Pembela Tanah Air

Kesatuan militer Indonesia yang dibentuk oleh Kekaisaran Jepang

Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (Jepang: 郷土防衛義勇軍, Hepburn: Kyōdo Bōei Giyūgun) atau Pembela Tanah Air (PETA) adalah satuan paramiliter yang dibentuk Jepang di Indonesia pada masa pendudukan Jepang. PETA dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 sebagai tentara sukarela berdasarkan maklumat Osamu Seirei No. 44 yang diumumkan oleh Panglima Angkatan Darat ke-16, Letnan Jenderal Kumakichi Harada. Pelatihan pasukan PETA dipusatkan di kompleks militer di Bogor.

Pembela Tanah Air
  • 郷土防衛義勇軍
  • Kyōdo Bōei Giyūgun
Bendera batalion PETA
Aktif3 Oktober 1943–19 Agustus 1945
NegaraHindia Belanda dan Malaya Inggris
Aliansi Angkatan Darat Kekaisaran Jepang
Tipe unitInfanteri
PeranMempertahankan Hindia Belanda yang diduduki Jepang dan Malaya Inggris dari invasi Sekutu
Jumlah personel66 Batalyon di Jawa, 3 Batalyon di Bali, ca 20.000 orang di Sumatra, ca 2.000 orang di Malaya
MarkasBogor, Jawa Barat
JulukanPETA
MotoIndonesia Akan Merdeka
Warna panji  Ungu,   Hijau,   Merah, &   Putih
Himne"Mars Tentara Pembela" Play
PertempuranPemberontakan PETA Blitar
Tentara PETA sedang latihan di Bogor pada tahun 1944

Tentara PETA telah berperan besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh nasional yang dulunya tergabung dalam PETA antara lain mantan presiden Jenderal Besar TNI Soeharto dan Jenderal Besar TNI Soedirman. Veteran tentara PETA telah menentukan perkembangan dan evolusi militer Indonesia, mulai dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI), hingga akhirnya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karena hal ini, PETA dianggap sebagai salah satu cikal bakal dari Tentara Nasional Indonesia.

Sejarah

sunting
Mars PETA dalam pembukaan video propaganda Jepang yang diproduksi oleh Keimin Bunka Shidosho (Lembaga Kebudayaan Jepang di Indonesia)

Pembentukan

sunting

Setelah Jepang menguasai Hindia Belanda, pemerintahan militer Jepang mulai membentuk berbagai organisasi bagi rakyat Indonesia untuk kebutuhan pendudukan dan kebutuhan perang Jepang di Perang Pasifik. Akan tetapi, Jepang tidak membuka perekrutan untuk personel militer, kecuali dengan kapasitas yang sangat terbatas seperti Heiho. Meski begitu, niat untuk membentuk satuan militer yang terdiri dari penduduk lokal sudah ada sejak awal pendudukan. Letnan Satu Motoshige Yanagawa dari Beppan (gugus tugas khusus dari Angkatan Darat ke-16) memulainya dengan mendirikan Seinen Dōjō (青年道場, 'Dojo Pemuda') di Tangerang pada bulan Januari 1943, yang berfungsi sebagai tempat pelatihan kemampuan semimiliter bagi para pemuda.[1] Kemudian, Seinendan (Barisan Pemuda) diresmikan pada tanggal 9 Maret 1943.

Pada tanggal 16 Juni 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengumumkan dalam Sidang Parlemen Jepang ke-82, bahwa penduduk Pulau Jawa akan mulai dilibatkan dalam urusan pemerintahan dalam negeri di Pulau Jawa.[2] Sebagai bagian dari rencana tersebut, pemerintahan Jepang di Pulau Jawa mulai menyusun rencana untuk mendirikan satuan militer beranggotakan penduduk lokal yang berfungsi sebagai kekuatan pertahanan. Supaya rencana ini dapat menarik minat masyarakat, Beppan memutuskan bahwa permohonan pembentukan satuan tersebut harus dilakukan oleh orang Indonesia sendiri. Motoshige Yanagawa kemudian memilih Raden Gatot Mangkoepradja untuk membuat permohonan tersebut. Gatot Mangkoepradja dipilih karena ia telah menyampaikan aspirasi tentang pentingnya satuan militer bagi Indonesia kepada pemerintahan Jepang sejak bulan Mei 1942.[3] Motoshige Yanagawa bertemu dengan Gatot Mangkoepradja di Jakarta pada tanggal 5 September 1943 untuk mendiskusikan hal tersebut. Diskusi dilanjutkan dengan Beppan pada keesokan harinya.[4]

