonga dengan kawan-kawan tidak bersama-sama dan tidak pula pada suatu tempat yang sama dan rombongannya terdiri dalam dua kelompok, dengan tumpangan mereka yang disebut dalam zaman “palulang”.
Kelompok pertama Sipanjonga dengan Sijawangkati sebagai kepala rombongan mengadakan pendaratan yang pertama di Kalaupa, suatu daerah pantai dari raja tobo-Tobo, sedangkan Simalui dan Sitamanajo mendarat di Walalogusi (kira-kira kampung Boneatiro atau disekitar kampung tersebut Kecamatan Kapontori sekarang). Pada waktu pendaratan pertama itu Sipanjonga mengibarkan bendera kerajaannya pada suatu tempat tidak jauh dari Kalampa, pertanda kebesarannya. Berdera Sipanjonga inilah yang menjadi bendera kerajaan buton yang disebut “tombi pagi” yang berwarna warni, “longa-longa” bahasa wolionya. Dikemudian tempat di mana pengibaran bendera tersebut dikenal dengan nama “sula” yang sampai sekarang masih dikenal, terdapat di dalam desa Katobengke Kecamatan Wolio, tidak jauh lapangan udara Betoambari.
Kemudian maka keempat pemuka tersebut di atas yang membuat dan meninggalkan sejarah dan kebudayaan wolio, sedangkan kerajaan yang pada zamannya pernah menjadi kerajaan yang berarti, dan merekalah pula yang mengawali pembentukan kampung-kampung, yang kemudian sesuai dengan perkembangannya menjadi kerajaan dan inilah yang dimaksudkan dengan kerajaan Buton, yang sebagai Rajanya yang pertama ratu I Wa Kaa Kaa.
Di tempat pendaratannya tersebut Sipanjonga dan kawan-kawannya membangun tempat kediamannya yang lambat laun menjadi sebuah kampung yang besar, yang tidak alam setelah pendaratannya itu Rombongan Simalui dan Sitamanajo bersatu kembali dengan Sipanjonga di Kalampa.
Oleh karena letak tempat tinggal dari Sipanjonga dekat pantai bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadinya gangguan-gangguan keamanan, terutama sekali dari bajak laut yang berasal dari Tobelo Maluku – masyuurnya gangguan keamanan dari apa yang dikenal dengan tobelo, demikian di takuti sehingga menjadi akta menakuti anak-anak dari kalangan orang tua dengan “jaga otobelo yitu” artinya “awas tobelo itu” – Untuk mengindarkan diri dari gangguan keamanan Sipanjonga dan rakyatnhya meninggalkan Kalampa menuju arah gunung yang tidak jauh dari tempatnya itu kira-kira 5 km dari tepi pantai di tempat yang baru inilah Sipanjonga dan rakyatnya bermukim.
Karena di tempat yang baru tiu masih penuh dengan hutan belukar maka untuk membangun tempat kediaman mereka ditebasnya belukar-belukar itu, yang pekerjaan menebas itu dalam bahasa wolionya dikatakan “Welia”. Inilah asal nama “Wolio” dan tempat inilah pula yang menjadi tempat pusat kebudayaan Wolio ibu kota kerajaan.
Diriwayatkan lebih jauh bahwa pada waktu Sipanjonga dan teman-teman menebas hutan belukar di tempat itu didapati banyak pohon enau. Terlebih di atas sebuah bukit bernama “Lelemangura” Rahantulu – Di tempat ini diketemukan putri Raja Wa Kaa Kaa. Lelemangura bahasa Wolio terdirid ari anak kata “lele” dan “mangura”. Lele berarti tetap dan mangura mudah. Ini mengandung makna kiasan terhadap putri Wa Kaa Kaa yang karena ditemukan dan dianggap sebagai bayi dalam arti “diberi baru menerima, disuap lalu menganga dan hanya menangis dan tertawa yang dikenalnya”. Tujuan hakekatnya supaya tetap diingat bahwa Raja adalah “anak” dari Betoambari Bontona Peropa dan Sangariarana Bontona Baluwu Siolimbona pada keseluruhannya
Bukit inilah yang kemudian masyur dengan sebutan Lelemangura. Salah seorang teman dari Sipanjonga yang bernama Sijawangkati mendapatkan enau dan dengan diam-diam ia menyadap enau itu. Ketika yang empunya enau yang bernama Dungkungeangia datang menyadap enaunya, didapatinya enaunya sudah di sedap orang yang tidak diketahuninya. Timbullah marahnya. Dipotongnya sebatang kayu yang cukup besar. Melihat potongan batang kayu itu, timbul dalam pemikirannya betapa besar dan kuat orang yang memotong kayu itu namun tidak menimbulkan rasa takut pada diri Sijawangkati. Untuk mengimbangi potongan kayu itu, dipotongnya rotan yang panjangnya satu jengkal yang cukup besar juga, kemudian batang rotan itu disimpulnya. Karena kekuatan simpulan pada batang rotan itu, hampir tidak kelihatan, kemudian diletakkannya di atas bekas potongan batang kayu itu. Tentu orang yang menyadap enau saya ini adalah orang yang sakti dan mungkin bukan manusia biasa.
