Maharani adalah gelar istana yang merupakan bentuk wanita dari gelar maharaja.Kedudukan gelar maharaja-maharani serta kaisar-kaisarina lebih tinggi daripada gelar raja dan ratu.

Maharani

Maharani adalah gelar kebangsawanan yang merupakan padanan wanita dari gelar maharaja. Gelar ini dapat digunakan untuk istri maharaja atau seorang wanita penguasa monarki yang memerintah sebuah kemaharajaan atas namanya sendiri. Penggunaan istilah "permaisuri" atau "permaisuri maharaja" dapat digunakan untuk istri maharaja, untuk menghindari keambiguan penggunaan gelar maharani yang merujuk pada wanita yang menjadi penguasa monarki.

Sebagaimana maharaja, gelar maharani berasal dari anak benua India. Gelar ini mulai dikenal di Indonesia seiring masuk dan berkembangnya agama Hindu di nusantara. Gelar ini berasal dari bahasa Sansekerta dan merupakan gabungan dari kata mahānt- "agung, besar" and rāni "ratu". Di Indonesia, salah satu wanita yang kedudukannya dapat disetarakan dengan maharani adalah Tribhuwana Wijayatunggadewi, pemimpin ketiga Majapahit.

Penguasa monarki

Sepanjang sejarah, jumlah maharani (dalam konteksnya sebagai penguasa monarki) jauh lebih sedikit daripada kaisar dan maharaja. Hal ini karena banyak kebudayaan di masa lalu yang memandang bahwa kepemimpinan dan ranah masyarakat umum menjadi wilayah kaum pria.

Dalam hukum Salik yang dianut banyak monarki Eropa, dinyatakan secara jelas bahwa wanita tidak mendapat tempat dalam masalah pewarisan takhta.[1] Beberapa wanita yang naik takhta juga kerap tidak diakui. Saat Irene naik takhta menjadi Kaisar Wanita Romawi Timur, pihak Eropa Barat tidak mengakuinya karena masalah jenis kelamin, dan Paus Leo III justru memahkotai Karel Agung sebagai Kaisar Romawi di wilayah Barat. Namun seiring berjalannya waktu, beberapa wanita mulai muncul sebagai maharani. Kekaisaran Rusia memiliki empat maharani, Yekaterina I, Anna, Yelizaveta, dan Yekaterina II yang Agung. Di Inggris Raya, Victoria menjadi satu-satunya wanita yang menjadi maharani.

Di Asia Timur, hanya ada sejumlah wanita yang menjadi penguasa monarki. Jepang memiliki delapan wanita yang menjadi maharani. Namun saat Jepang mengadopsi sistem pewarisan takhta Prusia pada Zaman Meiji, wanita tidak diperkenankan lagi untuk menjadi maharani. Saat Kerajaan Silla di bawah kepemimpinan Ratu Seondeok, salah satu pejabat tinggi kerajaan melakukan pemberontakan dengan alasan "pemimpin wanita tidak dapat memimpin negara" (女主不能善理).[2] Di Tiongkok, hanya ada satu kaisarina yang pernah memerintah sepanjang sejarah Tiongkok, Wu Zetian.

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa maharani yang pernah memerintah, seperti Tribhuwana Tunggadewi dari Majapahit dan Sima dari Kalingga.

Gelar maharani dalam berbagai bahasa

Ini adalah beberapa gelar asing yang dapat disepadankan dengan maharani dalam konteksnya sebagai penguasa monarki. Gelar untuk istri kaisar dan istri maharaja, lihat halaman permaisuri.

Eropa

Sebagaimana gelar kebangsawanan Eropa yang lain untuk wanita, gelar untuk maharani di sini juga dapat digunakan untuk permaisuri kaisar.

