Tari Gubang

salah satu tarian di Indonesia
Revisi sejak 15 Oktober 2017 20.49 oleh Wonxxi (bicara | kontrib) (tambahan pranala)

Tari Gubang merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan di Indonesia. Tarian ini merupakan sebuah tarian tradisional yang berasal dari Provinsi Sumatra Utara. Persebaran tari gubang meliputi Kota Tanjung Balai dan Kabupaten Asahan.

Asal Usul Tari Gubang

Selain seni musik, seni tari adalah bagian dari pertunjukan Gubang. Kesenian ini berkembang di masyarakat Melayu Asahan, terutama nelayannya. Kata Gubang berasal dari kata ‘gebeng’ yang berarti perahu dalam bahasa Melayu dialek Asahan. Kata gebeng lama-lama berubah pengucapannya menjadi gubang.

Berdasarkan legenda yang berkembang secara lisan, tarian gubang muncul pada zaman Kerajaan Asahan dengan penguasanya yang bernama Raja Margolang. Suatu ketika beberapa nelayan berlayar ke lautan. Tiba-tiba mereka tidak dapat menjalankan perahunya di tengah laut karena ketiadaan embusan angin. Mereka kemudian berdoa kepada Tuhan untuk didatangkan angin agar perahu mereka bisa bergerak lagi.

Walaupun sudah menyanyikan lagu berjudul "Aloban Condong", permohonan para nelayan belum juga terkabul. Mereka pun tidak menyerah dan mengganti nyanyian dengan lagu lain. Lagu "Didong" yang mereka nyanyikan membuat permintaan mereka terkabul. Embusan angin datang dan mulai mendorong perahu. Para nelayan akhirnya bisa melanjutkan pelayaran.

Ketika angin datang, para nelayan langsung bersorak-sorai. Mereka meluapkan kegembiraan dengan melompat dan menari di perahu. Selain itu, ada irama musik yang mengiringi tarian para nelayan itu dari suara dayung yang dihentak-hentakkan ke sisi perahu. Legenda ini mencetuskan penciptaan tari gubang.[1]

Perkembangan Tari Gubang

Awalnya, tari tersebut dinamakan tari gebeng karena tarian ini dilakukan di atas perahu atau rakit. Ketika itu, para nelayan mengekspresikan kegembiraannya dengan menari bersama di atas perahu.

Sejalan dengan perkembangannya, tari gubang juga berubah fungsi. Pada zaman dahulu, tari gubang berfungsi sebagai sarana pemanggil angin[2]. Tarian ini pun cukup kental unsur magisnya. Tarian rakyat ini menjadi sejenis ritual untuk memanggil angin demi kelancaran aktivitas para nelayan.

Selain lekat dengan unsur magis, tari gubang juga mempunyai fungsi sebagai unsur hiburan. Tarian ini menjadi hiburan bagi masyarakat pesisir, terutama para nelayan untuk sekadar mengurangi kepenatan setelah melaut.

Tari gubang mulai berkembang seiring dengan perubahan zaman. Fungsi utama tarian gubang menjadi hiburan masyarakat nelayan saja ketika dipentaskan. Dalam pelaksanaannya, tari gubang memiliki beberapa jenis tarian. Tarian ini juga mempunyai ragam fungsi yang disesuaikan dengan kebutuhan, yakni sebagai tarian penyambutan tamu dalam upacara adat masyarakat, antara lain, pesta pernikahan, penyambutan tamu kehormatan, Runat Rosul, dan proses pengobatan.

Nyanyian "Didong" sering kali menjadi pengiring tari gubang. Biasanya lagu yang berisi mantra pemanggil angin ini dibawakan pada awal pertunjukan tarian gubang. Instrumen musik yang mengiringi nyanyian tersebut, yakni dua buah gendang yang ukurannya tidak sama, sebuah gong atau tawak-tawak, dan biola. Dalam pertunjukan, dapat dipergunakan lebih dari satu alat musik biola asalkan mempunyai nada yang serupa. Musik untuk mengiringi syair "Didong" ini bertempo tidak terlalu cepat.

Keberadaan tari gubang masih terus bertahan. Tarian gubang juga dinobatkan sebagai salah satu warisan budaya takbenda 2017 dari Sumatra Utara selain holat, toge panyabungan, genderang sisibah, dan babae. Tari gubang tidak diketahui nama penciptanya atau anonim. Namun, ada dua orang maestro kesenian tari ini, yaitu Nurhabib dan Asrial. Keduanya berasal dari Kabupaten Asahan.[3]

Referensi

  1. ^ "Tari Gubang Asahan Terima Sertifikat WBTB 2017" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-15. 
  2. ^ http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/45523
  3. ^ catherine_krige (2017-10-10). "Tari Gubang, Warisan Budaya Tak Benda 2017 dari Sumatera Utara - Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya". Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-15.