Suatu waktu secara kebetulan keduanya bertemu di tempat itu. Maka terjadilah perkelahian yang sengit, yang sama-sama kuat. Masing-masing tidak ada yang kalah. Pada akhirnya keduanya karena sudah kepayahan berdamai. Mufakatlah keduanya untuk hidup damai dan saling membantu dan bagi anak cucu mereka dikemudian akan hidup di dalam alam kesatuan dan persatuan. Dengan adanya perdamaian sijawangkai Dungkusangia tersebut maka negeri tobe-tobe masuk dan bersatu dengan Wolio. Letak negeri tobe-Tobe itu dari tempat tinggal Sipanjonga + 7 km.
Dapat dijelaskan disini bahwa Dungkungeangia dimaksudkan menurut keterangan leluhur adalah berasal dari Cina yang selanjutnya dalam buku silsilah bangsawan Buton dikatakan asal “fari” asal “peri”. Menurut Pak La Hude dikatakan orangnya amat putih, sama halnya dengan putihnya isi kelapa yang dimakan fari (binatang semacam serangga). Dalam hubungan ini menurut penulis dengan bersandar atas penulisan dari beberapa sejarahwan, adalah benar orang Cina dan ia berasal dari tentara Khu Bilai Khan Tentara Tatar yang datang ke Indonesia dalam tahun 1294, untuk menghukum raja Kartanagara di mana pada akhirnya tentara ini dapat dimusnahkan dan sebagian dapat menyelamatkan diri atas serangan mendadak Raden Wijaya di Kediri.
Anwar Sanusi menulis antara lain: Kemudian raden Widjaja de3ngan diam-diam mengambil puteri-puteri dari istana Djajakatwang dan dilarikan oleh Hamba-hambanya ke Majapahit. Maka Raden Wijaya minta izin kembali ke Majapahit akan menjadikan upeti bagi Kaisar Tiongkok. Pada malam harinya datanglah utusan Tentara Tatar akan meminta yang dijanjikan kepada mereka itu. Akan tetapi raden wijaya mengatakan kepada mereka, bahwa putri-putri itu harus dijemput oleh pembesar-pembesar Tentara Tatar saja tidak boleh oleh serdadu biasa. Keesokan harinya datanglah pembesar-pembesar Tentara Tatar itu dengan tidak bersenjata dan tidak membawa pengiring. Setelah mereka masuk kedalam kota melalui pintu gerbang, maka mereka disergap dan dibunuh oleh Sora serta pengikutnya. Kemudian raden Wijaya menyerang Tentara Tatar, yang tinggal di Kediri. Kebanyakan Tentara Tatar itu tewas dan sisanya melarikan diri keperahunya masing-masing ~Anwar Sanusi; opcit; hal. 54~.
Sesudah ia izinkan oleh Jenderal Tiongkok untyuk kembali kenegerinya sesudah mengalahkan Djajakatwang maka ia menyerang pasukan Tiongkok dari belakang. Melihat sikap Raden widjaja itu, Jenderal Tiongkok bingun lalu bersegera mengundurkan diri ke pantai karena tak mau terikat dengan sesuatu peperangan yang lama di Jawa....... dst ~Anonim; sjarah Indonesia dan Dunia S P Frater Makassar 1963; stensilan; hal. 15~.
H. J. Van den Berg menulis sebagai berikut: Ketika kartanagara memerintah di Jawa, maka ketika itu yang memerintah di Tiongkok ialah Khu Bilai Khan.
Dalam keinginannya yang tidak puas-puas akan memperbesar kekuasaannya, maka dilayangkanlah juga pandangannya ke India Belakang dan Ke Indonesia. Kartanagara insyaf akan bahaya yang mengancam dari pihak Tiongkok itu; karena itu diadakannyalah persekutuan dengan Kerajaan Tjampa Dengan mengawinkan seorang putrinya dengan raja Tjampa. Persekutuan itu ditujukan untuk mengekang perkembangan kekuasaan Tiongkok kedaerah Selatan. Khu Bilai mengikuti cara yang lazim dipergunakannya. Disuruhnya dutanya kepada Raja Tjampa meminta, supaya Baginda itu mau mengakui kekuasaan Raja Tiongkok. Setelah itu dimintalah supaya baginda datang sendiri ke tiongkok untuk menjatakan chitmatnja kepada Khu Bilai Khan. Ketika Raja Tjampa menolak permintaan itu, datanglah tentara tiongkok menyerang dan menduduki negeri itu.
