Sarwo Edhie Wibowo

politisi Indonesia
Revisi sejak 30 Oktober 2017 14.15 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo (25 Juli 1925 – 9 November 1989) adalah seorang tokoh militer Indonesia. Ia adalah ayah dari Kristiani Herrawati, ibu negara Republik Indonesia dan istri dari Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono. Ia juga ayah dari mantan KSAD, Pramono Edhie Wibowo. Ia memiliki peran yang sangat besar dalam penumpasan Pemberontakan Gerakan 30 September dalam posisinya sebagai panglima RPKAD (atau disebut Kopassus pada saat ini). Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan serta menjadi Gubernur AKABRI.

Sarwo Edhie Wibowo
Berkas:Sarwoedi.jpg
[[Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih]] 4
Masa jabatan
2 Juli 1968 – 20 Februari 1970
PresidenSoeharto
Sebelum
Pendahulu
R. Bintoro
Pengganti
Acub Zaenal
Sebelum
Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus 5
Masa jabatan
1964–1967
Informasi pribadi
Lahir(1925-07-25)25 Juli 1925
Hindia Belanda Purworejo, Hindia Belanda
Meninggal9 November 1989(1989-11-09) (umur 64)
Indonesia Jakarta, Indonesia
KebangsaanIndonesia
Suami/istriSunarti Sri Hadiyah
AnakWijiasih Cahyasasi
Wrahasti Cendrawasih
Kristiani Herrawati
Mastuti Rahayu
Pramono Edhie Wibowo
Hartanto Edhie Wibowo
Karier militer
Pihak Indonesia
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1942 - 1975
Pangkat Letnan Jenderal TNI
SatuanInfanteri (Kopassus)
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Awal kehidupan

Sarwo Edhie lahir di Purworejo, Jawa Tengah berasal dari keluarga PNS bekerja untuk Pemerintah Kolonial Belanda. Sebagai seorang anak, ia belajar silat sebagai bentuk pertahanan diri. Saat ia tumbuh, Sarwo Edhie membentuk kekaguman terhadap Tentara Jepang dan kemenangan mereka melawan Pasukan Sekutu yang ditempatkan di Pasifik dan Asia.

Pada tahun 1942, ketika Jepang menguasai Indonesia, Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk mendaftarkan diri sebagai prajurit Pembela Tanah Air (PETA), yang merupakan kekuatan tambahan Jepang yang terdiri dari tentara Indonesia.

Sarwo Edhie kecewa karena tugas-tugasnya selama periode ini sebagian besar hanya memotong rumput, membersihkan toilet, dan membuat tempat tidur bagi perwira Jepang. Ketika dia berlatih, Sarwo Edhie harus menggunakan senjata kayu. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Sarwo Edhie bergabung dengan BKR, sebuah organisasi milisi yang akan menjadi cikal bakal ABRI (Tentara Nasional Indonesia saat ini) dan membentuk batalion. Namun, usaha itu gagal dan batalion bubar.

Teman satu kampung halamannya, Ahmad Yani yang mendorongnya untuk terus menjadi seorang tentara dan mengundangnya untuk bergabung dengan Batalion di Magelang, Jawa Tengah.

Karier militer

Karier hingga 1965

Karier Sarwo Edhie di ABRI, dia pernah menjadi Komandan Batalion di Divisi Diponegoro (1945-1951), Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953), Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961), Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) (1962-1964), dan Komandan RPKAD (1964-1967).

RPKAD adalah usaha Indonesia untuk menciptakan sebuah unit pasukan khusus (yang kemudian akan menjadi Kopassus) dan pengangkatan Sarwo Edhie sebagai komandan unit elit ini berkat Ahmad Yani. Pada tahun 1964, Yani telah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat dan menginginkan seseorang yang bisa dia percaya sebagai Komandan RPKAD.[1]

Selama Sarwo Edhie menjadi Komandan RPKAD Gerakan 30 September terjadi.

Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal, termasuk Ahmad Yani diculik dari rumah mereka dan dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Sementara proses penculikan sedang dieksekusi, sekelompok pasukan tak dikenal menduduki Monumen Nasional (Monas), Istana Kepresidenan, Radio Republik Indonesia (RRI), dan gedung telekomunikasi.