Pada tanggal 7 September 1943, Gatot Mangkoepradja mengirimkan surat kepada Gunseikan (軍政官, 'Kepala Pemerintahan Militer Jepang') Letnan Jenderan Shinshichiro Kokubu, yang berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu usaha militer Jepang di medan perang secara langsung melalui sebuah "Barisan Pembela".[4][5] Di Tokyo, pernyataan serupa juga disampaikan oleh Soetardjo Kartohadikoesoemo dan Dr. Boentaran Martoatmodjo pada kesempatan terpisah.[6][7] Keesokan harinya, pada 8 September 1943, surat milik Gatot Mangkoepradja dipublikasikan di koran Asia Raya.[8] Setelah penerbitan surat tersebut, selama beberapa hari setelahnya, berbagai surat kabar juga memuat aspirasi-aspirasi senada dari berbagai kalangan.[9][10] Pada tanggal 10 September 1943, R.A. Latief Hendraningrat juga mengirimkan surat kepada Gunseikan, yang berisi permohonan untuk melibatkan anggota Seinendan dalam perang.[11] Permohonan pembentukan satuan militer juga diusulkan oleh sepuluh ulama: K.H. Mas Mansyur, K.H. Adnan, Dr. Abdul Malik Karim Amrullah, Guru H. Mansur, Guru H. Cholid, K.H. Abdul Madjid, Guru H. Jacob, K.H. Djunaedi, U. Mochtar, dan H. Mohammad Sadri, yang menuntut agar segera dibentuk tentara sukarela bukan wajib militer yang akan mempertahankan Pulau Jawa.[12] Permohonan ini dimuat pada koran Asia Raya edisi 13 September 1943.[butuh rujukan] Dukungan terhadap pembentukan satuan militer juga disampaikan oleh beberapa tokoh, seperti Dr. Radjiman Widjodiningrat, R.Ng. Dwidjosewojo, Frits Laoh, Dr. A. Rasjid, Dr. H. A. Karim Amrullah, dan H. Agoes Salim.[13]

Berbagai ungkapan dukungan ini selaras dengan strategi Jepang yang ingin membangkitkan semangat patriotisme rakyat Indonesia dengan memberi kesan bahwa usul pembentukan pasukan militer pribumi berasal dari kalangan pemimpin Indonesia sendiri. Pengusulan oleh golongan agama juga bertujuan untuk membangkitkan rasa cinta tanah air yang berdasarkan ajaran agama. Hal ini kemudian diperlihatkan dalam bendera PETA yang terdiri dari unsur matahari terbit (lambang Kekaisaran Jepang) serta bulan sabit dan bintang (simbol kepercayaan Islam).

Pada tanggal 3 Oktober 1943, Panglima Angkatan Darat ke-16 menerbitkan Osamu Seirei No. 44 (治政令第44号, Osamu Seirei Dai-44 Gō) yang memutuskan pembentukan tentara sukarela di Pulau Jawa. Isi dari Osamu Seirei No. 44 adalah sebagai berikut:[14]

Osamu Seirei No. 44 Tentang pembentukan Pasukan sukarela untuk membela Tanah Jawa

Pasal 1
Menginat semangat yang berkobar-kobar serta juga memenuhi keinginan yang sangat dari 50 juta penduduk di Jawa, yang hendak membela tanah airnya dengan sendiri, maka Balatentera Dai Nippon membentuk Tentera Pembela Tanah Air, yakni pasukan sukarela untuk membela Tanah Jawa dengan penduduk asli, ialah berdiri atas dasar cita-cita membela Asia Timur Raya bersama-sama.[a]

Pasal 2
Pasukan sukarela Tentera Pembela Tanah Air ini, dibentuk dengan penduduk asli yang memajukan diri untuk kewajiban membela tanah airnya, dan ditempatkan di dalamnya sejumlah opsir Nippon sebagai pendidik.[b]

Pasal 3
Pasukan sukarela Tentera Pembela Tanah Air termasuk di bawah pimpinan Saikoo Sikikan dan wajib menerima perintahnya.[c]

Pasal 4
Pasukan sukarela Tentera Pembela Tanah Air harus insaf akan cita-cita dan kepentingan pekerjaan pembela tanah air, serta wajib turut membela tanah airnya di dalam Syuu masing-masing terhadap negeri sekutu, di bawah pimpinan Balatentera Dai Nippon.[d]

— Saikoo Sikikan (最高指揮官, Saikō Shikikan)

Perekrutan mulai dibuka pada bulan Oktober dan November 1943, bergantung pada jenjang kepangkatannya.[14] Pada pembentukannya, banyak anggota Seinendan yang menjadi anggota senior dalam barisan PETA.