Tetapi pendudukan tentara Tiongkok itu hanya sementara saja, karena orang-orang Annan dapat merebut kemerdekaannya kembali. Tidak kita ketahui adakah Kartanagara memberikan bantuan senjata kepada temannya bersekutu itu. Yang jelas bagi kita ialah bahwa perundingan duta tiongkok di ulur-ulurnya sampai beberapa tahun lamanya. Rupanya tak terniat olehnya sama sekali akan berdatang sembah kehadapan Khu Bilai Khan. Tetapi akhirnya terpaksalah ia mengambil keputusan. Dan keputusan yang diambil oleh Kertanagara itu jelas dan tidak meragukan: duta tiongkok itu dipulangkannya kepada Kaisarnya dengan muka yang bercacat. Penghinaan yang sebesar itu harus dibalas dengan tindakan keras. Demikianlah pendapat Kaisar tiongkok. Dipersiapkanlah suatu tentara pendarat yang besar, untuk menghukum Karganagara atas penghinaan itu.
Tetapi barulah dalam tahun 1292 angkatan perang itu bertolak; seribu buah kapal, yang mengangkut tentara pendarat yang terjadi dari 20.000 prajurit. Semuanya dipimpin oleh Seorang Jenderal.
Kartanegara telah wafat, ketika angkatan perang tiongkok berlabu di tuban, beberapa negeri kecil di Indonesia menyerah dan telah mengirimkan dutanya menghadap Khan yang besar kuasanya itu. Tetapi angkatan perang itu bertolak dari Tiongkok untuk menaklukkan Jawa. Menurut kebiasaan disuruhlah beberapa orang utusan, untuk mendesak supaya pemerintah supaya mau mengakui kekuasaan Mongol di daerah itu. Utusan tiongkok itu sampai juga ke Majapahit dan seketika itu juga mengertilah Pengeran Wijaya, bahwa saat yang dinantikannya telah tiba. Ia mengaku takluk dan ditawarkannyalah bantuannya untuk mengalahkan Raja Jawa, yaitu Jayakatwang. Dalam pada itu dimulainya peperangan melawan Jayakatwang.
Tentara Tiongkok ketika itu telah bergerak maju menyusur pantai, sedangkan angkatan lautnya berlayar kemuara sungai Surabaya, pintu masuk kepulauan Jawa. Angkatan perng Jayakatwang yangterjadi dari perahu perang, sungai, mencoba menahan serangan Tionghoa itu. Tetapi musuh jauh lebih kuat; tidak kurang dari 100 (seratus) buah perahu jatuh ketangan orang Tionghoa.
Sementara itu datanglah tentara Kediri ke Majapahit akan menghukum Pangeran Wijaya yang memberontak itu. Pangeran Wijaya meminta bantuan Tionghoa untuk melawan tentara Kediri itu. Berangkatlah tentara Tionghoa itu stcepat-cepatnya ke Majapahit. Dalam suatu pertempuran yang besar, berhasillah usaha tentara Tiongkok itu melepaskan Majapahit dari kepungan Kediri. Setelah itu tentara Tiongkok melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Dengan gagah beraninya ibukota Kediri itu dipertahankan oleh tentara Jawa, tetapi akhirnya kalahlah tentara itu. Jayakatwang menyerah dan orang Tionghoa menerima penjarahan itu. Akan tetapi putra mahkota melarikan dirilah kepegunungan; iapun dikejar kesatu dan setelah ditawan maka dibawalah putra mahkota itu ke Kediri.
Dalam paa itu kembalilah Pangeran Wijaja ke Majapahit dengan seizing dua orang Jenderal Tiongkok. Wijaya diiringkan oleh suatu pasukan Tionghoa peristiwa itulah yang akan menjelaskan orang Tionghoa itu kelak. Pangeran Wijaya dapat meloloskan diri, setelah orang Tionghoa yang mengiringkannya dibunuhnya. Sesudah itu dikumpulkannya sejumlah besar pasukan Tiongkok yang hendak kembali kelaut menyusur sungai. Dengan susah payah dapatlah tentara Tiongkok itu melepaskan diri dari kepungan Wijaya orang Tionghoa itu telah jemu dengan peperangan di Jawa, lalu bertolaklah mereka pulang ke Tiongkok