Hari dimulai seperti biasanya bagi Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD yang sedang menghabiskan pagi mereka di markas RPKAD di Cijantung, Jakarta. Kemudian Kolonel Herman Sarens Sudiro tiba. Sudiro mengumumkan bahwa ia membawa pesan dari markas Kostrad dan menginformasikan kepada Sarwo Edhie tentang situasi di Jakarta. Sarwo Edhie juga diberitahu oleh Sudiro bahwa Mayor Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai Panglima Kostrad diasumsikan akan menjadi pimpinan Angkatan Darat. Setelah memberikan banyak pemikirannya, Sarwo Edhie mengirim Sudiro kembali dengan pesan bahwa ia akan berpihak dengan Soeharto.[2]

Setelah Sudiro pergi, Sarwo Edhie dikunjungi oleh Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa. Sabur meminta Sarwo Edhie untuk bergabung dengan Gerakan G30S. Sarwo Edhie mengatakan kepada Sabur dengan datar bahwa ia akan memihak Soeharto.

Pada pukul 11:00 siang hari itu, Sarwo Edhie tiba di markas Kostrad dan menerima perintah untuk merebut kembali gedung RRI dan telekomunikasi pada pukul 06:00 petang (batas waktu dimana pasukan tak dikenal diharapkan untuk menyerah). Ketika pukul 06:00 petang tiba, Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk merebut kembali bangunan yang ditunjuk. Hal ini dicapai tanpa banyak perlawanan, karena pasukan itu mundur ke Halim dan bangunan diambil alih pada pukul 06:30 petang.

Dengan situasi di Jakarta yang aman, mata Soeharto ternyata tertuju ke Pangkalan Udara Halim. Pangkalan Udara adalah tempat para Jenderal yang diculik dan dibawa ke basis Angkatan Udara yang telah mendapat dukungan dari gerakan G30S. Soeharto kemudian memerintahkan Sarwo Edhie untuk merebut kembali Pangkalan Udara. Memulai serangan mereka pada pukul 2 dinihari pada 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD mengambil alih Pangkalan Udara pada pukul 06:00 pagi.

Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru

Setelah mengambil alih Pangkalan Udara Halim, Sarwo Edhie bergabung dengan Suharto karena keduanya dipanggil ke Bogor oleh Presiden Soekarno. Sementara Suharto diperingatkan oleh Soekarno karena mengabaikan perintahnya, Sarwo Edhie terkejut dengan ketidakpekaan Soekarno dengan kematian enam Jenderal. Sarwo Edhi bertanya "Di mana para Jenderal?", Sukarno menjawab "Bukankah ini hal yang normal dalam revolusi?".[3]

Pada tanggal 4 Oktober 1965, pasukan Sarwo Edhie memimpin penggalian dari mayat para jenderal dari sumur Lubang Buaya.

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Suharto diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat oleh Soekarno. Pada saat itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dituduh sebagai penyebab dari G30S dan sentimen anti-Komunis telah membangun cukup untuk mendapatkan momentum. Sarwo Edhie diberi tugas melenyapkan anggota PKI di lahan subur komunis di Jawa Tengah. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya pembunuhan massal yang keji pada bulan Oktober-Desember 1965 di Jawa, Bali, dan beberapa bagian dari Sumatera.

Ada banyak perkiraan mengenai jumlah orang yang tewas selama berbulan-bulan. Jumlah perkiraan awal sedikitnya setengah juta orang dan satu juta orang paling banyak menjadi korban.[4] Pada bulan Desember 1965, angka yang diberikan kepada Soekarno adalah 78.000 meskipun setelah ia jatuh, hal itu direvisi menjadi 780.000. Angka 78.000 itu adalah sebuah cara untuk menyembunyikan jumlah korban tewas dari Soekarno.[5] Spekulasi terus berlanjut sepanjang tahun, mulai dari 60.000 sampai 1.000.000. Meskipun konsensus tampaknya telah menetapkan sekitar 400.000 jiwa.[5] Akhirnya, pada tahun 1989, sebelum kematiannya, Sarwo Edhie memberi pengakuan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa 3 juta orang[6] tewas dalam pertumpahan darah ini.

Pada awal tahun 1966, sentimen anti-Komunis dikombinasikan dengan tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan Soekarno mulai kehilangan popularitasnya di mata Rakyat. Saat itu terjadi protes anti-Soekarno, yang dipimpin oleh gerakan pemuda seperti dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Pada 10 Januari 1966, KAMI mengeluarkan tiga tuntutan kepada Soekarno. Mereka ingin PKI harus dilarang, simpatisan PKI dalam Kabinet ditangkap, dan harga-harga harus diturunkan.