  • Gelar caesar diturunkan ke dalam beberapa bahasa dan turunan itu memiliki bentuk wanitanya, di antaranya:
    • Kaiserin dalam bahasa Jerman, bentuk wanita dari kaiser. Meskipun secara teori gelar ini dapat disandang oleh kaisarina, pada praktiknya, gelar ini hanya pernah digunakan oleh permaisuri kaisar.
    • Tsarina (aksara Sirilik: цари́ца) dalam bahasa Rusia (dan bermacam ejaannya dalam rumpun bahasa Slavia yang lain), bentuk wanita dari tsar
  • Imperatrix, maharani dalam bahasa Latin, bentuk wanita dari imperator. Bersama imperator, gelar ini kemudian diturunkan ke dalam beberapa bahasa, di antaranya:
    • Impératrice dalam bahasa Prancis. Digunakan di masa Napoleon Bonaparte. Meskipun secara teori gelar ini dapat disandang oleh kaisarina, pada praktiknya, gelar ini hanya pernah digunakan oleh permaisuri kaisar.
    • Imperatritsa (aksara Sirilik: императрица) digunakan secara resmi di Rusia sejak tahun 1721, menggantikan gelar tsarina. Gelar ini pernah digunakan oleh kaisarina maupun permaisuri kaisar.
    • Empress dalam bahasa Inggris, bentuk wanita dari emperor. Gelar ini digunakan pada masa pendudukan Inggris Raya di India (British Raj). Victoria adalah satu-satunya wanita yang menyandang gelar ini atas kedudukannya sebagai maharani. Wanita lain yang menyandang gelar ini hanya berkedudukan sebagai permaisuri kaisar.
  • Basillissa (aksara Yunani: Βασίλισσα), gelar bahasa Yunani yang merupakan bentuk wanita dari gelar basileus (βασιλεύς). Di Kekaisaran Romawi Timur, umumnya gelar ini digunakan untuk permaisuri kaisar. Saat Irene naik takhta sebagai maharani, dia menggunakan gelar basileus untuk menandatangani dua dokumen, dan gelar itu pula yang muncul di koin emasnya yang ditemukan di Sisilia. Namun dalam dokumen dan koin yang lain, Irene menggunakan gelar basilissa.

Afrika

  • Nəgəstä Nägäs, gelar untuk Kaisarina Ethiopia, bentuk wanita dari gelar nəgusä nägäst (ንጉሠ ነገሥት). Gelar ini hanya dipakai satu kali, yakni oleh Maharani Zewditu (memerintah pada 1916-1930)

Asia Timur

  • Huángdì (hanzi: 皇帝), gelar untuk Kaisar Tiongkok. Mulai digunakan pada tahun 221 SM dengan Ying Zheng sebagai penyandang pertama gelar tersebut. Gelar ini tidak memandang jenis kelamin. Pada praktiknya, hanya satu wanita yang diakui menyandang gelar ini sepanjang sejarah Tiongkok, yakni Wu Zetian.
  • Tennō (kanji: 天皇), gelar untuk Kaisar dan Maharani Jepang. Secara harfiah bermakna "penguasa surgawi." Meskipun dalam catatan resmi gelar ini disematkan oleh pemimpin Jepang sejak tahun 660 SM, para sejarawan percaya bahwa gelar ini sebenarnya baru digunakan pada masa Kaisar Tenmu (berkuasa pada 672–686 M) dan Maharani Jitō (berkuasa pada 686–697 M). Gelar ini merupakan adopsi dari gelar Tionghoa tiānhuáng. Gelar ini pernah disandang oleh delapan wanita yang menjadi maharani.
  • Jotei atau nyotei (kanji: 女帝), maharani dalam bahasa Jepang. Berbeda dengan tennō yang hanya digunakan untuk merujuk Maharani Jepang dan tidak memandang jenis kelamin, jotei dapat digunakan untuk merujuk maharani non-Jepang dan hanya untuk wanita.

Catatan kaki

  1. ^ Cave, Roy and Coulson, Herbert. A Source Book for Medieval Economic History, Biblo and Tannen, New York (1965) p. 336
  2. ^ * (7. Silla and Wa) - Bidam Diarsipkan October 5, 2011, di Wayback Machine.

Lihat juga