Pemberontakan

sunting

Pada tanggal 14 Februari 1945, sebagian pasukan PETA Batalion Blitar melakukan pemberontakan di bawah pimpinan Soeprijadi. Pemberontakan ini dipicu oleh kemarahan personel Batalion Blitar yang menyaksikan buruknya kondisi masyarakat sekitar serta penderitaan yang dialami oleh romusa. Tujuan dari pemberontakan ini adalah membunuh setiap prajurit Jepang yang ditemui di wilayah Blitar. Akan tetapi, pemberontakan ini terendus lebih awal sehingga prajurit Jepang di sekitar markas batalion telah lebih dulu pergi. Pemberontakan berlangsung selama beberapa hari, dan berhasil dipadamkan terutama oleh pasukan pribumi yang tak terlibat pemberontakan, baik dari satuan PETA sendiri maupun dari Heiho. Soeprijadi dinyatakan hilang dalam peristiwa ini. Dari sekitar 360 orang yang terlibat pemberontakan, 55 di antaranya ditangkap. Terdapat 6 orang yang dijatuhi hukuman mati. Hukuman dilaksanakan di Eereveld (sekarang pantai Ancol) pada tanggal 16 Mei 1945.[butuh rujukan]

Pembubaran

sunting

Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan Blok Sekutu, Tentara Kekaisaran Jepang memerintahkan para batalion PETA untuk menyerah dan menyerahkan senjata mereka. Sebagian besar pasukan PETA mematuhi perintah ini. Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini daripada mengubah PETA menjadi tentara nasional. Hal ini dilakukan untuk menghindari potensi adanya tuduhan dari Blok Sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang karena ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini dilanjutkan.[16][17][18] Sehari kemudian, pada tanggal 19 Agustus 1945, Panglima Angkatan Darat Ke-16 di Jawa, Letnan Jenderal Nagano Yuichiro, mengucapkan pidato perpisahan kepada para anggota PETA.

Peran dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia

sunting
 
Pemuda Indonesia dalam pelatihan di Seinen Dojo yang kemudian menjadi anggota PETA

Tentara mantan personel PETA turut menjadi komponen militer Indonesia selama masa perang kemerdekaan. Mantan Tentara PETA menjadi bagian penting pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), mulai sejak dibentuknya Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI), hingga akhirnya menjadi TNI. Personel lulusan pendidikan PETA menjadi kelompok dominan di era awal militer Indonesia karena pada masa pendudukan Belanda, pelatihan militer untuk penduduk pribumi tidak diberikan secara besar-besaran, sehingga tidak banyak yang mewarisi pendidikan militer ala Belanda.

Untuk mengenang perjuangan tentara PETA, pada tanggal 18 Desember 1995, diresmikan monumen PETA yang terletak di Bogor, bekas markas besar PETA.

Struktur

sunting

Unit-unit PETA dibentuk dalam satuan setingkat batalion yang disebut daidan (大団). Satu batalion terdiri dari sekitar 500 orang, setengah ukuran dari batalion tentara Jepang (大隊, daitai). Setiap batalion bertugas untuk melindungi setidaknya satu kabupaten, sehingga terdapat dua hingga lima batalion yang ditempatkan pada satu keresidenan. Batalion PETA berada di bawah komando tentara Jepang setempat. Setiap batalion dipimpin seorang komandan batalion (大団長, daidanchō), dan dibagi menjadi satuan-satuan yang lebih kecil yang, secara berurutan dari yang paling besar hingga yang paling kecil, masing-masing dipimpin oleh komandan kompi (中団長, chūdanchō), komandan peleton (小団長, shōdanchō), dan komandan regu (部団長, budanchō). Para perwira ini dilatih di Jawa Bōei Giyūgun Kanbu Renseitai (ジャワ防衛義勇軍幹部錬成隊, 'Korps Pelatihan Kadet Tentara Sukarela Pertahanan Jawa') yang terletak di kompleks militer di Bogor. Setelah menuntaskan pendidikan, mereka ditempatkan di daerah asalnya dan bertugas merekrut serta melatih pemuda setempat untuk menjadi prajurit (義勇兵, giyūhei, 'tentara sukarela').[5]