Suharto menyadari pentingnya dalam menyelaraskan Angkatan Darat dengan para pengunjuk rasa. Selama bulan-bulan pertama tahun 1966, Sarwo Edhie bersama-sama dengan Kepala Staf Kostrad, Kemal Idris aktif menyelenggarakan dan mendukung protes sementara membuat nama untuk dirinya sendiri di antara para pengunjuk rasa KAMI dalam proses.[7] Pada 26 Februari 1966, KAMI secara resmi dilarang oleh Soekarno tetapi dengan dorongan dari Sarwo Edhie dan Kemal mereka masih terus memprotes. Dalam menunjukkan solidaritas dengan mahasiswa, Sarwo Edhie terdaftar di Universitas Indonesia.[8]

Meskipun ia tumbuh menjadi lawan politik terbesar Soekarno, Suharto, seorang tradisionalis Jawa yang kuat, selalu berhati-hati untuk menghindari menantang Sukarno secara langsung. Namun pada Maret 1966, ia siap untuk memaksa Soekarno. Pada awal bulan, ia memerintahkan RPKAD untuk menangkap simpatisan PKI dalam kabinet Soekarno. Suharto berubah pikiran di menit terakhir, berpikir bahwa keamanan Soekarno mungkin dapat dikompromikan. Namun, itu sudah terlambat untuk menarik perintah.

Pada pagi hari 11 Maret 1966, pada saat rapat kabinet di mana Soeharto tidak hadir, Sarwo Edhie dan pasukannya mengepung Istana Presiden tanpa identifikasi. Soekarno, takut dirinya dievakuasi ke Bogor. Kemudian di hari itu juga ia mentransfer kekuasaan eksekutifnya kepada Suharto melalui surat yang disebut Supersemar.

Pada tahun 1967, Sarwo Edhie dipindahkan ke Sumatera dan menjadi Panglima Kodam II/Bukit Barisan. Di Sumatera, Sarwo Edhie lanjut melemahkan kekuasaan Soekarno dengan melarang Partai Nasional Indonesia (PNI) di seluruh pulau.

Penentuan Pendapat Rakyat

Untuk hal ini, Sarwo Edhie dipindahkan ke Irian Barat untuk menjadi Panglima Kodam XVII/Cendrawasih. Ia memimpin di sana hingga terselenggaranya "Penentuan Pendapat Rakyat", di mana Indonesia menganeksasi wilayah tanpa memegang referendum penuh, Sarwo Edhie memainkan peran utama dalam menghancurkan resistensi Papua.[9]

Kehidupan pribadi

Sarwo Edhie menikah dengan Sunarti Sri Hadiyah, mereka mempunyai 7 anak: Wijiasih Cahyasasi, Wrahasti Cendrawasih, Kristiani Herrawati, Mastuti Rahayu, Pramono Edhie Wibowo, Retno Cahyaningtyas dan Hartanto Edhie Wibowo. Susilo Bambang Yudhoyono, kelak presiden keenam Indonesia, adalah menantunya.

Sarwo Edhie meninggal pada 9 November 1989 pada usia 64 tahun karena penyebab alami. Ia dimakamkan di daerah asalnya di Ngupasan, Pangenjurutengah, Purworejo, Jawa Tengah.[10]

Referensi

  1. ^ Djarot, Eros (2006). Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S PKI (dalam bahasa Indonesia) (edisi ke-1). Tangerang: PT Agromedia Pustaka. hlm. 63. 
  2. ^ Dake, Antonie C.A (2005). Sukarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan (dalam bahasa Indonesian) (edisi ke-4). Jakarta: Aksara Karunia. hlm. 111. 
  3. ^ Dake, Antonie C.A (2005). Sukarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan (dalam bahasa Indonesian) (edisi ke-4th). Jakarta: Aksara Karunia. hlm. 194. 
  4. ^ Hughes, John (2002). The End of Sukarno: A Coup That Misfired A Purge That Ran Wild. Singapore: Archipelago Press. hlm. 194. ISBN 981-4068-65-9. 
  5. ^ a b Hughes, John (2002). The End of Sukarno: A Coup That Misfired A Purge That Ran Wild. Singapore: Archipelago Press. hlm. 195. ISBN 981-4068-65-9. 
  6. ^ : Kolektif Info Coup d'etat 65 :. - Dokumen
  7. ^ Elson, Robert (2001). Suharto: A Political Biography. UK: The Press Syndicate of the University of Cambridge. hlm. 130. ISBN 0-521-77326-1. 
  8. ^ Elson, Robert (2001). Suharto: A Political Biography. UK: The Press Syndicate of the University of Cambridge. hlm. 134. ISBN 0-521-77326-1. 
  9. ^ TAPOL, the Indonesian Human Rights Campaign
  10. ^ Biografi Sarwo Edhie Wibowo

Pranala luar

Jabatan militer
Didahului oleh:
R. Bintoro
Pangdam Trikora
2 Juli 1968 - 20 Februari 1970
Diteruskan oleh:
Acub Zaenal
Didahului oleh:
Mung Parahadimulyo
Danjen Kopassus
1964 - 1967
Diteruskan oleh:
Widjoyo Suyono