Quietisme
Artikel ini mungkin mengandung riset asli. |
Bagian dari seri tentang |
Mistisisme Kristiani |
---|
Quietisme adalah sebuah pandangan atau ajaran dalam filsafat-Teologi yang menekankan hubungan keintiman manusia dengan Allah melalui doa.[1] Quietisme muncul di Prancis dan Italia pada abad ke-17.[1] Di Prancis pandangan atau ajaran ini diperkenalkan Uskup Fenelon. Sementara itu, Quietisme di Italia diperkenalkan oleh M. de Molinos. [1] Kedua tokoh ini meyakini bahwa kristianitas yang sesungguhnya terletak pada kehadiran Allah ketika seseorang berdoa dan meditasi.[2]
Ajaran Quietisme dikutuk sebagai ajaran sesat oleh Paus Innosensius XI pada tahun 1687 melalui ensiklik Coelestis Pastor.[1] Bidah "Quietis" dipandang mencakup 'kontemplasi' yang salah melalui 'meditasi'.
Sejarah
Quietisme pertama kali muncul pada abad ke-17, melalui sebuah pandangan dari karangan-karangan seorang imam diosesan Roma, yakni M. de Molinos pada tahun 1996 dan uskup Fenelon pada tahun 1715 di Perancis.[1] Adapun setelah kemunculannya, ajaran quietisme ini terus berkembang dengan pesat. [1] Ajaran Quietisme dikutuk sebagai ajaran sesat oleh Paus Innosensius XI pada tahun 1687 melalui ensiklik Coelestis Pastor.[1]
Tokoh
Tokoh-tokoh dari ajaran Quietisme adalah Miguel de Molinos yang dikutuk (dianggap mengajarkan ajaran sesat) oleh gereja pada tahun 1678 dan Pietro Petrucci yang dikutuk pada tahun 1688. [3] [4] Selain itu, ada juga seorang tokoh misterius Perancis yang bernama Jeanne Guyon (1648-1717), yang lebih umum dikenal dengan nama Madame Guyon.[1] Konon, keterlibatan Madame Guyon dalam Quietisme didasari oleh persoalan pribadi dan keluarga. Madame Guyon mengalami konflik dengan suami dan ibu mertuanya. [1]
Bentuk-bentuk Ajaran
Ajaran Quietisme menyatakan bahwa kesempurnaan dapat dicapai dengan jalan untuk berdiam diri, baik itu dari pikiran maupun dari kehendak. keadaan seperti ini dicapai dengan doa-doa spiritual, sehingga jiwa akan beristirahat dengan tenang di hadapan Allah dan Allah akan bekerja menurut kehendak-Nya. [3] Jikalau seseorang telah mencapai suatu keadaan yang demikian, maka dosa tidak mungkin ada lagi dan perbuatan yang baik akan diperlukan oleh seseorang. [3] Seseorang pernah digoda untuk melakukan dosa, namun karena orang tersebut telah berada pada keadaan yang sempurana, maka semua godaan tersebut tidak akan membuat orang tersebut melakukan perbuatan dosa. [3] Ajaran Quietisme juga lebih mengutamakan tentang suatu ketenangan dan melupakan keaktifan. [5] Dalam hal ini, hidup dengan Allah merupakan hidup yang tenang, artinya segala godaan dan cobaan berupa kegembiraan dan kesedihan tidak boleh menganggu ketenangan. [5] Oleh karena itu, seseorang harus hidup di dalam ketenangan.[5]
Referensi
- ^ a b c d e f g h i SJ, Heuken A. 1994. Ensiklopedia gereja. jakarta: Cipta Loka Caraka. hlm.76
- ^ Collins, Michael dan Price, Matthew A. 2006. Millennium The Story of Christianity: Menelusuri Jejak Kristianitas. Yogyakarta: Kanisius. hlm.159
- ^ a b c d Wellem, FD Dr. 2006. Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 386
- ^ Sherbok, Cohn Lavinia. 2002. Who's Who in Christianity. London: Routledge. hlm. 337
- ^ a b c Soedarmo, R Dr. 2010. Kamus Istilah Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm 77