Pada awal didirikannya PETA, terdapat 35 batalion yang dibentuk di seluruh Pulau Jawa, menyesuaikan dengan jumlah daitai yang ada. Jumlah ini kemudian bertambah hingga pada akhir tahun 1944 terdapat 66 batalion di Pulau Jawa dan 3 batalion di Pulau Bali. Pada akhir tahun 1945, setidaknya terdapat 35.800 personel yang ditempatkan di Pulau Jawa dan 1.600 personel di Pulau Bali.[5]

Daftar Batalion PETA[19]
Keresidenan Batalion Komandan Batalion Latar belakang Perwira lain
Banten I Labuhan Toebagus Achmad Chatib Ulama Soehadisastra
II Kondangsari Malingping E. Ojong Temaja Ulama M.B. Soetman
III Cilegon-Serang Sjam'oen Ulama Zainoel Falah
IV Pandeglang Oeding Soejatmadja Moestaram
Jakarta I Harmoni Kasman Singodimedjo Lulusan RHS, mantan Ketua JIB dan MIAI Moeffreni Moe'min
Latief Hendraningrat
II Purwakarta Soerjodipoero Moersid
Bogor I Jampang Kulon R. Abdullah bin Noeh Ulama Hoesen Aleksah
II Pelabuhan Ratu M. Basoeni Ulama Moelja
III Sukabumi Kafrawi Machmoed
IV Cibeber Cianjur R. Goenawan Resmipoetro M. Ishak Djoearsa
Priangan I Tasikmalaya K.H. Soetalaksana Ulama Abdoellah Saleh
II Pangandaran K.H. Pardjaman Ulama K. Hamid
III Bandung Iljas Sasmita Permana
Oemar Wirahadikoesoemah
IV Cimahi Aroedji Kartawinata Lulusan MULO, mantan petinggi PSII Soeparjadi
Poniman
Soepardi
V Garut R. Sofjan Iskandar Katamsi Sutisna
Cirebon I Cirebon Abdoelgani Soerjokoesoemo Roekman
II Majalengka R. Zaenal Asikin Joedibrata Soearman
Pekalongan I Pekalongan Iskandar Idris Ulama Ajoeb
II Tegal K.H. Doerjatman Ulama Soemardjono
Banyumas I Cilacap R. Soetirto R. Hartojo
II Sumpiuh R. Soesalit Djojoadhiningrat Zaelan Asikin
III Kroya Soedirman Lulusan sekolah pendidikan guru Muhammadiyah, guru sekolah Muhammadiyah Soepardjo Roestam
IV Banyumas Isdiman
Gatot Subroto
Sarengat
Kedu I Gombong R. Abdoel Kadir
Bambang Sugeng
R. Soetrisno
II Magelang Muhammad Susman Soegiardjo
Soepangkat
III Gombong Djoko Koesoemo Slamet
Achmad Yani
Sarwo Edhie Wibowo
IV Purworejo Moekahar Ronohadikoesoemo Tjiptoroso
Semarang I Mrican R. Oesman
Soetrisno Soedomo
Soejadi
II Weleri/Kendal R. Soedijono Taroeno Koesoemo Soeparman Soemahamidjaja
Pati I Pati Koesmoro Hadidewo
II Rembang Holan Iskandar Soekardi
III Jepara Prawiro Atmodjo Soekardji
Yogyakarta I Wates D. Martojomeno Sudjiono
II Bantul Mochamad Saleh Lulusan sekolah pendidikan guru, guru sekolah Muhammadiyah Soepardi Pardi Pranoto
Soegiono
III Pingit Soendjojo Poerbokoesoemo Darjatmo
Soeharto
IV Wonosari Moeridan Noto Noedi
Surakarta I Manahan R.M. Moeljadi Djojomartono Ulama Soeprapto Soekawati
Djatikusumo
II Wonogiri K.H. Idris Ulama Boediman
Bojonegoro I Babat K.H. Masjkur
Soedirman
Ulama Oetojo Oetomo
II Bancar Masri R. Rachmat
III Tuban Soemadi Sastroatmodjo Soemardjo
Madiun I Madiun Agoes Tojib Moemardjo
II Pacitan Akoeb Goelangge R. Soebagijo
III Ponorogo M. Soedjono Soedijat
Kediri I Tulungagung Soediro Toeloes
II Blitar Soerachmad Soekandar
Moeradi
Soeprijadi
III Sukorame A. Joedodiprodjo
Soejoto Djojopoernomo
Mashoedi Soedjono
Surabaya I Gunung Sari Soetopo Dokter Masdoeki Aboedardja
II Sidoarjo R. Moehammad Mangoendiprodjo Lulusan OSVIA Bambang Joewono
III Mojokerto Katamhadi Oesman
IV Gresik K.H. Cholik Hasjim
Moestopo
Ulama
Lulusan STOVIT, dokter gigi
Jondat Modjo
Malang I Gondanglegi K. Iskandar Soelaeman Ulama Soemarto
II Lumajang M. Soejo Adikoesoemo S. Hardjo Hoedojo
III Pasuruan Arsjid Kromodihardjo Slamet
IV Malang Imam Soedja'i Soekardani
V Probolinggo Soedarsono Soemitro
Besuki I Kencong Jember Soewito
Soediro
Soekarto
II Bondowoso K.H. Tahiroeddin Tjokro Atmodjo Ulama Rosadi
III Benculuk Banyuwangi Soekotjo Imam Soekarto
IV Rambipuji Jember Surodjo
Astiklah
Soebandi
V Sukowidi Banyuwangi R. Oesman Soemodinoto Soedarmin
Madura I Pamekasan K.H. R. Amin Dja'far Ulama R. Moehammad Saleh
II Bangkalan Roeslan Tjakraningrat Hafiloedin
III Batang Batang Abdoel Madjid Achmad Basoeni
IV Ambunten Abdoel Hamid Moedhari Ulama Soeroso
V Ketapang Troenodjojo Mochamad Sabirin
Bali I Negara I Made Poetoe I Wayan Moedana
II Tabanan I Goesti Ngoerah Gede Poegeng Ida Bagoes Tongka
III Klungkung Anak Agoeng Made Agoeng I Made Geria

Tokoh Indonesia lulusan PETA

sunting

Beberapa tokoh Indonesia yang merupakan lulusan PETA antara lain:

Lihat pula

sunting

Rujukan

sunting

Catatan

sunting
  1. ^ 大日本軍は、大東亜共同防衛精神に則り、ジャワ5千万民衆の熱々たる郷土防衛の意気に応え、原住民を以て、ジャワ防衛義勇軍を編成す。[15]
    'Angkatan Bersenjata Kekaisaran Jepang, dilandasi semangat pertahanan bersama Asia Timur Raya, menjawab hasrat yang membara dari 50 juta masyarakat Pulau Jawa untuk membela tanah air, dengan membentuk Tentara Sukarela Pertahanan Jawa yang terdiri dari rakyat pribumi.'
  2. ^ ジャワ防衛義勇軍は、郷土防衛に挺身を志願する原住民をもって編成し、一部の日本軍指導官を附す。[15]
    'Tentara Sukarela Pertahanan Jawa dibentuk dari rakyat pribumi yang bergabung secara sukarela untuk membela tanah air dan mematuhi instruktur dari Angkatan Bersenjata Kekaisaran Jepang.'
  3. ^ ジャワ防衛義勇軍は、最高指揮官に隷す。[15]
    'Tentara Sukarela Pertahanan Jawa tunduk pada Saikō Shikikan (最高指揮官, 'Komandan Tertinggi').'
  4. ^ ジャワ防衛義勇軍は、郷土防衛精神に徹し、米英蘭に対し、各州郷土の防衛に任ず。[15]
    'Tentara Sukarela Pertahanan Jawa berkomitmen untuk membela tanah air, bertugas menghadapi Sekutu, dan bertanggung jawab atas pertahanan di masing-masing Shū asalnya.'

Referensi

sunting
  1. ^ Sato 2010, hlm. 194.
  2. ^ Nippon Eigasha (1943-07-01). Bezoek generaal Tojo en instelling van de centrale raad van advies (video). Batavia/Tokyo. 
  3. ^ Sato 2010, hlm. 197.
  4. ^ a b Sato 2010, hlm. 193.
  5. ^ a b c Kulsum, Kendar Umi (2021-02-17). "Tentara Peta: Sejarah Pembentukan dan Pemberontakan di Blitar 1945". Kompas.id. 
  6. ^ Asia Raya 1943a.
  7. ^ Asia Raya 1943b.
  8. ^ Mangkoepradja 1943.
  9. ^ Sato 2010, hlm. 195.
  10. ^ Machfoeld 1943.
  11. ^ Domei 1943a.
  12. ^ Suryanegara 1996.
  13. ^ Domei 1943b.
  14. ^ a b Asia Raya 1943c.
  15. ^ a b c d Shiraishi 1974, hlm. 16.
  16. ^ Ricklefs 1981, hlm. 194.
  17. ^ Sunhaussen 1982, hlm. 2-4.
  18. ^ Bachtiar 1988, hlm. 12.
  19. ^ Suryanegara 2010, hlm. 68-80.

Daftar pustaka

sunting